05/04/2012

Taman Langit


 (Sumber Google)

DI sini, kita pernah diam satu sama lain. Duduk ditemani gemercik air di kolam ikan yang mengeruh, gemerusuk dedaunan di dahan-dahan pepohonan, dan siliran angin sore yang mendesir sepoi. Termangu dan saling tatap penuh gagap, bisu tak mampu mengucap sederetan kata. Gamang kalau-kalau sampai terucap ataupun terngiang kata-kata yang akan sulit untuk dimaknai. Kusiratkan hasrat agung memelesat lewat mimik mendayu-dayu tanpa kata. Matamu menyorot sendu, terbesit sebuah alasan yang muskil untuk dikata-katakan. Kau mendengar suara diamku pun aku memahami teriakan jiwamu melalui sepasang matamu. Saat itu, hanya diam satu-satunya bahasa hati.

Di tempat ini, dikelilingi pohon-pohon langka berlabel nama-nama Latin, dimana kesunyian, cinta, keindahan, kepedihan, dan kebajikan tinggal bersama. Kita masih di sini meski senja sesumbar merangai sore. Tak ada yang hendak beranjak bangkit, pun tak satupun yang betah bertahan. Riuh rendah lalu lintas pulang kantor di sekitar tak ditampiknya. Sampai nafasmu tersengal-tersengal menahan ujar, hingga nafasku juga tersengau-sengau menunggu jawaban. Sepasang mata dari langit sedang asyik menyaksikan drama kita. Lalu, seketika saling menghelakan nafas dalam-dalam, plong, lega selega-leganya karena suara azan meraung memanggil-manggil. Kita saling merasa, suara itu sebagai tanda jeda dari langit bahwa diam ini harus segera disudahi.

Keliru jika mengira cinta tumbuh dari benih persahabatan dan teguhnya masa pendekatan serta perkenalan. Jika perasaan itu tercipta sesaat, ia tidak akan mampu bertahan selama bertahun-tahun bahkan sampai beberapa generasi. Pun sepadan dengan pepatah Latin tentang persiapan sebelum berpidato, qui ascendit sine labore, descendit sine honore (mereka yang naik tanpa kelelahan, akan turun tanpa kehormatan). Cinta adalah satu-satunya bunga yang tumbuh dan menyerbak tanpa peduli dengan musim-musim.

Kehidupan seorang manusia tidak dimulai dalam rahim dan tidak pula berakhir di kuburan. Begitupun dengan cinta. Ia adalah keabadian sekaligus sebuah keajaiban.

Aku mengenalmu tidaklah lama. Dulu, aku bukanlah siapa-siapamu apalagi sahabat karibmu. Pun tak ada pendekatan atau perkenalan yang berlebihan. Namun, jatuh bangun dan getirnya hati pernah kurasai beberapa kali bahkan sampai menahun. Kuharap kau masih ingat, tentang ini pernah kutulis di beberapa halaman ideaku sebelumnya. Kupikir ini adalah predestinasi-Nya. Sebuah cinta yang sudah dulu ada, jauh sebelum masing-masing kita dilahirkan. Di langit sana, jauh sebelum kita saling memahami satu sama lain, telah termaktub dalam proyeksi percintaan anak cucu Adam. Di taman ini, cinta itu kembali bersemi. Pun kita memakluminya sebagai sebuah keajaiban.

Di taman ini, seraya mendengar helaan nafas magrib yang dipaksanya bangun terengah-engah karena malam sedari tadi sengal letih menunggu. Satu jam berlalu, tiap menitnya kuhitung sebagai setahun cinta. Di langit, sepasang mata masih sedang asyik menanti saat-saat di mana cerita ini sudah bisa ditebaknya sendiri. Hanya was-was saja kalau ada adegan yang tampak kurang sempurna. Sandiwaranya yang kita lakonkan di taman ini, mungkin adalah drama tragis mengharukan sekaligus menarik untuk disaksikannya. Sebuah perjalanan cinta yang rumit nan penuh liku. Sedikitpun nyaliku tak pernah akan ciut, karena tak mungkin tercipta sebuah kesabaran tanpa adanya cobaan yang menempa.

Kulihat wajahmu menyimpul senyum merekah penuh keyakinan, menghunjamkan makna tanpa kata tepat menusuk di sanubariku. Cukup kupahami sebagai sebuah kedamaian, tak perlu kutimpali dengan kata-kata pula. Kesunyian malam, cahaya bulan, bunga-bunga, dan pohon-pohon di taman langit ini membuat kita lupa akan semua kenyataan kecuali cinta. Sekarang aku tahu bahwa ada sesuatu yang lebih tinggi dari langit, lebih dalam dari samudera, serta lebih aneh dari hidup, mati, dan waktu. Kini akupun tahu sesuatu yang tak aku ketahui sebelumnya. (*)

(Makassar, 21 Februari 2012 / 5 April 2012)

03/04/2012

Sudahlah

(Cerpen; kelakar di masa lalu)

(Sumber Google)

NONENG, itulah namanya. Banyak halang rintang yang harus kususur hanya untuk mengetahui namanya saja. Sebuah nama yang menurutku biasa-biasa saja, agak sedikit ndeso, dan sangat tidak menarik. Sudahlah, kukatakan dengan kata yang sederhana saja, namanya kampungan.

Masalahnya bukan pada namanya saja. Namun, ada sebuah kondisi logis yang membuatku harus mafhum bercampur kagum terhadap apa yang sedang aku saksikan. Nama itu terdistorsi dengan paras wajahnya yang begitu memukau. Sebuah pemandangan lahiriah ciptaan Tuhan yang membuat para bujang pengagum sepertiku mesti berbagi ruang pikiran yang sudah semakin sesak dengan tugas-tugas kuliah dalam otakku setiap malam.

***

Aku mahasiswa baru pada sebuah perguruan tinggi negeri di Makassar. Pontang-panting melangkah canggung memasuki sebuah dunia baru dengan modal tampang yang biasa-biasa saja, kurus kerempeng, rambut ikal berminyak, dan semakin diperparah dengan jerawat yang berseliweran di wajahku. Sudahlah, kukatakan dengan kata yang sederhana saja, aku jelak.

Namun, sedikit mengobati kenyataan pahit itu, ada status baru yang telah bertengger di pundakku. “Aku anak kuliahan bro...,” kebanggaan tersendiri yang masih sangat jarang dimiliki oleh beberapa pemuda di kampungku.

Secara sadar, diriku tidaklah termasuk mahasiswa yang akan menjadi idola di kampus. Pun aku pasrah menerima lantikan itu. Tergabung ke dalam golongan mahasiswa pengagum perempuan bermental kerupuk, tak diminati para mahasiswi, apalagi bermimpi menjadi populer bak seorang aktivis sejati. Mahasiswa seperti itu identik dengan posisi berjalan yang sempoyongan, duduk lemas memangku dagu mengisyaratkan beratnya beban penderitaan yang harus mereka pikul. Terkadang mereka hanya terduduk lesu di pinggiran kantin, terkucilkan di sudut-sudut taman ketika sedang istirahat, atau rela terdepak ke posisi paling belakang ruangan kelas ketika perkuliahan sedang berlangsung.

Bermula ketika ada urusan tugas kuliah di perpustakaan. Di sudut belakang perpustakaan itulah aku terpukau oleh kecantikan seorang perempuan untuk kali kesekian. Duduk manis di sebuah meja dekat petugas perpustakaan. Ia terlihat sedang asyik membaca sebuah buku yang tidak baru lagi. Bersampul agak kemerahan dengan bungkusan plastik kusam yang tampak sudah robek di keempat sudutnya. Di sekitarnya, hanya berjejeran beberapa buku tak beraturan, sisa-sisa bacaan mahasiswa yang telah keluar sebelumnya. Biasalah, kebiasaan buruk para pegawai perpustakaan yang enggan merapikannya kembali pada tempatnya. Kadang mereka hanya sibuk membaca majalah atau hanya bergosip dengan sesamanya, atau sesekali melototkan mata kepada mahasiswa yang agak gaduh.

Setelah melalui beberapa pengintaian dan penyelidikan, sampailah pada sebuah hipotesis sederhana dengan rincian sebagai berikut: Dia adalah gadis berjilbab dan sering ke perpustakaan.

“Cuma itu? Yaa.., cuma itu yang bisa kugali,” debatku heran dalam hati.

Wajar saja, aku tak punya sarana yang memadai untuk melakukan investigasi secara mendalam. Aku tak kenal banyak orang yang bisa aku jadikan informan. Aku tak punya banyak modal untuk mengintainya di sepanjang hari. Sudahlah, kukatakan dengan kata yang sederhana saja, aku kere.

Tapi itu tak jadi soal. Toh aku sudah tahu ia sering ke perpustakaan. Kupikir itu cukup untuk gerilya selanjutnya. Kesempatan itu pun tidak terlewatkan begitu saja. Aku sering berkunjung ke perpustakaan sekadar untuk memperhatikannya dari sudut pandang yang tak dipedulikan. Berharap dapat menarik perhatiannya walaupun sangat sedikit kemungkinannya untuk diperhatikan.

Dia memang seorang gadis yang sangat menarik dan amat memesona. Parasnya yang cantik dan senyumnya yang manis, berharmoni dengan lipatan jilbab yang ia lekukkan di sekitar lehernya. Pun busana yang ia pakai setiap hari selalu tampak selaras dengan rona wajahnya yang membuatku semakin terpesona.

Namun tragis, proses perkenalanku dengannya sungguh sangat memprihatinkan lagi menyakitkan. Awalnya aku menduga ia perempuan yang mudah untuk diajak berkenalan, setara dengan gadis gampangan yang mudah termakan rayuan maut seperti beberapa seniorku di kampus. Ternyata aku telah salah menilainya serendah itu. Ia sungguh berbeda dengan perempuan yang lain. Ia begitu memukau laksana bunga mawar yang berduri. Jujur, baru kali ini aku bertemu dengan perempuan seperti dia, dan seingatku sebelumnya memang belum pernah.

***

Tak terasa libur semester pun tiba. Sebuah momen yang paling ditunggu-tunggu oleh para mahasiswa yang doyan pulang kampung. Sebuah rutinitas paling esensial bagi para mahasiswa rantau untuk segera mudik ke kampung halaman masing-masing. Pun aku juga demikian. Akumulasi dari kehendak itu terjewantahkan pada realitas membludaknya penumpang yang memadati terminal–terminal angkutan antar kota di Makassar.

Pulang kampung merupakan hal yang mengasyikkan buatku. Pulang dengan menyandang sebuah status baru, seorang mahasiswa. Tak pelak banyak diantaranya yang melakukan hal demikian karena di kampung-kampung masih sangat jarang yang melanjutkan pendidikannya setelah tamat sekolah. Pola pikir orang tua mereka hanya menginginkan anaknya menjadi seorang pekerja keras di ladang dan di sawah-sawah, melanjutkan sebuah tradisi keluarga yang sudah turun-temurun.

Tersentak bulu romaku merinding kaku ketika melihatnya berada dalam sebuah mobil di terminal. Sebuah mobil panter yang juga merupakan mobil yang akan kunaiki menuju kampung halaman. Mobil pun melaju meninggalkan terminal yang tampak semakin sesak oleh para penumpang, pedagang asongan, dan para calo-calo terminal yang saling berebut penumpang. Aku duduk bersebelahan dengannya, tepat pada posisi belakang pak sopir.

“Ya Tuhan, aku harus bagaimana?” aku gugup, girang bukan kepalang.

Ini adalah karunia yang luar biasa dari Tuhan Yang Maha Esa. Menyandingkanku dengan gadis pujaanku meskipun cuma di sebuah mobil angkutan umum. Rugi besar kalau kesempatan ini terbuang percuma.

“Hai cewek, kalau boleh tahu nama kamu siapa?” tanyaku menyodorkan tangan.

Ia hanya merekahkan senyum sederhana yang tampak elegan, bisu tak menjawab, sama sekali tak memperdulikan ucapanku. Mukaku langsung merah pucat pasi bercampur rasa malu.

Mobil terus melaju dengan kencangnya. Kupikir pak sopir agak kurang suka dengan tingkahku di belakangnya. Kurasa pula dirinya juga kesal dengan Noneng karena sebelumnya ia juga merasakan kekecewaan yang sama denganku, tidak digubris sama sekali. Imbasnya, mobil yang ia kemudikan sengaja digas kencang-kencang. Sebuah kebiasaan buruk beberapa sopir angkutan umum yang belum mampu memisahkan antara urusan hati dengan pekerjaan, tidak profesional.

Selang tak berapa lama, kembali kuberanikan diri mengeluarkan deretan kata-kata penakluk yang mungkin saja bisa meluluhkan hatinya yang masih dingin. Sebelumnya memang telah kurancang sebuah kalimat rayuan khas Andre Taulani yang kira-kira bunyinya seperti ini, “Ayah kamu polisi yah?” Setelahnya kuharap ia menjawab dengan “iya, kok kamu tahu?” Dan dengan lantang akan kusambut dengan “soalnya kamu telah menembak hatiku!” celotehku riang dalam hati.

Alhasil, ekspansi perlahan terealisasi. Tak peduli dengan resolusi yang sudah jadi. Tak ada istilah gencatan senjata apalagi rekonsiliasi di masa transisi seperti ini. Aku yakin kemenangan sudah mulai bersemi.

“Ayah kamu polisi yah?” tanyaku halus penuh keyakinan.

“Bukan, Ayah saya seorang guru!”

Ternyata rencana tak seindah realisasi. Lagi-lagi hatiku remuk, hancur bukan main, malu. Strategi yang sebelumnya kususun seakan sirna diterpa angin yang masuk di sela-sela kaca pintu.

Dalam kendaraan yang kami lewati, di sebelah kirinya, dia duduk dengan seorang perempuan tua yang sesekali menatapku penuh amarah saat kucoba berkenalan dengannya.

“Noneng, berikan nenek air minum dalam tas, Nak,” nenek itu memberi perintah kepadanya.

Ternyata perumpuan tua itu adalah neneknya. Untungnya, dari dialog itulah aku bisa mengetahui nama gadis pujaanku itu. Noneng, ya itulah namanya.

Tentu tidak sampai di situ saja. Aku terus berupaya untuk menaklukkannya dengan mengeluarkan jurus-jurus pamungkas dengan harapan dapat sedikit membuatnya luluh.

“Pulang kampung juga ya? Turun dimana?” tanyaku penuh harap.

Dia pun langsung menjawabnya dengan nada agak keras. Namun, pandangannya ia arahkan kepada pak sopir kemudian berkata, “Pak, kiri depan, Pak sopir!”

Noneng berlalu bergitu saja. Si sopir juga tampak senang melihat kemalanganku, cekikikan seperti seekor kuda yang meringkik kegirangan. Seakan berisyarat “rasain, emang enak!”

Tak ada sapaan penutup ataukah sebuah tolehan arah kanan sebagai simbol bahwa dirinya senang berkenalan denganku. Sudahlah, kukatakan dengan kata yang sederhana saja, aku ditolak. (*)

28/03/2012

Titik Balik

"Semuanya akan stagnan pada sebuah dinding yang besar”

(Sumber Google)

TAK ada yang dapat kusangka sebelumnya. Pun tak ada yang mampu kusangkal akhirnya. Bak seorang filsuf, pernah aku sesumbar mendeklarasikan pernyataan di atas. Pangkal dari beberapa kontemplasi sederhana, memaknai tentang kehidupan secara sederhana pula. Bahwa hidup tak selamanya selalu begini dan tak selamanya selalu begitu. Ada fase di mana kita akan terhenti di sebuah titik, tersungkur layu, tak mampu berbuat apa-apa. Pada momentum itu, tersuguhkanlah beberapa pilihan. Bangkit untuk maju atau bangkit untuk mundur. Pun memilih untuk tidak memilih satu diantaranya juga merupakan sebuah pilihan. Memilih untuk selamanya stagnan, meratapi kemegahan ‘dinding’ tersebut.

Sontak aku terperangah memandangi ‘dinding’ besar itu. Banyak hal yang membuatku miris. Mengukur-ngukur dosa di masa lalu, menimbang-nimbang maksiat yang terlampau bejat, menakar-nakar air mata dari mereka yang telah dipaksanya menetes karena lakuku, juga dekadensi akhlak membuatku semakin ciut, gamang bukan kepalang. Sadar bahwa tuah dari kata-kata yang pernah kucelotehkan benar-benar tertuai sendiri padaku.

Lelah merasai itu, pilihan-pilihan pun telah tersajikan. Memilih dan tak memilih adalah sebuah pilihan. Mudah dulu aku mendemonstrasikannya, sulit kini merealisasikannya. Ketika memilih untuk memilih, aku masih diperhadapkan pada dua pilihan, bangkit untuk maju atau bangkit untuk mundur. Pun ketika memilih untuk tidak memilih satu diantaranya adalah pilihan juga. Aku tak menyangka sampai terlampau rumit seperti ini.

Aku mampunya termangu di beberapa malam sesudahnya. Bertafakur, hanya bisa melakukan itu saja. Meluapkan segala penat keresahan, mendengungkan pinta yang menguap-nguap, berharap dapat berekonsiliasi dengan para malaikat tentang predestinasi Sang Pemilik Segalanya yang menurutku mungkin telah terjadi kekeliruan dalam penetapannya. Menginginkan sebuah resolusi.

Aku ingin hidayah, pintaku secara sederhana.

Berkali-kali telah kurenegosiasikan kepada-Nya. Pun sampai berkali-kali pagi mendapatiku masih dalam keadaan termangu di sisa-sisa tafakur. Aku bosan menyaksikan seruakan cahayanya yang menyusup di sela-sela tirai jendela kamarku. Tersadar bahwa belum terjadi apa-apa, belum ada hasil apa-apa. Kalau pagi saja tak pernah merasa lelah menyapaku, mengapa aku harus lelah? Pinta yang berjerih payah akan menuai hasil yang melimpah ruah, pikirku secara sederhana pula. Setelah itu kumantapkan, bukan pagi yang harus mendatangiku, aku yang harus menunggu pagi.

Sampai pada akhirnya terberai juga kekalutan transendental tentang pilihan itu. Aku akan memilih sekaligus tidak untuk memilih.

Waktu telah berjalan menjejaki angka-angka penutupannya pada penanggalan matahari, duapuluh delapan Maret, sebulan setelah moment kelahiranku. Tetap, aku yang masih menunggu pagi. Kuharap akan tetap seperti itu, meskipun telah ada hasil yang melimpah ruah. Balik lakuku sebagai bentuk syukur kepada-Nya. Kunamai ini sebagai titik balik.

Aku tahu, Tuhan tidak diam. Diam-diam Dia telah merangkul doa-doa dan  sebagian mimpi-mimpiku. Pun aku merasa bahwa porsi hidayah-Nya padaku telah dititiskan kepadanya. “Dari-Nya” oleh “padanya” kepadaku. Dari-Nya kumunajatkan syukur tiada tara atas hidayah luar biasa ini. Kepadanya kuucap terima kasih atas ide yang berderai-derai tiada henti. Atas segalanya itu, kunamailah wadah ini sebagai halaman-halaman untuk Idea.

(Saat menunggu pagi, Makassar, 28 Maret 2012)

20/03/2012

Paragraf untuk Kepergian

(Sumber Google)

PUN kalau Yang Maha Pengatur menginginkan permulaan selanjutnya, itu soal lain. Dimensinya berbeda, dan segalanya akan jadi berbeda. Bukan urusan kita.

***

Layaknya seperti siklus, sebuah permulaan yang dimulai kembali. Apakah sepadan juga dengan sebuah pengakhiran yang diakhiri kembali? Dengan sadar kujawab, tidak. Tidak ada kata ‘akhir’ secara filosofis menurutku. Mengakhiri sama saja dengan...??? 
Sulit, tak ada kata yang kupunya, yang secara sempurna mampu mendefinisikannya. Memberikannya definisi berarti sama saja dengan melanggar eksistensinya, membatasinya. Mendefinisikannya berarti sama saja dengan mengakhiri yang sebenarnya. Sudah, titik, mentok, tidak ada apa-apa lagi setelahnya.

Layaknya seperti siklus, hujan, eksistensinya berada di situ. Namun, esensinya menurutku hanya terjadi pada satu siklus dari hujan itu sendiri, pada saat hujan itu saja. Apakah kalian pikir tetesan air hujan yang merintikmu kemarin itu sama dengan tetesan air hujan yang kembali merintikmu hari ini? Tidaklah seperti itu, kupikir. Tuhan Maha tak terbatas. Tuhan tak akan membatasi kemampuannya untuk menciptakan sesuatu yang perannya selalu sama. Tidak menarik kupikir kalau hanya seperti itu. Semua kita -baik benda apapun- diberikan alasan masing-masing untuk berada di kehidupan ini. Tak ada yang tak memiliki peran, tak ada yang memilki peran yang sama.

Kalau juga seperti siklus, apakah kepergian juga begitu? Apakah juga pergi untuk mengakhiri kepergian-kepergian selanjutnya? Namun, tentang kepergian, aku mempunyai beberapa paragraf khusus tentangnya.

***

Aku pernah memulainya, lalu mengakhirinya. Kumulai kembali, lalu mengakhirinya lagi. Ada apa dengan ke“aku”anku saat itu? Kalau layaknya seperti siklus hujan seperti yang kumaksud sebelumnya, kalau setiap siklus mempunyai dimensinya masing-masing yang membuatnya selalu berbeda, lalu mengapa selalu berulang? Berulang dan tetap berulang? Apa ini cuma permainan siklus yang tak bermakna apa-apa? Ataukah masih merupakan bagian dari fase-fase menuju sebuah kesempurnaan?

Tendensiku ada pada pilihan yang terakhir.

Ingin sekali kukatakan, dan selalu ingin kukatakan. Pada dimensiku, tak ada kata ‘pergi’ ataupun ‘akhir’ kepadamu. Hanya karena tak ada kata yang sempurna saat itu untuk menjelaskannya. Hanya karena waktu dan kondisi yang tidak memihakku saat itu. Hanya karena banyak sebab yang tak mampu kupleidoikan di depanmu saat itu. Naif rasanya ketika harus mengungkitnya kembali. Sudahlah, toh ini bukanlah sebuah pengakhiran yang sebenarnya, masih bagian dari proses menuju kesempurnaan, katamu.

Aku akan memulainya lagi untuk melanjutkan yang tak pernah akan kuakhiri, gentar sedikitpun tak. Aku sudah kebanjiran kata-kata untuk menjelaskannya kembali. Aku sudah diberi banyak waktu dan kesempatan yang akan selalu memihakku. Aku sudah kelebihan bukti untuk memperkarakannya kembali. Kini, aku sudah punya banyak alasan untuk melanjutkannya kembali. (*)

(Makassar, 20 Maret 2012)

18/03/2012

Cemburu


DI senja ini aku adalah sepatah kata yang tak bermakna. Sayapku patah melunglai tak berdaya. Rapuh bersimbah penat dan jerih. Hanya seperti konjungsi dalam kalimat tak beraturan. Hanya seperti muara yang mengasimilasi sungai ke lautan luas. Hanya seperti senja yang mengantarkan siang ke peraduan malam. Bingung menerangkan arti tentang maksud hati yang selalu bersenandung sumbang.

Aku ingin mencintaimu secara sederhana, seperti kata yang tak mampu mengungkap sesuatu secara sempurna. Tak cukup kata untuk menjelaskannya. Tak cukup arti untuk mendefinisikannya. Tak cukup tanda untuk memaknainya. Pernah kutawarkan tentang cinta yang sederhana kepadamu, pun sepadan dengan syukur dalam caramu menerimanya.

Kau bagai angin di bawah sayapku. Tanpamu, sendiri aku tak bisa seimbang. Sejenak telah kucoba sumbar merajai angkuhku. Seketika ciut menyadari lemahku tak bersandingmu. Lalu kepada siapa jerit ini kutengadahkan? Kepada siapa penat ini kukeluhkan? Kepada siapa payah ini akan kujerihkan? Pun senja tak menimpali apa-apa. Sekadar untuk menyiratkan peduli melalui lembayung di ujung samudera.

Di senja ini aku tahu kau sedang apa dan di mana. Pikiranku pasrah mengizini, hatiku sengal mengingkari. Seperti madu, hanya mencair di depan api dan tak membeku kecuali bila diletakkan di atas es. Tak mencair, pun tak membeku. Siang sekan lambat melambai malam, pun malam enggan merangai siang. Sendiri aku di sini, bersama senja yang tak berkesudahan. Kini aku rela mengakui, aku sedang cemburu.

(Di senja hari, Makassar, 18 Maret 2012)