03/07/2012

Satu Kaleng Susu Cap Bendera

Jika seorang ibu melahirkan di malam buta, kelak anak yang dilahirkannya akan berkulit gelap. Kalaupun besarnya nanti berparas rupawan dan memiliki gingsul, derajatnya akan naik menjadi ‘hitam manis’. Sebaliknya, jika dilahirkan di siang hari, kulitnya akan berwarna cerah juga. Terlalu cerah juga tak elok. Bisa-bisa jadi pucat. Sementara aku yang terang-terangan dilahirkan di Jumat siang, harus menerima kenyataan pahit bahwa kulitku bolong –warna hitam sebutan orang bugis? Apakah karena aku dilahirkan di waktu siang bolong? Seperti itulah orang-orang kampung dulu memberikan filosofi asal mula warna kulit. Pikirku terlalu kampungan mereka memberikan hipotesis asal-asalan seperti itu.
Sejak dilahirkan 26 tahun yang lalu, sampai sekarang, orang-orang di kampung masih sangat betah memanggilku bolong kappu­ –hitam pekat. Memang jikalau dideretkan dengan tiga saudaraku, tampak jelas warna kulitku berada di sebelah kanan paling ujung, jika urutan yang kulitnya putih dimulai sebelah kiri –seperti pada indikator perubahan warna kulit produk-produk kecantikan. Bukan hanya itu, aku yang secara kronologis merupakan anak bungsu, masih saja dianggap lebih tua dari kakak-kakakku. Apa coba. Apakah warna kulit memengaruhi proses penuaan?
Di suatu kesempatan aku pernah menayakan hal ini kepada ibuku.
“Dulu waktu ngidam kamu, Ibu sering minum kopi ketimbang minum susu cap bendera, Nak,” jawabnya sekonyong-konyong.
Lantas apakah ketika ibu sedang ngidam, kopi dan susu juga berpengaruh terhadap warna kulit anak? Apa ini ilmiah? Sudahlah, tulisan ini bukan melulu menyoal tentang halusinasi warna kulit. Melainkan tentang susu. Tepatnya susu cap bendera yang dimaksud ibuku tadi. Tak ada inovasi yang lahir dari otak orang-orang yang terus-terusan berhalusinasi.
Hal itulah yang akan kuceritakan kepadamu, Idea. Beberapa kisah tentang masa laluku yang tak seindah masa-masa kecilmu. Barangkali saja dulu ibumu sering membuatkanmu segelas susu sebelum tidurmu. Aku tahu kalau sejak kecil kau menyukai susu kental manis cap bendera itu. Apalagi yang rasa cokelat. Pun aku tahu betul bahwa susu sangat membantu dalam proses pertumbuhan fisik dan otak anak. Supaya bisa sehat dan tentu cerdas-cerdas. Dan itu tampak jelas terlihat padamu sekarang. Walaupun badanmu tidak terlalu montok, Idea yang kukenal sangat cerdas dan kreatif dalam berinovasi. Tak usah menampiknya kalau ternyata aku berlebihan. Paling tidak kau bisa lebih memahamiku, mengerti mental dan pola pikirku sebagai seorang yang pernah hidup dengan kondisi keluarga yang sangat pas-pasan dan jarang minum susu.
***
Orang-orang di kampungku sangat suka dengan yang berbau bendera, termasuk susu yang bergambar bendera. Setiap upacara pengibaran bendera merah-putih 17 Agustus di lapangan, semuanya turut khidmat memberi penghormatan. Mengerek bendera setengah tiang karena Presiden Soeharto wafat, mereka juga keranjingan. Apalagi menjelang hari ulang tahun kabupaten, warga kampung sangat antusias menaikkan umbul-umbul segala macam warna. Walaupun mereka sangsi bapak bupati akan berkonvoi memasuki kampung yang terbilang jauh itu. Terkecuali kalau sedang ada pilkada, itu lain ceritanya.
Kalau kau membuka peta Kabupaten Pinrang, kampungku terletak di ujung paling utara kota kabupaten. Diapit oleh gunung yang berderet semena hati, dan pesisir pantai yang memanjang tak berpasir putih. Makanya, pembangunan dan jalan-jalannya tidak akan sebagus yang ada di kota. Itu lumrah bagi kampung-kampung yang berada di daerah-daerah perbatasan, termasuk kampungku, Pajalele. Mainan-mainan impor dari China juga sangat susah didapat di sana. Apalagi game sekaliber Play Station (PS-3), jangan mimpi. Yang ada cuma mainan rakitan mobil-mobilan dari kaleng-kaleng bekas. Aku sendiri tak tahu itu bekas dari kaleng apa. Aku belum tahu apa-apa. Saat itu umurku baru menginjak umur sekira lima tahun. Yang aku tahu kaleng bekas itu memiliki bungkusan bergambar menyerupai bendera. Orang-orang di kampungku juga masih jarang yang fasih membaca. Apalagi yang berbahasa Inggris, jangan tanya lagi. Mana tahu mereka dengan “Frisian Flag”. Cukup dengan melihat gambarnya saja, sekena-kenanya susu itu mereka beri sebuah cap nama, susu cap bendera.
Susu kaleng yang memiliki label Halal dari Majelis Ulama Indonesia itu sangat berterima di kalangan mana saja. Mulai dari anak-anak, remaja, dewasa, sampai jompo-jompo, terkecuali bayi. Sangat paslah dikonsumsi oleh keluarga di berbagai tingkatan. Apalagi jika sedang terindikasi kurang darah. Gejala-gejalanya seperti: kantong mata tampak hitam, setelah duduk lama penglihatan berkunang-kunang, dan badan terasa kurang bertenaga.
Gejala seperti itu pernah dialami ayahku. Oleh ibu bidan desa, ayahku diberi sebuah resep sederhana: 1 kaleng susu cap bendera. Dengan sigap aku menebus resep itu di pasar. Segera kuhunus sebuah belati milik ibu di dapur. Kemudian kutusukkan ke bagian atas kaleng susu itu sampai membentuk dua lubang. Keluarlah cairan kental putih di salah satu lubangnya. Ayahku langsung menenggaknya tanpa diseduh air panas, sampai tersisa hanya sepertiganya. Kau tau? Sepertiganya itu disisakan untukku.
“Ini minuman halal, Nak. Minumlah supaya kau bisa tumbuh jadi anak yang cerdas dan bisa rangking satu,” katanya mengakhiri prosesi pengobatan yang agak sedikit kampungan itu.
Bagi keluargaku, kesempatan meminum susu merupakan kegiatan yang sangat langka kami lakukan. Terkecuali hanya kalau sedang sakit, ataukah sedang ada tamu terhormat yang datang berkunjung ke rumah.
***
Beberapa hari yang lalu sepulang dari  kampung, aku diserang demam. Imbas dari flu yang luar biasa itu menderaku minta ampun. Tak ada yang bisa kulakukan selain hanya pasrah dan tertidur. Tubuhku lemah karena badan semakin panas. Tak ada seorang ibu yang bisa merawatku. Itulah konsekuensi dari seorang mahasiswa bujang yang hidup jauh dari kampung halaman.
Kau sedang sibuk dengan pekerjaanmu. Aku sengaja tak memberitahumu. Aku tak mau mengganggu aktivitas kantormu. Namun karena feeling-mu terlalu tajam, pun tak lama akhirnya kau mengetahuinya. Kau datang menjengukku dengan membawa bungkusan putih merek sebuah mini market. Aku acuh tak memedulikannya. Yang aku butuhkan hanyalah perhatianmu. Wajahmu meringis melihatku terkulai lemas. Kau merawatku sampai benar-benar aku merasa nyaman dan bisa tertidur pulas. Hingga tak terasa malam sudah hampir larut, kau berlalu pulang dengan segudang cemas. Segera kubuka bungkusanmu. Kulihat beberapa buah-buahan segar dan satu kaleng susu cap bendera terselip di dalamnya. (*)


Pajalele–Makassar, 3 Juni 2012

(Halaman pada blog ini diikutsertakan dalam Kontes Blog dengan tema "Susu Inovasi yang Sehat dan Halal untuk Pertumbuhan Anak" kerjasama Blogdetik dengan LPPOM MUI dan Frisian Flag)

26/06/2012

Dinamika (Kau dan Biolamu 3)

BAHWA hidup itu akan menarik jika ada dinamikanya, barangkali aku menyetujuinya. Perjalanan dalam hidup ini jelaslah penuh liku nan berkelok. Pun jalan yang demikian itu tidaklah selamanya mulus. Terseok-seok, tergelincir, hingga merdeka dan bahagia merupakan beberapa imbas dari sekian banyak konsekuensi dalam perjalanan yang dinamis itu. Hanya pengalaman yang dapat dijadikan bekal pelajaran dalam menitinya. Bergerak merupakan kemestian yang mau tidak mau menjadi keniscayaan, tolok ukur dari perubahan. Bumi yang hanya tampak diam oleh beberapa mata manusia sebanarnya malah aktif bergerak dengan rotasinya mengitari pusat matahari.
Dalam hal yang demikian itu aku sepakat denganmu. Namun dalam berketetapan hati kita pernah berbeda pemahaman. Logikaku ketat mengikat dalam memantapkan pilihan hati, kau masih fleksibel memaknai hal tersebut. Seperti dulu kau pernah berceracau di selasar taman –yang dulu pernah kita namai sebagai taman langit– ketika senja beringsut ke peraduannya.
“Hidup kita tak selamanya akan begini. Ada dinamikanya, naik turun, fluktuatif seperti harga sembako. Hari ini mungkin kita bersedih karena cela dari mereka yang urung mengerti. Esok siapa yang tahu?”
Aku hanya nganguk-ngangguk mencoba memahami. Kubiarkan kau terus melanjutkan.
“Saat ini mungkin kita bahagia karena masih bisa bersama, esok mana tahu? Pun hati ini masih selalu menyoal tentangmu setiap saat. Esok? Entah?”
Kau mengakhiri dengan nada cemas. Lalu menatapku miris bercampur waswas, lantas aku meringis. Saat itu, hanya ‘keadaan’ yang dijadikan sebagai musabab atas masalah yang kadang tak merestui.
Itu dulu. Sekarang, perlahan namun pasti, kau sudah yakin memastikan bahwa aku adalah satu-satunya orang yang pantas untuk kau curahkan setumpuk perhatian, pantas untuk kau jadikan tumpuan di saat rapuhmu. Sampai pada titik yang paling pantas, malah kau menyebutku sebagai separuhmu. Luar biasa, bukan? Semringah kau mengucap itu, aku berjingkrak bukan main dalam hati.
Sementara di belahan Eropa sana, di Polandia dan Ukraina, berlangsung beberapa laga pamungkas kesukaan banyak orang. Bukan hanya para pria, pun banyak kaum hawa telah dihipnotisnya. Sampai-sampai banyak yang dibuatnya panas dingin. Ya, demam Piala Eropa. Kau juga ikutan demam dibuatnya. Bermunculan banyak binatang peramal. Mulai dari yang berkaki banyak, berkaki empat, tak berkaki, atau yang cuma berekor saja. Tahu apa mereka tentang sepak bola? Terkadang manusia selalu menjadikan ketidakmungkinan menjadi sesuatu yang mungkin untuk dilogikakan. Ada-ada saja. Dan sepertinya akan selalu ada.
Saat ini sudah memasuki laga semifinal. Kau mendukung Jerman karena pemain favorit Real Madrid-mu bermain di sana, Mesut Ozil. Sementara aku, mati-matian tetap akan mendukung tim kesayanganku, Spanyol. Mayoritas pemain Barcelona bermain di sana. Kita mempunyai alasan yang serupa. Terkadang El Classico memang menyisakan beragam ketidaksepahaman bagi para pendukungnya. Namun aku berharap kedua negara itu dapat bertemu di laga final nanti. Apa salahnya kalau kita berbeda minat. Sesekali perbedaan kita jadikan sebagai perekat, supaya ada dinamika.
***
Di sebuah rumah sederhana yang tak begitu luas, aku tinggal dengan beberapa kawan. Sebut saja mereka sebagai Bandoci dan kawan-kawan. Tak elok menyebutkan nama mereka satu persatu. Sebab kalau jadi populer, bisa-bisa mereka malah minta upah karena namanya telah kujadikan tokoh ke dalam cerita ini. Gengsi mereka terlalu tinggi. Jadinya, hanya kalau rumah sedang sepi barulah aku semangat latihan menggesek biola. Sangat tidak nyaman bila mereka sedang di rumah, terutama Si Bandoci itu. Yang dilakukannya hanya mengejek dan mencibir. Bayangkan saja, hasil bunyi gesekan biola perdanaku dikiranya lebih mirip (maaf) suara kentut yang sengaja dikeluarkan sedikit demi sedikit. Ada-ada saja.
Tanah airku Indonesia
negeri elok yang amat kucinta
tanah tumpah darahku yang mulia
yang kupuja sepanjang masa...
Entah dapat wangsit dari mana, instrumen Lagu Nasional 'Rayuan Pulau Kelapa' itu nyelonong masuk seenaknya mondar-mandir ke dalam kepalaku ketika memulai mempelajari nada-nada pada biola. Padahal aku termasuk pemerhati lagu-lagu pop terbaru negeri ini. Apalagi yang bergenre galau –salah satu jenis lagu terfavorit umat manusia Indonesia saat ini. Agustusan juga masih terbilang jauh. Mungkin di zaman penjajahan dulu, biola selalu identik dengan instrumen lagu-lagu nasionalisme seperti yang dilakukan WR. Supratman. Ataukah karena kunci nada lagu karya Ismail Marzuki tersebut hanya berkutat pada nada mayor seperti G, C, dan D saja. Sementara nada dasar biola adalah G, D, A, dan E. Berbeda dengan jenis lagu-lagu galau itu, pada umumnya bermain pada nada-nada minor seperti Am, Dm, dan Em. Otomatis nadanya selalu miris, membuat hati meringis dan tentu menyayat-nyayat hati.
Pengetahuanku tentang gitar sebanarnya sudah ada dan mumpuni dalam memainkan beberapa lagu. Sebut saja lagu rock lawas Sweet Child of Mine milik Guns n Roses. Atau beberapa lagu hits Rolling Stone, Metalica, dan Nirvana. Kau percaya? Syukurlah kalau kau tidak memercayainya. Aku cuma mampu menyebutkannya saja. Bahwa aku sedikit memiliki pengetahuan dan bisa memetik gitar itu memang benar. Tetapi jangan harap mampu bernyanyi seperti Iwan Fals dan Sandhy Sondoro yang teramat lihai bernyanyi sambil memetik gitar. Tapi kalau hujan sedang lebat-lebatnya, mungkin aku bisa kalian adu. Diadu berteriak tak karuan atau memutuskan tali-tali gitar.
Berbeda dengan gitar, biola tidak mempunyai fret penanda jari. Jadi mesti memiliki rasa musik yang tinggi dan membutuhkan daya kesabaran luar biasa. Salah-salah menekan titik nada, sumbanglah suara gesekannya. Makanya mentormu dulu sengaja memberikan tanda fret berupa isolatif merah pada papan dawainya supaya lebih mudah diingat. Tanda-tanda itu disesuaikan dengan skala nada mayornya.
***
 
 Sumber : di sini

“Biola itu tidak harmonis, kurang padu, beda, dan cenderung sendiri. Namun tatkala baur, simfoni jadinya!” Katamu bijak menjelaskan tentang filosofi biola. Kuanggap itu sebagai arahan prolog pra-pertunjukan dari seorang pelatih. Kau genggam erat lenganku memberi semangat. Aku takjub menyaksikan rautmu yang sendu. Bahuku menaik. Kuhela nafas dalam-dalam kemudian bibirku menghembusnya kuat-kuat. Sekarang, semangatku sudah berada pada titik puncak kepercayaan diri luar biasa.
Sebelum memulai pertunjukan simfoni sederhana itu, kuambil beberapa gerakan SKJ tahun sembilan puluhan, sebuah gerakan pemanasan. Setelah itu, dengan gemulai kuraut bow-nya menggunakan damar agar suara gesekannya dapat melengking sempurna. Bukan hanya kendaran bermotor yang harus dipanaskan sebelum dipakai, bukan? Di selasar taman ini semuanya akan bermula. Sebuah langkah kecil untuk hasil besar.
“Apakah kau sudah siap, Idea?” tanyaku penuh keyakinan.
Kau menimpali dengan menggerak-gerakkan pinggangmu supaya memperoleh posisi duduk yang paling nyaman. Padahal sedari tadi kau sudah tampak khidmat duduk manis menantikan aksiku. Sudah tak sabar kau rupanya. Tak lupa kau menyetel rekaman handphone-mu. Tentu kesempatan langka seperti ini enggan kau lewatkan begitu saja.
            Aku hendak memulai aksi. Posisi tubuhku sudah sangat menyakinkan. Terdengar nada yang agak sumbang. Barangkali karena hari sudah gelap, sementara penerang di taman ini tak cukup memperjelas tanda-tanda fret pada papan dawai biolamu. Rembulan masih sabit.
“Kesan pertama jarang yang sempurna, Idea. Biasalah, demam panggung,” aku berkilah pura-pura menutupi grogi yang menggerogot.
Sebuah instrumen Lagu Nasional samar-samar terdengar canggung. Namun lama-lama semakin tanggung. Gemerusuk dedaunan bersorak merdu. Semilir angin malam menyepoi memperjelas tempo. Kesunyian, keindahan, dan cinta memadu satu dalam irama. Nada demi nada mendayu-dayu menjadi lagu. Lagu tergubah menjadi rayu. Rayuan Pulau Kelapa mengalun merdu nan penuh syahdu. Kau terkesima menyaksikan simfoniku berkolaborasi dengan suara alam. Azan Isya memberi irama penutupan yang apik. Hening jadinya. Matamu berkaca-kaca menahan haru. Seutas senyummu menyimpul bahagia. Nafasku lega menyaksikan itu. (*)

Makassar, 26 Juni 2012

19/06/2012

Simfoni (Kau dan Biolamu 2)

TAK terasa tiga pekan tiga hari terlewati. Selama itu juga biolamu sudah mengisi kekosongan kamarku. Beragam kekalutan yang diretasnya. Nada gesekannya menjadi penawar atas pening yang terus menukik. Kemilau dan kemolekannya menjadi pelipur tatkala imaji tak mempan menghunjam rindu. Biolamu selalu tampak seperti seekor kucing anggora, mengendus-endus berharap selalu ingin dielus dan dimanja-manja. Jadilah aku seperti seorang ayah muda yang begitu semringah ketika memasuki rumah karena sang buah hati cekikian lucu memberi sambutan kebahagiaan. Menatapnya, aku mengingatmu.

Waktu hampir sebulan itu kulalui dengan pola hidup yang kebanyakan orang menyebutnya dengan kata ‘sibuk’. Sibuk menjadi satu-satunya alasan paling rasional untuk mendukung pengelakan atas keadaan yang tak dipungkiri. Tetapi kenyataannya memang demikan. Tugas-tugas kuliahku menumpuk hebat, selaras dengan pakaian kotor yang terus menggunung. Ujian demi ujian silih datang bergantian karena masa semester sudah sampai di ambang nadi pengakhirannya. Alhasil halaman ini berasa tandus, kering karena kelamaan tak disirami dengan air kehidupan. Kadang kau tak luput juga ketularan sibuk, sibuk memerhatikanku. “Jangan terlalu larut mengerjakan tugas. Jaga hati dan kesehatan!” katamu sering lewat pesan singkat.

Tentu aku masih ingat jelas titahmu saat meminjamkanku biolamu dulu. Maka dengan sengaja aku membeli sebuah gembok anti maling paling top dalam dunia permalingan. Karena takut kalau biolamu sampai kenapa-kenapa, tasnya terpaksa aku gembok. Mencegah jauh lebih baik, bukan? Aku tak mampu membayangkan kalau sampai terjadi sesuatu yang memang tak sanggup kubayangkan. Bisa-bisa nanti dijahili oleh kawan-kawan serumah –terutama Si Bandoci– atau malah raib dibawa maling. Aku tak mau itu terjadi. Itu barang kesayanganmu. Mau tidak mau strategi pengaman ‘kelas satu’ mesti kuterapkan. Walau seperangkat alat kamera CCTV tak mampu kupasang di segala penjuru rumah dan di setiap sudut kamarku, –mungkin kata paling tepatnya adalah tak mampu kubeli– namun dengan gembok itu kurasa sudah sangat cukup.

Sudah kumantapkan bahwa besok biolamu akan kukembalikan. Waktu hampir sebulan itu kurasa sudah cukup untuk mempersembahkan sebuah hasil. Dan tepatnya malam hari di selasar taman akan kugelar sebuah pertunjukan kecil-kecilan kepadamu, simfoni sederhana. Langkah kecil untuk hasil yang besar. Tidak ketinggalan sebuah rencana kejutan kecil-kecilan telah kusiapkan. Kusisipkan satu novel terbaru karya orang Makassar “Lontara Rindu” milik Gegge Mappangewa ke dalam saku tas biolamu, lengkap dengan beberapa kata persembahan di halaman sampulnya. Pun pakaian terbaik sudah kusetrika. Semua telah terkonsep rapi. Sisa menunggu sampai esok tiba.
***
Coky Sitohang memberikan sambutan pembukaan yang meriah. Tirai hitam lebar perlahan tersingkap. Tanganku menampik silauan gerlap karena cahaya lampu menyorot tepat memenuhi sekujur tubuhku. Suara tepukan dan elu-elukan memanggil namaku bergemuruh riuh di seantero ruangan yang luas melingkar seperti stadion bola. Tiga perempat ruangan itu menjadi panggung megah yang berlangitkan cahaya temaram yang kerlip berwarna-warni. Sisanya dipenuhi oleh kursi-kursi merah yang disesaki oleh ribuan orang. Sebuah spanduk besar terbentang, “you are the next master of violin”. Namaku besar-besar tertulis di situ. Ya, ini adalah panggung pertunjukan, konser tunggalku.

Kutilik deka demi deka sekelilingku. Busana yang kupakai tampak tak seperti biasanya. Setelan jas hitam mengkilap pas membungkus tubuh rampingku. Kurasakan nafasku tersengal karena dasi kupu-kupu menyimpul kaku di leherku. Terasa kuat jemariku menggenggam seperangkat alat musik. Tak salah lagi, ini biola dengan bow-nya. Dari arah belakang terlihat puluhan musisi sedang khusyuk pada posisinya masing-masing dengan alat yang berbeda satu sama lain. Piano, biola, cello, gitar, saksofon, bas, perkusi, drum, dan rekan-rekan sejawatnya di dunia permusikan, semua tampak hadir, lengkap. Tampak seorang sedang berdiri berlagak seperti pemimpin memegang tongkat kecil. Aku terperanjat. Dia salah seorang dirigen kenamaan. Benar, itu Erwin Gutawa. Dari arah depan, di barisan kursi VIP bagian terdepan samar-samar kulihat beberapa wajah yang sepertinya aku kenal. Tak salah, mereka itu maestro biola kebanggaan negeri ini, Idris Sardi, didampingi oleh Maylaffayza dan Iskandar Widjaja. Juga tidak ketinggalan seorang yang bertubuh subur memakai topi bulat –lebih merip baret– yang menutupi sebagian rambut ikalnya. Lidahku kelu, itu Andrea Hirata.

“Idea di mana?” Aku mencarimu. Tiga kursi di samping penulis Belitong itu masih tampak kosong. Sang konduktor terlanjur sudah menghentakkan palu, tanda dimana musik mulai mengalun. Aku mulai menggesek biola. Sebuah nada sendu mengalun merdu, berharmoni dengan racikan musik sang komposer ulung itu. Sekonyong-konyong terdengar suara yang menggumam, menyeruak mulus beresonansi dengan alunan nada yang sudah aku kuasai betul. Lampu menyorotnya berjalan menghampiriku. Ia bersenandung mengikuti irama.
Apa yang terjadi dengan hatiku
kumasih di sini menunggu pagi
Seakan letih tak menggangguku
kumasih terjaga menunggu pagi...
Kupikir cuma instrumennya saja yang aku bawakan. Siapa sangka, Ariel Peterpan malah menyanyikannya berduet denganku. Itu lagu favoritku. Sering kusetel saban pagi ketika sedang menikmati prosesi pergantian malam menuju siang. Oh iya, itu juga termasuk lagu kesukaanmu. Apalagi kalau sedang meredam emosimu yang terus meradang. “Hufh.., sudahlah. Masih menunggu pagi,” katamu pasrah ketika lelah tak mampu menjelaskan maksud hati.

Dalam suasana keindahan itu, seorang perempuan manis berjilbab tampak sedang berjalan memasuki barisan kursi terdepan yang masih kosong tadi, sambil mengiring dua orang tua yang sudah agak renta. Aku lega, itu kamu dan kedua orang tuaku. Namun sebelum duduk, kau mengukuir sebuah isyarat di udara. Sebuah kalimat penyemangat yang selalu kau kirimkan sebelum tidurku. Kau menyebutnya sebagai suplemen hati. Tak elok kusebutkan di sini. Aku terus menggeliat menggesek biola dengan hebatnya. Ariel masih bersenandung dengan suara menggumam ciri khasnya. Sesekali Andrea Hirata terlihat semringah berdecak kagum. Erwin Gutawa tetap tegap, lihai mengukir perintah nada-nada kepada para pemusik orkestranya. Mereka tokoh-tokoh favoritku. Semua tampak larut menikmati. Sebuah pertunjukan luar biasa, simfoni.

 Sumber : di sini

            Suara drum mendentum hebat. Lama-lama terdengar tambah keras. Malah terdengar rusuh memekikkan gendang telinga. Tempo iramanya terdengar mulai tidak karuan, sumbang, dan semakin keras saja. Dentuman musik drum tadi malah mirip suara pukulan pintu kamar oleh seseorang yang beringas memukul-mukul beduk takbiran. Tak salah lagi, dia Bandoci, kawan serumah yang berusaha membangunkanku. Bau sengir tak sedap tercium menyengat di sekitar bantal yang tampak masih basah membentuk pola seperti pulau-pulau kecil tak berpenghuni. Mataku membelalak, sontak kaget bukan main. Kulihat sebuah biola tergelatak bersama bermacam-macam jenis buku kuliah. Tak salah lagi, itu biolamu. Benar, aku bermimpi. (*)
(Bersambung)

Makassar, 17 Juni 2012

26/05/2012

Kau dan Biolamu 1

SELALU ada pelajaran yang bertuah kebijakan hanya bila kita mau menyempatkan diri menyibak setiap kepingan misteri kehidupan. Jelas, misteri itu tak suka pasang gaya. Ia cuma duduk manis bersemayam di kerak kehidupan paling dalam. Sesekali hanya menggelitik rasa keingintahuan. Menanti kontemplasi dari orang-orang yang selalu merasa gerah dengan ketidakjelasan. Bagi mereka yang telah selesai dengan urusan itu, hidupnya menjadi lebih menarik karena selalu asyik dalam aktivitas mencari dan menemukan. Menjadikannya tampak selalu bijak dalam memaknai segala hal.

Masalah apa yang tak berujung dengan sebuah penyelesaian? Karena selalu ada jalan yang menuju bagi yang memiliki tujuan.

Aku mengisi halaman kali ini mengawalinya dengan beberapa hasil perenungan sederhana itu ketika sepi menyeretku memandangi lautan di sore ini. Jelas, sepi karena tak bersamamu. Kau sedang sibuk dengan kursus biolamu dan mengikuti rapat penting di beberapa tempat. Di sini, aku pasrah meringis, mencecari lautan yang hanya selalu diam dengan beragam jenis tanya. Pertanyaan-pertanyaanku hanya ditimpali dengan ombaknya yang menggulung-gulung. Cuma mampu bergemuruh ketika angin menghempasnya, terseret hingga ke permukaan. Suaranya mendesir karena pasir di bibir pantai menyambutnya dengan ketegaran rasa yang tak pernah merasa miris. Setia menjadikannya betah. Pasang membuatnya menjadi luap, pun surut membuatnya semakin susut. Mungkin laut dan pantai sudah selesai dengan urusan kesetiaan dan kepastian. Bagi mereka, kesetiaan sudah menjadi kemestian yang akan selalu demikian kepastiannya.

Mengetahui kau memiliki sebuah biola, terperangahlah aku sejadi-jadinya. “Apaa.., Idea punya biola?” Aku kegirangan karena dapat melihat dua objek keindahan itu secara bersamaan nantinya. Kau dan biola. Dan dua hal itu akan kujadikan satu paket dalam daftar kekagumanku urutan teratas. Melampaui kekagumanku kepada dua tokoh favoritku di negeri ini, Andrea Hirata dan Ariel Peterpan. Jelas, kau dan biolamu, duduk manis bertengger pada list paling atas. Mendengar semua itu, semoga saja raut wajahmu tidak merah lagi karena kelewat tersanjung. Jangan tanya lagi mengapa aku masih memfavoritkan vokalis band itu. Walaupun masih banyak cemooh yang mencercanya, sosoknya tetap aku favoritkan. Jelas, hanya karena karya yang kujadikan alasan.

Aku selalu terpaku ketika melihat sebuah biola dan merasa terpukau saat menyaksikan seseorang memainkannya. Segera kubayangkan bila kau yang memainkannya untukku di selasar taman dekat kolam, tempat favorit kita. Sungguh sebuah pertunjukan yang luar biasa. Bagiku, biola merupakan alat instrumen yang elegan, dingin, berwibawa, dan anggun. Tak boleh sembarangan memainkannya. Ia adalah benda yang terhormat, berkilau, melengkung, sekaligus tampak rapuh layaknya seorang perempuan, sepertimu. Alat musik luar biasa itu hanya bisa dimainkan oleh orang yang memiliki rasa yang stabil dan tentu jiwa seni yang tinggi. Jelas, aku belum masuk ketegori itu. Kutekankan sekali lagi, aku belum masuk ketegori seperti itu. Tetapi aku akan terus berusaha sampai bisa masuk kategori itu. Setidak-tidaknya cukup mampu memegangnya saja dan bisa memainkan tangga nada dasar do-re-mi yang sangat standar. Mungkin dengan memilikimu berarti harus pula bisa memainkan biolamu. Jangan mencibirku, karena aku yakin dengan hal itu. “Selalu ada jalan bagi orang yang memiliki tujuan!” kataku di awal tadi.

 (Sumber: di sini)

Bosan melihatku merepetisi, selalu membincang soal biola dan biola sepulangmu dari kerja, keesokan hari kau malah membawakanku benda berhargamu itu. “Ini.., kagumi sepuasnya, gesek semampumu sampai dawainya putus-putus. Masa aku disamakan dengan biola?!!” katamu agak sedikit kesal. Aku tahu alat musik kesayanganmu itu laksana pusaka leluhur yang dengan sangat hati-hati kau simpan dalam lemari pakaianmu pada posisi yang paling nyaman. Tak akan kau biarkan seorang pun memegangnya apalagi sampai membiarkan dawainya digesek semena hati. Namun segala pantangan itu sama sekali tak kau berlakukan kepadaku. Aku belum sempat menanyaimu mengenai hal itu. Tetapi sebelumnya di suatu kesempatan kau pernah berkata, “Aku akan lebih memprioritaskanmu dibanding dengan yang lain!”

Dengan sangat hati-hati kau mengeluarkan biolamu dari dalam tas persemayamannya. “Ini namanya leher biola. Coba pegang!” kau menyeret tangan kiriku sampai aku benar-benar erat menggenggamnya. Kau cekatan mencontohkan. Kusampirkan di bahu kiriku terjepit dengan daguku. “Nah, kalau yang ini namanya bow, yang dipakai menggesek dawai dan dipegang peke tangan kanan!” katamu lihai menjelaskan satu persatu setiap bagian-bagiannya. Mau apalagi, kali ini aku harus patuh mengikuti setiap arahanmu dalam menjelaskan materi perkenalan itu. Gayaku kaku sekaligus takjub, bingung tak tahu harus bagaimana. Kini ia pasrah bersandar di bahuku, erat mengikat di genggamanku.

Aku bahkan tak bisa dengan sempurna memegangnya. Ada rasa yang kurang nyaman yang selalu mengganjal. Mungkin karena leherku yang agak panjang, dijepit paksa dengan daguku yang lancip. Ditambah kedua tulang bahuku yang melengkung keluar, sehingga biola itu tidak pernah merasa nyaman bersandar. Sudahlah, kusimpulkan saja, tubuhku kurus kerempeng. Berbeda denganmu. Di bahumu, biola itu seakan sudah menyatu dengan bagian tubuhmu. Tanganmu gemulai menggesek dawainya satu persatu. Tak ada yang terlihat ganjil, semua tampak sempurna.

Oke, kucoba sekali lagi walau agak sedikit canggung karena sedari tadi kau meringkik menertawaiku. Kurentang bow-nya sejajar dengan scroll di ujung tangan kiriku, siap landing di landasan dawai paling atas. Aku tak peduli dengan segala jenis bunyi nada yang mewakili setiap dawainya. Mau nadanya A kek, B, I, atau S, kusikat saja sampai ABIS. Mataku fokus melirik lurus memandang keempat barisan dawainya. Badanku tegap siap menggesek. “Nggeeeeeeekk....?!!” Nafasku terhenti mendengar bunyi aneh yang dihasilkannya. Sepertinya lebih menyerupai suara sapi yang menguak kekenyangan. Aku tak menyerah. Kucoba kali kedua menggesek dawainya yang paling bawah. “Nggiiiiiiikk...?!!” Kali ini suara anehnya berbeda dengan sebelumnya. Malah mirip suara sirene mobil pemadam kebakaran yang meliuk-liuk memecah kemacetan di jalan raya.

Sudahlah, aku pasrah saja menerima kenyataan bahwa aku belum mampu memainkannya. “Boleh saya pinjam? Ayolah, Idea, cuma beberapa hari saja,” pintaku memelas. Aku sangat berharap bisa mempelajarinya secara lebih mendalam ketika berada di rumah. Masuk ke kamar, kunci pintu, dan tutup jendela rapat-rapat. Tanpa ada seorang pun yang akan melihat, sehingga aku bisa dengan leluasa belajar memainkannya. Cukup dengan nada standar do-re-mi itu dulu. Kulihat kau ngangguk-ngangguk, tanda izin permohonan resmi kau berikan. “Tapi ingat, rawat ia seperti kau memperhatikanku!” katamu memberi syarat. Aku senang, kau pun tersenyum. (*)

Makassar, 24 Mei 2012

22/05/2012

Sebab Kau Memanggilku Panjul


(Dimuat dalam Antologi Cerpen Tokoh Utama Pelajar Season II)

Kawan, betapa kita benar-benar sudah sampai di sini. Banyak hal yang telah kita reduksi bersama. Memproyeksi waktu sesuka hati, tanpa harus tunduk dengan aturan yang telah ada. Kadang kita adalah benalu, kadang pula jemaah alim berlalu. Berat memberainya dengan alasan mimpi dan kenyataan hidup masing-masing. Berdua kita sudah sampai di titik ini. Bukan, kita baru sampai pada koma-koma cerita ini.

Kita sama-sama hening mengamati objek yang serupa. Kemudian sekejab bersitatap lalu saling mendaratkan tepukan persahabatan di pundak satu sama lain.

“Panjul, sukses kawan!”

“Goras, sukses juga kawan!”

Secarik ijazah ini janganlah menjadi sebab terhadap akibat ngeri yang tak rela kita namai nanti. Pisah ini hanyalah awal dari berjuta jumpa dan canda selanjutnya di kemudian hari. Kita adalah hujan. Kita menguap bersama, merintik bersama, kemudian terberai ke sana kemari, memisah diri karena sungai yang beraneka lintas. Jangan takut, kita akan bermuara di tempat yang sama. Kelak, aku akan mencarimu di sana, pun kau akan menemuiku di sana. Lalu kita melanjutkan cerita tentang kita selanjutnya.

***

“Hei, Kamu ke sini!”

Beberapa kakak senior mencoba mengerjaiku. Mungkin karena tubuhku kecil dan kurus, menurutnya akulah sasaran empuk buat mereka untuk menjajal siksanya.

“Iya, Kak. Saya?”

Aku pura-pura tak tahu apa-apa, mencoba bertanya ulang. Aku baru sadar, tugas membawa sapu lidi tertinggal di dalam angkot tadi. Sial benar aku hari ini. Susah payah membuat sapu itu kemarin. Sampai-sampai harus mencuri sapu milik nenekku yang ikatan dan panjangnya sudah kupermak ulang.

“Iya, Kamu, dasar panjul. Cepat ke sini!”

Kakak senior itu tampak kesal. Maka mengudaralah kata ‘panjul’ menjijikkan itu. Bagiku kata itu sangat memalukan. Hal inilah yang selalu membuatku malas mengikuti kegiatan MOS sekolah. Pasalnya kepala harus diplontos, licin seperti tuyul. Kau kan tahu sendiri bentuk kepalaku tidaklah sesempurna dengan milikmu, kawan. Bentuknya kurang menyerupai kepala manusia pada umumnya, agak lancip ke atas sampai ke belakang. Sudahlah, aku tahu kau pasti menertawainya.

“Iya, Kak. Ada apa?”

“Pake nanya. Push up tiga puluh kali. Cepat, Panjul!”

Melakukan push up sebanyak itu tak jadi masalah buatku. Tapi kalau kata sapaan Panjul yang memalukan itu turut serta, kurasa hukumannya seakan tiga kali lipat saja.

“Maaf, Kak?

Samar-samar aku mendengar suaramu. Terlalu berkonsentrasi dengan hukumanku. Menoleh pun aku tak mampu. Baru sampai di hitungan kesepuluh saja sendi-sendi pergelanganku terasa kaku seperti engsel jendela tua berkarat yang dipaksa terbuka.

“Ini sapu lidi milik teman saya yang sedang dihukum itu, Kak,” kau mencoba memberikan pleidoi kepada beberapa kakak senior yang berlagak bak seorang hakim.

“Hei cukup, Panjul. Cepat gabung dengan temanmu di sana!” perintah seorang kakak senior seketika memberikan putusan tanpa didahului oleh keberatan para saksi.

Nanar aku melihat mereka yang berlagak sok jagoan. Percuma juga dengan putusannya itu. Toh push up ku sudah sampai di hitungan dua puluh sembilan. Mereka untung lebih duluan masuk ke sekolah ini. Salah satu budaya rekrutmen dalam pendidikan sekolah yang tak patut dilestarikan lagi.

“Ayo, Kawan. Cepat, kita ke sana!” ajakmu penuh hangat, seolah akrab bertahun-tahun.

Membelalak aku menatapmu. Kau menopangku bangkit dari jeratan siksa itu, kemudian menuntunku berjalan. Aku masih bingung saat itu. Kau itu siapa? Tiba-tiba menampakkan diri bak seorang malaikat tak bersayap saja. Pun aku baru ingat. Kau satu angkot denganku ke sekolah pagi tadi. Karena sapu lidiku tertinggal, mungkin kau yang mengambilnya, lalu mengajukannya kepada kakak senior itu dan membatalkan hukumanku.

Sejak saat itulah kau memanggilku dengan nama Panjul. Awalnya aku sedikit kesal, tapi dengan apa yang telah kau berikan hari itu, pun aku pasrah saja mendengarnya.

Kali ini kau pasti akan sombong karena harus menceritakan ciri fisikmu. Mau apa lagi, kenyataannya memang begitu. Aku tertinggal jauh darimu, kawan.

Badanmu tampak jauh lebih sempurna jika tubuhku yang jadi komparasinya. Tubuhmu kekar tanda kerasnya pekerjaanmu sebagai seorang petani yatim dengan adik sebanyak tiga. Alismu tebal seperti semut hitam beriring tertib. Hidungmu mancung tegak menopang kedua bola matamu yang sayup. Suaramu terdengar berat, bicara seadanya saja, mengisyaratkan jeritan beban keluarga yang betah kau bungkam. Namun, sesekali candaanmu membuatku sampai terpingkal-pingkal cekikikan. Ternyata humoris juga dirimu.

Kesimpulannya, dirimu tampan, kawan. Wajar saja pada pemilihan siswa baru kategori ‘tergagah’, kau yang menggaetnya secara aklamasi. Pun ada beberapa kakak senior perempuan yang mengirimkan salam padamu. Aku iri padamu, kawan. Aku hanya melongok pasrah menelan ludah, kasihan tak satupun masuk nominasi. Minimal kategori siswa baru ‘terlucu’ kek, ‘terunik’, atau apa sajalah. Sekadar untuk pasang aksi saja kepada siswi-siswi baru itu. Barangkali ada yang diam-diam menaruh hati padaku.

Kupikir sudah cukup. Selanjutnya, giliranku menceritakan keunggulanku sendiri. Kelebihanku ini ternyata adalah kekuranganmu, kawan.

“Panjul, kau tau? Dari namanya saja, guru matematika kita ini orangnya pasti santun, lembut dan bersahaja. Percayalah!” komentarmu senang merajai ketakmampuanmu pada mata pelajaran itu.

Tentu kau masih ingat dengan salah satu guru kita itu. Ya, betul. Pak Asri namanya. Seperti interpretasimu dulu, kala menjelaskan sosoknya yang santun dan bersahaja kepadaku. Saat itu kita sedang sibuk berdesak-desakan dengan para siswa baru lainnya ketika menulis jadwal mata pelajaran baru. Tak jarang banyak teman kita yang pria -termasuk diriku- sengaja memanfaatkan kesempatan langka seperti itu. Maklum, banyak juga siswa perempuan yang ikutan nimbrung berjibaku di sana. Kesempatan dalam kesempitan, katamu.

“Anak-anak, buka buku paketnya halaman empat puluh enam!”

Sudah menjadi kebiasaan Pak Asri ketika mengajar, selalu memulainya dengan arahan memerhatikan halaman pada buku paket yang ada soal latihan dan tugas-tugasnya. Sering tanpa didahului dengan penjelasan rumus-rumus sebelumnya, imbasnya banyak teman yang kelabakan, kebingungan tak mengerti.

“Sudah lihat, anak-anak? Kerjakan nomor satu sampai lima! Angkat tangan bagi yang sudah selesai!”

Rasanya enak benner menjadi guru seperti dia. Kerjanya cuma memberi perintah seperti itu. Seketika berlalu minggat meninggalkan ruangan kelas dengan alasan ada rapat di kantor.

Saat itu aku agak resah. Resah bukan karena soal latihan yang sukar dari Pak Asri. Melainkan gelisah karena kau belum tampak sedari pelajaran dimulai. Kau teramat sulit untuk dihubungi karena handphone-mu telah kau jual demi untuk tambahan biaya sekolah adik-adikmu. Aku baru ingat, kau terlambat masuk sekolah hari itu. Keesokan hari barulah aku tahu musababnya. Ternyata ada masalah dengan adik bungsumu yang masih duduk di bangku sekolah dasar kelas tiga. Adikmu enggan masuk sekolah lantaran malu pada teman-temannya yang selalu mengejeknya karena ujung sepatunya sudah bolong-bolong. Katanya dengan polos, “sepatuku seperti ikan yang mangap-mangap kelaparan, Kak.” Kau terlambat ke sekolah karena harus meyakinkan adikmu dulu sampai ia bersedia mau masuk sekolah lagi. Ibumu sedang sakit, kau yang harus menjahit sepatunya.

“Saya sudah, Pak!” penuh semangat aku mengangkat tangan ketika Pak Asri kembali masuk ke dalam kelas.

“Yang lain bagaimana?”

Tak satupun yang menggubris tanya guru sangar itu, terkecuali aku sendiri. Aku keranjingan betul dengan pelajaran Matematika. Cuma butuh waktu beberapa menit saja soal-soalnya sudah kuselesaikan. Tak kubiarkan seorang pun mendahuluiku mengangkat tangan. Aku telah menjadi siswa kesayangannya, kebanggaan Pak Asri.

“Yang lain bagaimana? Hei..., kalian tuli ya? (prraaakkk...)”

Kali ini Pak Asri mulai beringas memberi tanya. Sebuah pukulan ke meja dia daratkan, mempertegas betapa pentingnya sebuah pertanyaan yang harus dijawab. Tampak beberapa teman sudah gemetaran. Biasanya kalau sudah sampai pada kondisi seperti ini, mesti ada yang harus rela menerima tepukan kerasnya. Yaa, paling cuma mendarat di pundak dan di pipi saja. Atau biasanya tendangan maut yang mendarat di bokong. Semuanya tampak khusyuk ketakutan, berharap tak kena sial hari itu.

“Tok.. tok.. tok... Assalamu alaikum, Pak!” kau memberi salam, petantang-petenteng masuk ke dalam kelas.

Hening seketika membuncah ketika kau masuk. Pak Asri geram tampak siap menerkam. Tepukan dan tendangannya yang kuceritakan tadi, terpaksa kau yang yang harus merasakannya. Malang nian nasibmu, kawan.

Pak Asri menyeretmu maju ke depan kelas setelah melancarkan aksi heroiknya itu. Kemudian kau disuruh untuk mengerjakan salah satu soal latihan yang penyelesaiannya menggunakan rumus phytagoras. Saat itulah aku baru tahu kalau kau buntu dalam pelajaran Matematika. Rumus apapun tak kau mengerti. Menuliskan rumus phytagoras saja kau tak mampu. Pun tepukan dan tendangan guru bersahajamu itu kembali mendarat di pundak dan bokongmu. Kawanku yang malang, phytagorasku sayang. Sejak kejadian itu, aku lebih suka memanggilmu Goras. Hitung-hitung balas dendamku karena telah memanggilku Panjul. 

***

Hidupmu memang tak seburuntung diriku. Tapi banyak pelajaran yang telah kuambil dari ketegaranmu menjalani hidup. Kau bahkan tak pernah menyesali diri. Terlalu cepat sosok Ayah berlalu meninggalkanmu. Terlalu dini dirimu memikul beban sebagai tumpuan keluarga dengan adik-adik sebanyak tiga. Sedangkan aku? Aku hanyalah seorang bungsu yang cengeng. Lemah tak teguh pendirian, serta naif merasai segala hal. Tapi beruntung aku memiliki sahabat sepertimu. Seandainya saja kau ditakdirkan hidup sebagai saudaraku, sebagai kakak kandungku. Betapa bahagianya aku, kawan.

Banyak mimpi yang telah kurajut. Pun sosokmu telah kuseret ke dalam mimpi-mimpi besarku itu. Selepas pendidikan sekolah menengah atas ini, mimpi-mimpi itu akan mulai kutapaki meski harus lelah bersimbah keringat. Hari ini bukanlah akhir dari segalanya. Kisah tentang kita, tentang kau dan aku, tentang Goras dan Panjul, senantiasa terpatri dalam sanubari ini. Kelak kisah ini akan kunamai, tatkala mimpi-mimpi itu telah mewujud, kawan.

Seperti dulu kau pernah mengkhotbahku, jangan redam melanglangkan mimpi. Mantapkan keyakinanmu tentang cita-cita dan harapan akan jalan yang ingin kau susur. Orang yang memiliki keberanian memimpi tentu jauh melesat dari mereka yang sungkan berkhayal tentang apa-apa. Tidakkah kau berpikir bahwa segala hal yang besar di dunia ini berangkat dari debar angan yang mendebur? Berangkat dari sebuah pilihan mengingini yang tertumpah dari khayalan-khayalan sederhana kemudian bermuara pada sebuah hasil besar.

Tak selamanya kita bisa bersama, pun mungkin tak selamanya kita terpisah. Tapi tetap kau adalah sabahatku, selamanya.

Rentang waktu memang telah memaparkan rincian nasib kita yang akan jauh berbeda. Namun bagiku, jarak tahun ke tahun hanyalah sebuah relativitas. Sebuah permulaan yang berubah menjadi permulaan kembali. Suatu masa selalu menuju ke pemberhentian, namun hanya untuk memastikan dimulainya kembali sebuah permulaan. Layaknya siklus, berulang dan terus berlanjut. Dunia tak membiarkan suatu hal berhenti sepenuhnya, tak ada yang benar-benar selesai. Keterbatasan tak selamanya berakhir miris. Padamu, mimpi itu kulekatkan juga. Padamu, kusisipkan serapan dari  khotbahmu sendiri.

“Sampai bertemu kembali, Panjul sahabatku!”

Kali ini aku tak kuasa menimpali. Segera kurengkuh tubuhmu tanpa reda, erat mengikat tanda pisah yang harus segera disalami.

Pada hati masing-masing, kita sudah terlanjur memahat nama sahabat satu sama lain. Aku sahabatmu, kau sahabatku. Darimu aku bisa berani bermimpi. Darimu kedewasaan diri perlahan mulai kumaknai. (*)

Makassar, 12 Maret 2012