03/04/2012

Sudahlah

(Cerpen; kelakar di masa lalu)

(Sumber Google)

NONENG, itulah namanya. Banyak halang rintang yang harus kususur hanya untuk mengetahui namanya saja. Sebuah nama yang menurutku biasa-biasa saja, agak sedikit ndeso, dan sangat tidak menarik. Sudahlah, kukatakan dengan kata yang sederhana saja, namanya kampungan.

Masalahnya bukan pada namanya saja. Namun, ada sebuah kondisi logis yang membuatku harus mafhum bercampur kagum terhadap apa yang sedang aku saksikan. Nama itu terdistorsi dengan paras wajahnya yang begitu memukau. Sebuah pemandangan lahiriah ciptaan Tuhan yang membuat para bujang pengagum sepertiku mesti berbagi ruang pikiran yang sudah semakin sesak dengan tugas-tugas kuliah dalam otakku setiap malam.

***

Aku mahasiswa baru pada sebuah perguruan tinggi negeri di Makassar. Pontang-panting melangkah canggung memasuki sebuah dunia baru dengan modal tampang yang biasa-biasa saja, kurus kerempeng, rambut ikal berminyak, dan semakin diperparah dengan jerawat yang berseliweran di wajahku. Sudahlah, kukatakan dengan kata yang sederhana saja, aku jelak.

Namun, sedikit mengobati kenyataan pahit itu, ada status baru yang telah bertengger di pundakku. “Aku anak kuliahan bro...,” kebanggaan tersendiri yang masih sangat jarang dimiliki oleh beberapa pemuda di kampungku.

Secara sadar, diriku tidaklah termasuk mahasiswa yang akan menjadi idola di kampus. Pun aku pasrah menerima lantikan itu. Tergabung ke dalam golongan mahasiswa pengagum perempuan bermental kerupuk, tak diminati para mahasiswi, apalagi bermimpi menjadi populer bak seorang aktivis sejati. Mahasiswa seperti itu identik dengan posisi berjalan yang sempoyongan, duduk lemas memangku dagu mengisyaratkan beratnya beban penderitaan yang harus mereka pikul. Terkadang mereka hanya terduduk lesu di pinggiran kantin, terkucilkan di sudut-sudut taman ketika sedang istirahat, atau rela terdepak ke posisi paling belakang ruangan kelas ketika perkuliahan sedang berlangsung.

Bermula ketika ada urusan tugas kuliah di perpustakaan. Di sudut belakang perpustakaan itulah aku terpukau oleh kecantikan seorang perempuan untuk kali kesekian. Duduk manis di sebuah meja dekat petugas perpustakaan. Ia terlihat sedang asyik membaca sebuah buku yang tidak baru lagi. Bersampul agak kemerahan dengan bungkusan plastik kusam yang tampak sudah robek di keempat sudutnya. Di sekitarnya, hanya berjejeran beberapa buku tak beraturan, sisa-sisa bacaan mahasiswa yang telah keluar sebelumnya. Biasalah, kebiasaan buruk para pegawai perpustakaan yang enggan merapikannya kembali pada tempatnya. Kadang mereka hanya sibuk membaca majalah atau hanya bergosip dengan sesamanya, atau sesekali melototkan mata kepada mahasiswa yang agak gaduh.

Setelah melalui beberapa pengintaian dan penyelidikan, sampailah pada sebuah hipotesis sederhana dengan rincian sebagai berikut: Dia adalah gadis berjilbab dan sering ke perpustakaan.

“Cuma itu? Yaa.., cuma itu yang bisa kugali,” debatku heran dalam hati.

Wajar saja, aku tak punya sarana yang memadai untuk melakukan investigasi secara mendalam. Aku tak kenal banyak orang yang bisa aku jadikan informan. Aku tak punya banyak modal untuk mengintainya di sepanjang hari. Sudahlah, kukatakan dengan kata yang sederhana saja, aku kere.

Tapi itu tak jadi soal. Toh aku sudah tahu ia sering ke perpustakaan. Kupikir itu cukup untuk gerilya selanjutnya. Kesempatan itu pun tidak terlewatkan begitu saja. Aku sering berkunjung ke perpustakaan sekadar untuk memperhatikannya dari sudut pandang yang tak dipedulikan. Berharap dapat menarik perhatiannya walaupun sangat sedikit kemungkinannya untuk diperhatikan.

Dia memang seorang gadis yang sangat menarik dan amat memesona. Parasnya yang cantik dan senyumnya yang manis, berharmoni dengan lipatan jilbab yang ia lekukkan di sekitar lehernya. Pun busana yang ia pakai setiap hari selalu tampak selaras dengan rona wajahnya yang membuatku semakin terpesona.

Namun tragis, proses perkenalanku dengannya sungguh sangat memprihatinkan lagi menyakitkan. Awalnya aku menduga ia perempuan yang mudah untuk diajak berkenalan, setara dengan gadis gampangan yang mudah termakan rayuan maut seperti beberapa seniorku di kampus. Ternyata aku telah salah menilainya serendah itu. Ia sungguh berbeda dengan perempuan yang lain. Ia begitu memukau laksana bunga mawar yang berduri. Jujur, baru kali ini aku bertemu dengan perempuan seperti dia, dan seingatku sebelumnya memang belum pernah.

***

Tak terasa libur semester pun tiba. Sebuah momen yang paling ditunggu-tunggu oleh para mahasiswa yang doyan pulang kampung. Sebuah rutinitas paling esensial bagi para mahasiswa rantau untuk segera mudik ke kampung halaman masing-masing. Pun aku juga demikian. Akumulasi dari kehendak itu terjewantahkan pada realitas membludaknya penumpang yang memadati terminal–terminal angkutan antar kota di Makassar.

Pulang kampung merupakan hal yang mengasyikkan buatku. Pulang dengan menyandang sebuah status baru, seorang mahasiswa. Tak pelak banyak diantaranya yang melakukan hal demikian karena di kampung-kampung masih sangat jarang yang melanjutkan pendidikannya setelah tamat sekolah. Pola pikir orang tua mereka hanya menginginkan anaknya menjadi seorang pekerja keras di ladang dan di sawah-sawah, melanjutkan sebuah tradisi keluarga yang sudah turun-temurun.

Tersentak bulu romaku merinding kaku ketika melihatnya berada dalam sebuah mobil di terminal. Sebuah mobil panter yang juga merupakan mobil yang akan kunaiki menuju kampung halaman. Mobil pun melaju meninggalkan terminal yang tampak semakin sesak oleh para penumpang, pedagang asongan, dan para calo-calo terminal yang saling berebut penumpang. Aku duduk bersebelahan dengannya, tepat pada posisi belakang pak sopir.

“Ya Tuhan, aku harus bagaimana?” aku gugup, girang bukan kepalang.

Ini adalah karunia yang luar biasa dari Tuhan Yang Maha Esa. Menyandingkanku dengan gadis pujaanku meskipun cuma di sebuah mobil angkutan umum. Rugi besar kalau kesempatan ini terbuang percuma.

“Hai cewek, kalau boleh tahu nama kamu siapa?” tanyaku menyodorkan tangan.

Ia hanya merekahkan senyum sederhana yang tampak elegan, bisu tak menjawab, sama sekali tak memperdulikan ucapanku. Mukaku langsung merah pucat pasi bercampur rasa malu.

Mobil terus melaju dengan kencangnya. Kupikir pak sopir agak kurang suka dengan tingkahku di belakangnya. Kurasa pula dirinya juga kesal dengan Noneng karena sebelumnya ia juga merasakan kekecewaan yang sama denganku, tidak digubris sama sekali. Imbasnya, mobil yang ia kemudikan sengaja digas kencang-kencang. Sebuah kebiasaan buruk beberapa sopir angkutan umum yang belum mampu memisahkan antara urusan hati dengan pekerjaan, tidak profesional.

Selang tak berapa lama, kembali kuberanikan diri mengeluarkan deretan kata-kata penakluk yang mungkin saja bisa meluluhkan hatinya yang masih dingin. Sebelumnya memang telah kurancang sebuah kalimat rayuan khas Andre Taulani yang kira-kira bunyinya seperti ini, “Ayah kamu polisi yah?” Setelahnya kuharap ia menjawab dengan “iya, kok kamu tahu?” Dan dengan lantang akan kusambut dengan “soalnya kamu telah menembak hatiku!” celotehku riang dalam hati.

Alhasil, ekspansi perlahan terealisasi. Tak peduli dengan resolusi yang sudah jadi. Tak ada istilah gencatan senjata apalagi rekonsiliasi di masa transisi seperti ini. Aku yakin kemenangan sudah mulai bersemi.

“Ayah kamu polisi yah?” tanyaku halus penuh keyakinan.

“Bukan, Ayah saya seorang guru!”

Ternyata rencana tak seindah realisasi. Lagi-lagi hatiku remuk, hancur bukan main, malu. Strategi yang sebelumnya kususun seakan sirna diterpa angin yang masuk di sela-sela kaca pintu.

Dalam kendaraan yang kami lewati, di sebelah kirinya, dia duduk dengan seorang perempuan tua yang sesekali menatapku penuh amarah saat kucoba berkenalan dengannya.

“Noneng, berikan nenek air minum dalam tas, Nak,” nenek itu memberi perintah kepadanya.

Ternyata perumpuan tua itu adalah neneknya. Untungnya, dari dialog itulah aku bisa mengetahui nama gadis pujaanku itu. Noneng, ya itulah namanya.

Tentu tidak sampai di situ saja. Aku terus berupaya untuk menaklukkannya dengan mengeluarkan jurus-jurus pamungkas dengan harapan dapat sedikit membuatnya luluh.

“Pulang kampung juga ya? Turun dimana?” tanyaku penuh harap.

Dia pun langsung menjawabnya dengan nada agak keras. Namun, pandangannya ia arahkan kepada pak sopir kemudian berkata, “Pak, kiri depan, Pak sopir!”

Noneng berlalu bergitu saja. Si sopir juga tampak senang melihat kemalanganku, cekikikan seperti seekor kuda yang meringkik kegirangan. Seakan berisyarat “rasain, emang enak!”

Tak ada sapaan penutup ataukah sebuah tolehan arah kanan sebagai simbol bahwa dirinya senang berkenalan denganku. Sudahlah, kukatakan dengan kata yang sederhana saja, aku ditolak. (*)

4 comments:

  1. Akhirnya 3 kata yang berhasil Saya maknai dalam cerpen ini: Jelek, Kere dan Ditolak. Mudah-mudahan ini bukan penggambaran diri yang sesungguhnya dik...Teruskan Perjuanganmu...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hehee...,kupikir bunda ulfa bisa menilainya.

      Delete
  2. @"ayah kamu polisi ya?"
    @@"bukan,ayah saya seorang guru."
    @"pantesan...hatiku sudah kamu terangi seperti ayahmu menerangi hati muridnya"hahahahah

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ciieee..., yg pacarnya seorang guru..:)

      Delete