22/05/2012

Sebab Kau Memanggilku Panjul


(Dimuat dalam Antologi Cerpen Tokoh Utama Pelajar Season II)

Kawan, betapa kita benar-benar sudah sampai di sini. Banyak hal yang telah kita reduksi bersama. Memproyeksi waktu sesuka hati, tanpa harus tunduk dengan aturan yang telah ada. Kadang kita adalah benalu, kadang pula jemaah alim berlalu. Berat memberainya dengan alasan mimpi dan kenyataan hidup masing-masing. Berdua kita sudah sampai di titik ini. Bukan, kita baru sampai pada koma-koma cerita ini.

Kita sama-sama hening mengamati objek yang serupa. Kemudian sekejab bersitatap lalu saling mendaratkan tepukan persahabatan di pundak satu sama lain.

“Panjul, sukses kawan!”

“Goras, sukses juga kawan!”

Secarik ijazah ini janganlah menjadi sebab terhadap akibat ngeri yang tak rela kita namai nanti. Pisah ini hanyalah awal dari berjuta jumpa dan canda selanjutnya di kemudian hari. Kita adalah hujan. Kita menguap bersama, merintik bersama, kemudian terberai ke sana kemari, memisah diri karena sungai yang beraneka lintas. Jangan takut, kita akan bermuara di tempat yang sama. Kelak, aku akan mencarimu di sana, pun kau akan menemuiku di sana. Lalu kita melanjutkan cerita tentang kita selanjutnya.

***

“Hei, Kamu ke sini!”

Beberapa kakak senior mencoba mengerjaiku. Mungkin karena tubuhku kecil dan kurus, menurutnya akulah sasaran empuk buat mereka untuk menjajal siksanya.

“Iya, Kak. Saya?”

Aku pura-pura tak tahu apa-apa, mencoba bertanya ulang. Aku baru sadar, tugas membawa sapu lidi tertinggal di dalam angkot tadi. Sial benar aku hari ini. Susah payah membuat sapu itu kemarin. Sampai-sampai harus mencuri sapu milik nenekku yang ikatan dan panjangnya sudah kupermak ulang.

“Iya, Kamu, dasar panjul. Cepat ke sini!”

Kakak senior itu tampak kesal. Maka mengudaralah kata ‘panjul’ menjijikkan itu. Bagiku kata itu sangat memalukan. Hal inilah yang selalu membuatku malas mengikuti kegiatan MOS sekolah. Pasalnya kepala harus diplontos, licin seperti tuyul. Kau kan tahu sendiri bentuk kepalaku tidaklah sesempurna dengan milikmu, kawan. Bentuknya kurang menyerupai kepala manusia pada umumnya, agak lancip ke atas sampai ke belakang. Sudahlah, aku tahu kau pasti menertawainya.

“Iya, Kak. Ada apa?”

“Pake nanya. Push up tiga puluh kali. Cepat, Panjul!”

Melakukan push up sebanyak itu tak jadi masalah buatku. Tapi kalau kata sapaan Panjul yang memalukan itu turut serta, kurasa hukumannya seakan tiga kali lipat saja.

“Maaf, Kak?

Samar-samar aku mendengar suaramu. Terlalu berkonsentrasi dengan hukumanku. Menoleh pun aku tak mampu. Baru sampai di hitungan kesepuluh saja sendi-sendi pergelanganku terasa kaku seperti engsel jendela tua berkarat yang dipaksa terbuka.

“Ini sapu lidi milik teman saya yang sedang dihukum itu, Kak,” kau mencoba memberikan pleidoi kepada beberapa kakak senior yang berlagak bak seorang hakim.

“Hei cukup, Panjul. Cepat gabung dengan temanmu di sana!” perintah seorang kakak senior seketika memberikan putusan tanpa didahului oleh keberatan para saksi.

Nanar aku melihat mereka yang berlagak sok jagoan. Percuma juga dengan putusannya itu. Toh push up ku sudah sampai di hitungan dua puluh sembilan. Mereka untung lebih duluan masuk ke sekolah ini. Salah satu budaya rekrutmen dalam pendidikan sekolah yang tak patut dilestarikan lagi.

“Ayo, Kawan. Cepat, kita ke sana!” ajakmu penuh hangat, seolah akrab bertahun-tahun.

Membelalak aku menatapmu. Kau menopangku bangkit dari jeratan siksa itu, kemudian menuntunku berjalan. Aku masih bingung saat itu. Kau itu siapa? Tiba-tiba menampakkan diri bak seorang malaikat tak bersayap saja. Pun aku baru ingat. Kau satu angkot denganku ke sekolah pagi tadi. Karena sapu lidiku tertinggal, mungkin kau yang mengambilnya, lalu mengajukannya kepada kakak senior itu dan membatalkan hukumanku.

Sejak saat itulah kau memanggilku dengan nama Panjul. Awalnya aku sedikit kesal, tapi dengan apa yang telah kau berikan hari itu, pun aku pasrah saja mendengarnya.

Kali ini kau pasti akan sombong karena harus menceritakan ciri fisikmu. Mau apa lagi, kenyataannya memang begitu. Aku tertinggal jauh darimu, kawan.

Badanmu tampak jauh lebih sempurna jika tubuhku yang jadi komparasinya. Tubuhmu kekar tanda kerasnya pekerjaanmu sebagai seorang petani yatim dengan adik sebanyak tiga. Alismu tebal seperti semut hitam beriring tertib. Hidungmu mancung tegak menopang kedua bola matamu yang sayup. Suaramu terdengar berat, bicara seadanya saja, mengisyaratkan jeritan beban keluarga yang betah kau bungkam. Namun, sesekali candaanmu membuatku sampai terpingkal-pingkal cekikikan. Ternyata humoris juga dirimu.

Kesimpulannya, dirimu tampan, kawan. Wajar saja pada pemilihan siswa baru kategori ‘tergagah’, kau yang menggaetnya secara aklamasi. Pun ada beberapa kakak senior perempuan yang mengirimkan salam padamu. Aku iri padamu, kawan. Aku hanya melongok pasrah menelan ludah, kasihan tak satupun masuk nominasi. Minimal kategori siswa baru ‘terlucu’ kek, ‘terunik’, atau apa sajalah. Sekadar untuk pasang aksi saja kepada siswi-siswi baru itu. Barangkali ada yang diam-diam menaruh hati padaku.

Kupikir sudah cukup. Selanjutnya, giliranku menceritakan keunggulanku sendiri. Kelebihanku ini ternyata adalah kekuranganmu, kawan.

“Panjul, kau tau? Dari namanya saja, guru matematika kita ini orangnya pasti santun, lembut dan bersahaja. Percayalah!” komentarmu senang merajai ketakmampuanmu pada mata pelajaran itu.

Tentu kau masih ingat dengan salah satu guru kita itu. Ya, betul. Pak Asri namanya. Seperti interpretasimu dulu, kala menjelaskan sosoknya yang santun dan bersahaja kepadaku. Saat itu kita sedang sibuk berdesak-desakan dengan para siswa baru lainnya ketika menulis jadwal mata pelajaran baru. Tak jarang banyak teman kita yang pria -termasuk diriku- sengaja memanfaatkan kesempatan langka seperti itu. Maklum, banyak juga siswa perempuan yang ikutan nimbrung berjibaku di sana. Kesempatan dalam kesempitan, katamu.

“Anak-anak, buka buku paketnya halaman empat puluh enam!”

Sudah menjadi kebiasaan Pak Asri ketika mengajar, selalu memulainya dengan arahan memerhatikan halaman pada buku paket yang ada soal latihan dan tugas-tugasnya. Sering tanpa didahului dengan penjelasan rumus-rumus sebelumnya, imbasnya banyak teman yang kelabakan, kebingungan tak mengerti.

“Sudah lihat, anak-anak? Kerjakan nomor satu sampai lima! Angkat tangan bagi yang sudah selesai!”

Rasanya enak benner menjadi guru seperti dia. Kerjanya cuma memberi perintah seperti itu. Seketika berlalu minggat meninggalkan ruangan kelas dengan alasan ada rapat di kantor.

Saat itu aku agak resah. Resah bukan karena soal latihan yang sukar dari Pak Asri. Melainkan gelisah karena kau belum tampak sedari pelajaran dimulai. Kau teramat sulit untuk dihubungi karena handphone-mu telah kau jual demi untuk tambahan biaya sekolah adik-adikmu. Aku baru ingat, kau terlambat masuk sekolah hari itu. Keesokan hari barulah aku tahu musababnya. Ternyata ada masalah dengan adik bungsumu yang masih duduk di bangku sekolah dasar kelas tiga. Adikmu enggan masuk sekolah lantaran malu pada teman-temannya yang selalu mengejeknya karena ujung sepatunya sudah bolong-bolong. Katanya dengan polos, “sepatuku seperti ikan yang mangap-mangap kelaparan, Kak.” Kau terlambat ke sekolah karena harus meyakinkan adikmu dulu sampai ia bersedia mau masuk sekolah lagi. Ibumu sedang sakit, kau yang harus menjahit sepatunya.

“Saya sudah, Pak!” penuh semangat aku mengangkat tangan ketika Pak Asri kembali masuk ke dalam kelas.

“Yang lain bagaimana?”

Tak satupun yang menggubris tanya guru sangar itu, terkecuali aku sendiri. Aku keranjingan betul dengan pelajaran Matematika. Cuma butuh waktu beberapa menit saja soal-soalnya sudah kuselesaikan. Tak kubiarkan seorang pun mendahuluiku mengangkat tangan. Aku telah menjadi siswa kesayangannya, kebanggaan Pak Asri.

“Yang lain bagaimana? Hei..., kalian tuli ya? (prraaakkk...)”

Kali ini Pak Asri mulai beringas memberi tanya. Sebuah pukulan ke meja dia daratkan, mempertegas betapa pentingnya sebuah pertanyaan yang harus dijawab. Tampak beberapa teman sudah gemetaran. Biasanya kalau sudah sampai pada kondisi seperti ini, mesti ada yang harus rela menerima tepukan kerasnya. Yaa, paling cuma mendarat di pundak dan di pipi saja. Atau biasanya tendangan maut yang mendarat di bokong. Semuanya tampak khusyuk ketakutan, berharap tak kena sial hari itu.

“Tok.. tok.. tok... Assalamu alaikum, Pak!” kau memberi salam, petantang-petenteng masuk ke dalam kelas.

Hening seketika membuncah ketika kau masuk. Pak Asri geram tampak siap menerkam. Tepukan dan tendangannya yang kuceritakan tadi, terpaksa kau yang yang harus merasakannya. Malang nian nasibmu, kawan.

Pak Asri menyeretmu maju ke depan kelas setelah melancarkan aksi heroiknya itu. Kemudian kau disuruh untuk mengerjakan salah satu soal latihan yang penyelesaiannya menggunakan rumus phytagoras. Saat itulah aku baru tahu kalau kau buntu dalam pelajaran Matematika. Rumus apapun tak kau mengerti. Menuliskan rumus phytagoras saja kau tak mampu. Pun tepukan dan tendangan guru bersahajamu itu kembali mendarat di pundak dan bokongmu. Kawanku yang malang, phytagorasku sayang. Sejak kejadian itu, aku lebih suka memanggilmu Goras. Hitung-hitung balas dendamku karena telah memanggilku Panjul. 

***

Hidupmu memang tak seburuntung diriku. Tapi banyak pelajaran yang telah kuambil dari ketegaranmu menjalani hidup. Kau bahkan tak pernah menyesali diri. Terlalu cepat sosok Ayah berlalu meninggalkanmu. Terlalu dini dirimu memikul beban sebagai tumpuan keluarga dengan adik-adik sebanyak tiga. Sedangkan aku? Aku hanyalah seorang bungsu yang cengeng. Lemah tak teguh pendirian, serta naif merasai segala hal. Tapi beruntung aku memiliki sahabat sepertimu. Seandainya saja kau ditakdirkan hidup sebagai saudaraku, sebagai kakak kandungku. Betapa bahagianya aku, kawan.

Banyak mimpi yang telah kurajut. Pun sosokmu telah kuseret ke dalam mimpi-mimpi besarku itu. Selepas pendidikan sekolah menengah atas ini, mimpi-mimpi itu akan mulai kutapaki meski harus lelah bersimbah keringat. Hari ini bukanlah akhir dari segalanya. Kisah tentang kita, tentang kau dan aku, tentang Goras dan Panjul, senantiasa terpatri dalam sanubari ini. Kelak kisah ini akan kunamai, tatkala mimpi-mimpi itu telah mewujud, kawan.

Seperti dulu kau pernah mengkhotbahku, jangan redam melanglangkan mimpi. Mantapkan keyakinanmu tentang cita-cita dan harapan akan jalan yang ingin kau susur. Orang yang memiliki keberanian memimpi tentu jauh melesat dari mereka yang sungkan berkhayal tentang apa-apa. Tidakkah kau berpikir bahwa segala hal yang besar di dunia ini berangkat dari debar angan yang mendebur? Berangkat dari sebuah pilihan mengingini yang tertumpah dari khayalan-khayalan sederhana kemudian bermuara pada sebuah hasil besar.

Tak selamanya kita bisa bersama, pun mungkin tak selamanya kita terpisah. Tapi tetap kau adalah sabahatku, selamanya.

Rentang waktu memang telah memaparkan rincian nasib kita yang akan jauh berbeda. Namun bagiku, jarak tahun ke tahun hanyalah sebuah relativitas. Sebuah permulaan yang berubah menjadi permulaan kembali. Suatu masa selalu menuju ke pemberhentian, namun hanya untuk memastikan dimulainya kembali sebuah permulaan. Layaknya siklus, berulang dan terus berlanjut. Dunia tak membiarkan suatu hal berhenti sepenuhnya, tak ada yang benar-benar selesai. Keterbatasan tak selamanya berakhir miris. Padamu, mimpi itu kulekatkan juga. Padamu, kusisipkan serapan dari  khotbahmu sendiri.

“Sampai bertemu kembali, Panjul sahabatku!”

Kali ini aku tak kuasa menimpali. Segera kurengkuh tubuhmu tanpa reda, erat mengikat tanda pisah yang harus segera disalami.

Pada hati masing-masing, kita sudah terlanjur memahat nama sahabat satu sama lain. Aku sahabatmu, kau sahabatku. Darimu aku bisa berani bermimpi. Darimu kedewasaan diri perlahan mulai kumaknai. (*)

Makassar, 12 Maret 2012

14 comments: