19/06/2012

Simfoni (Kau dan Biolamu 2)

TAK terasa tiga pekan tiga hari terlewati. Selama itu juga biolamu sudah mengisi kekosongan kamarku. Beragam kekalutan yang diretasnya. Nada gesekannya menjadi penawar atas pening yang terus menukik. Kemilau dan kemolekannya menjadi pelipur tatkala imaji tak mempan menghunjam rindu. Biolamu selalu tampak seperti seekor kucing anggora, mengendus-endus berharap selalu ingin dielus dan dimanja-manja. Jadilah aku seperti seorang ayah muda yang begitu semringah ketika memasuki rumah karena sang buah hati cekikian lucu memberi sambutan kebahagiaan. Menatapnya, aku mengingatmu.

Waktu hampir sebulan itu kulalui dengan pola hidup yang kebanyakan orang menyebutnya dengan kata ‘sibuk’. Sibuk menjadi satu-satunya alasan paling rasional untuk mendukung pengelakan atas keadaan yang tak dipungkiri. Tetapi kenyataannya memang demikan. Tugas-tugas kuliahku menumpuk hebat, selaras dengan pakaian kotor yang terus menggunung. Ujian demi ujian silih datang bergantian karena masa semester sudah sampai di ambang nadi pengakhirannya. Alhasil halaman ini berasa tandus, kering karena kelamaan tak disirami dengan air kehidupan. Kadang kau tak luput juga ketularan sibuk, sibuk memerhatikanku. “Jangan terlalu larut mengerjakan tugas. Jaga hati dan kesehatan!” katamu sering lewat pesan singkat.

Tentu aku masih ingat jelas titahmu saat meminjamkanku biolamu dulu. Maka dengan sengaja aku membeli sebuah gembok anti maling paling top dalam dunia permalingan. Karena takut kalau biolamu sampai kenapa-kenapa, tasnya terpaksa aku gembok. Mencegah jauh lebih baik, bukan? Aku tak mampu membayangkan kalau sampai terjadi sesuatu yang memang tak sanggup kubayangkan. Bisa-bisa nanti dijahili oleh kawan-kawan serumah –terutama Si Bandoci– atau malah raib dibawa maling. Aku tak mau itu terjadi. Itu barang kesayanganmu. Mau tidak mau strategi pengaman ‘kelas satu’ mesti kuterapkan. Walau seperangkat alat kamera CCTV tak mampu kupasang di segala penjuru rumah dan di setiap sudut kamarku, –mungkin kata paling tepatnya adalah tak mampu kubeli– namun dengan gembok itu kurasa sudah sangat cukup.

Sudah kumantapkan bahwa besok biolamu akan kukembalikan. Waktu hampir sebulan itu kurasa sudah cukup untuk mempersembahkan sebuah hasil. Dan tepatnya malam hari di selasar taman akan kugelar sebuah pertunjukan kecil-kecilan kepadamu, simfoni sederhana. Langkah kecil untuk hasil yang besar. Tidak ketinggalan sebuah rencana kejutan kecil-kecilan telah kusiapkan. Kusisipkan satu novel terbaru karya orang Makassar “Lontara Rindu” milik Gegge Mappangewa ke dalam saku tas biolamu, lengkap dengan beberapa kata persembahan di halaman sampulnya. Pun pakaian terbaik sudah kusetrika. Semua telah terkonsep rapi. Sisa menunggu sampai esok tiba.
***
Coky Sitohang memberikan sambutan pembukaan yang meriah. Tirai hitam lebar perlahan tersingkap. Tanganku menampik silauan gerlap karena cahaya lampu menyorot tepat memenuhi sekujur tubuhku. Suara tepukan dan elu-elukan memanggil namaku bergemuruh riuh di seantero ruangan yang luas melingkar seperti stadion bola. Tiga perempat ruangan itu menjadi panggung megah yang berlangitkan cahaya temaram yang kerlip berwarna-warni. Sisanya dipenuhi oleh kursi-kursi merah yang disesaki oleh ribuan orang. Sebuah spanduk besar terbentang, “you are the next master of violin”. Namaku besar-besar tertulis di situ. Ya, ini adalah panggung pertunjukan, konser tunggalku.

Kutilik deka demi deka sekelilingku. Busana yang kupakai tampak tak seperti biasanya. Setelan jas hitam mengkilap pas membungkus tubuh rampingku. Kurasakan nafasku tersengal karena dasi kupu-kupu menyimpul kaku di leherku. Terasa kuat jemariku menggenggam seperangkat alat musik. Tak salah lagi, ini biola dengan bow-nya. Dari arah belakang terlihat puluhan musisi sedang khusyuk pada posisinya masing-masing dengan alat yang berbeda satu sama lain. Piano, biola, cello, gitar, saksofon, bas, perkusi, drum, dan rekan-rekan sejawatnya di dunia permusikan, semua tampak hadir, lengkap. Tampak seorang sedang berdiri berlagak seperti pemimpin memegang tongkat kecil. Aku terperanjat. Dia salah seorang dirigen kenamaan. Benar, itu Erwin Gutawa. Dari arah depan, di barisan kursi VIP bagian terdepan samar-samar kulihat beberapa wajah yang sepertinya aku kenal. Tak salah, mereka itu maestro biola kebanggaan negeri ini, Idris Sardi, didampingi oleh Maylaffayza dan Iskandar Widjaja. Juga tidak ketinggalan seorang yang bertubuh subur memakai topi bulat –lebih merip baret– yang menutupi sebagian rambut ikalnya. Lidahku kelu, itu Andrea Hirata.

“Idea di mana?” Aku mencarimu. Tiga kursi di samping penulis Belitong itu masih tampak kosong. Sang konduktor terlanjur sudah menghentakkan palu, tanda dimana musik mulai mengalun. Aku mulai menggesek biola. Sebuah nada sendu mengalun merdu, berharmoni dengan racikan musik sang komposer ulung itu. Sekonyong-konyong terdengar suara yang menggumam, menyeruak mulus beresonansi dengan alunan nada yang sudah aku kuasai betul. Lampu menyorotnya berjalan menghampiriku. Ia bersenandung mengikuti irama.
Apa yang terjadi dengan hatiku
kumasih di sini menunggu pagi
Seakan letih tak menggangguku
kumasih terjaga menunggu pagi...
Kupikir cuma instrumennya saja yang aku bawakan. Siapa sangka, Ariel Peterpan malah menyanyikannya berduet denganku. Itu lagu favoritku. Sering kusetel saban pagi ketika sedang menikmati prosesi pergantian malam menuju siang. Oh iya, itu juga termasuk lagu kesukaanmu. Apalagi kalau sedang meredam emosimu yang terus meradang. “Hufh.., sudahlah. Masih menunggu pagi,” katamu pasrah ketika lelah tak mampu menjelaskan maksud hati.

Dalam suasana keindahan itu, seorang perempuan manis berjilbab tampak sedang berjalan memasuki barisan kursi terdepan yang masih kosong tadi, sambil mengiring dua orang tua yang sudah agak renta. Aku lega, itu kamu dan kedua orang tuaku. Namun sebelum duduk, kau mengukuir sebuah isyarat di udara. Sebuah kalimat penyemangat yang selalu kau kirimkan sebelum tidurku. Kau menyebutnya sebagai suplemen hati. Tak elok kusebutkan di sini. Aku terus menggeliat menggesek biola dengan hebatnya. Ariel masih bersenandung dengan suara menggumam ciri khasnya. Sesekali Andrea Hirata terlihat semringah berdecak kagum. Erwin Gutawa tetap tegap, lihai mengukir perintah nada-nada kepada para pemusik orkestranya. Mereka tokoh-tokoh favoritku. Semua tampak larut menikmati. Sebuah pertunjukan luar biasa, simfoni.

 Sumber : di sini

            Suara drum mendentum hebat. Lama-lama terdengar tambah keras. Malah terdengar rusuh memekikkan gendang telinga. Tempo iramanya terdengar mulai tidak karuan, sumbang, dan semakin keras saja. Dentuman musik drum tadi malah mirip suara pukulan pintu kamar oleh seseorang yang beringas memukul-mukul beduk takbiran. Tak salah lagi, dia Bandoci, kawan serumah yang berusaha membangunkanku. Bau sengir tak sedap tercium menyengat di sekitar bantal yang tampak masih basah membentuk pola seperti pulau-pulau kecil tak berpenghuni. Mataku membelalak, sontak kaget bukan main. Kulihat sebuah biola tergelatak bersama bermacam-macam jenis buku kuliah. Tak salah lagi, itu biolamu. Benar, aku bermimpi. (*)
(Bersambung)

Makassar, 17 Juni 2012

4 comments:

  1. Bermimpilah, kelak Allah akan merangkul mimpimu itu...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yee..., kyk prnahka jg bilngiki bgtu?!!

      Delete
  2. Anonymous22/6/12 02:06

    kek ada jg prnah bilangika' bgitu..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saling mengutipmi ple itu prnyataannya Arai..hehee..

      Delete