26/05/2012

Kau dan Biolamu 1

SELALU ada pelajaran yang bertuah kebijakan hanya bila kita mau menyempatkan diri menyibak setiap kepingan misteri kehidupan. Jelas, misteri itu tak suka pasang gaya. Ia cuma duduk manis bersemayam di kerak kehidupan paling dalam. Sesekali hanya menggelitik rasa keingintahuan. Menanti kontemplasi dari orang-orang yang selalu merasa gerah dengan ketidakjelasan. Bagi mereka yang telah selesai dengan urusan itu, hidupnya menjadi lebih menarik karena selalu asyik dalam aktivitas mencari dan menemukan. Menjadikannya tampak selalu bijak dalam memaknai segala hal.

Masalah apa yang tak berujung dengan sebuah penyelesaian? Karena selalu ada jalan yang menuju bagi yang memiliki tujuan.

Aku mengisi halaman kali ini mengawalinya dengan beberapa hasil perenungan sederhana itu ketika sepi menyeretku memandangi lautan di sore ini. Jelas, sepi karena tak bersamamu. Kau sedang sibuk dengan kursus biolamu dan mengikuti rapat penting di beberapa tempat. Di sini, aku pasrah meringis, mencecari lautan yang hanya selalu diam dengan beragam jenis tanya. Pertanyaan-pertanyaanku hanya ditimpali dengan ombaknya yang menggulung-gulung. Cuma mampu bergemuruh ketika angin menghempasnya, terseret hingga ke permukaan. Suaranya mendesir karena pasir di bibir pantai menyambutnya dengan ketegaran rasa yang tak pernah merasa miris. Setia menjadikannya betah. Pasang membuatnya menjadi luap, pun surut membuatnya semakin susut. Mungkin laut dan pantai sudah selesai dengan urusan kesetiaan dan kepastian. Bagi mereka, kesetiaan sudah menjadi kemestian yang akan selalu demikian kepastiannya.

Mengetahui kau memiliki sebuah biola, terperangahlah aku sejadi-jadinya. “Apaa.., Idea punya biola?” Aku kegirangan karena dapat melihat dua objek keindahan itu secara bersamaan nantinya. Kau dan biola. Dan dua hal itu akan kujadikan satu paket dalam daftar kekagumanku urutan teratas. Melampaui kekagumanku kepada dua tokoh favoritku di negeri ini, Andrea Hirata dan Ariel Peterpan. Jelas, kau dan biolamu, duduk manis bertengger pada list paling atas. Mendengar semua itu, semoga saja raut wajahmu tidak merah lagi karena kelewat tersanjung. Jangan tanya lagi mengapa aku masih memfavoritkan vokalis band itu. Walaupun masih banyak cemooh yang mencercanya, sosoknya tetap aku favoritkan. Jelas, hanya karena karya yang kujadikan alasan.

Aku selalu terpaku ketika melihat sebuah biola dan merasa terpukau saat menyaksikan seseorang memainkannya. Segera kubayangkan bila kau yang memainkannya untukku di selasar taman dekat kolam, tempat favorit kita. Sungguh sebuah pertunjukan yang luar biasa. Bagiku, biola merupakan alat instrumen yang elegan, dingin, berwibawa, dan anggun. Tak boleh sembarangan memainkannya. Ia adalah benda yang terhormat, berkilau, melengkung, sekaligus tampak rapuh layaknya seorang perempuan, sepertimu. Alat musik luar biasa itu hanya bisa dimainkan oleh orang yang memiliki rasa yang stabil dan tentu jiwa seni yang tinggi. Jelas, aku belum masuk ketegori itu. Kutekankan sekali lagi, aku belum masuk ketegori seperti itu. Tetapi aku akan terus berusaha sampai bisa masuk kategori itu. Setidak-tidaknya cukup mampu memegangnya saja dan bisa memainkan tangga nada dasar do-re-mi yang sangat standar. Mungkin dengan memilikimu berarti harus pula bisa memainkan biolamu. Jangan mencibirku, karena aku yakin dengan hal itu. “Selalu ada jalan bagi orang yang memiliki tujuan!” kataku di awal tadi.

 (Sumber: di sini)

Bosan melihatku merepetisi, selalu membincang soal biola dan biola sepulangmu dari kerja, keesokan hari kau malah membawakanku benda berhargamu itu. “Ini.., kagumi sepuasnya, gesek semampumu sampai dawainya putus-putus. Masa aku disamakan dengan biola?!!” katamu agak sedikit kesal. Aku tahu alat musik kesayanganmu itu laksana pusaka leluhur yang dengan sangat hati-hati kau simpan dalam lemari pakaianmu pada posisi yang paling nyaman. Tak akan kau biarkan seorang pun memegangnya apalagi sampai membiarkan dawainya digesek semena hati. Namun segala pantangan itu sama sekali tak kau berlakukan kepadaku. Aku belum sempat menanyaimu mengenai hal itu. Tetapi sebelumnya di suatu kesempatan kau pernah berkata, “Aku akan lebih memprioritaskanmu dibanding dengan yang lain!”

Dengan sangat hati-hati kau mengeluarkan biolamu dari dalam tas persemayamannya. “Ini namanya leher biola. Coba pegang!” kau menyeret tangan kiriku sampai aku benar-benar erat menggenggamnya. Kau cekatan mencontohkan. Kusampirkan di bahu kiriku terjepit dengan daguku. “Nah, kalau yang ini namanya bow, yang dipakai menggesek dawai dan dipegang peke tangan kanan!” katamu lihai menjelaskan satu persatu setiap bagian-bagiannya. Mau apalagi, kali ini aku harus patuh mengikuti setiap arahanmu dalam menjelaskan materi perkenalan itu. Gayaku kaku sekaligus takjub, bingung tak tahu harus bagaimana. Kini ia pasrah bersandar di bahuku, erat mengikat di genggamanku.

Aku bahkan tak bisa dengan sempurna memegangnya. Ada rasa yang kurang nyaman yang selalu mengganjal. Mungkin karena leherku yang agak panjang, dijepit paksa dengan daguku yang lancip. Ditambah kedua tulang bahuku yang melengkung keluar, sehingga biola itu tidak pernah merasa nyaman bersandar. Sudahlah, kusimpulkan saja, tubuhku kurus kerempeng. Berbeda denganmu. Di bahumu, biola itu seakan sudah menyatu dengan bagian tubuhmu. Tanganmu gemulai menggesek dawainya satu persatu. Tak ada yang terlihat ganjil, semua tampak sempurna.

Oke, kucoba sekali lagi walau agak sedikit canggung karena sedari tadi kau meringkik menertawaiku. Kurentang bow-nya sejajar dengan scroll di ujung tangan kiriku, siap landing di landasan dawai paling atas. Aku tak peduli dengan segala jenis bunyi nada yang mewakili setiap dawainya. Mau nadanya A kek, B, I, atau S, kusikat saja sampai ABIS. Mataku fokus melirik lurus memandang keempat barisan dawainya. Badanku tegap siap menggesek. “Nggeeeeeeekk....?!!” Nafasku terhenti mendengar bunyi aneh yang dihasilkannya. Sepertinya lebih menyerupai suara sapi yang menguak kekenyangan. Aku tak menyerah. Kucoba kali kedua menggesek dawainya yang paling bawah. “Nggiiiiiiikk...?!!” Kali ini suara anehnya berbeda dengan sebelumnya. Malah mirip suara sirene mobil pemadam kebakaran yang meliuk-liuk memecah kemacetan di jalan raya.

Sudahlah, aku pasrah saja menerima kenyataan bahwa aku belum mampu memainkannya. “Boleh saya pinjam? Ayolah, Idea, cuma beberapa hari saja,” pintaku memelas. Aku sangat berharap bisa mempelajarinya secara lebih mendalam ketika berada di rumah. Masuk ke kamar, kunci pintu, dan tutup jendela rapat-rapat. Tanpa ada seorang pun yang akan melihat, sehingga aku bisa dengan leluasa belajar memainkannya. Cukup dengan nada standar do-re-mi itu dulu. Kulihat kau ngangguk-ngangguk, tanda izin permohonan resmi kau berikan. “Tapi ingat, rawat ia seperti kau memperhatikanku!” katamu memberi syarat. Aku senang, kau pun tersenyum. (*)

Makassar, 24 Mei 2012

8 comments:

  1. Anonymous26/5/12 20:24

    Cerita bersambung, yah, Kakak?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Beri waktulah buat pljari biolanya dlu,ntar stlh itu critanya bru bisa dilanjut lgi.,hehe.. Salam :)

      Delete
  2. biola : tidak harmonis, kurang padu, beda, cenderung sendiri, namun tatkala baur : simfoni. "Appaa?" :)
    ditunggu perfomx ya??

    ReplyDelete
    Replies
    1. Asikeee..., dia menunggu :)

      Delete
    2. wuasikk.. kpan kira2?

      Delete
    3. Tunggu sja tayangannya di tivi2 lokaleee...
      Bbrpa hari lagi ;)

      Delete
  3. wah ada bakat terpendam rupax, bisa mewakili kelas A nampaknya...

    ReplyDelete