percikan


Walau masih temaram, cahaya itu perlahan mulai beranjak menghapus jejak gelap yang tampak letih menanggung malu. Jangan tercengang bahkan larut dalam kebenderangannya, bisa-bisa kita silau kemudian akan terjatuh lagi.
***

Sedikit kenikmatan itu hanya bisa kutilik pada sisi imajinasi murahan dan seronok. Cuma itu, tak dapat kusentuh, sampai akhirnya ranum kemudian membusuk. Kuberontak walau hanya untuk menghirup wangi pekat busuk sari-sarinya. Itulah akibat dari kenikmatan yang tak direnggut, ia hanya akan membusuk sia-sia, gagal karena nikmatnya tak dijamah walaupun cuma disentuh.
***

Gelagat hati-alam yang berdinamika fluktuatif hanyalah mekanisme sirkulatif semata, keniscayaan, atau telah menjadi predestinasi-Nya. Kepasrahan ataupun keresahan akan selalu terakumulasi pada beragam opini prematuristik yang menduga-duga dan tak berdasar. Biarkan terjadi seperti yang seharusnya, hukum alam telah menasbihkan itu, percayalah.
***

Telah sampai pada titik kulminasi kejenuhan akan ketabahannya yang selalu diusik tak wajar, membuat separuh hatinya telah mati rasa oleh sayatan-sayatan perih tak berluka karena janji-janji inkonsistensif bertahta bualan. Hingga di akhir rasa kemanusiaannya hanya mampu menengadah pasrah memohon doa dengan sebelah tangan saja.
***

Akan tetap statis pada satu hati, stagnan tak berpaling, kemarin, saat ini, esok, selamanya.
***

Gersang akan jadi konsekuensi tapi tetap istikamah menanti hujan yang periodik walau sering deraiannya masih mendahaga. Ada asa melambung tak terperi melihat sebidang langit berkalung awan hitam, berikut kilatan petir memecah lamunan para pembual. Sedikit pun tak bergeming meski lelah bertahtakan kering yang kerontang. Tanah.
***

Mengapa kita menjadi manusia yang periodik yang hanya mengucapkan kata ‘maaf’ pada hari-hari tertentu saja? Lihatlah, semuanya menjadi seragam, sama, dan semakna.  Tak perlu berusaha untuk menjadi seperti mereka dalam berkurban, keteladanan mereka teramat mulia jika dikomparasikan dengan pengorbanan kita.
***

Jiwanya telah remuk kini. Dalam kebungkaman, ia mendendangkan nyanyian kematian dari syair-syair amarah yang telah lama mengepul di langit. Lirik yang ditulis dengan tangis yang bersimbah darah, terbang ke langit menyeruak awan hitam, bergemuruh sebagai halilintar, berkilatan sebagai petir, kemudian turun menjadi hujan merah yang mendarah-darah.
***

Dalam hidupnya, manusia senantiasa diperhadapkan pada hal-hal yang membingungkan karena dibekalinya akal dengan kapasitas yang hanya menjangkau pada hal-hal yang kasat mata saja. Beberapa pilihan akan hidup yang ‘hitam-putih’ telah banyak membuat mereka kerdil dalam memaknai hidup yang ambiguitas. Pelajarilah makna hidupmu dengan cermin hidupmu.
***

Sudah lama ia telah hidup kini. Separuh dari hidupnya telah kami reduksi bersama, berharmoni pada beragam kisah, baik yang telah bernama maupun dengan keterpaksaan memberikannya sebuah nama. Semoga tetap progresif menanggalkan dekadensi. Selamat ulang tahun.
***

Jangan menyimpan Tanda Tanya di tempat Allah menyimpan Tanda Titik, tetapi lanjutkan hidup ini setelah Tanda Titik yang Allah tempatkan dengan kalimat-kalimat yang lebih baik dari sebelumnya.
***

Pulangkan aku ke kilometer nol. Bukan jarak horizontal duniawi yang ingin kuukur, melainkan tinggi vertikal iman yang ingin kudesimalkan.
***

Ada jejak tapak kaki tak beralas mengerucut pada sebuah  bilik pesakitan. Semalam langkahnya mengendap-ngendap berharmoni dengan rintik hujan, membuyarkan  tatanan mimpi yang hampir paripurna. Masih berkilah ia pada kisah faktual yang sebentar lagi menjerumuskannya pada bilik pesakitan itu.
***

Senja beranjak dari peraduannya tatkala malam mulai menghampirinya, menyibakkan cahaya redup kemerahan, menyeruak ke celah-celah awan di ujung samudera yang membiru.
***

Selanjutnya takkan ada lagi jumpa yang memerahkan muka, saling menundukkan pandangan, tanda mau yang malu-malu.
***

Hujan sore ini seakan mengisyaratkan jeritan hati seorang terkasih. Berceloteh tentang kejujuran kepada senja yang selalu setia ditelan malam. Takkan ada pelangi setelah hujan ini, takkan ada dusta setelah janji ini.
***

Semua kita pernah jatuh tersungkur kemudian tersingkir lemah tak berdaya. Disudutkan pada perspektif yang berat sebelah, dihinakan oleh beragam cemooh yang mencerca, dikucilkan dalam sistem masyarakat yang kadang hipokrit. Memang sulit untuk disudahi tapi mulailah untuk mengakhiri.
***

Kering tak terisi, inspirasi bahkan ilham enggan mengisi. Berkalut sepi, tak ada motivasi. Memekik hati yang kian memilu lantaran sang pujangga kehilangan taji, tumpul tak lagi punya nyali.
***

Ingatlah, kemarin kita pernah berdebat tentang kehidupan, meragukan keniscayaan-Nya, seakan hidup untuk selamanya. Lihatlah, hari ini bertaburan syair-syair nan syahdu dalam untaian kata ‘maaf’, seakan dosa dan kesalahan seketika terhapus. Dan yakinlah, pada saatnya nanti keseragaman keyakinan akan menenggelamkan keragaman persepsi, seakan bertasbih bahwa kita adalah sama di mata Tuhan.
***

Miris melihat mereka yang salah terus-menerus. Takjub mendengar mereka yang lolos dengan mulus. Lantas diriku Engkau takdirkan yang mana? Mereka bilang “roda terus berputar, kadang di atas kadang di bawah”. Terus kusanggah “roda kadang berhenti dari putarannya, tak selamanya terus berputar”.
***

Di kaki langit telah kusematkan bahagia bersamamu. Melayang tinggi menyeruak awan putih cinta. Kemudian kukalungkan harapan bertahtakan janji yang suci, janjiku kepadamu.
***

Kurangkai rinai hujan ini hingga mengalun melodi rintik yang apik, berharmoni merdu menyibakkan cahaya kemerahan di ujung senja. Tatkala ragu mencabik-cabik keistikamahan tentang kesetiaan yang selalu mereka perdebatkan, kutakkan berpaling apalagi menjauh. Kuhanya merintik sejenak bersama rinai terakhir hujan itu, tenggelam bersama sinar kemerahan itu di ujung senja sore ini.
***

Fajar merangkak pelan, tegar menggerayangi perbukitan yang masih terlelap, imbas dari mimpi tentang kehancurannya di akhir kehidupan manusia. Akhir-akhir ini, ia terus dihantui oleh mimpi itu tatkala air dan angin telah menunjukkan tanda-tanda dimulainya kehancuran itu.
***

Wangi siang yang semakin menerik, berfotosintesis bersama angin rindu yang menyepoi canggung di sela lamunanku, menghelai nyiur di tepi padang ilalang, selaras dengan derak langkah para anak sekolah, pontang-panting melangkah pulang dengan segudang tugas dan dahaga.
***

Bukan tragedi ataupun cerita cinta kawan, melainkan sebuah kisah yang selalu gamang untuk kusenandungkan. Masa itu telah lama usai. Biarkan ia berkisah kepada pewarisnya kelak, tatkala mereka mulai rindu pada kenangan dan kerinduan. Ada tanda yang tak pernah akan ranum sekaligus enggan untuk gugur.
***

Sinar fajar mulai memindai perbukitan dan pohon-pohon yang tampak masih basah, membiaskan cahaya redup pada jendela usang tak bertirai di sudut kamarku. Tiap pagi, sengaja kuarahkan wajah ini ke sana, berharap sang fajar bangunkanku dari lelap dengan sinarnya. Aku tahu ia tak akan pernah ingkar ataupun lelah melakukannya setiap pagi, karena ia adalah kesetiaan.
***

Kepada kalian yang telah berjasa, tak cukup kata dan air mata untuk membalasnya. Jasamu akan tetap terkenang dan abadi, terpatri pada altar nurani yang suci.
***

Mengapa di senja kemarin pelangi eggan menampakkan wujud keindahannya? Sementara secara a priori kemunculannya saat itu potensial terjadi. Mungkin terlalu sederhana menggeneralisasikan sesuatu yang masih direka-reka, sebuah bentuk fallacy dalam berlogika, apatah lagi dalam nuansa kehidupan yang sebenarnya. Terkadang manusia begitu mudahnya memberikan judgment pada pernyataan yang masih pantas untuk diragukan. Perlu banyak fakta dengan analisis yang tajam dalam mengungkap suatu keraguan. Mengungkap realitas yang tersembunyi bukanlah hal yang mudah.
***

Ini sudah akhir ataukah masih menjadi awal dari pengembaraan yang masih samar-samar itu? Kosong, hampa, lagi tak ada gairah hidup. Kupikir beberapa celah yang telah kusibaki itu telah jadi sumbu dari ketetapan tentang kesempurnaan hidup? Senang, riang, lagi tak ada beban pikiran. Siapa nyana malah masih terentang beragam misteri, membenalu pada harapan dan mimpi-mimpi indah yang sering mereka celotehkan. Terbuai. Tidakkah ini terlalu sulit untuk diriku yang hidup dengan keraguan? Hidup dengan beragam kemungkinan sangatlah berat, penat, lagi membosankan. Tetap, kumasih bimbang dan meragu...!!!
***

Mantapkan lalu sampaikan, meskipun terngiang samar karena terpaan angin yang menyepoi sinis lantaran sang dewi tak berterima dengan lantunannya di beberapa malam. Katakan, aku  hanya sedang gelisah, bukanlah galau! Gelisahmu yang terus kau pacu laksana bom waktu yang akan meledak, melepasmu dari belenggu mitos yang menyumpah-nyumpah, menembus langit prasangka para pencibir, hingga ke singgasana cita yang semakin meranum. Galau hanya akan semakin menciutkan nyali cintamu, mengerdilkan megah mimpimu, meremukkan kokoh pendirianmu. Katakan sekali lagi, aku hanya sedang gelisah, bukanlah galau!
***

Kenyataan yang berbeda.  Beberapa kali telah kucoba, tak dapat kumungkiri, aku galau juga. Mungkin imbas dari jumpa yang malu-malu di suatu saat yang lalu. Siang serasa malam, dan malam seakan tak berujung. Parah, tak tahu mau apa, lagi buntu tak berarah. Tentangnya, beberapa tahun silam telah aku tidurkan bersama sepenggal mimpi yang tak sempat paripurna. Nyatanya, ia terbangun pada suatu kondisi yang tidak tepat. Jadinya, galau segalau-galaunya.
***

Tak ada yang peduli mengapa rembulan teramat setia kepada malam. Dengan rela menerima titah sang fajar, menyerap sinarnya di terik siang kemudian memantulkannya dikelam malam, meskipun kadang tampak redup karena ulah iseng awan gelap di musim tanam. Perubahan bentuknya pun teratur apik, selaras dengan siklus alam. Membentuk sabit di awal kemunculannya hingga purnama di belasan malam. Menjadikannya dasar dalam sistem penanggalan manusia, walau sering menimbulkan perdebatan dalam sidang isbat para alim ulama. Ia mungkin sadar bahwa kesetiaan tak perlu orasi, apologi, apalagi sebuah deklarasi. Tak ada yang pantas dipuji, tak ada yang patut disesali. Kesetiaan cukup diyakini dengan hati yang suci.
***

Jangan karena hanya ingin mengucapkan Selamat Natal kepada 10 teman, tetapi malah menyakiti 100 teman. Baiknya kirim ucapan secara pribadi saja atau datangi rumahnya, berikan hadiah, lalu makan bersama. Daripada dipajang di media sosial, memancing debat kusir, bersilang dalil dan pendapat, hingga sumpah serapah. Dan tahun depan, kita pasti masih akan ribut hal yang sama.
***

No comments:

Post a Comment