19/06/2012
Simfoni (Kau dan Biolamu 2)
26/05/2012
Kau dan Biolamu 1
22/05/2012
Sebab Kau Memanggilku Panjul
Kawan, betapa kita benar-benar sudah sampai di
sini. Banyak hal yang telah kita reduksi bersama. Memproyeksi waktu sesuka hati,
tanpa harus tunduk dengan aturan yang telah ada. Kadang kita adalah benalu,
kadang pula jemaah alim berlalu. Berat memberainya dengan alasan mimpi dan
kenyataan hidup masing-masing. Berdua kita sudah sampai di titik ini. Bukan,
kita baru sampai pada koma-koma cerita ini.
Kita sama-sama
hening mengamati objek yang serupa. Kemudian sekejab bersitatap lalu saling
mendaratkan tepukan persahabatan di pundak satu sama lain.
“Panjul, sukses
kawan!”
“Goras, sukses
juga kawan!”
Secarik ijazah ini janganlah menjadi sebab terhadap
akibat ngeri yang tak rela kita namai nanti. Pisah ini hanyalah awal dari
berjuta jumpa dan canda selanjutnya di kemudian hari. Kita adalah hujan. Kita menguap
bersama, merintik bersama, kemudian terberai ke sana kemari, memisah diri
karena sungai yang beraneka lintas. Jangan takut, kita akan bermuara di tempat
yang sama. Kelak, aku akan mencarimu di sana, pun kau akan menemuiku di sana.
Lalu kita melanjutkan cerita tentang kita selanjutnya.
***
“Hei, Kamu ke sini!”
Beberapa kakak senior mencoba mengerjaiku. Mungkin
karena tubuhku kecil dan kurus, menurutnya akulah sasaran empuk buat mereka
untuk menjajal siksanya.
“Iya, Kak. Saya?”
Aku pura-pura tak tahu apa-apa, mencoba bertanya
ulang. Aku baru sadar, tugas membawa sapu lidi tertinggal di dalam angkot tadi.
Sial benar aku hari ini. Susah payah membuat sapu itu kemarin. Sampai-sampai
harus mencuri sapu milik nenekku yang ikatan dan panjangnya sudah kupermak ulang.
“Iya, Kamu, dasar panjul. Cepat ke sini!”
Kakak senior itu tampak kesal. Maka mengudaralah
kata ‘panjul’ menjijikkan itu. Bagiku kata itu sangat memalukan. Hal inilah
yang selalu membuatku malas mengikuti kegiatan MOS sekolah. Pasalnya kepala
harus diplontos, licin seperti tuyul. Kau kan tahu sendiri bentuk kepalaku
tidaklah sesempurna dengan milikmu, kawan. Bentuknya kurang menyerupai kepala
manusia pada umumnya, agak lancip ke atas sampai ke belakang. Sudahlah, aku
tahu kau pasti menertawainya.
“Iya, Kak. Ada apa?”
“Pake nanya. Push
up tiga puluh kali. Cepat, Panjul!”
Melakukan push
up sebanyak itu tak jadi masalah buatku. Tapi kalau kata sapaan Panjul yang
memalukan itu turut serta, kurasa hukumannya seakan tiga kali lipat saja.
“Maaf, Kak?
Samar-samar aku mendengar suaramu. Terlalu
berkonsentrasi dengan hukumanku. Menoleh pun aku tak mampu. Baru sampai di hitungan
kesepuluh saja sendi-sendi pergelanganku terasa kaku seperti engsel jendela tua
berkarat yang dipaksa terbuka.
“Ini sapu lidi milik teman saya yang sedang dihukum
itu, Kak,” kau mencoba memberikan pleidoi kepada beberapa kakak senior yang
berlagak bak seorang hakim.
“Hei cukup, Panjul. Cepat gabung dengan temanmu di
sana!” perintah seorang kakak senior seketika memberikan putusan tanpa
didahului oleh keberatan para saksi.
Nanar aku melihat mereka yang berlagak sok jagoan.
Percuma juga dengan putusannya itu. Toh push
up ku sudah sampai di hitungan dua puluh sembilan. Mereka untung lebih
duluan masuk ke sekolah ini. Salah satu budaya rekrutmen dalam pendidikan
sekolah yang tak patut dilestarikan lagi.
“Ayo, Kawan. Cepat, kita ke sana!” ajakmu penuh
hangat, seolah akrab bertahun-tahun.
Membelalak aku menatapmu. Kau menopangku bangkit
dari jeratan siksa itu, kemudian menuntunku berjalan. Aku masih bingung saat
itu. Kau itu siapa? Tiba-tiba menampakkan diri bak seorang malaikat tak bersayap
saja. Pun aku baru ingat. Kau satu angkot denganku ke sekolah pagi tadi. Karena
sapu lidiku tertinggal, mungkin kau yang mengambilnya, lalu mengajukannya
kepada kakak senior itu dan membatalkan hukumanku.
Sejak saat itulah kau memanggilku dengan nama
Panjul. Awalnya aku sedikit kesal, tapi dengan apa yang telah kau berikan hari
itu, pun aku pasrah saja mendengarnya.
Kali ini kau pasti akan sombong karena harus
menceritakan ciri fisikmu. Mau apa lagi, kenyataannya memang begitu. Aku
tertinggal jauh darimu, kawan.
Badanmu tampak jauh lebih sempurna jika tubuhku
yang jadi komparasinya. Tubuhmu kekar tanda kerasnya pekerjaanmu sebagai
seorang petani yatim dengan adik sebanyak tiga. Alismu tebal seperti semut
hitam beriring tertib. Hidungmu mancung tegak menopang kedua bola matamu yang
sayup. Suaramu terdengar berat, bicara seadanya saja, mengisyaratkan jeritan
beban keluarga yang betah kau bungkam. Namun, sesekali candaanmu membuatku
sampai terpingkal-pingkal cekikikan. Ternyata humoris juga dirimu.
Kesimpulannya, dirimu tampan, kawan. Wajar saja
pada pemilihan siswa baru kategori ‘tergagah’, kau yang menggaetnya secara aklamasi.
Pun ada beberapa kakak senior perempuan yang mengirimkan salam padamu. Aku iri
padamu, kawan. Aku hanya melongok pasrah menelan ludah, kasihan tak satupun
masuk nominasi. Minimal kategori siswa baru ‘terlucu’ kek, ‘terunik’, atau apa
sajalah. Sekadar untuk pasang aksi saja kepada siswi-siswi baru itu. Barangkali
ada yang diam-diam menaruh hati padaku.
Kupikir sudah cukup. Selanjutnya, giliranku
menceritakan keunggulanku sendiri. Kelebihanku ini ternyata adalah kekuranganmu,
kawan.
“Panjul, kau tau? Dari namanya saja, guru matematika
kita ini orangnya pasti santun, lembut dan bersahaja. Percayalah!” komentarmu
senang merajai ketakmampuanmu pada mata pelajaran itu.
Tentu kau masih ingat dengan salah satu guru kita
itu. Ya, betul. Pak Asri namanya. Seperti interpretasimu dulu, kala menjelaskan
sosoknya yang santun dan bersahaja kepadaku. Saat itu kita sedang sibuk berdesak-desakan
dengan para siswa baru lainnya ketika menulis jadwal mata pelajaran baru. Tak
jarang banyak teman kita yang pria -termasuk diriku- sengaja memanfaatkan
kesempatan langka seperti itu. Maklum, banyak juga siswa perempuan yang ikutan
nimbrung berjibaku di sana. Kesempatan dalam kesempitan, katamu.
“Anak-anak, buka buku paketnya halaman empat puluh enam!”
Sudah menjadi kebiasaan Pak Asri ketika mengajar,
selalu memulainya dengan arahan memerhatikan halaman pada buku paket yang ada
soal latihan dan tugas-tugasnya. Sering tanpa didahului dengan penjelasan
rumus-rumus sebelumnya, imbasnya banyak teman yang kelabakan, kebingungan tak
mengerti.
“Sudah lihat, anak-anak? Kerjakan nomor satu sampai
lima! Angkat tangan bagi yang sudah selesai!”
Rasanya enak benner
menjadi guru seperti dia. Kerjanya cuma memberi perintah seperti itu.
Seketika berlalu minggat meninggalkan ruangan kelas dengan alasan ada rapat di
kantor.
Saat itu aku agak resah. Resah bukan karena soal
latihan yang sukar dari Pak Asri. Melainkan gelisah karena kau belum tampak
sedari pelajaran dimulai. Kau teramat sulit untuk dihubungi karena handphone-mu telah kau jual demi untuk
tambahan biaya sekolah adik-adikmu. Aku baru ingat, kau terlambat masuk sekolah
hari itu. Keesokan hari barulah aku tahu musababnya. Ternyata ada masalah
dengan adik bungsumu yang masih duduk di bangku sekolah dasar kelas tiga.
Adikmu enggan masuk sekolah lantaran
malu pada teman-temannya yang selalu mengejeknya karena ujung sepatunya sudah
bolong-bolong. Katanya dengan polos, “sepatuku seperti ikan yang mangap-mangap
kelaparan, Kak.” Kau terlambat ke sekolah karena harus meyakinkan adikmu dulu sampai
ia bersedia mau masuk sekolah lagi. Ibumu sedang sakit, kau yang harus menjahit
sepatunya.
“Saya sudah, Pak!” penuh semangat aku mengangkat
tangan ketika Pak Asri kembali masuk ke dalam kelas.
“Yang lain bagaimana?”
Tak satupun yang menggubris tanya guru sangar itu,
terkecuali aku sendiri. Aku keranjingan betul dengan pelajaran Matematika. Cuma
butuh waktu beberapa menit saja soal-soalnya sudah kuselesaikan. Tak kubiarkan
seorang pun mendahuluiku mengangkat tangan. Aku telah menjadi siswa
kesayangannya, kebanggaan Pak Asri.
“Yang lain bagaimana? Hei..., kalian tuli ya? (prraaakkk...)”
Kali ini Pak Asri mulai beringas memberi tanya.
Sebuah pukulan ke meja dia daratkan, mempertegas betapa pentingnya sebuah
pertanyaan yang harus dijawab. Tampak beberapa teman sudah gemetaran. Biasanya
kalau sudah sampai pada kondisi seperti ini, mesti ada yang harus rela menerima
tepukan kerasnya. Yaa, paling cuma mendarat di pundak dan di pipi saja. Atau
biasanya tendangan maut yang mendarat di bokong. Semuanya tampak khusyuk
ketakutan, berharap tak kena sial hari itu.
“Tok.. tok.. tok... Assalamu alaikum, Pak!” kau
memberi salam, petantang-petenteng masuk ke dalam kelas.
Hening seketika membuncah ketika kau masuk. Pak
Asri geram tampak siap menerkam. Tepukan dan tendangannya yang kuceritakan
tadi, terpaksa kau yang yang harus merasakannya. Malang nian nasibmu, kawan.
Pak Asri menyeretmu maju ke depan kelas setelah melancarkan aksi heroiknya itu. Kemudian kau disuruh untuk mengerjakan salah satu soal latihan yang penyelesaiannya menggunakan rumus phytagoras. Saat itulah aku baru tahu kalau kau buntu dalam pelajaran Matematika. Rumus apapun tak kau mengerti. Menuliskan rumus phytagoras saja kau tak mampu. Pun tepukan dan tendangan guru bersahajamu itu kembali mendarat di pundak dan bokongmu. Kawanku yang malang, phytagorasku sayang. Sejak kejadian itu, aku lebih suka memanggilmu Goras. Hitung-hitung balas dendamku karena telah memanggilku Panjul.
***
Hidupmu memang tak seburuntung diriku. Tapi banyak
pelajaran yang telah kuambil dari ketegaranmu menjalani hidup. Kau bahkan tak
pernah menyesali diri. Terlalu cepat sosok Ayah berlalu meninggalkanmu. Terlalu
dini dirimu memikul beban sebagai tumpuan keluarga dengan adik-adik sebanyak
tiga. Sedangkan aku? Aku hanyalah seorang bungsu yang cengeng. Lemah tak teguh
pendirian, serta naif merasai segala hal. Tapi beruntung aku memiliki sahabat
sepertimu. Seandainya saja kau ditakdirkan hidup sebagai saudaraku, sebagai
kakak kandungku. Betapa bahagianya aku, kawan.
Banyak mimpi yang telah kurajut. Pun sosokmu telah
kuseret ke dalam mimpi-mimpi besarku itu. Selepas pendidikan sekolah menengah
atas ini, mimpi-mimpi itu akan mulai kutapaki meski harus lelah bersimbah
keringat. Hari ini bukanlah akhir dari segalanya. Kisah tentang kita, tentang
kau dan aku, tentang Goras dan Panjul, senantiasa terpatri dalam sanubari ini.
Kelak kisah ini akan kunamai, tatkala mimpi-mimpi itu telah mewujud, kawan.
Seperti dulu kau pernah mengkhotbahku, jangan redam
melanglangkan mimpi. Mantapkan keyakinanmu tentang cita-cita dan harapan akan
jalan yang ingin kau susur. Orang yang memiliki keberanian memimpi tentu jauh
melesat dari mereka yang sungkan berkhayal tentang apa-apa. Tidakkah kau
berpikir bahwa segala hal yang besar di dunia ini berangkat dari debar angan
yang mendebur? Berangkat dari sebuah pilihan mengingini yang tertumpah dari
khayalan-khayalan sederhana kemudian bermuara pada sebuah hasil besar.
Tak selamanya kita bisa bersama, pun mungkin tak
selamanya kita terpisah. Tapi tetap kau adalah sabahatku, selamanya.
Rentang waktu memang telah memaparkan rincian nasib
kita yang akan jauh berbeda. Namun bagiku, jarak tahun ke tahun hanyalah sebuah
relativitas. Sebuah permulaan yang berubah menjadi permulaan kembali. Suatu
masa selalu menuju ke pemberhentian, namun hanya untuk memastikan dimulainya
kembali sebuah permulaan. Layaknya siklus, berulang dan terus berlanjut. Dunia
tak membiarkan suatu hal berhenti sepenuhnya, tak ada yang benar-benar selesai.
Keterbatasan tak selamanya berakhir miris. Padamu, mimpi itu kulekatkan juga.
Padamu, kusisipkan serapan dari
khotbahmu sendiri.
“Sampai bertemu kembali, Panjul sahabatku!”
Kali ini aku tak kuasa menimpali. Segera kurengkuh
tubuhmu tanpa reda, erat mengikat tanda pisah yang harus segera disalami.
Pada hati masing-masing, kita sudah terlanjur memahat nama sahabat satu sama lain. Aku sahabatmu, kau sahabatku. Darimu aku bisa berani bermimpi. Darimu kedewasaan diri perlahan mulai kumaknai. (*)
Makassar, 12 Maret 2012