10/03/2012

Sudah Lupa

KUPIKIR banyak hal yang telah berubah kini. Barangkali aku sudah lupa dengan berpacaran itu bagaimana? Berhubungan dengan seorang perempuan itu seperti apa? Dan tak tahu harus memulai dari mana? Mendadak tidak romantis lagi. Ide merangkai puisi penakluk sudah tidak bertaji, apalagi rayuan gombal ala Andre Taulani, sudah tak berapi-api. Pun style dan gaya busana keren masa kini sudah tak lagi ter-update setiap hari. Aku di sini, sedang kering inspirasi.

Aku sudah lupa juga dengan tempat-tempat yang romantis untuk berduaan. Pun sudah tak tahu lagi dengan jadwal film romansa yang sedang tayang. Aku hanya bisa mengajakmu ke surau ketika adzan berkumandang. Berduaan, lalu melanjutkan perjalanan kita menuju tempat-tempat yang menawarkan beragam tayangan ilmu-ilmu. Aku tak punya banyak pulsa lagi untuk menelpon di larut malam, membuang waktu membincang hal yang kadang tak jelas. Pulsaku tersisa hanya untuk beberapa sms gratis saja, sekadar untuk mengajakmu bertahajud di sepertiga malam dan di ibadah-ibadah lainnya.

Ada orang yang mengataiku, kamu itu laki-laki ‘matre’ dan kini sudah jadi ‘kere’. Aku takkan menimpali tuduhan itu. Kuterima saja hipotesisnya tanpa harus mengelus dada. Toh belum teruji validitasnya. Pun seseorang juga pernah berkata dalam tulisannya, sesuatu yang selalu ditempa akan jadi semakin berkilau. Harapku juga demikian. Sekiranya memang aku harus menjadi ‘kere’ karena perubahan ini, tak apalah. Biar sajalah aku ‘kere’ dengan materi yang kadang menyilaukan itu. Namun, mudah-mudahan akan berkecukupan dengan damai batin dari-Nya yang perlahan nikmatnya mulai terasa.

Kuharap perubahan ini bukan karena siapa-siapa dan bukanlah karena apa-apa. Sakit dan kecewa oleh beberapa orang mungkin sangatlah wajar. Pun aku sangat mafhum dengan hal itu. Sungguh tak ada niat untuk melakukannya, mengalir begitu saja. Namun, sakit dan kecewamu itu semoga segera terbalaskan dengan bahagia dan gembira yang berlimpah, senantiasa kudoakan kepada-Nya.

Yaa, aku sudah lupa. Yang aku ingat adzan subuh sudah berkumandang. Tak sadar sudah sampai di akhir halaman ini. Kuakhiri dengan mengutip pesan dari perempuanku di pagi kemarin, “motivasi yang membuat seseorang mau melangkah, dan komitmen membuat seseorang terus melangkah”. (*)
(Makassar, 09 Maret 2012)

06/03/2012

Aku Ingin Menjadi Nol

ESENSI dari angka-angka yang sering kita bicarakan adalah nilai 1 2 3 4 5 6 7 8 9. Pun banyak diantara kita memberikan makna dari setiap angka-angka itu. Banyak interpretasi bermunculan tentang mereka. Jadilah ada yang menyebutnya sebagai angka hoki, angka sial, angka keramat, dan sebagainya. Ketika diantara mereka membentuk sebuah rangkaian berupa deretan-deretan satu sama lain, maknanya pun berubah menjadi nominal harga yang begitu populer. Kesembilan angka itu pun seketika menjadi seksi oleh mata para parakang harta dan kekuasaan. Sekaligus juga menjadi khayalan siang bolong bagi para masyarakat miskin terpinggirkan. Banyak hal yang bisa terjadi ketika kombinasi kesembilan angka itu deretannya semakin bertambah. Tentu nilainya akan bertambah menggiurkan, pun juga bertambah tidak mungkin. Kupikir pahamlah kita tentang fenomena itu.

Lantas kita kemanakan angka nol (0) itu? Tak begitu pentingnyakah keberadaannya diantara mereka bersembilan? Kita selalu mengidentikkannya dengan sesuatu yang kosong, hampa, sia-sia, bahkan tak berarti apa-apa. ‘Nol besar’ sering kita ungkapkan sebagai sebuah nilai kegagalan. Angka ini cuma sebagai alat bagi mereka -bersembilan- untuk menguatkan eksistensinya masing-masing sebagai angka dengan nilai nominal yang tinggi-tinggi. Dirinya terombang-ambing kesana-kemari tak jelas arah dan tujuannya. Berseliweran masuk ke rekening-rekening yang sudah sangat gendut, terselip di amplop-amplop tak beralamat, ataukah nyasar ke saku-saku celana yang tak jelas dari mana datangnya.

Kalau kalian begitu bangga menggunakan kesembilan angka itu. Maka dengan lantang aku mengatakan, aku ingin menjadi nol (0) itu. Mungkin aku memang seperti angka itu. Sangat sadar aku tak memiliki apa-apa. Hidupku penuh dengan kehampaan dan sangat membosankan. Kalian juga sering mengacungkan jempol terbalik kepadaku sebagai simbol tak berarti apa-apa. Biarkan saja. Aku tetap bangga menjadi angka 0/nol itu.

Tapi satu hal yang mesti kalian ketahui. Eksistensimu bergantung dari posisiku kawan. Eksistensimu akan bernilai tinggi jika aku menempatkan diriku berderet di samping kananmu setelah titik. Namun seketika eksistensimu tak bernilai apa-apa, bahkan jauh dari apa-apa, jika aku menempatkan diriku berderet di samping kirimu sebelum koma, mendesimalkanmu. Sadarilah akan hal itu kawan dan pahamilah bahwa begitu esensialnya posisiku terhadap eksistensimu.

Kepada perempuan terkasihku. Janganlah lagi dirimu menganggap ini sesuatu yang materialis. Itu untuk mereka saja yang tak menghargai keberadaanku sebagai angka nol (0). Untuk mereka saja yang menyepelekan nilai sebuah angka yang kosong. Untuk mereka saja yang tak menghargai sesuatu yang tak memiliki apa-apa.

Sekali lagi kepadamu aku ingin berkata wahai perempuanku. Diriku tak memiliki apa-apa. Aku hanya ingin menjadikan dirimu -kita- lebih berarti dengan menderetkan angka 0/nolku  berada di posisi samping kananmu setelah titik. Terserah dirimu mau memilih dari kesembilan angka itu. Akan kusuguhkan kepadamu angka nol setelah kesembilan angka yang telah kau pilih itu. Entah 1 digit nolku, 2 digit, 3 digit, 4 digit, 5 digit, 6 digit, 7 digit, 8 digit, 9 digit, bahkan dengan digit yang tak terhingga sekalipun. Aku bukanlah apa-apa tanpa dirimu. Maka izinkanlah aku menjadi nol di samping kananmu setelah titik. (*)

(Makassar, dini hari 6 Maret 2012)

02/03/2012

Peti dan Kunci

KUPIKIR hanya sejenak meninggalkannya di daratan itu, berbekal rasa kecewa memilih berlayar, mencari sebuah peti harapan yang terombang-ambing di tengah lautan ketergantungan. Belum sempat kutemukan, perahuku terseret oleh ombak besar, yang tanpa sengaja terdampar pada sebuah pulau baru. Keyakinanku bahwa suatu saat nanti peti itu pasti akan kutemukan dan kukembalikan ke daratan yang sesungguhnya, bersama dengannya tentu.

Sebuah daratan yang sebenarnya menjadi tempat terakhirku untuk menjalani hidup bersamanya. Peti itu memiliki sebuah kunci abadi yang ia kalungkan di lehernya. Kita tak pernah tahu isinya jika peti tak ditemukan dan tak dipertemukan dengan kuncinya.

***

Telah menjadi predestinasi-Nya, menciptakan segala bentuk rupa dengan desain alam yang sedemikian apik, mengombinasikan segala teka-teki kehidupan bagai sebuah rangkaian puzzle yang menginginkan adanya keterbentukan dari keinginan yang seharusnya. Entah ia terbentuk secara mekanis, alamiah, maupun karena adanya campur tangan manusia. Itulah hidup, sebuah misteri bagi kehidupan manusia saat ini, yang kemudian akan terpecahkan dengan sendirinya oleh beberapa pemikiran-pemikiran cerdas manusia di masa yang akan datang. Pecahan-pecahan itu pun akan terurai menjadi beberapa problem yang menuntut adanya sebuah pemecahan yang solutif dan cerdas dengan segala bentuk ketajaman pola pikir manusia mengikuti alur zaman yang konon semakin edan. Apapun itu, segala dinamika kehidupan ini akan terus terangkai mengiringi progresivitas paradigma pemikiran manusia.

Sama halnya dengan beberapa bentuk-bentuk dikotomi yang bersimbiosis mutualisme. Ada pria ada wanita. Ada yang kaya ada pula yang miskin. Ada kebencian dan ada kerinduan, dan seterusnya. Semua itu potret kehidupan manusia dengan dua sisi mata uang yang independentif namun akan berarti bila bereaksi secara bersama. Akan tercipta nuansa baru ketika dua hal tersebut disatukan, atau lebih tepatnya dipertemukan. Semua orang tahu dan mengetahui ada hal apa apabila yang demikian itu terjadi. Contohnya adalah peti dan kunci, yang selanjutnya akan menjadi sebuah kisah menarik namun sedikit tragis, menurutku.

Ungkapan “peti dan kunci” berangkat dari sebuah bentuk kontemplasi diri, hasil renungan kurang sempurna, sebuah kisah penyesalan akan cinta yang tak begitu jelas dan mengambang. Sebuah rajutan kasih yang mungkin pantas disebut sebagai cinta yang naif dan tak berbalas. Colombus yang ketika berlayar di lautan, tanpa kesengajaan dan perencanaan menemukan sebuah pulau baru yang tak berpenghuni, Amerika. Sebuah penemuan tempat kehidupan yang baru, akumulasi dari ketidaksengajaannya akan rasa putus asa bercampur optimisme akan harapan dari mimpi yang belum jelas realisasinya itu. Pulau yang merupakan cikal bakal bertenggernya sebuah negara Adi Daya dengan segala bentuk hiruk-pikuk kemajemukan dalam sistem kehidupannya yang telah menjadi kiblat bagi negara-negara kecil dan berkembang lainnya. Sebuah konsekuensi dari hukum rimba yang dikemas sedikit santun dan lebih modern.

Tentu Amerika bukanlah jadi tempat penjelajahanan terakhir dari segala pengembaraan Colombus. Bukan juga menjadi tempat dimana peti dan kunci itu akan dipertemukan. Amerika hanyalah sebuah tempat yang menjadi rangkaian dari pengembaraan kedewasaan diri yang tak kunjung dimengerti, walaupun telah banyak yang telah tergores dengan berbagai sentuhan kreatif dengan sedikit inovasi, tapi kepuasan hati bukan ketika melihatnya menjadi populer dengan segala riak kemegahannya, melainkan segala bentuk kedamaian jiwa akan bersemi ketika berada pada tempat yang sesungguhnya, bersamanya di daratan sebelumnya, menyaksikan pertemuan monumental lagi fenomenal, peti dan kunci itu.

Apakah Amerika harus bersyukur dan memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada Colombus yang telah menemukannya? Ataukah penemuan tak terencana Colombus itu bukanlah suatu hal yang perlu disesali karena sebenarnya bukan itu yang menjadi tujuan terakhir pencariannya? Manakah yang seharusnya mensyukuri atas apa yang telah tejadi tanpa memperdulikan segala dampak kemegahan yang telah ada?

Terlalu banyak tanya yang menggiring kesungguhan hati untuk mencoba menguak misteri dari abstraknya kisah ini. Biarlah ia mengalir seperti air, mengikuti lengkungan-lengkungan tepian sungai yang tak beraturan. Toh akhirnya semua akan bermuara ke lautan luas. Seperti sajaknya dulu kepadaku “entah apa kehendak rasa, rinainya jatuh di tempat yang ia suka”.

Ada apa ketika peti dan kunci itu bertemu? Misteri apa yang telah tersembunyi sejak sekian lama di dalamnya, sampai ketika peti telah ditemukan? Inilah yang menjadi bahan renungan selanjutnya karena kisah ini masih dalam proses ke arah realisasi mimpi-mimpi besarku. Apapun isi dari peti itu tidaklah jadi soal. Proses pencarian peti di lautan itulah yang menjadi kemenarikannya, sekaligus kadang menjadi ketragisannya pula. Proses menuju pertemuan keduanyalah yang mesti dinikmati dan disyukuri. Kelak, bersamanya menyaksikan pertemuan antara “Peti dan Kunci”. (*) 

(Sepenggal kisah yang lalu)

29/02/2012

Pelangi tak Tampak Sore itu

MEMANG sore itu hujan sejenak telah hinggap ke bumi, melambaikan kedamaian dengan gemercik hujan, melantunkan harapan akan kesuburan flora yang sedemikian telah tandusnya. Hujan bisa jadi impian bagi para petani palawija di musim tanam, tapi sekaligus bisa menjadi momok bagi para penjual garam yang sudah agak lelah menjajakan salah satu barang penyedap masakan itu. Sebuah gelagat alam yang dilematis lagi membingungkan bagi para ”pencari“ yang senantiasa berkontemplasi dengan segala bentuk perenungan tanpa ujung, menjamah tanpa batas sampai ke medan metafisis. Mungkin hal itu telah menjadi fenomena alam yang oleh manusia masih menjadi misteri yang entah sampai kapan akan terungkap.

Dalam hidupnya, manusia senantiasa diperhadapkan pada pelbagai hal-hal yang membingungkan karena dibekalinya seperangkat akal dengan kapasitas yang hanya menjangkau pada hal-hal yang kasat mata saja. Diperhadapkannya manusia pada beberapa pilihan akan konsekuensi hidup yang “hitam-putih”, telah banyak membuat mereka kerdil dalam memaknai hidup. “Pelajarilah makna hidupmu dengan cermin hidupmu”. Cermin hidup itu adalah realitas. Realitas merupakan cermin kebijaksanaan dalam merefleksikan segala gejala-gejala alam yang bertaut maupun yang tak beraturan. Realitas bisa berarti refresentasi dari dimensi kehidupan masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang. Terkadang realitas dianggap sebagai sesuatu yang tersembunyi dari ketiga dimensi kehidupan itu dan membuat keadaan menjadi semakin pelik dengan segala bentuk ilusi kabut pekatnya.

Hal yang demikian itu terjadi karena keengganan manusia untuk menembusnya dari kegelapan fakta. Akhirnya kebenaran sejati pun tak pernah diketahui. Realitas hanya akan nampak apabila manusia memiliki kemauan yang keras untuk mengungkapnya. Namun semuanya adalah potret kehidupan manusia dengan beragam dinamika hidup yang terangkai lewat sistematika pengungkapan yang begitu apik.

Cinta memang tak selamanya memiliki, begitu juga dengan pelangi yang selamanya tak menampakkan dirinya ketika hujan sudah lelah menjatuhi bumi dengan butiran-butiran salju yang telah cair. Kehendak apa yang akan direncanakan oleh Tuhan saat itu, sehingga lengkungan pada serangkaian warna-warna indah (baca: pelangi) hasil lukisan monumental Sang Maestro tak jua menampakkan wujudnya pada posisi 180ยบ sudut bumi. Alih-alih ingin mengharapkan lengkungan indah pelangi mewarnai hati yang sepi, ternyata alam hanya manampakkan kemurungannya pada beberapa hati yang begitu dahaga merindukan akan kesejukan batin. Jika ada asap pasti ada api. Begitulah hukum logika sebab-akibat berkata.

Mengapa senja itu pelangi eggan bertengger menampakkan wujud keindahanya? Sementara secara a priori, kemunculan pelangi seusai hujan di sore hari sangat potensial terjadi. Mungkin terlalu sederhana menggeneralisasikan sesuatu yang masih direka-reka, sebuah bentuk fallacy dalam berlogika. Apatah lagi dalam nuansa kehidupan yang sebenarnya. Terkadang manusia dengan begitu cepatnya memberikan judgment (penilaian) dengan pernyataan yang masih pantas untuk diragukan. Perlu banyak fakta dengan analisis yang tajam dalam mengungkap suatu keraguan. Mengungkap realitas yang tersembunyi bukanlah hal yang mudah. Pelangi nampak indah dengan keragaman warnanya yang berbeda tapi amatlah menarik, karena perbedaan adalah rahmat. (*)
 

28/02/2012

Cinta yang Sederhana

TAK terasa waktu begitu cepat berlalu. Telah banyak waktu yang telah kuhabiskan dengan nafas yang helaanya sering tersesak. Kusia-siakan dengan ayunan langkah yang masih terseok-seok. Kusenandungkan dengan teriakan yang nadanya selalu saja sumbang. Berlalu dan percuma.

Dalam kisah hidupku yang selanjutnya, entah berapa penat lagi yang harus kukeluhkan. Entah berapa peluh lagi yang harus kutadah. Entah berapa resah lagi yang harus kugelisahkan. Entah dan terus bertambah.

Anonimnya kisah ini tak perlulah kucurahkan kepada-Nya dengan air mata di akhir persembahan ibadah pada sepertiga malam-malam panjang. Tentu Tuhan tahu dan memahami alur kisah ini selanjutnya, bahkan segalanya. Akupun mafhum dengan keadaan ini. Kata mereka ada rahasia di balik rahasia.

Buat kalian para pemberi motivasi, cukup sudah basa-basinya. Sesuper bagaimana pun kalian memoles kata-kata, kendalinya sepenuhnya ada pada hati ini. Tak pelak dengan usahamu itu, hal yang lumrah bagi kita sebagai makhluk sosial. Walau sering ada yang menginginkan royalti, tak jarang pula yang cukup dengan terima kasih.

Aku akui tampak segalanya hanya kelam. Namun bukan berarti kau harus berikan sinar terang yang benderang. Aku tak sudi jika itu terlalu berlebihan. Kebenderangannya hanya akan menyilaukan mata dan hati. Hanya akan membuatku terjatuh lagi, dan selalu hanya tersungkur pada titian jalan yang telah kurintis sempoyongan. Aku hanya ingin seberkas sinar sederhana. Nur. Walaupun redup tapi sinarnya mampu memendar di sekitar untuk menerengi jalan kelamku. Seperti lembayung di ujung langit senja. Tampak indah karena sinar jingganya perlahan menghilang tersapu oleh malam.

Begitu pula dengan hidup yang sederhana ini. Sesederhana dengan cinta yang kumiliki. Hanya itu yang kupunya: hidup dan cinta yang sederhana. Cinta yang tak berharta apalagi bertahta. Kesederhanaan lekat dengan kejujuran, apa adanya, dan memunyai harga. Menjadi berharga karena kesetiannya menjaga silaunya dunia di sekelilingnya. Dunia yang penuh dengan kepalsuan dan keberpura-puraan. Cinta yang sengaja dimahalkan dan berpura-pura adalah cinta yang palsu, berlebih-lebihan, dan tentu selalu menyilaukan.

Sekali lagi kukatakan, cinta ini hanya memiliki sinar yang sederhana, namun menawarkan beribu keindahan. Tawarku kepadamu, hanya sebuah cinta sederhana. (*)