29/02/2012

Pelangi tak Tampak Sore itu

MEMANG sore itu hujan sejenak telah hinggap ke bumi, melambaikan kedamaian dengan gemercik hujan, melantunkan harapan akan kesuburan flora yang sedemikian telah tandusnya. Hujan bisa jadi impian bagi para petani palawija di musim tanam, tapi sekaligus bisa menjadi momok bagi para penjual garam yang sudah agak lelah menjajakan salah satu barang penyedap masakan itu. Sebuah gelagat alam yang dilematis lagi membingungkan bagi para ”pencari“ yang senantiasa berkontemplasi dengan segala bentuk perenungan tanpa ujung, menjamah tanpa batas sampai ke medan metafisis. Mungkin hal itu telah menjadi fenomena alam yang oleh manusia masih menjadi misteri yang entah sampai kapan akan terungkap.

Dalam hidupnya, manusia senantiasa diperhadapkan pada pelbagai hal-hal yang membingungkan karena dibekalinya seperangkat akal dengan kapasitas yang hanya menjangkau pada hal-hal yang kasat mata saja. Diperhadapkannya manusia pada beberapa pilihan akan konsekuensi hidup yang “hitam-putih”, telah banyak membuat mereka kerdil dalam memaknai hidup. “Pelajarilah makna hidupmu dengan cermin hidupmu”. Cermin hidup itu adalah realitas. Realitas merupakan cermin kebijaksanaan dalam merefleksikan segala gejala-gejala alam yang bertaut maupun yang tak beraturan. Realitas bisa berarti refresentasi dari dimensi kehidupan masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang. Terkadang realitas dianggap sebagai sesuatu yang tersembunyi dari ketiga dimensi kehidupan itu dan membuat keadaan menjadi semakin pelik dengan segala bentuk ilusi kabut pekatnya.

Hal yang demikian itu terjadi karena keengganan manusia untuk menembusnya dari kegelapan fakta. Akhirnya kebenaran sejati pun tak pernah diketahui. Realitas hanya akan nampak apabila manusia memiliki kemauan yang keras untuk mengungkapnya. Namun semuanya adalah potret kehidupan manusia dengan beragam dinamika hidup yang terangkai lewat sistematika pengungkapan yang begitu apik.

Cinta memang tak selamanya memiliki, begitu juga dengan pelangi yang selamanya tak menampakkan dirinya ketika hujan sudah lelah menjatuhi bumi dengan butiran-butiran salju yang telah cair. Kehendak apa yang akan direncanakan oleh Tuhan saat itu, sehingga lengkungan pada serangkaian warna-warna indah (baca: pelangi) hasil lukisan monumental Sang Maestro tak jua menampakkan wujudnya pada posisi 180ยบ sudut bumi. Alih-alih ingin mengharapkan lengkungan indah pelangi mewarnai hati yang sepi, ternyata alam hanya manampakkan kemurungannya pada beberapa hati yang begitu dahaga merindukan akan kesejukan batin. Jika ada asap pasti ada api. Begitulah hukum logika sebab-akibat berkata.

Mengapa senja itu pelangi eggan bertengger menampakkan wujud keindahanya? Sementara secara a priori, kemunculan pelangi seusai hujan di sore hari sangat potensial terjadi. Mungkin terlalu sederhana menggeneralisasikan sesuatu yang masih direka-reka, sebuah bentuk fallacy dalam berlogika. Apatah lagi dalam nuansa kehidupan yang sebenarnya. Terkadang manusia dengan begitu cepatnya memberikan judgment (penilaian) dengan pernyataan yang masih pantas untuk diragukan. Perlu banyak fakta dengan analisis yang tajam dalam mengungkap suatu keraguan. Mengungkap realitas yang tersembunyi bukanlah hal yang mudah. Pelangi nampak indah dengan keragaman warnanya yang berbeda tapi amatlah menarik, karena perbedaan adalah rahmat. (*)
 

No comments:

Post a Comment