(Sumber Google)
PUN kalau Yang
Maha Pengatur menginginkan permulaan selanjutnya, itu soal lain. Dimensinya
berbeda, dan segalanya akan jadi berbeda. Bukan urusan kita.
***
Layaknya
seperti siklus, sebuah permulaan yang dimulai kembali. Apakah sepadan juga
dengan sebuah pengakhiran yang diakhiri kembali? Dengan sadar kujawab, tidak.
Tidak ada kata ‘akhir’ secara filosofis menurutku. Mengakhiri sama saja dengan...???
Sulit, tak ada kata yang kupunya, yang secara sempurna mampu mendefinisikannya.
Memberikannya definisi berarti sama saja dengan melanggar eksistensinya,
membatasinya. Mendefinisikannya berarti sama saja dengan mengakhiri yang
sebenarnya. Sudah, titik, mentok, tidak ada apa-apa lagi setelahnya.
Layaknya
seperti siklus, hujan, eksistensinya berada di situ. Namun, esensinya menurutku
hanya terjadi pada satu siklus dari hujan itu sendiri, pada saat hujan itu
saja. Apakah kalian pikir tetesan air hujan yang merintikmu kemarin itu sama
dengan tetesan air hujan yang kembali merintikmu hari ini? Tidaklah seperti
itu, kupikir. Tuhan Maha tak terbatas. Tuhan tak akan membatasi kemampuannya
untuk menciptakan sesuatu yang perannya selalu sama. Tidak menarik kupikir
kalau hanya seperti itu. Semua kita -baik benda apapun- diberikan alasan
masing-masing untuk berada di kehidupan ini. Tak ada yang tak memiliki peran,
tak ada yang memilki peran yang sama.
Kalau juga seperti
siklus, apakah kepergian juga begitu? Apakah juga pergi untuk mengakhiri kepergian-kepergian
selanjutnya? Namun, tentang kepergian, aku mempunyai beberapa paragraf khusus
tentangnya.
***
Aku pernah
memulainya, lalu mengakhirinya. Kumulai kembali, lalu mengakhirinya lagi. Ada
apa dengan ke“aku”anku saat itu? Kalau layaknya seperti siklus hujan seperti yang
kumaksud sebelumnya, kalau setiap siklus mempunyai dimensinya masing-masing
yang membuatnya selalu berbeda, lalu mengapa selalu berulang? Berulang dan tetap
berulang? Apa ini cuma permainan siklus yang tak bermakna apa-apa? Ataukah
masih merupakan bagian dari fase-fase menuju sebuah kesempurnaan?
Tendensiku
ada pada pilihan yang terakhir.
Ingin sekali
kukatakan, dan selalu ingin kukatakan. Pada dimensiku, tak ada kata ‘pergi’ ataupun
‘akhir’ kepadamu. Hanya karena tak ada kata yang sempurna saat itu untuk
menjelaskannya. Hanya karena waktu dan kondisi yang tidak memihakku saat itu. Hanya
karena banyak sebab yang tak mampu kupleidoikan di depanmu saat itu. Naif rasanya
ketika harus mengungkitnya kembali. Sudahlah, toh ini bukanlah sebuah pengakhiran
yang sebenarnya, masih bagian dari proses menuju kesempurnaan, katamu.
Aku akan memulainya
lagi untuk melanjutkan yang tak pernah akan kuakhiri, gentar sedikitpun tak. Aku
sudah kebanjiran kata-kata untuk menjelaskannya kembali. Aku sudah diberi
banyak waktu dan kesempatan yang akan selalu memihakku. Aku sudah kelebihan bukti
untuk memperkarakannya kembali. Kini, aku sudah punya banyak alasan untuk
melanjutkannya kembali. (*)
(Makassar, 20 Maret 2012)
Lanjutkan paragraf itu Dinda, kelak paragraf itu akan membentuk sebuah wacana yang akan bercerita tentang alasan-alasanmu di masa itu...
ReplyDeleteMomentnya pas bunda diek, smntra kuliah analisis wacana, komentnya ttg wacana pula, heheee... asik..asik..
DeleteGo a Head.. Tos lagi, boleh?? :)
ReplyDeleteBoleh, pke dua tngan nah :)
Delete