Showing posts with label cerpen. Show all posts
Showing posts with label cerpen. Show all posts

30/06/2016

Di Dermaga Pantai Pajalele


(Dimuat di Koran Fajar)

Sudah berkali-kali Bora dan Sara membincang simpulan cinta mereka di masa depan. Namun, berkali-kali pula tidak menuai sepakat karena Sara berkukuh memasrahkan nasibnya kepada Ambo, ayahnya. Mereka memilih bertemu di dermaga Pantai Pajalele-Pinrang yang sudah usang itu, di kampung halaman mereka, untuk melebur resah berdua hingga sirna tersapu malam.
“Bukanlah cinta namanya jika tidak bertumbalkan peluh dan kepiluan. Cinta mutlak diperjuangkan lantaran cinta meniscayakan ketegaran,” ucap Bora kepada Sara setelah Ambo lagi-lagi mengusirnya karena masih datang menawar restu.
Terkadang Bora sesumbar menampakkan keyakinan cintanya. Untuk menghibur perasaan kekasihnya tatkala dilanda pilu, ia selalu antusias mendeskripsikan prosesi impian pernikahan mereka.
“Bayangkanlah, Sara,” ucap Bora bangkit dari duduk, menuntun Sara membayangkan ucapannya. “Kelak cinta kita akan bersanding di pelaminan dekorasi Hajja Lisa. Mukamu akan semringah tatkala indoq botting yang tersohor dari Soppeng itu mulai melukis dadasa di dahimu, lalu membungkus badanmu dengan baju pengantin bersutra merah marun, warna kegemaranmu. Tidak ketinggalan tari padduppa akan digelar meriah untuk menyambutku dan beberapa tetua di ujung atas tangga rumah panggungmu akan menyemaiku dengan beberapa cubit beras. Setelah itu, seorang tetua akan meraih tanganku memasuki ruang akad yang telah dipagari wala suji. Sungguh nyaliku tak akan ciut menjabat tangan Penghulu saat menuntunku merapal ijab kabul. Keluargamu juga tak akan mempermasalahkan jumlah mahar yang dibawa oleh pakkalung somba-ku, bukan?”
“Iya, ya.., tentu saja,” Sara menimpali terbata karena kaget baru tersadar dari lamunannya. Sejak Bora mulai berbicara tadi, dalam benak Sara malah membayangkan kepiluan yang akan menderanya. Sara tahu bahwa Bora akan melakukan segala hal demi membahagiakannya. Namun, Sara masih terlalu segan melukai hati ayahnya.
“Maka simaklah, Sara,” ucap Bora melanjutkan. “Senandung lagu pop Bugis-Melayu akan mengiringi rombongan pengantarku memasuki tenda terowongan tempat pernikahan kita digelar. Para biduan elekton dari Sidenreng itu akan berdendang seharian. Dan, setelah prosesi akad nikah usai, kita akan naik bersanding di singgasana pelaminan impian kita itu. Para undangan akan silih berganti meminta berfoto bersama. Tidakkah semua itu dapat membuatmu senang?”
“Tidak, Bora. Eh, maksudku bukan begitu,” ucapan Sara menjadi tidak keruan. Ia kemudian mencoba untuk tenang. “Ya..., aku senang mendengar semua yang kau katakan tadi. Perempuan mana yang tidak mendamba pernikahan seperti itu? Akan tetapi, bisakah kita tidak memikirkan hal-hal yang masih belum jelas? Sementara, jelas-jelas kau belum mendapat restu dari Ambo, bukan?”
“Apa maksudmu? Kau tak suka dengan impian pernikahan yang kukatakan dari tadi?”
“Maksudku...,” ucapan Sara mentok dan terdiam sejenak. Pikirannya terbayang pada kejadian semalam. Malam di mana ayahnya telah menerima pinangan Haji Puang Rasi, seseorang yang pernah memiliki hubungan dengan Ammak, ibu Sara.
“Mengapa kau diam, Sara?” Bora mendesak.
“Kau masih ingat dengan mendiang Ammak?”
“Tentu. Tapi apa hubungannya dengan Ammak?”
“Sakit yang Ammak derita dulu membuatnya sering keluar-masuk rumah sakit. Ambo dibuat kelimpungan mencari biaya pengobatan dan operasi diabetes Ammak saat itu. Dua petak sawah yang sering digarap Ambo bersama adik-adikku juga sudah raib dijual, dan itupun juga masih belum cukup. Hingga akhirnya, seorang kerabat kami ikhlas memberikan kami bantuan. Dan semalam, perantau dari Samarinda itu, maksudku Haji Puang Rasi, datang ke rumah menemui Ambo dan menyatakan niatnya untuk melamar.”
“Abdul Rasyid si perjaka tua itu, maksudmu?” Amarah Bora mulai tersulut, dahinya berkerut, geram.
Sara terdiam, mulutnya kelu.
“Dan kau menerimanya?”
Sara mengangguk sangat pelan.
“Oh, Tuhan. Tidak, Sara, tidak, tidak…,” ucap Bora membalik badan. Gurat geram di wajahnya kini tampak jelas. “Bukankah tempo hari kita sudah mengikrar sumpah cinta sejati sehidup semati di sini?”
“Cinta adalah keikhlasan, Bora,” Sara meraih lengan Bora. “Kau masih ingat itu, kan? Waktu itu kau bilang bukanlah cinta namanya jika mengharap pamrih dan belas kasih. Katamu kau berjanji akan rutin menderaiku bahagia tanpa pernah aku minta, karena cinta adalah seikhlas-ikhlasnya memberi, bukan meminta. Kau masih ingat, bukan?”
Bora mematung, mencoba untuk tidak mengingat apapun.
“Bisakah kau sedikit saja mencoba memahami keadaan keluargaku dan mencoba mengikhlaskan atas semua yang akan terjadi?” Air mata Sara kini meleleh.
“Tidak, Sara. Sedikitpun aku tak akan iba dengan air mata itu. Demi Tuhan kau telah ingkar.” Bora berlalu meninggalkan Sara terisak sendirian di dermaga Pantai Pajalele yang baru saja tersapu malam.
***
Bora dan Sara selalu mencoba berdamai dengan keadaan, dan pada akhirnya mereka menyadari bahwa keadaan itu pula yang akan membunuh pengharapan mereka satu sama lain. Pun sejoli itu juga telah khusyuk memimpikan bahagia jika saja sudah punya sesuatu yang dibutuhkan untuk hidup bahagia, namun tak juga kunjung bahagia.
Cinta kita mekar di saat yang tak kuingini, dan kini telah tandas di saat yang tak kuingini pula. Kau mewasiatkan petaka untuk menyusulmu melarung ajal, tetapi tak sanggup kuturutkan lantaran undangan pernikahan telah tersebar. Sara membatin. Hening sekitar membuat suasana hatinya sendu hingga bulir-bulir air matanya menetes.
Di mana ketegaranmu meratapi perihnya cinta yang kau bangga-banggakan dulu? Di mana kau sandarkan keyakinanmu dalam memaknai akan cinta-Nya yang dulu selalu kau tasbihkan dalam bait-bait puisimu? Cintakah yang telah membutakanmu, ataukah aku yang telah silap memahami hakikat cinta? Kau yang seharusnya lebih tegar menantang rintang cinta daripada aku yang hanya seorang perempuan lemah. Kaulah yang mestinya lebih ikhlas menanggung cinta ketimbang aku yang hanya dititipi hati yang sudah telanjur rapuh didera air mata dan derita kemiskinan sejak lahir. Sara menyeka air matanya, mencoba untuk tegar.
Jika sebenarnya kau ingin mengadu antara kasih sayang Amboku dengan kesetiaan cintamu, maka sungguh kau tak patut. Inilah kenyataan cinta, Bora. Tegar dan ikhlaslah di dalam makammu.
Sara menghela nafas kemudian mengembusnya keras ke udara. Setelah terdiam beberapa saat, Sara bangkit dari duduknya setelah meratapi sebuah pusara. (*)

Makassar,   Mei 2016

25/01/2016

Poppo'


Pada tengah malam yang purnama, seorang pria hampir memergoki Sanna berseliweran di kolong rumahnya. Anjing menyalak memecah keheningan. Pria itu bergegas ke halaman depan rumahnya menggali sebuah lubang. Dengan memakai sarung dan songkok, pria itu memasukkan kendi berisi ari-ari ke dalam lubang. Ayah dari ari-ari bayi itu melafazkan beberapa mantra kemudian menaburkan segenggam garam dan bawang di selingkaran lubang yang telah dikubur.
Nyalak anjing bertalu-talu. Perhatian Sanna terutuju pada bau anyir di atas rumah panggung pria itu. Hasratnya hampir memudar lantaran rapalan mantra dan bau bawang. Namun, tidak. Liurnya makin membuncah. Dahaganya kian menyiksa. Rambutnya semrawut. Matanya memancar nyala merah. Sanna menunggu perhatian dukun beranak lengah setelah lelah membantu persalinan istri pria itu. Perasaannya berkecamuk karena sudah tak mampu menahan hasratnya yang semakin menyiksa saat purnama datang.
***
Menjelang subuh, tubuh Sanna melesat menuju rumahnya. Tubuhnya melayang ke atas bubung rumah panggungnya, lalu turun ke kamar tidur. Sanna merubah diri. Kini tubuhnya dirasa benar-benar telah pulih seperti manusia biasa.
Lumayan untuk permulaan, batinnya.
Untuk kali pertama, ia merasakan tubuhnya semakin kuat. Semangatnya membara, wajahnya kian menawan. Sanna senang, kemudian terlelap tenang. Akhirnya, malam itu, Sanna luluh menuruti nalurinya menjadi Poppo’. (*)

Keterangan: Poppo’ adalah sosok siluman di kalangan masyarakat Bugis-Makassar
(Dipublish di Novel Nusantara, http://novel.id/t/poppo-umar-mansyur/3092, dan meraih pengahargaan sebagai Cerite Terpendek Terbaik 4)

19/09/2012

Gara-gara Tahi Minyak

Malam hampir larut. Tubuhku tergelatak sekenanya sebab letih yang mendera seharian. Telah kusematkan ego beserta senyumanmu di gudang pikiranku barang sejenak, cuma cemas berdiam menyemai prasangka-prasangka. Tampaknya kini tangguhku hampir meleleh sebab rutin kau sulut dengan alasan jumpa yang mesti selalu diberi jarak. Kau punya argumentasi atas itu dan sepenuhnya belum mampu kupahami. Hidupku perlahan sudah berasimilasi bersama alur kehidupanmu. Namun kadang tertatih merunut maksud-maksudmu. Aku berusaha lentur mengikuti iramamu. Selalu bersenandung sebelum kau memulai melentikkan nada-nada. Menderaimu bahagia sebelum hatimu canggung memintanya. Pun aku akan menghilang sebelum kau bermohon untuk menjauh, sebentar atau bisa saja lama.
Malam sudah terlalu larut. Kelopak mataku telah mengatup menenggelamkan retina. Otot-otot dan persendianku pelan-pelan mengulur ngilu dan sengal. Namun lelap sepenuhnya belum sempurna kurasai lantaran Bandoci dan kawan-kawannya juga sementara asyik bergulat membuat gaduh dari luar kamar. Mereka sedang riuh mempermasalahkan beberapa dari jawaban tebakan-tebakan konyol. Adakalanya kalau sedang tak ada kerjaan, kebiasaannya memang begitu. Seolah-olah tinggal di tengah hutan, tidak peduli dengan ketenangan para tetangga. Risiko tinggal di rumah kontrakan, pikirku.
Terkadang kita –manusia– teguh merapal suatu sabda kebenaran sementara kita berpijak di atas kesalahan yang merapuh.
“Dasar bandit-bandit, tukang rusuh, dan malas disuruh” aku menggerutu.
Ketenanganku terusik. Sekalipun menjadi biang dari segala kekonyolan di rumah, namun mereka juga punya sisi lain yang baik-baik. Selain pandai-pandai memasak, meraka juga taat sembahyang magrib. Hatiku jadi cooling down. Hingga tiba saatnya Bandoci mengajukan sebuah tebakan baru dan menjadi penutup dari acara tebak-tebakan malam itu.
“Naa, ini yang terakhir. Tahi apa yang bisa dimakan?” tanyanya.
Karena soal tebakannya tergolong mudah, kawan-kawan lainnya, termasuk aku –walau hanya mampu menebak dalam hati, serentak menjawab, “tai minynya’,mereka terbahak.
Sekarang aku benar-benar jadi terjaga, tersadar dari kantuk karena sorakannya heboh memecah separuh lelapku. Mereka sudah selesai dengan aksinya dan hendak beranjak tidur. Semantara aku dilanda resah. Gara-gara itu, insomnia mengambil alih situasiku. Nanar tak dapat kutampik. Meluapkan amarah dengan cara apa di saat-saat seperti itu, selain cuma jengkel dan menggerutu. Kucoba menyetel beberapa lagu favoritku dan kukeraskan volumenya sampai mereka sadar akan ketidaknyamananku tadi. Dan ternyata lumayan membantu. Ini bisa menjadi pelajaran bagi siapa pun. Pertama, tak perlu turut serta menjawab tebak-tebakan orang lain jika kau sudah sangat terkantuk-kantuk. Kedua, jika sebelum tidur suasana di sekitarmu sedang gaduh, pasanglah headset dan cobalah setel beberapa daftar lagu melankolis.
Gara-gara tahi minyak mataku sulit terpejam lagi. Tahu-tahu terpaksa aku mengingatmu lagi. Dulu sebelum aku pulang ke kampung, kau menitip pesan supaya dibawakan tahi minyak.
“Ray, jangan sampai lupa yah! Aku sangat suka dengan sambal tai minynya’ racikan ibuku. Apalagi kalau dijadikan isi sayur pare. Sudah terlalu lama aku tidak menikmatinya,” pintamu penuh harap, aku menelan ludah.
Mendengar itu aku tertawa, tetapi cuma dalam hati. Aku hendak memalingkan muka, sejenak untuk terkekah meluapkan tawa yang tertahan. Lagi-lagi aku segan. Raut mukamu terlanjur riang. Ternyata seleramu sedikit kampungan, kataku dalam hati sembari melebarkan senyum.
***
Sumber di sini

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ampas olahan minyak kelentik itu diberi istilah tahi minyak. Orang-orang di kampungku –suku Pattinjo atau masyarakat Bugis pada umumnya– mengucapnya dengan aksen yang sedikit berbeda, tai minynya’. Jadi supaya lebih Indonesia dan terucap nyaman, disebut saja dengan tahi minyak.
Asal kau tahu, Idea. Sunter terdengar kabar dari orang-orang tua yang pernah kutemui bahwa di saat sekarang ini tahi minyak sangat susah didapat. Hal itu dipertegas pula oleh Indo Becce –seorang nenek yang umurnya bisa kutaksir telah mencapai angka ratusan. Terlebih lagi industri per-minyak-kelapa-an sudah banyak gulung tikar sebab kalah saing dengan minyak sawit dan minyak-minyak kemasan yang harganya cenderung jauh lebih murah serta jenisnya variatif pula. Bahkan ada yang bisa langsung diminum. Hebatkan? Yang kutahu minyak kelapa memang bisa diminum hanya ketika seorang ibu hamil ingin melahirkan. Itu ibuku sendiri yang bilang dan pernah dipraktikkan ke kakak iparku. Supaya bayinya licin keluar, katanya. Oleh beberapa dukun beranak di kampungku juga berkata demikian. Dan memang terbukti mujarab.
Tahi minyak yang enak dan bisa dijadikan bahan dasar untuk membuat sambal adalah tahi minyak yang diperoleh dari proses penanakan santan secara langsung. Maksudnya, setelah santan diperoleh dari perasan sari-sari buah kelapa, santan itu langsung ditanak di atas bara api yang stabil. Berbeda jika santan itu didiamkan semalaman dahulu, lalu kumpulan bagian atasnya ditanak. Tahi minyaknya tidak akan sebagus dengan hasil tanakan secara langsung. Biasanya ampasnya hanya dijadikan sebagai bahan campuran untuk pakan ternak saja.

Proses pembuatan minyak kelapa tradisional ini memang tergolong susah dan prosesnya lumayan lama. Dari 20-25 buah kelapa, hanya dapat menghasilkan sekitar 2-3 liter minyak saja. Itu juga bergantung dari jenis kelapanya. Info itu akurat karena dulu ibuku termasuk salah seorang penghasil minyak kelapa rumahan. Kala itu, belum banyak minyak kemasan. Di pasar, minyak kelapa ibuku lumayan dikenal banyak orang karena warna minyaknya tidak terlalu kuning, juga tidak terlampau merah, dan memiliki wangi khas. Hasil seperti itu diperoleh karena proses pengolahannya telaten. Aku senang memperhatikan ibu memeras parutan kelapa dan menanak santannya sampai menjadi minyak. Momentum yang paling kusukai adalah ketika ibu menuangkan hasil akhir dari tanakan santan kelapa itu ke dalam botol-botol sirup bekas. Dan ketika jari-jarinya sudah berlumuran minyak, langsung diusapkan ke rambut bergelombangnya. Selalu ia menawari ke rambutku, namun terlanjur aku kabur duluan. Sekarang, setelah kupikir matang-matang, sekiranya aku selalu menuruti ajakan ibu dulu, mungkin saja rambutku tidak sekering ini.
Saat masih kecil, aku senang menemani ayah mencari dan memanjat kelapa di kebun untuk dipakai ibu membuat minyak. Kadang aku jadi rewel kalau ayah sampai lupa memetikkan buah kelapa muda untukku. Jika dia sampai marah-marah karena itu, ia sering mengancam meninggalkanku sendirian di kebun. Aku takut. Kuburan dekat dari situ. Dengan menggunakan sebuah gerobak kayu rakitan, kami masukkan kelapa-kelapa itu ke dalamnya. Tak lupa aku menghitungnya dengan menggunakan metode hitung khas pedagang kelapa di kampung –istilahnya poto’ dalam persepuluh buah. Kemudian kelapa-kelapa itu kami angkut ke rumah, mendorongnya bersama-sama. Namun sesekali ayah cuma sendirian karena aku naik bertengger di atas gerobak bak seorang kesatria berkuda. Aku membayangkan sosok Sultan Hasanuddin sedang berkuda dengan gagahnya, serupa di poster-poster pahlawan.
Dari ayah aku tahu beberapa teknik memanjat kelapa yang lumayan jitu. Salah satunya yaitu dengan menggunakan tali dari lilitan pelepah daun pisang kering. Kedua ujungnya disambung kemudian dikaitkan pada kedua pergelangan kaki. Pun teknik itu pernah aku praktikkan di umur 14 tahun. Saat itu, setelah pelajaran olahraga, salah seorang teman perempuan satu kelasku sedang manja-manja merayuku untuk memetikkan beberapa buah kelapa muda untuknya di belakang sekolah. Rasa kelaki-lakianku memuncak. Teman-teman yang lain bersorak-sorai dari dalam kelas ikutan meminta jatah. Aku beraksi. Pun beberapa buah kelapa berhasil kupetik, berjatuhan satu per satu. Namun, seturunnya dari pohon, dadaku merah-merah dan terkelupas. Itu perihnya bukan main. Tetapi pantang bagi seorang remaja laki-laki menunjukkan rasa sakit di depan gadis-gadis.
Kisah berlanjut. Di saat bingung mencari tahi minyak, Indo Becce memberi saran agar mencari tahi minyak di suatu pasar.
“Nnyyak, nnyyobha ngo nyari djyi fhacnyar nydjara...,” dia berujar memberi rekomendasi.
Aku paham maksud perkataannya lewat ekspresi wajah dan sorot matanya. Kata ibuku, Indo Becce masih sedarah denganku. Tapi entah mau dirunut dari mana, silsilah tak mencantumkan namanya. Dia juga sering memijatku saat aku masih balita. Saran ibuku, aku disuruh memangilnya Indo’ –serupa sapaan kepada nenek buyut. Sekarang giginya sudah ompong melompong. Kedua bibirnya lemas melentur semakin kendur menjulur ke tanah. Jadi kata-kata yang terucap sudah tidak terlalu jelas lagi.
Esok hari aku bergegas ke pasar yang ditunjukkan Indo Becce semalam. Mudah saja menjumpai pasar itu. Letaknya tak jauh dari jalan raya. Suasananya pun masih sangat konservatif. Belum banyak kios yang sudah terpetak-petak sesuai dengan jatah wilayah jual para pedagang. Kebanyakan pedagang hanya menggunakan hamparan tikar untuk dipakai menggelar barang-barang jualannya. Sebagai pelindung dari panas dan hujan, mereka cuma menggantung terpal seadanya sebagai atap sementara. Boleh dibilang itu pasar kaget karena berada di selasar jalan-jalan. Waktu operasinya dimulai setelah azan subuh sampai pukul sembilan pagi, dan hanya berlangsung di hari senin dan jumat saja.
Tak perlu buang-buang waktu, segera kususur satu demi satu hamparan jualan barang-barang dapur. Pencarianku terfokus di tempat-tempat yang menjual minyak kelapa, karena kupikir tak mungkin barang carianku itu berada di bagian ikan-ikan ataupun cakar –pakaian bekas impor. Dan akhirnya, seperti perkiraan Indo Becce semula, di pasar tradisional itulah aku berhasil menjumpai sekantung tahi minyak yang teronggok bisu menanti kedatanganku. Wajahnya –tahi minyak– tampak semringah. Segera kuraih tanpa banyak tawar pada si pemilik dagangan. Aku menghela nafas kemudian berlalu lekas pulang. Tunggu ini, Idea, bisikku dalam hati.
***
Dan kini malam beringsut menuju hari yang sebentar lagi dini. Aku masih begini, lelap tak kunjung mampu teraih. Prasangka terus berkelebat menjerat rasa dan rasio. Detak jarum jam dinding terdengar rancu mengulur waktu. Senandung lagu-lagu ‘Noah’ mulai terdengar sumbang lantaran sengal berulang-ulang mengikuti irama malam. Angin malam berdesir sumbang semakin merambat memecah keheningan. Cakrawala kosong melompong, sungkan menggubah komposisi nada. Resonansi dari angkasa raya urung mendekap harmonisasi. Semesta berpaling; kau menjauh; aku apatis. Ya sudah, kunikmati ini sendirian. Mainkan saja irama masing-masing.
....
Entah kapan malam berhenti
Teman, aku masih menunggu pagi
....
Malam begini, malam tetap begini
Entah mengapa pagi enggan kembali (Menunggu Pagi, Peterpan). (*)

(Dimuat dalam Antologi Cerpen “Cermin, Nama, dan Pelita”)

Makassar dini hari, 19 September 2012

22/05/2012

Sebab Kau Memanggilku Panjul


(Dimuat dalam Antologi Cerpen Tokoh Utama Pelajar Season II)

Kawan, betapa kita benar-benar sudah sampai di sini. Banyak hal yang telah kita reduksi bersama. Memproyeksi waktu sesuka hati, tanpa harus tunduk dengan aturan yang telah ada. Kadang kita adalah benalu, kadang pula jemaah alim berlalu. Berat memberainya dengan alasan mimpi dan kenyataan hidup masing-masing. Berdua kita sudah sampai di titik ini. Bukan, kita baru sampai pada koma-koma cerita ini.

Kita sama-sama hening mengamati objek yang serupa. Kemudian sekejab bersitatap lalu saling mendaratkan tepukan persahabatan di pundak satu sama lain.

“Panjul, sukses kawan!”

“Goras, sukses juga kawan!”

Secarik ijazah ini janganlah menjadi sebab terhadap akibat ngeri yang tak rela kita namai nanti. Pisah ini hanyalah awal dari berjuta jumpa dan canda selanjutnya di kemudian hari. Kita adalah hujan. Kita menguap bersama, merintik bersama, kemudian terberai ke sana kemari, memisah diri karena sungai yang beraneka lintas. Jangan takut, kita akan bermuara di tempat yang sama. Kelak, aku akan mencarimu di sana, pun kau akan menemuiku di sana. Lalu kita melanjutkan cerita tentang kita selanjutnya.

***

“Hei, Kamu ke sini!”

Beberapa kakak senior mencoba mengerjaiku. Mungkin karena tubuhku kecil dan kurus, menurutnya akulah sasaran empuk buat mereka untuk menjajal siksanya.

“Iya, Kak. Saya?”

Aku pura-pura tak tahu apa-apa, mencoba bertanya ulang. Aku baru sadar, tugas membawa sapu lidi tertinggal di dalam angkot tadi. Sial benar aku hari ini. Susah payah membuat sapu itu kemarin. Sampai-sampai harus mencuri sapu milik nenekku yang ikatan dan panjangnya sudah kupermak ulang.

“Iya, Kamu, dasar panjul. Cepat ke sini!”

Kakak senior itu tampak kesal. Maka mengudaralah kata ‘panjul’ menjijikkan itu. Bagiku kata itu sangat memalukan. Hal inilah yang selalu membuatku malas mengikuti kegiatan MOS sekolah. Pasalnya kepala harus diplontos, licin seperti tuyul. Kau kan tahu sendiri bentuk kepalaku tidaklah sesempurna dengan milikmu, kawan. Bentuknya kurang menyerupai kepala manusia pada umumnya, agak lancip ke atas sampai ke belakang. Sudahlah, aku tahu kau pasti menertawainya.

“Iya, Kak. Ada apa?”

“Pake nanya. Push up tiga puluh kali. Cepat, Panjul!”

Melakukan push up sebanyak itu tak jadi masalah buatku. Tapi kalau kata sapaan Panjul yang memalukan itu turut serta, kurasa hukumannya seakan tiga kali lipat saja.

“Maaf, Kak?

Samar-samar aku mendengar suaramu. Terlalu berkonsentrasi dengan hukumanku. Menoleh pun aku tak mampu. Baru sampai di hitungan kesepuluh saja sendi-sendi pergelanganku terasa kaku seperti engsel jendela tua berkarat yang dipaksa terbuka.

“Ini sapu lidi milik teman saya yang sedang dihukum itu, Kak,” kau mencoba memberikan pleidoi kepada beberapa kakak senior yang berlagak bak seorang hakim.

“Hei cukup, Panjul. Cepat gabung dengan temanmu di sana!” perintah seorang kakak senior seketika memberikan putusan tanpa didahului oleh keberatan para saksi.

Nanar aku melihat mereka yang berlagak sok jagoan. Percuma juga dengan putusannya itu. Toh push up ku sudah sampai di hitungan dua puluh sembilan. Mereka untung lebih duluan masuk ke sekolah ini. Salah satu budaya rekrutmen dalam pendidikan sekolah yang tak patut dilestarikan lagi.

“Ayo, Kawan. Cepat, kita ke sana!” ajakmu penuh hangat, seolah akrab bertahun-tahun.

Membelalak aku menatapmu. Kau menopangku bangkit dari jeratan siksa itu, kemudian menuntunku berjalan. Aku masih bingung saat itu. Kau itu siapa? Tiba-tiba menampakkan diri bak seorang malaikat tak bersayap saja. Pun aku baru ingat. Kau satu angkot denganku ke sekolah pagi tadi. Karena sapu lidiku tertinggal, mungkin kau yang mengambilnya, lalu mengajukannya kepada kakak senior itu dan membatalkan hukumanku.

Sejak saat itulah kau memanggilku dengan nama Panjul. Awalnya aku sedikit kesal, tapi dengan apa yang telah kau berikan hari itu, pun aku pasrah saja mendengarnya.

Kali ini kau pasti akan sombong karena harus menceritakan ciri fisikmu. Mau apa lagi, kenyataannya memang begitu. Aku tertinggal jauh darimu, kawan.

Badanmu tampak jauh lebih sempurna jika tubuhku yang jadi komparasinya. Tubuhmu kekar tanda kerasnya pekerjaanmu sebagai seorang petani yatim dengan adik sebanyak tiga. Alismu tebal seperti semut hitam beriring tertib. Hidungmu mancung tegak menopang kedua bola matamu yang sayup. Suaramu terdengar berat, bicara seadanya saja, mengisyaratkan jeritan beban keluarga yang betah kau bungkam. Namun, sesekali candaanmu membuatku sampai terpingkal-pingkal cekikikan. Ternyata humoris juga dirimu.

Kesimpulannya, dirimu tampan, kawan. Wajar saja pada pemilihan siswa baru kategori ‘tergagah’, kau yang menggaetnya secara aklamasi. Pun ada beberapa kakak senior perempuan yang mengirimkan salam padamu. Aku iri padamu, kawan. Aku hanya melongok pasrah menelan ludah, kasihan tak satupun masuk nominasi. Minimal kategori siswa baru ‘terlucu’ kek, ‘terunik’, atau apa sajalah. Sekadar untuk pasang aksi saja kepada siswi-siswi baru itu. Barangkali ada yang diam-diam menaruh hati padaku.

Kupikir sudah cukup. Selanjutnya, giliranku menceritakan keunggulanku sendiri. Kelebihanku ini ternyata adalah kekuranganmu, kawan.

“Panjul, kau tau? Dari namanya saja, guru matematika kita ini orangnya pasti santun, lembut dan bersahaja. Percayalah!” komentarmu senang merajai ketakmampuanmu pada mata pelajaran itu.

Tentu kau masih ingat dengan salah satu guru kita itu. Ya, betul. Pak Asri namanya. Seperti interpretasimu dulu, kala menjelaskan sosoknya yang santun dan bersahaja kepadaku. Saat itu kita sedang sibuk berdesak-desakan dengan para siswa baru lainnya ketika menulis jadwal mata pelajaran baru. Tak jarang banyak teman kita yang pria -termasuk diriku- sengaja memanfaatkan kesempatan langka seperti itu. Maklum, banyak juga siswa perempuan yang ikutan nimbrung berjibaku di sana. Kesempatan dalam kesempitan, katamu.

“Anak-anak, buka buku paketnya halaman empat puluh enam!”

Sudah menjadi kebiasaan Pak Asri ketika mengajar, selalu memulainya dengan arahan memerhatikan halaman pada buku paket yang ada soal latihan dan tugas-tugasnya. Sering tanpa didahului dengan penjelasan rumus-rumus sebelumnya, imbasnya banyak teman yang kelabakan, kebingungan tak mengerti.

“Sudah lihat, anak-anak? Kerjakan nomor satu sampai lima! Angkat tangan bagi yang sudah selesai!”

Rasanya enak benner menjadi guru seperti dia. Kerjanya cuma memberi perintah seperti itu. Seketika berlalu minggat meninggalkan ruangan kelas dengan alasan ada rapat di kantor.

Saat itu aku agak resah. Resah bukan karena soal latihan yang sukar dari Pak Asri. Melainkan gelisah karena kau belum tampak sedari pelajaran dimulai. Kau teramat sulit untuk dihubungi karena handphone-mu telah kau jual demi untuk tambahan biaya sekolah adik-adikmu. Aku baru ingat, kau terlambat masuk sekolah hari itu. Keesokan hari barulah aku tahu musababnya. Ternyata ada masalah dengan adik bungsumu yang masih duduk di bangku sekolah dasar kelas tiga. Adikmu enggan masuk sekolah lantaran malu pada teman-temannya yang selalu mengejeknya karena ujung sepatunya sudah bolong-bolong. Katanya dengan polos, “sepatuku seperti ikan yang mangap-mangap kelaparan, Kak.” Kau terlambat ke sekolah karena harus meyakinkan adikmu dulu sampai ia bersedia mau masuk sekolah lagi. Ibumu sedang sakit, kau yang harus menjahit sepatunya.

“Saya sudah, Pak!” penuh semangat aku mengangkat tangan ketika Pak Asri kembali masuk ke dalam kelas.

“Yang lain bagaimana?”

Tak satupun yang menggubris tanya guru sangar itu, terkecuali aku sendiri. Aku keranjingan betul dengan pelajaran Matematika. Cuma butuh waktu beberapa menit saja soal-soalnya sudah kuselesaikan. Tak kubiarkan seorang pun mendahuluiku mengangkat tangan. Aku telah menjadi siswa kesayangannya, kebanggaan Pak Asri.

“Yang lain bagaimana? Hei..., kalian tuli ya? (prraaakkk...)”

Kali ini Pak Asri mulai beringas memberi tanya. Sebuah pukulan ke meja dia daratkan, mempertegas betapa pentingnya sebuah pertanyaan yang harus dijawab. Tampak beberapa teman sudah gemetaran. Biasanya kalau sudah sampai pada kondisi seperti ini, mesti ada yang harus rela menerima tepukan kerasnya. Yaa, paling cuma mendarat di pundak dan di pipi saja. Atau biasanya tendangan maut yang mendarat di bokong. Semuanya tampak khusyuk ketakutan, berharap tak kena sial hari itu.

“Tok.. tok.. tok... Assalamu alaikum, Pak!” kau memberi salam, petantang-petenteng masuk ke dalam kelas.

Hening seketika membuncah ketika kau masuk. Pak Asri geram tampak siap menerkam. Tepukan dan tendangannya yang kuceritakan tadi, terpaksa kau yang yang harus merasakannya. Malang nian nasibmu, kawan.

Pak Asri menyeretmu maju ke depan kelas setelah melancarkan aksi heroiknya itu. Kemudian kau disuruh untuk mengerjakan salah satu soal latihan yang penyelesaiannya menggunakan rumus phytagoras. Saat itulah aku baru tahu kalau kau buntu dalam pelajaran Matematika. Rumus apapun tak kau mengerti. Menuliskan rumus phytagoras saja kau tak mampu. Pun tepukan dan tendangan guru bersahajamu itu kembali mendarat di pundak dan bokongmu. Kawanku yang malang, phytagorasku sayang. Sejak kejadian itu, aku lebih suka memanggilmu Goras. Hitung-hitung balas dendamku karena telah memanggilku Panjul. 

***

Hidupmu memang tak seburuntung diriku. Tapi banyak pelajaran yang telah kuambil dari ketegaranmu menjalani hidup. Kau bahkan tak pernah menyesali diri. Terlalu cepat sosok Ayah berlalu meninggalkanmu. Terlalu dini dirimu memikul beban sebagai tumpuan keluarga dengan adik-adik sebanyak tiga. Sedangkan aku? Aku hanyalah seorang bungsu yang cengeng. Lemah tak teguh pendirian, serta naif merasai segala hal. Tapi beruntung aku memiliki sahabat sepertimu. Seandainya saja kau ditakdirkan hidup sebagai saudaraku, sebagai kakak kandungku. Betapa bahagianya aku, kawan.

Banyak mimpi yang telah kurajut. Pun sosokmu telah kuseret ke dalam mimpi-mimpi besarku itu. Selepas pendidikan sekolah menengah atas ini, mimpi-mimpi itu akan mulai kutapaki meski harus lelah bersimbah keringat. Hari ini bukanlah akhir dari segalanya. Kisah tentang kita, tentang kau dan aku, tentang Goras dan Panjul, senantiasa terpatri dalam sanubari ini. Kelak kisah ini akan kunamai, tatkala mimpi-mimpi itu telah mewujud, kawan.

Seperti dulu kau pernah mengkhotbahku, jangan redam melanglangkan mimpi. Mantapkan keyakinanmu tentang cita-cita dan harapan akan jalan yang ingin kau susur. Orang yang memiliki keberanian memimpi tentu jauh melesat dari mereka yang sungkan berkhayal tentang apa-apa. Tidakkah kau berpikir bahwa segala hal yang besar di dunia ini berangkat dari debar angan yang mendebur? Berangkat dari sebuah pilihan mengingini yang tertumpah dari khayalan-khayalan sederhana kemudian bermuara pada sebuah hasil besar.

Tak selamanya kita bisa bersama, pun mungkin tak selamanya kita terpisah. Tapi tetap kau adalah sabahatku, selamanya.

Rentang waktu memang telah memaparkan rincian nasib kita yang akan jauh berbeda. Namun bagiku, jarak tahun ke tahun hanyalah sebuah relativitas. Sebuah permulaan yang berubah menjadi permulaan kembali. Suatu masa selalu menuju ke pemberhentian, namun hanya untuk memastikan dimulainya kembali sebuah permulaan. Layaknya siklus, berulang dan terus berlanjut. Dunia tak membiarkan suatu hal berhenti sepenuhnya, tak ada yang benar-benar selesai. Keterbatasan tak selamanya berakhir miris. Padamu, mimpi itu kulekatkan juga. Padamu, kusisipkan serapan dari  khotbahmu sendiri.

“Sampai bertemu kembali, Panjul sahabatku!”

Kali ini aku tak kuasa menimpali. Segera kurengkuh tubuhmu tanpa reda, erat mengikat tanda pisah yang harus segera disalami.

Pada hati masing-masing, kita sudah terlanjur memahat nama sahabat satu sama lain. Aku sahabatmu, kau sahabatku. Darimu aku bisa berani bermimpi. Darimu kedewasaan diri perlahan mulai kumaknai. (*)

Makassar, 12 Maret 2012