(Sumber Google)
NONENG, itulah
namanya. Banyak halang rintang yang harus kususur hanya untuk mengetahui
namanya saja. Sebuah nama yang menurutku biasa-biasa saja, agak sedikit ndeso, dan sangat tidak menarik. Sudahlah,
kukatakan dengan kata yang sederhana saja, namanya kampungan.
Masalahnya
bukan pada namanya saja. Namun, ada sebuah kondisi logis yang membuatku harus
mafhum bercampur kagum terhadap apa yang sedang aku saksikan. Nama itu
terdistorsi dengan paras wajahnya yang begitu memukau. Sebuah pemandangan
lahiriah ciptaan Tuhan yang membuat para bujang pengagum sepertiku mesti
berbagi ruang pikiran yang sudah semakin sesak dengan tugas-tugas kuliah dalam
otakku setiap malam.
***
Aku mahasiswa
baru pada sebuah perguruan tinggi negeri di Makassar. Pontang-panting melangkah
canggung memasuki sebuah dunia baru dengan modal tampang yang biasa-biasa saja,
kurus kerempeng, rambut ikal berminyak, dan semakin diperparah dengan jerawat yang
berseliweran di wajahku. Sudahlah, kukatakan dengan kata yang sederhana saja,
aku jelak.
Namun,
sedikit mengobati kenyataan pahit itu, ada status baru yang telah bertengger di
pundakku. “Aku anak kuliahan bro...,” kebanggaan tersendiri yang masih sangat
jarang dimiliki oleh beberapa pemuda di kampungku.
Secara
sadar, diriku tidaklah termasuk mahasiswa yang akan menjadi idola di kampus. Pun
aku pasrah menerima lantikan itu. Tergabung ke dalam golongan mahasiswa
pengagum perempuan bermental kerupuk, tak diminati para mahasiswi, apalagi
bermimpi menjadi populer bak seorang aktivis sejati. Mahasiswa seperti itu identik
dengan posisi berjalan yang sempoyongan, duduk lemas memangku dagu
mengisyaratkan beratnya beban penderitaan yang harus mereka pikul. Terkadang
mereka hanya terduduk lesu di pinggiran kantin, terkucilkan di sudut-sudut
taman ketika sedang istirahat, atau rela terdepak ke posisi paling belakang
ruangan kelas ketika perkuliahan sedang berlangsung.
Bermula
ketika ada urusan tugas kuliah di perpustakaan. Di sudut belakang perpustakaan
itulah aku terpukau oleh kecantikan seorang perempuan untuk kali kesekian. Duduk
manis di sebuah meja dekat petugas perpustakaan. Ia terlihat sedang asyik membaca
sebuah buku yang tidak baru lagi. Bersampul agak kemerahan dengan bungkusan
plastik kusam yang tampak sudah robek di keempat sudutnya. Di sekitarnya, hanya
berjejeran beberapa buku tak beraturan, sisa-sisa bacaan mahasiswa yang telah
keluar sebelumnya. Biasalah, kebiasaan buruk para pegawai perpustakaan yang enggan merapikannya kembali pada
tempatnya. Kadang mereka hanya sibuk membaca majalah atau hanya bergosip dengan
sesamanya, atau sesekali melototkan mata kepada mahasiswa yang agak gaduh.
Setelah
melalui beberapa pengintaian dan penyelidikan, sampailah pada sebuah hipotesis
sederhana dengan rincian sebagai berikut: Dia adalah gadis berjilbab dan sering
ke perpustakaan.
“Cuma
itu? Yaa.., cuma itu yang bisa kugali,” debatku heran dalam hati.
Wajar
saja, aku tak punya sarana yang memadai untuk melakukan investigasi secara
mendalam. Aku tak kenal banyak orang yang bisa aku jadikan informan. Aku tak
punya banyak modal untuk mengintainya di sepanjang hari. Sudahlah, kukatakan
dengan kata yang sederhana saja, aku kere.
Tapi
itu tak jadi soal. Toh aku sudah tahu ia sering ke perpustakaan. Kupikir itu
cukup untuk gerilya selanjutnya. Kesempatan itu pun tidak terlewatkan begitu
saja. Aku sering berkunjung ke perpustakaan sekadar untuk memperhatikannya dari
sudut pandang yang tak dipedulikan. Berharap dapat menarik perhatiannya walaupun
sangat sedikit kemungkinannya untuk diperhatikan.
Dia memang
seorang gadis yang sangat menarik dan amat memesona. Parasnya yang cantik dan senyumnya
yang manis, berharmoni dengan lipatan jilbab yang ia lekukkan di sekitar
lehernya. Pun busana yang ia pakai setiap hari selalu tampak selaras dengan
rona wajahnya yang membuatku semakin terpesona.
Namun
tragis, proses perkenalanku dengannya sungguh sangat memprihatinkan lagi
menyakitkan. Awalnya aku menduga ia perempuan yang mudah untuk diajak
berkenalan, setara dengan gadis gampangan yang mudah termakan rayuan maut
seperti beberapa seniorku di kampus. Ternyata aku telah salah menilainya
serendah itu. Ia sungguh berbeda dengan perempuan yang lain. Ia begitu memukau
laksana bunga mawar yang berduri. Jujur, baru kali ini aku bertemu dengan perempuan
seperti dia, dan seingatku sebelumnya memang belum pernah.
***
Tak terasa libur
semester pun tiba. Sebuah momen yang paling ditunggu-tunggu oleh para mahasiswa
yang doyan pulang kampung. Sebuah rutinitas paling esensial bagi para mahasiswa
rantau untuk segera mudik ke kampung halaman masing-masing. Pun aku juga demikian.
Akumulasi dari kehendak itu terjewantahkan pada realitas membludaknya penumpang
yang memadati terminal–terminal angkutan antar kota di Makassar.
Pulang
kampung merupakan hal yang mengasyikkan buatku. Pulang dengan menyandang sebuah
status baru, seorang mahasiswa. Tak pelak banyak diantaranya yang melakukan hal
demikian karena di kampung-kampung masih sangat jarang yang melanjutkan
pendidikannya setelah tamat sekolah. Pola pikir orang tua mereka hanya
menginginkan anaknya menjadi seorang pekerja keras di ladang dan di sawah-sawah,
melanjutkan sebuah tradisi keluarga yang sudah turun-temurun.
Tersentak
bulu romaku merinding kaku ketika melihatnya berada dalam sebuah mobil di
terminal. Sebuah mobil panter
yang juga merupakan mobil yang akan kunaiki menuju kampung halaman. Mobil
pun melaju meninggalkan terminal yang tampak semakin sesak oleh para penumpang,
pedagang asongan, dan para calo-calo terminal yang saling berebut penumpang. Aku
duduk bersebelahan dengannya, tepat pada posisi belakang pak sopir.
“Ya
Tuhan, aku harus bagaimana?” aku gugup, girang bukan kepalang.
Ini
adalah karunia yang luar biasa dari Tuhan Yang Maha Esa. Menyandingkanku dengan
gadis pujaanku meskipun cuma di sebuah mobil angkutan umum. Rugi besar kalau
kesempatan ini terbuang percuma.
“Hai
cewek, kalau boleh tahu nama kamu siapa?” tanyaku menyodorkan tangan.
Ia
hanya merekahkan senyum sederhana yang tampak elegan, bisu tak menjawab, sama
sekali tak memperdulikan ucapanku. Mukaku langsung merah pucat pasi bercampur
rasa malu.
Mobil
terus melaju dengan kencangnya. Kupikir pak sopir agak kurang suka dengan
tingkahku di belakangnya. Kurasa pula dirinya juga kesal dengan Noneng karena
sebelumnya ia juga merasakan kekecewaan yang sama denganku, tidak digubris sama
sekali. Imbasnya, mobil yang ia kemudikan sengaja digas kencang-kencang. Sebuah
kebiasaan buruk beberapa sopir angkutan umum yang belum mampu memisahkan antara
urusan hati dengan pekerjaan, tidak profesional.
Selang
tak berapa lama, kembali kuberanikan diri mengeluarkan deretan kata-kata
penakluk yang mungkin saja bisa meluluhkan hatinya yang masih dingin.
Sebelumnya memang telah kurancang sebuah kalimat rayuan khas Andre Taulani yang
kira-kira bunyinya seperti ini, “Ayah kamu polisi yah?” Setelahnya kuharap ia
menjawab dengan “iya, kok kamu tahu?” Dan dengan lantang akan kusambut dengan
“soalnya kamu telah menembak hatiku!” celotehku riang dalam hati.
Alhasil,
ekspansi perlahan terealisasi. Tak peduli dengan resolusi yang sudah jadi. Tak
ada istilah gencatan senjata apalagi rekonsiliasi di masa transisi seperti ini.
Aku yakin kemenangan sudah mulai bersemi.
“Ayah
kamu polisi yah?” tanyaku halus penuh keyakinan.
“Bukan,
Ayah saya seorang guru!”
Ternyata
rencana tak seindah realisasi. Lagi-lagi hatiku remuk, hancur bukan main, malu.
Strategi yang sebelumnya kususun seakan sirna diterpa angin yang masuk di
sela-sela kaca pintu.
Dalam
kendaraan yang kami lewati, di sebelah kirinya, dia duduk dengan seorang
perempuan tua yang sesekali menatapku penuh amarah saat kucoba berkenalan
dengannya.
“Noneng,
berikan nenek air minum dalam tas, Nak,” nenek itu memberi perintah kepadanya.
Ternyata
perumpuan tua itu adalah neneknya. Untungnya, dari dialog itulah aku bisa
mengetahui nama gadis pujaanku itu. Noneng, ya itulah namanya.
Tentu
tidak sampai di situ saja. Aku terus berupaya untuk menaklukkannya dengan
mengeluarkan jurus-jurus pamungkas dengan harapan dapat sedikit membuatnya
luluh.
“Pulang
kampung juga ya? Turun dimana?” tanyaku penuh harap.
Dia
pun langsung menjawabnya dengan nada agak keras. Namun, pandangannya ia arahkan
kepada pak sopir kemudian berkata, “Pak, kiri depan, Pak sopir!”
Noneng
berlalu bergitu saja. Si sopir juga tampak senang melihat kemalanganku,
cekikikan seperti seekor kuda yang meringkik kegirangan. Seakan berisyarat
“rasain, emang enak!”
Tak
ada sapaan penutup ataukah sebuah tolehan arah kanan sebagai simbol bahwa
dirinya senang berkenalan denganku. Sudahlah, kukatakan dengan kata yang
sederhana saja, aku ditolak. (*)
Akhirnya 3 kata yang berhasil Saya maknai dalam cerpen ini: Jelek, Kere dan Ditolak. Mudah-mudahan ini bukan penggambaran diri yang sesungguhnya dik...Teruskan Perjuanganmu...
ReplyDeleteHehee...,kupikir bunda ulfa bisa menilainya.
Delete@"ayah kamu polisi ya?"
ReplyDelete@@"bukan,ayah saya seorang guru."
@"pantesan...hatiku sudah kamu terangi seperti ayahmu menerangi hati muridnya"hahahahah
Ciieee..., yg pacarnya seorang guru..:)
Delete