20/03/2012

Paragraf untuk Kepergian

(Sumber Google)

PUN kalau Yang Maha Pengatur menginginkan permulaan selanjutnya, itu soal lain. Dimensinya berbeda, dan segalanya akan jadi berbeda. Bukan urusan kita.

***

Layaknya seperti siklus, sebuah permulaan yang dimulai kembali. Apakah sepadan juga dengan sebuah pengakhiran yang diakhiri kembali? Dengan sadar kujawab, tidak. Tidak ada kata ‘akhir’ secara filosofis menurutku. Mengakhiri sama saja dengan...??? 
Sulit, tak ada kata yang kupunya, yang secara sempurna mampu mendefinisikannya. Memberikannya definisi berarti sama saja dengan melanggar eksistensinya, membatasinya. Mendefinisikannya berarti sama saja dengan mengakhiri yang sebenarnya. Sudah, titik, mentok, tidak ada apa-apa lagi setelahnya.

Layaknya seperti siklus, hujan, eksistensinya berada di situ. Namun, esensinya menurutku hanya terjadi pada satu siklus dari hujan itu sendiri, pada saat hujan itu saja. Apakah kalian pikir tetesan air hujan yang merintikmu kemarin itu sama dengan tetesan air hujan yang kembali merintikmu hari ini? Tidaklah seperti itu, kupikir. Tuhan Maha tak terbatas. Tuhan tak akan membatasi kemampuannya untuk menciptakan sesuatu yang perannya selalu sama. Tidak menarik kupikir kalau hanya seperti itu. Semua kita -baik benda apapun- diberikan alasan masing-masing untuk berada di kehidupan ini. Tak ada yang tak memiliki peran, tak ada yang memilki peran yang sama.

Kalau juga seperti siklus, apakah kepergian juga begitu? Apakah juga pergi untuk mengakhiri kepergian-kepergian selanjutnya? Namun, tentang kepergian, aku mempunyai beberapa paragraf khusus tentangnya.

***

Aku pernah memulainya, lalu mengakhirinya. Kumulai kembali, lalu mengakhirinya lagi. Ada apa dengan ke“aku”anku saat itu? Kalau layaknya seperti siklus hujan seperti yang kumaksud sebelumnya, kalau setiap siklus mempunyai dimensinya masing-masing yang membuatnya selalu berbeda, lalu mengapa selalu berulang? Berulang dan tetap berulang? Apa ini cuma permainan siklus yang tak bermakna apa-apa? Ataukah masih merupakan bagian dari fase-fase menuju sebuah kesempurnaan?

Tendensiku ada pada pilihan yang terakhir.

Ingin sekali kukatakan, dan selalu ingin kukatakan. Pada dimensiku, tak ada kata ‘pergi’ ataupun ‘akhir’ kepadamu. Hanya karena tak ada kata yang sempurna saat itu untuk menjelaskannya. Hanya karena waktu dan kondisi yang tidak memihakku saat itu. Hanya karena banyak sebab yang tak mampu kupleidoikan di depanmu saat itu. Naif rasanya ketika harus mengungkitnya kembali. Sudahlah, toh ini bukanlah sebuah pengakhiran yang sebenarnya, masih bagian dari proses menuju kesempurnaan, katamu.

Aku akan memulainya lagi untuk melanjutkan yang tak pernah akan kuakhiri, gentar sedikitpun tak. Aku sudah kebanjiran kata-kata untuk menjelaskannya kembali. Aku sudah diberi banyak waktu dan kesempatan yang akan selalu memihakku. Aku sudah kelebihan bukti untuk memperkarakannya kembali. Kini, aku sudah punya banyak alasan untuk melanjutkannya kembali. (*)

(Makassar, 20 Maret 2012)

4 comments:

  1. Lanjutkan paragraf itu Dinda, kelak paragraf itu akan membentuk sebuah wacana yang akan bercerita tentang alasan-alasanmu di masa itu...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Momentnya pas bunda diek, smntra kuliah analisis wacana, komentnya ttg wacana pula, heheee... asik..asik..

      Delete
  2. Go a Head.. Tos lagi, boleh?? :)

    ReplyDelete