TAK terasa tiga pekan tiga hari terlewati. Selama itu juga biolamu
sudah mengisi kekosongan kamarku. Beragam kekalutan yang diretasnya. Nada
gesekannya menjadi penawar atas pening yang terus menukik. Kemilau dan
kemolekannya menjadi pelipur tatkala imaji tak mempan menghunjam rindu. Biolamu
selalu tampak seperti seekor kucing anggora, mengendus-endus berharap selalu
ingin dielus dan dimanja-manja. Jadilah aku seperti seorang ayah muda yang
begitu semringah ketika memasuki rumah karena sang buah hati cekikian lucu
memberi sambutan kebahagiaan. Menatapnya, aku mengingatmu.
Waktu hampir sebulan itu kulalui
dengan pola hidup yang kebanyakan orang menyebutnya dengan kata ‘sibuk’. Sibuk
menjadi satu-satunya alasan paling rasional untuk mendukung pengelakan atas
keadaan yang tak dipungkiri. Tetapi kenyataannya memang demikan. Tugas-tugas
kuliahku menumpuk hebat, selaras dengan pakaian kotor yang terus menggunung.
Ujian demi ujian silih datang bergantian karena masa semester sudah sampai di ambang
nadi pengakhirannya. Alhasil halaman ini berasa tandus, kering karena kelamaan
tak disirami dengan air kehidupan. Kadang kau tak luput juga ketularan sibuk,
sibuk memerhatikanku. “Jangan terlalu larut mengerjakan tugas. Jaga hati dan
kesehatan!” katamu sering lewat pesan singkat.
Tentu aku masih ingat jelas
titahmu saat meminjamkanku biolamu dulu. Maka dengan sengaja aku membeli
sebuah gembok anti maling paling top dalam dunia permalingan. Karena takut
kalau biolamu sampai kenapa-kenapa, tasnya terpaksa aku gembok. Mencegah jauh
lebih baik, bukan? Aku tak mampu membayangkan kalau sampai terjadi sesuatu yang
memang tak sanggup kubayangkan. Bisa-bisa nanti dijahili oleh kawan-kawan serumah
–terutama Si Bandoci– atau malah raib dibawa maling. Aku tak mau itu terjadi. Itu
barang kesayanganmu. Mau tidak mau strategi pengaman ‘kelas satu’ mesti
kuterapkan. Walau seperangkat alat kamera CCTV tak mampu kupasang di segala
penjuru rumah dan di setiap sudut kamarku, –mungkin kata paling tepatnya adalah
tak mampu kubeli– namun dengan gembok itu kurasa sudah sangat cukup.
Sudah kumantapkan bahwa besok
biolamu akan kukembalikan. Waktu hampir sebulan itu kurasa sudah cukup untuk
mempersembahkan sebuah hasil. Dan tepatnya malam hari di selasar taman akan
kugelar sebuah pertunjukan kecil-kecilan kepadamu, simfoni sederhana. Langkah
kecil untuk hasil yang besar. Tidak ketinggalan sebuah rencana kejutan
kecil-kecilan telah kusiapkan. Kusisipkan satu novel terbaru karya orang
Makassar “Lontara Rindu” milik Gegge Mappangewa ke dalam saku tas biolamu,
lengkap dengan beberapa kata persembahan di halaman sampulnya. Pun pakaian
terbaik sudah kusetrika. Semua telah terkonsep rapi. Sisa menunggu sampai esok
tiba.
***
Coky Sitohang memberikan sambutan
pembukaan yang meriah. Tirai hitam lebar perlahan tersingkap. Tanganku menampik
silauan gerlap karena cahaya lampu menyorot tepat memenuhi sekujur tubuhku. Suara
tepukan dan elu-elukan memanggil namaku bergemuruh riuh di seantero ruangan
yang luas melingkar seperti stadion bola. Tiga perempat ruangan itu menjadi
panggung megah yang berlangitkan cahaya temaram yang kerlip berwarna-warni.
Sisanya dipenuhi oleh kursi-kursi merah yang disesaki oleh ribuan orang. Sebuah
spanduk besar terbentang, “you are the
next master of violin”. Namaku besar-besar tertulis di situ. Ya, ini adalah
panggung pertunjukan, konser tunggalku.
Kutilik deka demi deka
sekelilingku. Busana yang kupakai tampak tak seperti biasanya. Setelan jas hitam
mengkilap pas membungkus tubuh rampingku. Kurasakan nafasku tersengal karena
dasi kupu-kupu menyimpul kaku di leherku. Terasa kuat jemariku menggenggam
seperangkat alat musik. Tak salah lagi, ini biola dengan bow-nya. Dari arah belakang terlihat puluhan musisi sedang khusyuk
pada posisinya masing-masing dengan alat yang berbeda satu sama lain. Piano,
biola, cello, gitar, saksofon, bas, perkusi, drum, dan rekan-rekan sejawatnya
di dunia permusikan, semua tampak hadir, lengkap. Tampak seorang sedang berdiri
berlagak seperti pemimpin memegang tongkat kecil. Aku terperanjat. Dia salah
seorang dirigen kenamaan. Benar, itu Erwin Gutawa. Dari arah depan, di barisan
kursi VIP bagian terdepan samar-samar kulihat beberapa wajah yang sepertinya
aku kenal. Tak salah, mereka itu maestro biola kebanggaan negeri ini, Idris
Sardi, didampingi oleh Maylaffayza dan Iskandar Widjaja. Juga tidak ketinggalan
seorang yang bertubuh subur memakai topi bulat –lebih merip baret– yang
menutupi sebagian rambut ikalnya. Lidahku kelu, itu Andrea Hirata.
“Idea di mana?” Aku mencarimu. Tiga
kursi di samping penulis Belitong itu masih tampak kosong. Sang konduktor
terlanjur sudah menghentakkan palu, tanda dimana musik mulai mengalun. Aku mulai
menggesek biola. Sebuah nada sendu mengalun merdu, berharmoni dengan racikan
musik sang komposer ulung itu. Sekonyong-konyong terdengar suara yang menggumam,
menyeruak mulus beresonansi dengan alunan nada yang sudah aku kuasai betul.
Lampu menyorotnya berjalan menghampiriku. Ia bersenandung mengikuti irama.
“Apa yang terjadi dengan
hatiku
kumasih
di sini menunggu pagi
Seakan
letih tak menggangguku
kumasih
terjaga menunggu pagi...”
Kupikir cuma instrumennya saja yang aku bawakan. Siapa sangka,
Ariel Peterpan malah menyanyikannya berduet denganku. Itu lagu favoritku. Sering
kusetel saban pagi ketika sedang menikmati prosesi pergantian malam menuju
siang. Oh iya, itu juga termasuk lagu kesukaanmu. Apalagi kalau sedang meredam emosimu
yang terus meradang. “Hufh.., sudahlah. Masih menunggu pagi,” katamu pasrah ketika
lelah tak mampu menjelaskan maksud hati.
Dalam suasana keindahan itu,
seorang perempuan manis berjilbab tampak sedang berjalan memasuki barisan kursi
terdepan yang masih kosong tadi, sambil mengiring dua orang tua yang sudah agak
renta. Aku lega, itu kamu dan kedua orang tuaku. Namun sebelum duduk, kau
mengukuir sebuah isyarat di udara. Sebuah kalimat penyemangat yang selalu kau
kirimkan sebelum tidurku. Kau menyebutnya sebagai suplemen hati. Tak elok
kusebutkan di sini. Aku terus menggeliat menggesek biola dengan hebatnya. Ariel
masih bersenandung dengan suara menggumam ciri khasnya. Sesekali Andrea Hirata
terlihat semringah berdecak kagum. Erwin Gutawa tetap tegap, lihai mengukir
perintah nada-nada kepada para pemusik orkestranya. Mereka tokoh-tokoh
favoritku. Semua tampak larut menikmati. Sebuah pertunjukan luar biasa,
simfoni.
Sumber : di sini
Suara drum
mendentum hebat. Lama-lama terdengar tambah keras. Malah terdengar rusuh memekikkan
gendang telinga. Tempo iramanya terdengar mulai tidak karuan, sumbang, dan semakin
keras saja. Dentuman musik drum tadi malah mirip suara pukulan pintu kamar oleh
seseorang yang beringas memukul-mukul beduk takbiran. Tak salah lagi, dia Bandoci,
kawan serumah yang berusaha membangunkanku. Bau sengir tak sedap tercium menyengat
di sekitar bantal yang tampak masih basah membentuk pola seperti pulau-pulau
kecil tak berpenghuni. Mataku membelalak, sontak kaget bukan main. Kulihat
sebuah biola tergelatak bersama bermacam-macam jenis buku kuliah. Tak salah
lagi, itu biolamu. Benar, aku bermimpi. (*)
(Bersambung)
Makassar,
17 Juni 2012
Bermimpilah, kelak Allah akan merangkul mimpimu itu...
ReplyDeleteYee..., kyk prnahka jg bilngiki bgtu?!!
Deletekek ada jg prnah bilangika' bgitu..
ReplyDeleteSaling mengutipmi ple itu prnyataannya Arai..hehee..
Delete