AKU bukanlah seorang pendoa ulung, bukan pula
muslim paling alim. Aku hanya seorang pendosa yang selalu linglung, bahkan tak
jarang berbuat zalim. Sembahyangku juga masih bolong-bolong. Tadarusan apalagi.
Cuma Surah Yasin yang senang kumaratonkan. Tatkala berdoa, mulutku pun kaku tak
mampu mengurai maksud lewat untaian kata-kata nan syahdu. Lidahku kelu lantaran
gamang meratapi diri yang kurang terjamah wudhu. Aku malu. Apa mungkin Tuhan
mau memberi dispensasi kepadaku sebagai hamba yang selalu ingin dipahami dan
dimengerti?
Setelah kupikir-pikir, doa menjadi
satu-satunya media penyerahan diri paling memadai saat ini. Dan rasanya tak
sopan jika harus menangis lagi di hadapan-Nya. Tegur bila ternyata keliru. Sudah
sering aku begitu. Rautku amat berantakan apabila meneteskan air mata. Rasanya
tak enak menghadap-Nya dengan rupa sebentuk itu. Aku ingin menampakkan kesempurnaan
wajah yang kupunya. Pernah kucoba untuk mengatupkan kelopak mata. Dan ketika harus
begitu, air mataku tertahan tak dapat keluar dengan sempurna. Malah jadi sakit
mata. Maka, perkenankanlah aku menyampaikan doa ini dengan cara sederhana saja.
Mampuku hanya menuliskannya dulu, setelah ini akan kubacakan untuk-Nya di malam
1 ramadan nanti.
***
Untuk-Mu yang selalu menggetarkan hati dan
semesta
Di singgasana paling agung
Engkau Maha
Sempurna melampaui segala nilai dan sifat-sifat yang Kau punya. Engkau Maha Pengasih
sekaligus Maha ‘Pemarah’ sebab murka atas aku yang kadang tak tahu arah. Aku
masih saja rabun memahami kebajikan dan kejahatan, tentang kebahagiaan dan
kesedihan, hitam dan putihnya kehidupan, serta segala hal yang berlawanan. Tidakkah
sengaja Kau ciptakan hal-hal kontradiktif seperti itu? Maka Kau memberiku akal
untuk itu. Satu kelebihan yang membuat makhluk-makhluk lain merasa iri: dapat mengungguli
kemuliaan malaikat jikalau mempergunakannya dengan baik, dan sebaliknya, akan
melampaui kesesatan setan jika tidak digunakan dengan baik pula. Singkatnya, makhluk
sempurnalah. Namun sayang, akalku belum mampu mengurai makna-makna di balik
semua itu.
Tuhan, mohon
pengertian-Mu. Jalanku kini tampaknya mulai suram. Dulunya pernah temaram, kini
perlahan kembali muram. Aku tahu diri ini berlumur dosa. Tetapi mohon dipertimbangkan.
Barangkali saja ada dua, tiga, atau empat amal kebajikan yang sudah kubuat.
Kuadratkan segala pahala dari itu. Atau kalau bisa, barterkan secuil amalku
dengan segudang dosa yang telah kuperbuat. Sulutlah kembali obor kehidupanku.
Hampir saja resah betah menjadikanku kalah. Sekali lagi, Tuhan, mohon pertimbangkan.
Sekiranya ternyata belum sepadan, mohon dicek ulang. Bisa jadi terselip di
tumpukan amal dermawan orang sebelah.
Selalu kuharapkan
percikan cahaya-Mu, nur dari dari segala nur itu. Tak usah terlalu benderang.
Cukup untuk untuk menerangi akal dan hatiku tok. Cukup untuk menyusuri jalan hidupku
yang sudah Kau patok. Cukup untuk memancarkan cahaya kebaikan ke orang-orang sekitarku,
serta bermanfaat bagi sesama. Hanya saja beberapa diantaranya malah membalasnya
dengan maki. Selebihnya ada juga menimpali dengan doa dan terima kasih. Adapun
mereka mau ikhlas membalasnya dengan harta benda, kupikir Engkau tak akan
keberatan, bukan? Karena pemberian itu akan kuamalkan kembali. Di dunia
mendulang amal, di akhirat meraih pahala secara optimal.
Teruntuk ibuku
yang dulu sering kubuat murka, sampai-sampai harus meneteskan air mata, membuat
dadaku selalu bergetar dibuatnya. Aku sangat menyayanginya, Tuhan. Hanya saja kemiskinan
pernah membuat kami buta, tak bersepaham tentang arti sebuah penderitaan dan kebahagiaan.
Lupakanlah itu. Kini, jikalau boleh memohon, aku ingin membahagiakannya dengan
kesejahteraan hidup yang berkecukupan. Tentu saja hasil dari jerih payahku
sendiri. Kalau hanya dengan itu bisa membuatnya senang, maka curahkanlah kepadaku
rejeki dan harta berlimpah. Sampai di usia segini, aku bahkan belum mampu
memberinya apa-apa. Apalagi menghadiahkannya beberapa cucu. Menghidupi diri
sendiri saja aku tak becus. Namun apabila berkenan, mohon jadikan aku sebagai
seorang pria mapan, layak untuk meminang anak gadis orang.
Untuk ayahku
yang sering kubuat kesal karena perintahnya selalu kutampik, jelas tak boleh sampai
ketinggalan dalam doa ini. Segala bentuk kerja kerasnya dalam menafkahi
keluarga tentu tak cukup kubalas dengan harta maupun benda saja. Pekerjaan sekeras
dan sekasar apa yang tak pernah dilakoninya? Kini tubuhnya tampak sudah tak
sekekar dahulu. Usia telah menggerogoti keperkasaannya. Aku berharap dapat
mempersembahkan kepadanya sebuah martabat dan kedudukan yang pantas. Sedih ketika
harus mengingat hinaan dari orang-orang yang selalu memandangnya sebelah mata.
Maka dari itu, Tuhan, wujudkanlah mimpiku menjadi seorang yang memiliki kedudukan
dengan segudang prestasi, supaya dapat membuatnya bangga memiliki seorang bungsu
yang berdedikasi tinggi.
Terhadap saudara-saudara
sedarahku, rasanya tak lengkap bila tanpanya. Aku bisa berbuat apa tanpa
mereka? Aku sudah berada di titik ini justru karena dukungan mereka. Bahkan seorang
diantaranya harus rela menidurkan mimpinya sekolah tinggi-tinggi lantaran biaya
enggan merestui. Darinya pun kini ia bangunkan mimpinya kemudian ia sematkan di
pundakku. Kepada-Mu jua aku bermohon, lindungi mereka dari segala bahaya. Kabulkan
doa-doa mereka. Simpul kami dalam ikatan persaudaraan abadi, berbakti kepada
Ayah dan Ibu, serta kelak dijauhkan dari seteru perihal warisan dan gono-gini.
Duhai Tuhanku,
Kekaksih Sejatiku. Kurasa cukup sekian dulu doaku. Selebihnya akan kususul
dalam tafakur di keheningan malam-malam berikutnya. Ramadan adalah bulan suci,
mujarab memanjatkan setumpuk doa-doa. Namun jangan merasa bosan jika doa ini
selalu berulang dan terulang. Tentu semuanya akan kembali kepada-Mu. Mohon
efisienkan bila terlalu berlebihan, ingatkan bila masih ada hal penting yang
terlewatkan. Sekali lagi, mohon pemahaman dan pengertian-Mu!
Tertanda
Hamba-Mu yang masih saja bodoh,
UM Ray Bitta (cukup sebut Ray saja)
***
Sinar jingga semburat merangai pagi. Awan yang
berkelabat menudungi telaga sunyi, terberai-berai karena fajar gegas menyembul
di baliknya. Esok ataupun lusa, suasananya akan jadi beda. Kokokan ayam dan bedug
di senja kala dalam sebulan ke depan akan menjadi ramai dinanti-nanti. Setelah
itu sunyi senyap tanpa jejak. Semoga saja tidak. Kalau sidang isbat jadi
menetapkan esok sebagai hari pertama Ramadan, aku berencana melantunkan doa
itu di sepertiga malam sebentar. Namun seandainya lelap menggelayuti lelahku
sampai tahajud tak dapat kutemui, kutitipkan doa itu padamu, Idea. Semoga kau tak
keberatan. Bacakan untukku tatkala kau sedang terjaga. Lantunkan beberapa ayat peneguh
iman, sebelumnya. Setelahnya, zikirkan dalam sekebat tasbih pengikat keyakinan.
Padamu juga telah kusematkan seuntai doa dalam senandung kerinduan. Seperti sebaris
kata yang pernah kupindai, bahwa wujud rindu nan hakiki adalah ketika kita takzim
saling mendoakan di sujud rakaat paling akhir. (*)
Makassar (menuju Pajalele), 19 juli 2012
No comments:
Post a Comment