27/07/2012

Profesi Mulia

Waktu sudah menunjuk pukul sembilan pagi. Namun, kabut masih terlalu lebat segan mengurai pagi. Kamis yang bisu. Tetesan embun di pucuk-pucuk daun kopi merabas menjatuhi bebatuan pegunungan yang berlumut. Gigil tak dapat kutampik. Sekalipun jaket kulit erat membungkus badan kurusku mengendari sepeda motor, tetap saja dingin merasuk sampai ke tulang-tulang. Aku belum terbiasa dengan dingin seperti itu karena rumahku dekat dengan pesisir pantai. Suhunya berbeda. Sementara sekolah yang kutuju saban pagi letaknya di atas puncak gunung. Gunung sebenar-benarnya gunung. Dan jika telah sampai di puncak yang kumaskud tadi, barang semenit sudah bisa sampai di sekolah.

Tampak gedung sekolah (yang beratap merah) difoto di atas bukit Salimbongan

Karena letaknya di dusun Salimbongan, sekolah itu diberi nama SMP Salimbongan. Tepatnya SMP Satu Atap Salimbongan Kec. Lembang, Kab. Pinrang. Bangunannya baru, tapi cuma seadanya. Cuma tiga ruangan saja. Namun demikian, itu sudah cukup untuk dipakai belajar oleh siswa kelas VII dan VIII. Ruangan yang satunya lagi didaulat mejadi ruangan serbaguna: kantor kepala sekolah, ruang guru-guru, ruang BK, laboratotium IPA, penyimpanan alat-alat olahraga, dapur, serta lonceng, cangkul, dan badik peralatan bujang sekolah. Ruangan kelas IX belum tersedia karena sekolah itu baru berjalan dua tahun. Coba bayangkan bila nanti sudah memasuki tahun ketiga. Siswa baru mau belajar di mana? Atau bisa saja salah satu ruangan itu beralih fungsi karena ruangan yang tak mencukupi. Alhasil, bapak kepala sekolah gelisah dibuatnya saat itu.
Kalau diukur dari rumah dinas pak camat di kota kecamatan ke sekolah, sekolah tempatku mengajar itu jaraknya 35 km. Kemudian jarak dari kediaman pak camat ke rumahku sekira 10 km. Jadi, kalau menunggangi sepeda motor, aku membutuhkan waktu sekira sejam lamanya untuk bisa sampai di sana. Jangan harap ada sinyal hape. Medannya menanjak, membelah bukit demi bukit. Kadang berserakan bebatuan cadas akibat longsor karena hujan lebat. Sementara kalau dari sekolah menuju ibu kota kabupaten, jaraknya mencapai dua kali lipat jarak dari rumahku ke sekolah itu. Coba hitung sendiri lalu renungkan. Tak usah berpanjang lebar. Sekolah itu letaknya jauh. Sederhananya, terpencil.
Bayangkan betapa repotnya bila mendadak ada panggilan rapat dari dinas pendidikan di kota kabupaten. Mau apa lagi? Menjadi pendidik memang juga harus sigap. Haruslah sabar dan ikhlas serta memiliki hati yang lapang. Hanya senyum dan semangat para siswa yang menjadi pelipur. Itu jelas tergambar tatkala mereka takzim menunggu pelajaranku di dalam kelas. Tak perlu mengasihaniku. Aku sudah kenyang dengan segala keluhan-keluhan. Cukup beri simpati buat mereka yang bersekolah di sana. Mereka adalah anak-anak yang punya segudang cita-cita mulia. Anak-anak yang menyimpan berjuta potensi dan kreativitas, sebelum semua itu sirna karena terenggut oleh tradisi nikah muda, warisan berladang kopi dan jagung, serta karena alasan biaya yang tak lagi memadai. Namun, mereka tetap bisa tersenyum berlarian menuju sekolah, sementara orang tuanya meringis dalam hati membayangkan masa depan anaknya.
“Anak-anak, cukup sekian dulu pelajaran kita hari ini. Mungkin hari ini juga merupakan pertemuan kita yang terakhir. Semangat dan tetap rajin belajar,” kataku menutup pelajaran sekaligus sebagai salam perpisahan singkat.
Sulit menggambarkan suasana haru saat itu. Siang itu sudah memasuki tahun kedua masa kerjaku. Dengan berbagai alasan, aku memilih untuk tak lagi melanjutkan menjadi seorang guru di sana. Seorang guru honor.
***
“Terus, bagaimana dengan siswa-siswamu sekarang, Ray?”
Aku diam tak menimpalimu.
“Ayolah, Ray. Aku ingin mendengarkan pengalaman-pengalamanmu di sana,” desakmu sambil menarik-narik lengan kemejaku.
“Sudahlah, Idea. Miris kalau harus mengulik kisah itu lagi. Aku telah kalah dengan keadaan,” keluhku.
Barangkali kau butuh banyak referensi tentang keadaan begitu. Kau suka dengan kondisi sekolah seperti itu. Tantangan, katamu. Walaupun masih gadis, dirimu sering mengajukan permohonan mengikuti program-program menjadi pendidik di sekolah-sekolah terpencil dan tertinggal. Serupa Indonesia Mengajar, Sarjana Mengajar, Menjadi Pendidik Muda, dan semacamnya. Gerakan-gerakan seperti itu sangat bagus, output-nya jelas dan menjanjikan, terangmu. Sedangkan aku dulu, cuma gerakan hati nurani saja. Hanya karena akumulasi dari rasa putus asa dan kebingunganku mencari pekerjaan.
Saat itu, menjadi guru honor menjadi pilihan paling akhir untuk melabuhkan kesakralan ijazahku yang telah kuraih selama empat tahun. Tak ada kejelasan harus mengabdi sampai berapa lama agar derajat bisa diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil. Begitupun dengan gaji, juga sama tak jelasnya. Dan itu hampir dialami oleh seluruh kawan-kawan guru honor di Indonesia. Lihatlah mereka sekarang. Pandang nasib mereka. Toh masih begitubegitu saja. Belum ada perubahan. Padahal mereka juga adalah seorang pendidik, dan malah memiliki loyalitas tinggi, tetapi diabaikan.
Profesi seorang guru adalah mulia. Disebut profesi karena tak boleh sembarangan orang menjadi guru. Haruslah orang yang kompeten dan kapabel, alias profesional. Pekerjaan seorang guru adalah mendidik, bukan cuma sekadar mengajar tok. Guru merupakan orang yang paling banyak berinteraksi dengan peserta didik. Tidak hanya berkutat pada persoalan pembelajaran di kelas, tetapi berbagai hal tentang sikap dan perilaku para siswa ikut menjadi tanggung jawabnya agar mereka kelak menjadi pribadi yang mandiri dan berkarakter. Guru selalu berada di barisan terdepan dalam dunia pendidikan. Berhasil atau tidaknya pendidikan suatu bangsa, mau tidak mau, faktor guru menjadi muara dari segala alasan yang nantinya akan muncul.
“Kurasa cukup, Idea. Aku tak perlu menceramahimu tentang itu. Kita sama-sama sudah memahami. Menjadi seorang guru memang profesi yang mulia. Tapi di sisi lain, kesejahteran guru juga tak kalah pentingnya!”
“Apakah karena alasan itu kamu berhenti mengajar di sana?” sahutmu seketika.
Kubalas dengan diam membuang muka.
“Lantas? desakmu lagi. “Ayolah, Ray!”
“Apa yang membuat manusia dapat terus survive?” tanyaku berbalik ke arahmu.
“Mimpi, hope” tebakmu.
“Kamu benar. Kita sama-sama mempunyai mimpi, Idea. Akupun demikian. Hanya itu yang kupunya. Mimpi yang akan terus kukejar, bahkan akan berusaha melampauinya,” kataku mencoba bijak menjelaskan.
Di selasar taman yang tak jauh dari balai kota aku kembali diam memaknai keadaan. Kau termangu memahamiku. Pandanganku kosong, tatapanmu berbinar. Sore yang bisu. Burung berkicau, dedauanan gemeresik lantaran angin sepoi melentiknya bersilir. Sebuah map berisi beberapa lembar fotokopi ijazah yang telah kulegalisir bersamamu siang tadi, tergeletak sekenanya di pangkuanku. Tentang menjadi pendidik, tentang masa depan, tentang mimpi dan harapan, berpadu satu dalam semilir angin senja yang perlahan menjemput malam, lalu terbang bersama awan ke angkasa yang jingga.

Foto diambil sebelum tampil mementaskan drama pada acara 17 Agustusan.

Makassar, 27 Juli 2012
 

19/07/2012

Doa di Malam 1 Ramadan

AKU bukanlah seorang pendoa ulung, bukan pula muslim paling alim. Aku hanya seorang pendosa yang selalu linglung, bahkan tak jarang berbuat zalim. Sembahyangku juga masih bolong-bolong. Tadarusan apalagi. Cuma Surah Yasin yang senang kumaratonkan. Tatkala berdoa, mulutku pun kaku tak mampu mengurai maksud lewat untaian kata-kata nan syahdu. Lidahku kelu lantaran gamang meratapi diri yang kurang terjamah wudhu. Aku malu. Apa mungkin Tuhan mau memberi dispensasi kepadaku sebagai hamba yang selalu ingin dipahami dan dimengerti?
Setelah kupikir-pikir, doa menjadi satu-satunya media penyerahan diri paling memadai saat ini. Dan rasanya tak sopan jika harus menangis lagi di hadapan-Nya. Tegur bila ternyata keliru. Sudah sering aku begitu. Rautku amat berantakan apabila meneteskan air mata. Rasanya tak enak menghadap-Nya dengan rupa sebentuk itu. Aku ingin menampakkan kesempurnaan wajah yang kupunya. Pernah kucoba untuk mengatupkan kelopak mata. Dan ketika harus begitu, air mataku tertahan tak dapat keluar dengan sempurna. Malah jadi sakit mata. Maka, perkenankanlah aku menyampaikan doa ini dengan cara sederhana saja. Mampuku hanya menuliskannya dulu, setelah ini akan kubacakan untuk-Nya di malam 1 ramadan nanti.
***

Untuk-Mu yang selalu menggetarkan hati dan semesta
Di singgasana paling agung

Engkau Maha Sempurna melampaui segala nilai dan sifat-sifat yang Kau punya. Engkau Maha Pengasih sekaligus Maha ‘Pemarah’ sebab murka atas aku yang kadang tak tahu arah. Aku masih saja rabun memahami kebajikan dan kejahatan, tentang kebahagiaan dan kesedihan, hitam dan putihnya kehidupan, serta segala hal yang berlawanan. Tidakkah sengaja Kau ciptakan hal-hal kontradiktif seperti itu? Maka Kau memberiku akal untuk itu. Satu kelebihan yang membuat makhluk-makhluk lain merasa iri: dapat mengungguli kemuliaan malaikat jikalau mempergunakannya dengan baik, dan sebaliknya, akan melampaui kesesatan setan jika tidak digunakan dengan baik pula. Singkatnya, makhluk sempurnalah. Namun sayang, akalku belum mampu mengurai makna-makna di balik semua itu.

Tuhan, mohon pengertian-Mu. Jalanku kini tampaknya mulai suram. Dulunya pernah temaram, kini perlahan kembali muram. Aku tahu diri ini berlumur dosa. Tetapi mohon dipertimbangkan. Barangkali saja ada dua, tiga, atau empat amal kebajikan yang sudah kubuat. Kuadratkan segala pahala dari itu. Atau kalau bisa, barterkan secuil amalku dengan segudang dosa yang telah kuperbuat. Sulutlah kembali obor kehidupanku. Hampir saja resah betah menjadikanku kalah. Sekali lagi, Tuhan, mohon pertimbangkan. Sekiranya ternyata belum sepadan, mohon dicek ulang. Bisa jadi terselip di tumpukan amal dermawan orang sebelah.

Selalu kuharapkan percikan cahaya-Mu, nur dari dari segala nur itu. Tak usah terlalu benderang. Cukup untuk untuk menerangi akal dan hatiku tok. Cukup untuk menyusuri jalan hidupku yang sudah Kau patok. Cukup untuk memancarkan cahaya kebaikan ke orang-orang sekitarku, serta bermanfaat bagi sesama. Hanya saja beberapa diantaranya malah membalasnya dengan maki. Selebihnya ada juga menimpali dengan doa dan terima kasih. Adapun mereka mau ikhlas membalasnya dengan harta benda, kupikir Engkau tak akan keberatan, bukan? Karena pemberian itu akan kuamalkan kembali. Di dunia mendulang amal, di akhirat meraih pahala secara optimal.

Teruntuk ibuku yang dulu sering kubuat murka, sampai-sampai harus meneteskan air mata, membuat dadaku selalu bergetar dibuatnya. Aku sangat menyayanginya, Tuhan. Hanya saja kemiskinan pernah membuat kami buta, tak bersepaham tentang arti sebuah penderitaan dan kebahagiaan. Lupakanlah itu. Kini, jikalau boleh memohon, aku ingin membahagiakannya dengan kesejahteraan hidup yang berkecukupan. Tentu saja hasil dari jerih payahku sendiri. Kalau hanya dengan itu bisa membuatnya senang, maka curahkanlah kepadaku rejeki dan harta berlimpah. Sampai di usia segini, aku bahkan belum mampu memberinya apa-apa. Apalagi menghadiahkannya beberapa cucu. Menghidupi diri sendiri saja aku tak becus. Namun apabila berkenan, mohon jadikan aku sebagai seorang pria mapan, layak untuk meminang anak gadis orang.

Untuk ayahku yang sering kubuat kesal karena perintahnya selalu kutampik, jelas tak boleh sampai ketinggalan dalam doa ini. Segala bentuk kerja kerasnya dalam menafkahi keluarga tentu tak cukup kubalas dengan harta maupun benda saja. Pekerjaan sekeras dan sekasar apa yang tak pernah dilakoninya? Kini tubuhnya tampak sudah tak sekekar dahulu. Usia telah menggerogoti keperkasaannya. Aku berharap dapat mempersembahkan kepadanya sebuah martabat dan kedudukan yang pantas. Sedih ketika harus mengingat hinaan dari orang-orang yang selalu memandangnya sebelah mata. Maka dari itu, Tuhan, wujudkanlah mimpiku menjadi seorang yang memiliki kedudukan dengan segudang prestasi, supaya dapat membuatnya bangga memiliki seorang bungsu yang berdedikasi tinggi.

Terhadap saudara-saudara sedarahku, rasanya tak lengkap bila tanpanya. Aku bisa berbuat apa tanpa mereka? Aku sudah berada di titik ini justru karena dukungan mereka. Bahkan seorang diantaranya harus rela menidurkan mimpinya sekolah tinggi-tinggi lantaran biaya enggan merestui. Darinya pun kini ia bangunkan mimpinya kemudian ia sematkan di pundakku. Kepada-Mu jua aku bermohon, lindungi mereka dari segala bahaya. Kabulkan doa-doa mereka. Simpul kami dalam ikatan persaudaraan abadi, berbakti kepada Ayah dan Ibu, serta kelak dijauhkan dari seteru perihal warisan dan gono-gini.

Duhai Tuhanku, Kekaksih Sejatiku. Kurasa cukup sekian dulu doaku. Selebihnya akan kususul dalam tafakur di keheningan malam-malam berikutnya. Ramadan adalah bulan suci, mujarab memanjatkan setumpuk doa-doa. Namun jangan merasa bosan jika doa ini selalu berulang dan terulang. Tentu semuanya akan kembali kepada-Mu. Mohon efisienkan bila terlalu berlebihan, ingatkan bila masih ada hal penting yang terlewatkan. Sekali lagi, mohon pemahaman dan pengertian-Mu!

Tertanda
Hamba-Mu yang masih saja bodoh,

UM Ray Bitta (cukup sebut Ray saja)
***
Sinar jingga semburat merangai pagi. Awan yang berkelabat menudungi telaga sunyi, terberai-berai karena fajar gegas menyembul di baliknya. Esok ataupun lusa, suasananya akan jadi beda. Kokokan ayam dan bedug di senja kala dalam sebulan ke depan akan menjadi ramai dinanti-nanti. Setelah itu sunyi senyap tanpa jejak. Semoga saja tidak. Kalau sidang isbat jadi menetapkan esok sebagai hari pertama Ramadan, aku berencana melantunkan doa itu di sepertiga malam sebentar. Namun seandainya lelap menggelayuti lelahku sampai tahajud tak dapat kutemui, kutitipkan doa itu padamu, Idea. Semoga kau tak keberatan. Bacakan untukku tatkala kau sedang terjaga. Lantunkan beberapa ayat peneguh iman, sebelumnya. Setelahnya, zikirkan dalam sekebat tasbih pengikat keyakinan. Padamu juga telah kusematkan seuntai doa dalam senandung kerinduan. Seperti sebaris kata yang pernah kupindai, bahwa wujud rindu nan hakiki adalah ketika kita takzim saling mendoakan di sujud rakaat paling akhir. (*)

Makassar (menuju Pajalele), 19 juli 2012

03/07/2012

Satu Kaleng Susu Cap Bendera

Jika seorang ibu melahirkan di malam buta, kelak anak yang dilahirkannya akan berkulit gelap. Kalaupun besarnya nanti berparas rupawan dan memiliki gingsul, derajatnya akan naik menjadi ‘hitam manis’. Sebaliknya, jika dilahirkan di siang hari, kulitnya akan berwarna cerah juga. Terlalu cerah juga tak elok. Bisa-bisa jadi pucat. Sementara aku yang terang-terangan dilahirkan di Jumat siang, harus menerima kenyataan pahit bahwa kulitku bolong –warna hitam sebutan orang bugis? Apakah karena aku dilahirkan di waktu siang bolong? Seperti itulah orang-orang kampung dulu memberikan filosofi asal mula warna kulit. Pikirku terlalu kampungan mereka memberikan hipotesis asal-asalan seperti itu.
Sejak dilahirkan 26 tahun yang lalu, sampai sekarang, orang-orang di kampung masih sangat betah memanggilku bolong kappu­ –hitam pekat. Memang jikalau dideretkan dengan tiga saudaraku, tampak jelas warna kulitku berada di sebelah kanan paling ujung, jika urutan yang kulitnya putih dimulai sebelah kiri –seperti pada indikator perubahan warna kulit produk-produk kecantikan. Bukan hanya itu, aku yang secara kronologis merupakan anak bungsu, masih saja dianggap lebih tua dari kakak-kakakku. Apa coba. Apakah warna kulit memengaruhi proses penuaan?
Di suatu kesempatan aku pernah menayakan hal ini kepada ibuku.
“Dulu waktu ngidam kamu, Ibu sering minum kopi ketimbang minum susu cap bendera, Nak,” jawabnya sekonyong-konyong.
Lantas apakah ketika ibu sedang ngidam, kopi dan susu juga berpengaruh terhadap warna kulit anak? Apa ini ilmiah? Sudahlah, tulisan ini bukan melulu menyoal tentang halusinasi warna kulit. Melainkan tentang susu. Tepatnya susu cap bendera yang dimaksud ibuku tadi. Tak ada inovasi yang lahir dari otak orang-orang yang terus-terusan berhalusinasi.
Hal itulah yang akan kuceritakan kepadamu, Idea. Beberapa kisah tentang masa laluku yang tak seindah masa-masa kecilmu. Barangkali saja dulu ibumu sering membuatkanmu segelas susu sebelum tidurmu. Aku tahu kalau sejak kecil kau menyukai susu kental manis cap bendera itu. Apalagi yang rasa cokelat. Pun aku tahu betul bahwa susu sangat membantu dalam proses pertumbuhan fisik dan otak anak. Supaya bisa sehat dan tentu cerdas-cerdas. Dan itu tampak jelas terlihat padamu sekarang. Walaupun badanmu tidak terlalu montok, Idea yang kukenal sangat cerdas dan kreatif dalam berinovasi. Tak usah menampiknya kalau ternyata aku berlebihan. Paling tidak kau bisa lebih memahamiku, mengerti mental dan pola pikirku sebagai seorang yang pernah hidup dengan kondisi keluarga yang sangat pas-pasan dan jarang minum susu.
***
Orang-orang di kampungku sangat suka dengan yang berbau bendera, termasuk susu yang bergambar bendera. Setiap upacara pengibaran bendera merah-putih 17 Agustus di lapangan, semuanya turut khidmat memberi penghormatan. Mengerek bendera setengah tiang karena Presiden Soeharto wafat, mereka juga keranjingan. Apalagi menjelang hari ulang tahun kabupaten, warga kampung sangat antusias menaikkan umbul-umbul segala macam warna. Walaupun mereka sangsi bapak bupati akan berkonvoi memasuki kampung yang terbilang jauh itu. Terkecuali kalau sedang ada pilkada, itu lain ceritanya.
Kalau kau membuka peta Kabupaten Pinrang, kampungku terletak di ujung paling utara kota kabupaten. Diapit oleh gunung yang berderet semena hati, dan pesisir pantai yang memanjang tak berpasir putih. Makanya, pembangunan dan jalan-jalannya tidak akan sebagus yang ada di kota. Itu lumrah bagi kampung-kampung yang berada di daerah-daerah perbatasan, termasuk kampungku, Pajalele. Mainan-mainan impor dari China juga sangat susah didapat di sana. Apalagi game sekaliber Play Station (PS-3), jangan mimpi. Yang ada cuma mainan rakitan mobil-mobilan dari kaleng-kaleng bekas. Aku sendiri tak tahu itu bekas dari kaleng apa. Aku belum tahu apa-apa. Saat itu umurku baru menginjak umur sekira lima tahun. Yang aku tahu kaleng bekas itu memiliki bungkusan bergambar menyerupai bendera. Orang-orang di kampungku juga masih jarang yang fasih membaca. Apalagi yang berbahasa Inggris, jangan tanya lagi. Mana tahu mereka dengan “Frisian Flag”. Cukup dengan melihat gambarnya saja, sekena-kenanya susu itu mereka beri sebuah cap nama, susu cap bendera.
Susu kaleng yang memiliki label Halal dari Majelis Ulama Indonesia itu sangat berterima di kalangan mana saja. Mulai dari anak-anak, remaja, dewasa, sampai jompo-jompo, terkecuali bayi. Sangat paslah dikonsumsi oleh keluarga di berbagai tingkatan. Apalagi jika sedang terindikasi kurang darah. Gejala-gejalanya seperti: kantong mata tampak hitam, setelah duduk lama penglihatan berkunang-kunang, dan badan terasa kurang bertenaga.
Gejala seperti itu pernah dialami ayahku. Oleh ibu bidan desa, ayahku diberi sebuah resep sederhana: 1 kaleng susu cap bendera. Dengan sigap aku menebus resep itu di pasar. Segera kuhunus sebuah belati milik ibu di dapur. Kemudian kutusukkan ke bagian atas kaleng susu itu sampai membentuk dua lubang. Keluarlah cairan kental putih di salah satu lubangnya. Ayahku langsung menenggaknya tanpa diseduh air panas, sampai tersisa hanya sepertiganya. Kau tau? Sepertiganya itu disisakan untukku.
“Ini minuman halal, Nak. Minumlah supaya kau bisa tumbuh jadi anak yang cerdas dan bisa rangking satu,” katanya mengakhiri prosesi pengobatan yang agak sedikit kampungan itu.
Bagi keluargaku, kesempatan meminum susu merupakan kegiatan yang sangat langka kami lakukan. Terkecuali hanya kalau sedang sakit, ataukah sedang ada tamu terhormat yang datang berkunjung ke rumah.
***
Beberapa hari yang lalu sepulang dari  kampung, aku diserang demam. Imbas dari flu yang luar biasa itu menderaku minta ampun. Tak ada yang bisa kulakukan selain hanya pasrah dan tertidur. Tubuhku lemah karena badan semakin panas. Tak ada seorang ibu yang bisa merawatku. Itulah konsekuensi dari seorang mahasiswa bujang yang hidup jauh dari kampung halaman.
Kau sedang sibuk dengan pekerjaanmu. Aku sengaja tak memberitahumu. Aku tak mau mengganggu aktivitas kantormu. Namun karena feeling-mu terlalu tajam, pun tak lama akhirnya kau mengetahuinya. Kau datang menjengukku dengan membawa bungkusan putih merek sebuah mini market. Aku acuh tak memedulikannya. Yang aku butuhkan hanyalah perhatianmu. Wajahmu meringis melihatku terkulai lemas. Kau merawatku sampai benar-benar aku merasa nyaman dan bisa tertidur pulas. Hingga tak terasa malam sudah hampir larut, kau berlalu pulang dengan segudang cemas. Segera kubuka bungkusanmu. Kulihat beberapa buah-buahan segar dan satu kaleng susu cap bendera terselip di dalamnya. (*)


Pajalele–Makassar, 3 Juni 2012

(Halaman pada blog ini diikutsertakan dalam Kontes Blog dengan tema "Susu Inovasi yang Sehat dan Halal untuk Pertumbuhan Anak" kerjasama Blogdetik dengan LPPOM MUI dan Frisian Flag)

26/06/2012

Dinamika (Kau dan Biolamu 3)

BAHWA hidup itu akan menarik jika ada dinamikanya, barangkali aku menyetujuinya. Perjalanan dalam hidup ini jelaslah penuh liku nan berkelok. Pun jalan yang demikian itu tidaklah selamanya mulus. Terseok-seok, tergelincir, hingga merdeka dan bahagia merupakan beberapa imbas dari sekian banyak konsekuensi dalam perjalanan yang dinamis itu. Hanya pengalaman yang dapat dijadikan bekal pelajaran dalam menitinya. Bergerak merupakan kemestian yang mau tidak mau menjadi keniscayaan, tolok ukur dari perubahan. Bumi yang hanya tampak diam oleh beberapa mata manusia sebanarnya malah aktif bergerak dengan rotasinya mengitari pusat matahari.
Dalam hal yang demikian itu aku sepakat denganmu. Namun dalam berketetapan hati kita pernah berbeda pemahaman. Logikaku ketat mengikat dalam memantapkan pilihan hati, kau masih fleksibel memaknai hal tersebut. Seperti dulu kau pernah berceracau di selasar taman –yang dulu pernah kita namai sebagai taman langit– ketika senja beringsut ke peraduannya.
“Hidup kita tak selamanya akan begini. Ada dinamikanya, naik turun, fluktuatif seperti harga sembako. Hari ini mungkin kita bersedih karena cela dari mereka yang urung mengerti. Esok siapa yang tahu?”
Aku hanya nganguk-ngangguk mencoba memahami. Kubiarkan kau terus melanjutkan.
“Saat ini mungkin kita bahagia karena masih bisa bersama, esok mana tahu? Pun hati ini masih selalu menyoal tentangmu setiap saat. Esok? Entah?”
Kau mengakhiri dengan nada cemas. Lalu menatapku miris bercampur waswas, lantas aku meringis. Saat itu, hanya ‘keadaan’ yang dijadikan sebagai musabab atas masalah yang kadang tak merestui.
Itu dulu. Sekarang, perlahan namun pasti, kau sudah yakin memastikan bahwa aku adalah satu-satunya orang yang pantas untuk kau curahkan setumpuk perhatian, pantas untuk kau jadikan tumpuan di saat rapuhmu. Sampai pada titik yang paling pantas, malah kau menyebutku sebagai separuhmu. Luar biasa, bukan? Semringah kau mengucap itu, aku berjingkrak bukan main dalam hati.
Sementara di belahan Eropa sana, di Polandia dan Ukraina, berlangsung beberapa laga pamungkas kesukaan banyak orang. Bukan hanya para pria, pun banyak kaum hawa telah dihipnotisnya. Sampai-sampai banyak yang dibuatnya panas dingin. Ya, demam Piala Eropa. Kau juga ikutan demam dibuatnya. Bermunculan banyak binatang peramal. Mulai dari yang berkaki banyak, berkaki empat, tak berkaki, atau yang cuma berekor saja. Tahu apa mereka tentang sepak bola? Terkadang manusia selalu menjadikan ketidakmungkinan menjadi sesuatu yang mungkin untuk dilogikakan. Ada-ada saja. Dan sepertinya akan selalu ada.
Saat ini sudah memasuki laga semifinal. Kau mendukung Jerman karena pemain favorit Real Madrid-mu bermain di sana, Mesut Ozil. Sementara aku, mati-matian tetap akan mendukung tim kesayanganku, Spanyol. Mayoritas pemain Barcelona bermain di sana. Kita mempunyai alasan yang serupa. Terkadang El Classico memang menyisakan beragam ketidaksepahaman bagi para pendukungnya. Namun aku berharap kedua negara itu dapat bertemu di laga final nanti. Apa salahnya kalau kita berbeda minat. Sesekali perbedaan kita jadikan sebagai perekat, supaya ada dinamika.
***
Di sebuah rumah sederhana yang tak begitu luas, aku tinggal dengan beberapa kawan. Sebut saja mereka sebagai Bandoci dan kawan-kawan. Tak elok menyebutkan nama mereka satu persatu. Sebab kalau jadi populer, bisa-bisa mereka malah minta upah karena namanya telah kujadikan tokoh ke dalam cerita ini. Gengsi mereka terlalu tinggi. Jadinya, hanya kalau rumah sedang sepi barulah aku semangat latihan menggesek biola. Sangat tidak nyaman bila mereka sedang di rumah, terutama Si Bandoci itu. Yang dilakukannya hanya mengejek dan mencibir. Bayangkan saja, hasil bunyi gesekan biola perdanaku dikiranya lebih mirip (maaf) suara kentut yang sengaja dikeluarkan sedikit demi sedikit. Ada-ada saja.
Tanah airku Indonesia
negeri elok yang amat kucinta
tanah tumpah darahku yang mulia
yang kupuja sepanjang masa...
Entah dapat wangsit dari mana, instrumen Lagu Nasional 'Rayuan Pulau Kelapa' itu nyelonong masuk seenaknya mondar-mandir ke dalam kepalaku ketika memulai mempelajari nada-nada pada biola. Padahal aku termasuk pemerhati lagu-lagu pop terbaru negeri ini. Apalagi yang bergenre galau –salah satu jenis lagu terfavorit umat manusia Indonesia saat ini. Agustusan juga masih terbilang jauh. Mungkin di zaman penjajahan dulu, biola selalu identik dengan instrumen lagu-lagu nasionalisme seperti yang dilakukan WR. Supratman. Ataukah karena kunci nada lagu karya Ismail Marzuki tersebut hanya berkutat pada nada mayor seperti G, C, dan D saja. Sementara nada dasar biola adalah G, D, A, dan E. Berbeda dengan jenis lagu-lagu galau itu, pada umumnya bermain pada nada-nada minor seperti Am, Dm, dan Em. Otomatis nadanya selalu miris, membuat hati meringis dan tentu menyayat-nyayat hati.
Pengetahuanku tentang gitar sebanarnya sudah ada dan mumpuni dalam memainkan beberapa lagu. Sebut saja lagu rock lawas Sweet Child of Mine milik Guns n Roses. Atau beberapa lagu hits Rolling Stone, Metalica, dan Nirvana. Kau percaya? Syukurlah kalau kau tidak memercayainya. Aku cuma mampu menyebutkannya saja. Bahwa aku sedikit memiliki pengetahuan dan bisa memetik gitar itu memang benar. Tetapi jangan harap mampu bernyanyi seperti Iwan Fals dan Sandhy Sondoro yang teramat lihai bernyanyi sambil memetik gitar. Tapi kalau hujan sedang lebat-lebatnya, mungkin aku bisa kalian adu. Diadu berteriak tak karuan atau memutuskan tali-tali gitar.
Berbeda dengan gitar, biola tidak mempunyai fret penanda jari. Jadi mesti memiliki rasa musik yang tinggi dan membutuhkan daya kesabaran luar biasa. Salah-salah menekan titik nada, sumbanglah suara gesekannya. Makanya mentormu dulu sengaja memberikan tanda fret berupa isolatif merah pada papan dawainya supaya lebih mudah diingat. Tanda-tanda itu disesuaikan dengan skala nada mayornya.
***
 
 Sumber : di sini

“Biola itu tidak harmonis, kurang padu, beda, dan cenderung sendiri. Namun tatkala baur, simfoni jadinya!” Katamu bijak menjelaskan tentang filosofi biola. Kuanggap itu sebagai arahan prolog pra-pertunjukan dari seorang pelatih. Kau genggam erat lenganku memberi semangat. Aku takjub menyaksikan rautmu yang sendu. Bahuku menaik. Kuhela nafas dalam-dalam kemudian bibirku menghembusnya kuat-kuat. Sekarang, semangatku sudah berada pada titik puncak kepercayaan diri luar biasa.
Sebelum memulai pertunjukan simfoni sederhana itu, kuambil beberapa gerakan SKJ tahun sembilan puluhan, sebuah gerakan pemanasan. Setelah itu, dengan gemulai kuraut bow-nya menggunakan damar agar suara gesekannya dapat melengking sempurna. Bukan hanya kendaran bermotor yang harus dipanaskan sebelum dipakai, bukan? Di selasar taman ini semuanya akan bermula. Sebuah langkah kecil untuk hasil besar.
“Apakah kau sudah siap, Idea?” tanyaku penuh keyakinan.
Kau menimpali dengan menggerak-gerakkan pinggangmu supaya memperoleh posisi duduk yang paling nyaman. Padahal sedari tadi kau sudah tampak khidmat duduk manis menantikan aksiku. Sudah tak sabar kau rupanya. Tak lupa kau menyetel rekaman handphone-mu. Tentu kesempatan langka seperti ini enggan kau lewatkan begitu saja.
            Aku hendak memulai aksi. Posisi tubuhku sudah sangat menyakinkan. Terdengar nada yang agak sumbang. Barangkali karena hari sudah gelap, sementara penerang di taman ini tak cukup memperjelas tanda-tanda fret pada papan dawai biolamu. Rembulan masih sabit.
“Kesan pertama jarang yang sempurna, Idea. Biasalah, demam panggung,” aku berkilah pura-pura menutupi grogi yang menggerogot.
Sebuah instrumen Lagu Nasional samar-samar terdengar canggung. Namun lama-lama semakin tanggung. Gemerusuk dedaunan bersorak merdu. Semilir angin malam menyepoi memperjelas tempo. Kesunyian, keindahan, dan cinta memadu satu dalam irama. Nada demi nada mendayu-dayu menjadi lagu. Lagu tergubah menjadi rayu. Rayuan Pulau Kelapa mengalun merdu nan penuh syahdu. Kau terkesima menyaksikan simfoniku berkolaborasi dengan suara alam. Azan Isya memberi irama penutupan yang apik. Hening jadinya. Matamu berkaca-kaca menahan haru. Seutas senyummu menyimpul bahagia. Nafasku lega menyaksikan itu. (*)

Makassar, 26 Juni 2012

19/06/2012

Simfoni (Kau dan Biolamu 2)

TAK terasa tiga pekan tiga hari terlewati. Selama itu juga biolamu sudah mengisi kekosongan kamarku. Beragam kekalutan yang diretasnya. Nada gesekannya menjadi penawar atas pening yang terus menukik. Kemilau dan kemolekannya menjadi pelipur tatkala imaji tak mempan menghunjam rindu. Biolamu selalu tampak seperti seekor kucing anggora, mengendus-endus berharap selalu ingin dielus dan dimanja-manja. Jadilah aku seperti seorang ayah muda yang begitu semringah ketika memasuki rumah karena sang buah hati cekikian lucu memberi sambutan kebahagiaan. Menatapnya, aku mengingatmu.

Waktu hampir sebulan itu kulalui dengan pola hidup yang kebanyakan orang menyebutnya dengan kata ‘sibuk’. Sibuk menjadi satu-satunya alasan paling rasional untuk mendukung pengelakan atas keadaan yang tak dipungkiri. Tetapi kenyataannya memang demikan. Tugas-tugas kuliahku menumpuk hebat, selaras dengan pakaian kotor yang terus menggunung. Ujian demi ujian silih datang bergantian karena masa semester sudah sampai di ambang nadi pengakhirannya. Alhasil halaman ini berasa tandus, kering karena kelamaan tak disirami dengan air kehidupan. Kadang kau tak luput juga ketularan sibuk, sibuk memerhatikanku. “Jangan terlalu larut mengerjakan tugas. Jaga hati dan kesehatan!” katamu sering lewat pesan singkat.

Tentu aku masih ingat jelas titahmu saat meminjamkanku biolamu dulu. Maka dengan sengaja aku membeli sebuah gembok anti maling paling top dalam dunia permalingan. Karena takut kalau biolamu sampai kenapa-kenapa, tasnya terpaksa aku gembok. Mencegah jauh lebih baik, bukan? Aku tak mampu membayangkan kalau sampai terjadi sesuatu yang memang tak sanggup kubayangkan. Bisa-bisa nanti dijahili oleh kawan-kawan serumah –terutama Si Bandoci– atau malah raib dibawa maling. Aku tak mau itu terjadi. Itu barang kesayanganmu. Mau tidak mau strategi pengaman ‘kelas satu’ mesti kuterapkan. Walau seperangkat alat kamera CCTV tak mampu kupasang di segala penjuru rumah dan di setiap sudut kamarku, –mungkin kata paling tepatnya adalah tak mampu kubeli– namun dengan gembok itu kurasa sudah sangat cukup.

Sudah kumantapkan bahwa besok biolamu akan kukembalikan. Waktu hampir sebulan itu kurasa sudah cukup untuk mempersembahkan sebuah hasil. Dan tepatnya malam hari di selasar taman akan kugelar sebuah pertunjukan kecil-kecilan kepadamu, simfoni sederhana. Langkah kecil untuk hasil yang besar. Tidak ketinggalan sebuah rencana kejutan kecil-kecilan telah kusiapkan. Kusisipkan satu novel terbaru karya orang Makassar “Lontara Rindu” milik Gegge Mappangewa ke dalam saku tas biolamu, lengkap dengan beberapa kata persembahan di halaman sampulnya. Pun pakaian terbaik sudah kusetrika. Semua telah terkonsep rapi. Sisa menunggu sampai esok tiba.
***
Coky Sitohang memberikan sambutan pembukaan yang meriah. Tirai hitam lebar perlahan tersingkap. Tanganku menampik silauan gerlap karena cahaya lampu menyorot tepat memenuhi sekujur tubuhku. Suara tepukan dan elu-elukan memanggil namaku bergemuruh riuh di seantero ruangan yang luas melingkar seperti stadion bola. Tiga perempat ruangan itu menjadi panggung megah yang berlangitkan cahaya temaram yang kerlip berwarna-warni. Sisanya dipenuhi oleh kursi-kursi merah yang disesaki oleh ribuan orang. Sebuah spanduk besar terbentang, “you are the next master of violin”. Namaku besar-besar tertulis di situ. Ya, ini adalah panggung pertunjukan, konser tunggalku.

Kutilik deka demi deka sekelilingku. Busana yang kupakai tampak tak seperti biasanya. Setelan jas hitam mengkilap pas membungkus tubuh rampingku. Kurasakan nafasku tersengal karena dasi kupu-kupu menyimpul kaku di leherku. Terasa kuat jemariku menggenggam seperangkat alat musik. Tak salah lagi, ini biola dengan bow-nya. Dari arah belakang terlihat puluhan musisi sedang khusyuk pada posisinya masing-masing dengan alat yang berbeda satu sama lain. Piano, biola, cello, gitar, saksofon, bas, perkusi, drum, dan rekan-rekan sejawatnya di dunia permusikan, semua tampak hadir, lengkap. Tampak seorang sedang berdiri berlagak seperti pemimpin memegang tongkat kecil. Aku terperanjat. Dia salah seorang dirigen kenamaan. Benar, itu Erwin Gutawa. Dari arah depan, di barisan kursi VIP bagian terdepan samar-samar kulihat beberapa wajah yang sepertinya aku kenal. Tak salah, mereka itu maestro biola kebanggaan negeri ini, Idris Sardi, didampingi oleh Maylaffayza dan Iskandar Widjaja. Juga tidak ketinggalan seorang yang bertubuh subur memakai topi bulat –lebih merip baret– yang menutupi sebagian rambut ikalnya. Lidahku kelu, itu Andrea Hirata.

“Idea di mana?” Aku mencarimu. Tiga kursi di samping penulis Belitong itu masih tampak kosong. Sang konduktor terlanjur sudah menghentakkan palu, tanda dimana musik mulai mengalun. Aku mulai menggesek biola. Sebuah nada sendu mengalun merdu, berharmoni dengan racikan musik sang komposer ulung itu. Sekonyong-konyong terdengar suara yang menggumam, menyeruak mulus beresonansi dengan alunan nada yang sudah aku kuasai betul. Lampu menyorotnya berjalan menghampiriku. Ia bersenandung mengikuti irama.
Apa yang terjadi dengan hatiku
kumasih di sini menunggu pagi
Seakan letih tak menggangguku
kumasih terjaga menunggu pagi...
Kupikir cuma instrumennya saja yang aku bawakan. Siapa sangka, Ariel Peterpan malah menyanyikannya berduet denganku. Itu lagu favoritku. Sering kusetel saban pagi ketika sedang menikmati prosesi pergantian malam menuju siang. Oh iya, itu juga termasuk lagu kesukaanmu. Apalagi kalau sedang meredam emosimu yang terus meradang. “Hufh.., sudahlah. Masih menunggu pagi,” katamu pasrah ketika lelah tak mampu menjelaskan maksud hati.

Dalam suasana keindahan itu, seorang perempuan manis berjilbab tampak sedang berjalan memasuki barisan kursi terdepan yang masih kosong tadi, sambil mengiring dua orang tua yang sudah agak renta. Aku lega, itu kamu dan kedua orang tuaku. Namun sebelum duduk, kau mengukuir sebuah isyarat di udara. Sebuah kalimat penyemangat yang selalu kau kirimkan sebelum tidurku. Kau menyebutnya sebagai suplemen hati. Tak elok kusebutkan di sini. Aku terus menggeliat menggesek biola dengan hebatnya. Ariel masih bersenandung dengan suara menggumam ciri khasnya. Sesekali Andrea Hirata terlihat semringah berdecak kagum. Erwin Gutawa tetap tegap, lihai mengukir perintah nada-nada kepada para pemusik orkestranya. Mereka tokoh-tokoh favoritku. Semua tampak larut menikmati. Sebuah pertunjukan luar biasa, simfoni.

 Sumber : di sini

            Suara drum mendentum hebat. Lama-lama terdengar tambah keras. Malah terdengar rusuh memekikkan gendang telinga. Tempo iramanya terdengar mulai tidak karuan, sumbang, dan semakin keras saja. Dentuman musik drum tadi malah mirip suara pukulan pintu kamar oleh seseorang yang beringas memukul-mukul beduk takbiran. Tak salah lagi, dia Bandoci, kawan serumah yang berusaha membangunkanku. Bau sengir tak sedap tercium menyengat di sekitar bantal yang tampak masih basah membentuk pola seperti pulau-pulau kecil tak berpenghuni. Mataku membelalak, sontak kaget bukan main. Kulihat sebuah biola tergelatak bersama bermacam-macam jenis buku kuliah. Tak salah lagi, itu biolamu. Benar, aku bermimpi. (*)
(Bersambung)

Makassar, 17 Juni 2012