06/03/2012

Aku Ingin Menjadi Nol

ESENSI dari angka-angka yang sering kita bicarakan adalah nilai 1 2 3 4 5 6 7 8 9. Pun banyak diantara kita memberikan makna dari setiap angka-angka itu. Banyak interpretasi bermunculan tentang mereka. Jadilah ada yang menyebutnya sebagai angka hoki, angka sial, angka keramat, dan sebagainya. Ketika diantara mereka membentuk sebuah rangkaian berupa deretan-deretan satu sama lain, maknanya pun berubah menjadi nominal harga yang begitu populer. Kesembilan angka itu pun seketika menjadi seksi oleh mata para parakang harta dan kekuasaan. Sekaligus juga menjadi khayalan siang bolong bagi para masyarakat miskin terpinggirkan. Banyak hal yang bisa terjadi ketika kombinasi kesembilan angka itu deretannya semakin bertambah. Tentu nilainya akan bertambah menggiurkan, pun juga bertambah tidak mungkin. Kupikir pahamlah kita tentang fenomena itu.

Lantas kita kemanakan angka nol (0) itu? Tak begitu pentingnyakah keberadaannya diantara mereka bersembilan? Kita selalu mengidentikkannya dengan sesuatu yang kosong, hampa, sia-sia, bahkan tak berarti apa-apa. ‘Nol besar’ sering kita ungkapkan sebagai sebuah nilai kegagalan. Angka ini cuma sebagai alat bagi mereka -bersembilan- untuk menguatkan eksistensinya masing-masing sebagai angka dengan nilai nominal yang tinggi-tinggi. Dirinya terombang-ambing kesana-kemari tak jelas arah dan tujuannya. Berseliweran masuk ke rekening-rekening yang sudah sangat gendut, terselip di amplop-amplop tak beralamat, ataukah nyasar ke saku-saku celana yang tak jelas dari mana datangnya.

Kalau kalian begitu bangga menggunakan kesembilan angka itu. Maka dengan lantang aku mengatakan, aku ingin menjadi nol (0) itu. Mungkin aku memang seperti angka itu. Sangat sadar aku tak memiliki apa-apa. Hidupku penuh dengan kehampaan dan sangat membosankan. Kalian juga sering mengacungkan jempol terbalik kepadaku sebagai simbol tak berarti apa-apa. Biarkan saja. Aku tetap bangga menjadi angka 0/nol itu.

Tapi satu hal yang mesti kalian ketahui. Eksistensimu bergantung dari posisiku kawan. Eksistensimu akan bernilai tinggi jika aku menempatkan diriku berderet di samping kananmu setelah titik. Namun seketika eksistensimu tak bernilai apa-apa, bahkan jauh dari apa-apa, jika aku menempatkan diriku berderet di samping kirimu sebelum koma, mendesimalkanmu. Sadarilah akan hal itu kawan dan pahamilah bahwa begitu esensialnya posisiku terhadap eksistensimu.

Kepada perempuan terkasihku. Janganlah lagi dirimu menganggap ini sesuatu yang materialis. Itu untuk mereka saja yang tak menghargai keberadaanku sebagai angka nol (0). Untuk mereka saja yang menyepelekan nilai sebuah angka yang kosong. Untuk mereka saja yang tak menghargai sesuatu yang tak memiliki apa-apa.

Sekali lagi kepadamu aku ingin berkata wahai perempuanku. Diriku tak memiliki apa-apa. Aku hanya ingin menjadikan dirimu -kita- lebih berarti dengan menderetkan angka 0/nolku  berada di posisi samping kananmu setelah titik. Terserah dirimu mau memilih dari kesembilan angka itu. Akan kusuguhkan kepadamu angka nol setelah kesembilan angka yang telah kau pilih itu. Entah 1 digit nolku, 2 digit, 3 digit, 4 digit, 5 digit, 6 digit, 7 digit, 8 digit, 9 digit, bahkan dengan digit yang tak terhingga sekalipun. Aku bukanlah apa-apa tanpa dirimu. Maka izinkanlah aku menjadi nol di samping kananmu setelah titik. (*)

(Makassar, dini hari 6 Maret 2012)

1 comment:

  1. Angka berapapun tak akan berarti tanpa nol... Saya tunggu karya-karya selanjutnya Dinda...

    ReplyDelete