14/05/2012

Ruang dan Waktu

AKU menelentang di selasar kegelisahan ketika fajar dan kokokan ayam mulai memadu satu dalam imsak di jingga langit ufuk timur. Telingaku terbuka oleh suara keajaiban-Nya, mataku terkatup karena perih menyusur gelap. Sambil bercengkrama dengan semesta yang menyeduhkan secawan tadarus sang Qari dalam prosesi peralihan malam menuju siang, sementara yang lainnya masih terlalu lelap dengan teduh di bawah tudung pulasnya subuh ini. Aku masih terjaga dari sisa-sisa munajat yang membubung tinggi hingga menembus langit lapis ke enam saja, tempat di mana para malaikat bersemayam. Beberapa diantaranya tak bergeming, menganggap doaku selalu yang itu-itu saja saban hari. Abdi Tuhan paling setia itu tampak sedang serius menimbang-nimbang beberapa doa para pendosa lainnya, sebelum disampaikan kepada Dia yang terhalang pandang dariku oleh tirai keagungan dan dinding kemuliaan.

 (Sumber : di sini)

Syahdu rasanya tatkala menikmati fajar menggelar warna di cakrawala angkasa raya. Ditemani kokokan ayam jantan, azan subuh, dengkuran para penidur, decingan peralatan dapur para ibu menyiapkan sarapan, desiran air keran kamar mandi, gerutu anak-anak karena dibangunkan terlalu dini, nyanyian dangdut, serta tadarusan para santri lewat toa di masjid, ikut beradu merdu dalam harmonisasi menyambut pagi. Kita hanya akan bisa sampai kepada fajar apabila telah melalui jalan-jalan malam. Aku cuma termangu meresapi keadaan. Kupahami itu sebagai peristiwa menunggu pagi. Juga tak kalah nikmatnya ketika menyaksikan lembayung menyembul di ufuk barat langit senja. Malam menggantikan siang, sesuatu yang tak pernah berubah dari dulu.

Aku masih terjaga untuk sebuah meditasi tentang kehidupan, tentang persoalan-persoalan hidup yang belum sempat usai aku diskusikan denganmu malam tadi. Kau mulai keranjingan mempersoalkan beberapa fenomena tentang kehidupan kepadaku. Kau mengawalinya dengan tanya “apakah ruang dan waktu itu terbatas?” Belum sempat kujawab, kau mencecarku dengan tanya selanjutnya, “apakah sesuatu itu ada tanpa akhir, atau ada tanpa awal?”

Idea yang dulu kukenal sebagi sosok yang pendiam, dingin sarat makna, kini mulai agak ‘cerewet’ mempertanyakan beberapa hal yang membingungkan. Sama sekali aku tak berharap kau tertular syndrom adiksimba, sebagai seorang tukang tanya, sepertiku. Namun, setelah kupikir-pikir, sepertinya kita harus mulai belajar menempatkan diri pada posisi dan kondisi yang kadang harus terbalik. Tak elok jika kita sama-sama diam, pun tak menarik jika kita saling mencecar tanya satu sama lain. “Kita harus belajar menjadi orang yang fleksibel, karena terkadang hanya dengan begitu kita bisa terus survive,” katamu menceramahi. Kudiamkan saja memahami ucapanmu itu, reaksi awalku memulai pelajaran menjadi seorang yang dingin dan fleksibel.

Aku sadar bahwa ada rahasia-rahasia Tuhan yang tak dapat dimengerti oleh manusia. Aku juga memahami bahwa ada jalan menuju ke suatu tempat di mana cinta memutusnya tidak dengan menggunakan hukum manusia. Namun, berjalan di titian kehidupan ini tak cukup hanya dengan menyadari dan memahaminya saja.

Kau mendapatiku membatu memandangi sebidang langit sore. Menjadi kebingungan karena telah mempersoalkan beberapa masalah yang telah kau celotehkan tadi malam, tentang ruang dan waktu itu. Sampai detik ini,  gelisah masih betah menggelayutiku dalam kebungkaman. Sesekali kau cuma tersenyum menertawai ekspresi kebingunganku. Hingga tak terasa kita sama-sama sudah sampai di peralihan siang menuju malam lagi. Baru saja tadi pagi kunikmati timbulnya fajar, tahu-tahu senja sudah bertengger pasang aksi.

Sungguh tak cukup waktu untuk mempermasalahkan banyak hal tentang kehidupan. Sama tak cukupnya dengan kebersamaan kita hari ini yang cuma sebentar saja. Waktu terasa tak akan pernah cukup untuk mengurai setumpuk kerinduan di hati satu sama lain. Kita selalu dibatasi oleh beberapa keadaan yang menjadikan pertemuan ini harus disudahi. Ruang jumpa ini pun belumlah sepenuhnya bisa kita katakan sebagai rumah atau milik kita seutuhnya. “Aku belum menjadi yang halal untukmu,” ujarmu mencoba memasrahkan keadaan.

Berangkat dari alasan yang sederhana itu, maka aku bisa memberimu sebuah pemahaman. “Ruang dan waktu itu terbatas, Idea. Tak mungkin ada ruang yang tak terbatas. Memang ada sesuatu yang tak berujung, tapi pastilah ia bertepi. Tak mungkin juga waktu itu akan berlangsung secara terus-menerus tanpa akhir, karena kehidupan kita bukanlah keabadian. Tentu ada permulaan, juga ada pengakhiran. Hatiku pun juga demikian, Idea. Hati ini terbatas hanya untukmu saja, percayalah!” ungkapku memulai penjelasan sekaligus menutup perjumpaan.

Mendengar itu, aku tak tahu kalau kau sudah paham ataukah merasa sedang terbang karena kalimatku yang terakhir tadi. Kau hanya tersenyum. Oh Tuhan, wajahmu merah tersipu malu-malu. Tak mau terlalu lama kunikmati ketidakberdayaanmu itu, kau bergegas bersiap pulang sembari melantunkan beberapa lirik lagu yang sepertinya pernah aku dengar.

time stands still
beauty in all she is
i will be brave
i will not let anything take away
what’s standing in front of me
every breath
every hour has come to this
one step closer

Tak salah lagi, lagu itu milik Christina Perri ‘A Thousand Years’ yang sering kau perdengarkan kepadaku. “Aku banget ini lagu,” katamu dulu. Aku tak begitu hafal semua liriknya, cuma sedikit di bagian reff-nya saja. Mungkin kau sudah tahu kalau bahasa Inggrisku sangat amburadul. Aku mau ikutan bersenandung bersamamu, tetapi kulihat kau tampak sudah jauh membelakangiku berlalu menuju arah pulangmu. “Yaa sudahlah, next time saja...!!!” (*)

(Makassar, 13 Mei 2012)

4 comments:

  1. hiks.. endingnya :'(

    mamie juga suka merenung, seperti ada perjalanan dalam diri, tapi tidak sanggup mengungkapkan dengan kata

    nice posting :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Merenung itu mkanan shari2nya para filosof, k'Mamie.
      Horee.., slmt brfilsfat,hehe...
      Mksih komentnya :)

      Delete
  2. next time...Hatix pun terbatas untukmu seorang...hehehehe...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Qt tanyami bede sndiri sma orgnya,hehe...

      Delete