AKU menelentang
di selasar kegelisahan ketika fajar dan kokokan ayam mulai memadu satu dalam
imsak di jingga langit ufuk timur. Telingaku terbuka oleh suara keajaiban-Nya,
mataku terkatup karena perih menyusur gelap. Sambil bercengkrama dengan semesta
yang menyeduhkan secawan tadarus sang Qari dalam prosesi peralihan malam menuju
siang, sementara yang lainnya masih terlalu lelap dengan teduh di bawah tudung
pulasnya subuh ini. Aku masih terjaga dari sisa-sisa munajat yang membubung tinggi
hingga menembus langit lapis ke enam saja, tempat di mana para malaikat
bersemayam. Beberapa diantaranya tak bergeming, menganggap doaku selalu yang
itu-itu saja saban hari. Abdi Tuhan paling setia itu tampak sedang serius
menimbang-nimbang beberapa doa para pendosa lainnya, sebelum disampaikan kepada
Dia yang terhalang pandang dariku oleh tirai keagungan dan dinding kemuliaan.
(Sumber : di sini)
Syahdu
rasanya tatkala menikmati fajar menggelar warna di cakrawala angkasa raya. Ditemani
kokokan ayam jantan, azan subuh, dengkuran para penidur, decingan peralatan
dapur para ibu menyiapkan sarapan, desiran air keran kamar mandi, gerutu
anak-anak karena dibangunkan terlalu dini, nyanyian dangdut, serta tadarusan
para santri lewat toa di masjid, ikut
beradu merdu dalam harmonisasi menyambut pagi. Kita hanya akan bisa sampai
kepada fajar apabila telah melalui jalan-jalan malam. Aku cuma termangu
meresapi keadaan. Kupahami itu sebagai peristiwa menunggu pagi. Juga tak kalah
nikmatnya ketika menyaksikan lembayung menyembul di ufuk barat langit senja. Malam
menggantikan siang, sesuatu yang tak pernah berubah dari dulu.
Aku
masih terjaga untuk sebuah meditasi tentang kehidupan, tentang persoalan-persoalan
hidup yang belum sempat usai aku diskusikan denganmu malam tadi. Kau mulai
keranjingan mempersoalkan beberapa fenomena tentang kehidupan kepadaku. Kau
mengawalinya dengan tanya “apakah ruang dan waktu itu terbatas?” Belum sempat
kujawab, kau mencecarku dengan tanya selanjutnya, “apakah sesuatu itu ada tanpa
akhir, atau ada tanpa awal?”
Idea
yang dulu kukenal sebagi sosok yang pendiam, dingin sarat makna, kini mulai
agak ‘cerewet’ mempertanyakan beberapa hal yang membingungkan. Sama sekali aku
tak berharap kau tertular syndrom adiksimba, sebagai seorang tukang tanya, sepertiku. Namun, setelah
kupikir-pikir, sepertinya kita harus mulai belajar menempatkan diri pada posisi
dan kondisi yang kadang harus terbalik. Tak elok jika kita sama-sama diam, pun
tak menarik jika kita saling mencecar tanya satu sama lain. “Kita harus belajar
menjadi orang yang fleksibel, karena terkadang hanya dengan begitu kita bisa terus
survive,” katamu menceramahi. Kudiamkan
saja memahami ucapanmu itu, reaksi awalku memulai pelajaran menjadi seorang
yang dingin dan fleksibel.
Aku
sadar bahwa ada rahasia-rahasia Tuhan yang tak dapat dimengerti oleh manusia. Aku
juga memahami bahwa ada jalan menuju ke suatu tempat di mana cinta memutusnya
tidak dengan menggunakan hukum manusia. Namun, berjalan di titian kehidupan ini
tak cukup hanya dengan menyadari dan memahaminya saja.
Kau
mendapatiku membatu memandangi sebidang langit sore. Menjadi kebingungan karena
telah mempersoalkan beberapa masalah yang telah kau celotehkan tadi malam,
tentang ruang dan waktu itu. Sampai detik ini,
gelisah masih betah menggelayutiku dalam kebungkaman. Sesekali kau cuma
tersenyum menertawai ekspresi kebingunganku. Hingga tak terasa kita sama-sama sudah
sampai di peralihan siang menuju malam lagi. Baru saja tadi pagi kunikmati
timbulnya fajar, tahu-tahu senja sudah bertengger pasang aksi.
Sungguh
tak cukup waktu untuk mempermasalahkan banyak hal tentang kehidupan. Sama tak
cukupnya dengan kebersamaan kita hari ini yang cuma sebentar saja. Waktu terasa
tak akan pernah cukup untuk mengurai setumpuk kerinduan di hati satu sama lain.
Kita selalu dibatasi oleh beberapa keadaan yang menjadikan pertemuan ini harus disudahi.
Ruang jumpa ini pun belumlah sepenuhnya bisa kita katakan sebagai rumah atau milik
kita seutuhnya. “Aku belum menjadi yang halal untukmu,” ujarmu mencoba memasrahkan
keadaan.
Berangkat
dari alasan yang sederhana itu, maka aku bisa memberimu sebuah pemahaman. “Ruang
dan waktu itu terbatas, Idea. Tak mungkin ada ruang yang tak terbatas. Memang ada
sesuatu yang tak berujung, tapi pastilah ia bertepi. Tak mungkin juga waktu itu
akan berlangsung secara terus-menerus tanpa akhir, karena kehidupan kita bukanlah
keabadian. Tentu ada permulaan, juga ada pengakhiran. Hatiku pun juga demikian,
Idea. Hati ini terbatas hanya untukmu saja, percayalah!” ungkapku memulai
penjelasan sekaligus menutup perjumpaan.
Mendengar
itu, aku tak tahu kalau kau sudah paham ataukah merasa sedang terbang karena kalimatku
yang terakhir tadi. Kau hanya tersenyum. Oh Tuhan, wajahmu merah tersipu malu-malu.
Tak mau terlalu lama kunikmati ketidakberdayaanmu itu, kau bergegas bersiap pulang
sembari melantunkan beberapa lirik lagu yang sepertinya pernah aku dengar.
time stands still
beauty in all she is
i will be brave
i will not let anything take away
what’s standing in front of me
every breath
every hour has come to this
one step
closer
Tak
salah lagi, lagu itu milik Christina Perri ‘A
Thousand Years’ yang sering kau perdengarkan kepadaku. “Aku banget ini lagu,” katamu dulu. Aku tak begitu hafal semua
liriknya, cuma sedikit di bagian reff-nya
saja. Mungkin kau sudah tahu kalau bahasa Inggrisku sangat amburadul. Aku mau
ikutan bersenandung bersamamu, tetapi kulihat kau tampak sudah jauh membelakangiku
berlalu menuju arah pulangmu. “Yaa sudahlah,
next time saja...!!!” (*)
(Makassar, 13 Mei 2012)
hiks.. endingnya :'(
ReplyDeletemamie juga suka merenung, seperti ada perjalanan dalam diri, tapi tidak sanggup mengungkapkan dengan kata
nice posting :)
Merenung itu mkanan shari2nya para filosof, k'Mamie.
DeleteHoree.., slmt brfilsfat,hehe...
Mksih komentnya :)
next time...Hatix pun terbatas untukmu seorang...hehehehe...
ReplyDeleteQt tanyami bede sndiri sma orgnya,hehe...
Delete