31/08/2012

Liberty and Victory

Agustus yang tentram berlalu nyaris tanpa menyisakan lara. Selaksa nikmat sisa ramadhan telah membuaiku dalam candu yang menyejukkan jiwa. Bermacam rupa ibadah mulai terasa nikmat rutin terselenggara. Hati yang masih bergetar tatkala asma-Nya merdu dilantunkan –kuharap senantiasa begitu, selalu melinangkan air mata sesal yang teramat dalam. Terasa seperti damai memagut duka membenamkan nelangsa. Semua dari itu mewujud dalam syukur atas-Nya yang senantiasa kurapalkan di sujud terakhir salat-salatku. Hanya kepada-Nya segala munajat bermuara, pemilik atas segala ke-Mahaan tiada tara.
“Itu berkah ramadhan, Ray,” ucapmu tak lama setelah kuutarakan suasana batin itu padamu.
Betapa tidak, nikmat kemerdekaan dan kemenangan telah diraih di momentum ramadhan yang baru saja berlalu. Dalam bahasa yang trendi, orang-orang menyebutnya dengan istilah liberty and victory. Kemerdekaan adalah wujud kebebasan dari segala jerat yang membelenggu. Bangsa ini punya sejarah panjang nan kelam dalam meraih kemerdekaan. Bukan pekerjaan mudah untuk meraihnya, terlebih mempertahankannya. Sementara kemenangan diperoleh setelah melalui perjuangan yang menempa. Dalam konteks ini adalah puasa. Tetapi setelah menjalankan puasa, apa? Adakah yang berubah? Namun pesta kemerdekaan 17 Agustus dan kemeriahan kemenangan Idul Fitri tahun ini terasa begitu khidmat. Keduanya telah memadu satu dalam berkah fitrah lahir dan batin.
Tentu masih jelas tergambar dalam kenangmu saat puasa kemarin menempa rasa cinta dan kesabaran kita. Sering kita saling berebut peran, menjadi reminder, serupa kokokan ayam ataupun beduk penanda imsak dan azan buka puasa. Riang saling berlomba menamatkan bacaan Quran masing-masing, serta mengajak satu sama lain menghabiskan sisa-sisa tarawih bersama di mesjid kesukaanmu. Aku pun nyaman menikmatinya. Itu hal yang sangat jarang kulakukan di tahun-tahun sebelumnya. Kerap cuma terlalui dengan kegiatan-kegiatan tak berguna. Sekalipun menjadi kewajiban dan rutinitas tiap tahunnya, selalu hanya datang dan berlalu begitu saja, tak menyisakan hikmah apa-apa. Redam tak berjejak, suram semakin mengelam.
Namun jika kau sedang absen lantaran siklus kodratimu datang mengunjungi, Bandoci dan kawan-kawan tak lupa kuajak serta menjemaahkan isya serta witir. Malah jadinya lebih mirip tim safari ramadhan kabupaten yang berkunjung dari masjid yang satu ke mesjid yang lain di kampung-kampung. Mereka tampak bersuka cita dalam menyemarakkan acara tarawih bersama itu. Hanya saja terkadang Bandoci resah berkeluh lantaran salah satu kawan keranjingan menghabiskan tarawih sampai 20 rakaat. Tapi itu tak menjadi beban. “Kita jadikan ini sebagai ujian kesabaran dan keimanan kita, kawan,” ujarnya berlagak seorang ustaz, kawan lainnya malah terpingkal-pingkal menimpali. Kau tau kan, imam-imam mesjid di kota ini gemar membaca surah-surah yang panjang-panjang. Sangat berbeda dengan yang ada di kampungku, bacaan surahnya pendek-pendek dan gerakan salatnya cepat-cepat pula.


Apakah benar ini berkah? Kupikir bisa jadi demikian. Seumur hidup tak pernah kunikmati yang demikian. Namun seiring usia yang semakin menahun, membuatku tertegun malu meratapi dosa yang telah lebat berimbun.
“Aku malu menengadahkan muka kepada-Nya, Idea,” resahku.
“Tuhan Maha Pemaaf sekaligus Pengampun bagi yang pasrah  memohon!” bujukmu memperbaiki suasana.
Aku tahu Tuhan memahaminya. Hidupku akan sangat bernilai jika keberadaanku diantara sesama dapat menjadi manfaat dan solusi atas masalah-masalah mereka. Seperti tertulis dalam quote of day yang pernah kutilik di pojok sampul depan salah satu koran, “kebahagiaan adalah ketika kita dapat membuat orang-orang di sekitar kita merasa bahagia”. Hanya saja di usia seperempat abad lebih umurku saat ini, sesekali mulai terngiang resah yang menggundah karena kematangan berpikir dan kemapanan duniawi yang biasa kusebut dengan kesejahteraan hidup, masih sungkan merapat. Barangkali itu sah-sah saja karena aku seorang pria. Masih lajang pula. Terlalu lebay, hehe..
Tentang itu adalah kuasa Tuhan, hak keistimewaan-Nya yang sudah kita sepakati sebagai takdir. Jika memang takdir sudah termaktub pada garis tangan-tangan kita, aku bisanya apa? Namun kupikir masalahnya tidak sesederhana itu. Aku percaya dengan kekuatan doa dan mimpi. Aku dan akal pikiranku adalah bagian dari alam semesta ini. Pun mimpi yang kuat kuimajinasikan serta kenyataan hidup yang akan terjadi, juga tersimpul di dalamnya. Keberadaanmu pun juga demikain. Semuanya menjadi satu kesatuan kesemestaan yang memiliki kemampuan saling memahami yang disebut dengan bahasa semesta. Setiap daripada bagian-bagian itu akan kait mengait tatkala salah satu bagiannnya bereaksi. Masing-masing kita memiliki peran dan alasan hidup di dunia ini. Kadang ketika ternyata mimpi tak seindah kenyataan, kita mereduksi makna takdir menjadi nasib. Dan ketika kenyataan jauh lebih menawan dari mimpi, takzim kusebut sebagai sebuah keajaiban.
Sudahlah, sekarang cukup untuk apa yang ada saja. Mensyukuri nikmat-nikmat ini saja bersama dengan orang-orang terdekat, termasuk dirimu. Dan dalam keadaan begini, aku merindukanmu.
Awan putih gemawan menudungi jumpa yang sudah tak lagi lama. Kunanti senyummu yang elok rupawan serupa di taman ataupun halaman impianku. Segera kusaji sambut menawan nan berkawan tatkala pertemuan tergelar lantaran lebaran telah memilah kita dalam ikatan cinta yang kurasa semakin tentram. Aku ke kampungku, kau tetap di kotamu. Tersenyumlah nanti, setidak-tidaknya penawar atas sekebat rindu yang berkelabat beberapa pekan.

Makassar, di akhir Agustus 2012

27/07/2012

Profesi Mulia

Waktu sudah menunjuk pukul sembilan pagi. Namun, kabut masih terlalu lebat segan mengurai pagi. Kamis yang bisu. Tetesan embun di pucuk-pucuk daun kopi merabas menjatuhi bebatuan pegunungan yang berlumut. Gigil tak dapat kutampik. Sekalipun jaket kulit erat membungkus badan kurusku mengendari sepeda motor, tetap saja dingin merasuk sampai ke tulang-tulang. Aku belum terbiasa dengan dingin seperti itu karena rumahku dekat dengan pesisir pantai. Suhunya berbeda. Sementara sekolah yang kutuju saban pagi letaknya di atas puncak gunung. Gunung sebenar-benarnya gunung. Dan jika telah sampai di puncak yang kumaskud tadi, barang semenit sudah bisa sampai di sekolah.

Tampak gedung sekolah (yang beratap merah) difoto di atas bukit Salimbongan

Karena letaknya di dusun Salimbongan, sekolah itu diberi nama SMP Salimbongan. Tepatnya SMP Satu Atap Salimbongan Kec. Lembang, Kab. Pinrang. Bangunannya baru, tapi cuma seadanya. Cuma tiga ruangan saja. Namun demikian, itu sudah cukup untuk dipakai belajar oleh siswa kelas VII dan VIII. Ruangan yang satunya lagi didaulat mejadi ruangan serbaguna: kantor kepala sekolah, ruang guru-guru, ruang BK, laboratotium IPA, penyimpanan alat-alat olahraga, dapur, serta lonceng, cangkul, dan badik peralatan bujang sekolah. Ruangan kelas IX belum tersedia karena sekolah itu baru berjalan dua tahun. Coba bayangkan bila nanti sudah memasuki tahun ketiga. Siswa baru mau belajar di mana? Atau bisa saja salah satu ruangan itu beralih fungsi karena ruangan yang tak mencukupi. Alhasil, bapak kepala sekolah gelisah dibuatnya saat itu.
Kalau diukur dari rumah dinas pak camat di kota kecamatan ke sekolah, sekolah tempatku mengajar itu jaraknya 35 km. Kemudian jarak dari kediaman pak camat ke rumahku sekira 10 km. Jadi, kalau menunggangi sepeda motor, aku membutuhkan waktu sekira sejam lamanya untuk bisa sampai di sana. Jangan harap ada sinyal hape. Medannya menanjak, membelah bukit demi bukit. Kadang berserakan bebatuan cadas akibat longsor karena hujan lebat. Sementara kalau dari sekolah menuju ibu kota kabupaten, jaraknya mencapai dua kali lipat jarak dari rumahku ke sekolah itu. Coba hitung sendiri lalu renungkan. Tak usah berpanjang lebar. Sekolah itu letaknya jauh. Sederhananya, terpencil.
Bayangkan betapa repotnya bila mendadak ada panggilan rapat dari dinas pendidikan di kota kabupaten. Mau apa lagi? Menjadi pendidik memang juga harus sigap. Haruslah sabar dan ikhlas serta memiliki hati yang lapang. Hanya senyum dan semangat para siswa yang menjadi pelipur. Itu jelas tergambar tatkala mereka takzim menunggu pelajaranku di dalam kelas. Tak perlu mengasihaniku. Aku sudah kenyang dengan segala keluhan-keluhan. Cukup beri simpati buat mereka yang bersekolah di sana. Mereka adalah anak-anak yang punya segudang cita-cita mulia. Anak-anak yang menyimpan berjuta potensi dan kreativitas, sebelum semua itu sirna karena terenggut oleh tradisi nikah muda, warisan berladang kopi dan jagung, serta karena alasan biaya yang tak lagi memadai. Namun, mereka tetap bisa tersenyum berlarian menuju sekolah, sementara orang tuanya meringis dalam hati membayangkan masa depan anaknya.
“Anak-anak, cukup sekian dulu pelajaran kita hari ini. Mungkin hari ini juga merupakan pertemuan kita yang terakhir. Semangat dan tetap rajin belajar,” kataku menutup pelajaran sekaligus sebagai salam perpisahan singkat.
Sulit menggambarkan suasana haru saat itu. Siang itu sudah memasuki tahun kedua masa kerjaku. Dengan berbagai alasan, aku memilih untuk tak lagi melanjutkan menjadi seorang guru di sana. Seorang guru honor.
***
“Terus, bagaimana dengan siswa-siswamu sekarang, Ray?”
Aku diam tak menimpalimu.
“Ayolah, Ray. Aku ingin mendengarkan pengalaman-pengalamanmu di sana,” desakmu sambil menarik-narik lengan kemejaku.
“Sudahlah, Idea. Miris kalau harus mengulik kisah itu lagi. Aku telah kalah dengan keadaan,” keluhku.
Barangkali kau butuh banyak referensi tentang keadaan begitu. Kau suka dengan kondisi sekolah seperti itu. Tantangan, katamu. Walaupun masih gadis, dirimu sering mengajukan permohonan mengikuti program-program menjadi pendidik di sekolah-sekolah terpencil dan tertinggal. Serupa Indonesia Mengajar, Sarjana Mengajar, Menjadi Pendidik Muda, dan semacamnya. Gerakan-gerakan seperti itu sangat bagus, output-nya jelas dan menjanjikan, terangmu. Sedangkan aku dulu, cuma gerakan hati nurani saja. Hanya karena akumulasi dari rasa putus asa dan kebingunganku mencari pekerjaan.
Saat itu, menjadi guru honor menjadi pilihan paling akhir untuk melabuhkan kesakralan ijazahku yang telah kuraih selama empat tahun. Tak ada kejelasan harus mengabdi sampai berapa lama agar derajat bisa diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil. Begitupun dengan gaji, juga sama tak jelasnya. Dan itu hampir dialami oleh seluruh kawan-kawan guru honor di Indonesia. Lihatlah mereka sekarang. Pandang nasib mereka. Toh masih begitubegitu saja. Belum ada perubahan. Padahal mereka juga adalah seorang pendidik, dan malah memiliki loyalitas tinggi, tetapi diabaikan.
Profesi seorang guru adalah mulia. Disebut profesi karena tak boleh sembarangan orang menjadi guru. Haruslah orang yang kompeten dan kapabel, alias profesional. Pekerjaan seorang guru adalah mendidik, bukan cuma sekadar mengajar tok. Guru merupakan orang yang paling banyak berinteraksi dengan peserta didik. Tidak hanya berkutat pada persoalan pembelajaran di kelas, tetapi berbagai hal tentang sikap dan perilaku para siswa ikut menjadi tanggung jawabnya agar mereka kelak menjadi pribadi yang mandiri dan berkarakter. Guru selalu berada di barisan terdepan dalam dunia pendidikan. Berhasil atau tidaknya pendidikan suatu bangsa, mau tidak mau, faktor guru menjadi muara dari segala alasan yang nantinya akan muncul.
“Kurasa cukup, Idea. Aku tak perlu menceramahimu tentang itu. Kita sama-sama sudah memahami. Menjadi seorang guru memang profesi yang mulia. Tapi di sisi lain, kesejahteran guru juga tak kalah pentingnya!”
“Apakah karena alasan itu kamu berhenti mengajar di sana?” sahutmu seketika.
Kubalas dengan diam membuang muka.
“Lantas? desakmu lagi. “Ayolah, Ray!”
“Apa yang membuat manusia dapat terus survive?” tanyaku berbalik ke arahmu.
“Mimpi, hope” tebakmu.
“Kamu benar. Kita sama-sama mempunyai mimpi, Idea. Akupun demikian. Hanya itu yang kupunya. Mimpi yang akan terus kukejar, bahkan akan berusaha melampauinya,” kataku mencoba bijak menjelaskan.
Di selasar taman yang tak jauh dari balai kota aku kembali diam memaknai keadaan. Kau termangu memahamiku. Pandanganku kosong, tatapanmu berbinar. Sore yang bisu. Burung berkicau, dedauanan gemeresik lantaran angin sepoi melentiknya bersilir. Sebuah map berisi beberapa lembar fotokopi ijazah yang telah kulegalisir bersamamu siang tadi, tergeletak sekenanya di pangkuanku. Tentang menjadi pendidik, tentang masa depan, tentang mimpi dan harapan, berpadu satu dalam semilir angin senja yang perlahan menjemput malam, lalu terbang bersama awan ke angkasa yang jingga.

Foto diambil sebelum tampil mementaskan drama pada acara 17 Agustusan.

Makassar, 27 Juli 2012
 

19/07/2012

Doa di Malam 1 Ramadan

AKU bukanlah seorang pendoa ulung, bukan pula muslim paling alim. Aku hanya seorang pendosa yang selalu linglung, bahkan tak jarang berbuat zalim. Sembahyangku juga masih bolong-bolong. Tadarusan apalagi. Cuma Surah Yasin yang senang kumaratonkan. Tatkala berdoa, mulutku pun kaku tak mampu mengurai maksud lewat untaian kata-kata nan syahdu. Lidahku kelu lantaran gamang meratapi diri yang kurang terjamah wudhu. Aku malu. Apa mungkin Tuhan mau memberi dispensasi kepadaku sebagai hamba yang selalu ingin dipahami dan dimengerti?
Setelah kupikir-pikir, doa menjadi satu-satunya media penyerahan diri paling memadai saat ini. Dan rasanya tak sopan jika harus menangis lagi di hadapan-Nya. Tegur bila ternyata keliru. Sudah sering aku begitu. Rautku amat berantakan apabila meneteskan air mata. Rasanya tak enak menghadap-Nya dengan rupa sebentuk itu. Aku ingin menampakkan kesempurnaan wajah yang kupunya. Pernah kucoba untuk mengatupkan kelopak mata. Dan ketika harus begitu, air mataku tertahan tak dapat keluar dengan sempurna. Malah jadi sakit mata. Maka, perkenankanlah aku menyampaikan doa ini dengan cara sederhana saja. Mampuku hanya menuliskannya dulu, setelah ini akan kubacakan untuk-Nya di malam 1 ramadan nanti.
***

Untuk-Mu yang selalu menggetarkan hati dan semesta
Di singgasana paling agung

Engkau Maha Sempurna melampaui segala nilai dan sifat-sifat yang Kau punya. Engkau Maha Pengasih sekaligus Maha ‘Pemarah’ sebab murka atas aku yang kadang tak tahu arah. Aku masih saja rabun memahami kebajikan dan kejahatan, tentang kebahagiaan dan kesedihan, hitam dan putihnya kehidupan, serta segala hal yang berlawanan. Tidakkah sengaja Kau ciptakan hal-hal kontradiktif seperti itu? Maka Kau memberiku akal untuk itu. Satu kelebihan yang membuat makhluk-makhluk lain merasa iri: dapat mengungguli kemuliaan malaikat jikalau mempergunakannya dengan baik, dan sebaliknya, akan melampaui kesesatan setan jika tidak digunakan dengan baik pula. Singkatnya, makhluk sempurnalah. Namun sayang, akalku belum mampu mengurai makna-makna di balik semua itu.

Tuhan, mohon pengertian-Mu. Jalanku kini tampaknya mulai suram. Dulunya pernah temaram, kini perlahan kembali muram. Aku tahu diri ini berlumur dosa. Tetapi mohon dipertimbangkan. Barangkali saja ada dua, tiga, atau empat amal kebajikan yang sudah kubuat. Kuadratkan segala pahala dari itu. Atau kalau bisa, barterkan secuil amalku dengan segudang dosa yang telah kuperbuat. Sulutlah kembali obor kehidupanku. Hampir saja resah betah menjadikanku kalah. Sekali lagi, Tuhan, mohon pertimbangkan. Sekiranya ternyata belum sepadan, mohon dicek ulang. Bisa jadi terselip di tumpukan amal dermawan orang sebelah.

Selalu kuharapkan percikan cahaya-Mu, nur dari dari segala nur itu. Tak usah terlalu benderang. Cukup untuk untuk menerangi akal dan hatiku tok. Cukup untuk menyusuri jalan hidupku yang sudah Kau patok. Cukup untuk memancarkan cahaya kebaikan ke orang-orang sekitarku, serta bermanfaat bagi sesama. Hanya saja beberapa diantaranya malah membalasnya dengan maki. Selebihnya ada juga menimpali dengan doa dan terima kasih. Adapun mereka mau ikhlas membalasnya dengan harta benda, kupikir Engkau tak akan keberatan, bukan? Karena pemberian itu akan kuamalkan kembali. Di dunia mendulang amal, di akhirat meraih pahala secara optimal.

Teruntuk ibuku yang dulu sering kubuat murka, sampai-sampai harus meneteskan air mata, membuat dadaku selalu bergetar dibuatnya. Aku sangat menyayanginya, Tuhan. Hanya saja kemiskinan pernah membuat kami buta, tak bersepaham tentang arti sebuah penderitaan dan kebahagiaan. Lupakanlah itu. Kini, jikalau boleh memohon, aku ingin membahagiakannya dengan kesejahteraan hidup yang berkecukupan. Tentu saja hasil dari jerih payahku sendiri. Kalau hanya dengan itu bisa membuatnya senang, maka curahkanlah kepadaku rejeki dan harta berlimpah. Sampai di usia segini, aku bahkan belum mampu memberinya apa-apa. Apalagi menghadiahkannya beberapa cucu. Menghidupi diri sendiri saja aku tak becus. Namun apabila berkenan, mohon jadikan aku sebagai seorang pria mapan, layak untuk meminang anak gadis orang.

Untuk ayahku yang sering kubuat kesal karena perintahnya selalu kutampik, jelas tak boleh sampai ketinggalan dalam doa ini. Segala bentuk kerja kerasnya dalam menafkahi keluarga tentu tak cukup kubalas dengan harta maupun benda saja. Pekerjaan sekeras dan sekasar apa yang tak pernah dilakoninya? Kini tubuhnya tampak sudah tak sekekar dahulu. Usia telah menggerogoti keperkasaannya. Aku berharap dapat mempersembahkan kepadanya sebuah martabat dan kedudukan yang pantas. Sedih ketika harus mengingat hinaan dari orang-orang yang selalu memandangnya sebelah mata. Maka dari itu, Tuhan, wujudkanlah mimpiku menjadi seorang yang memiliki kedudukan dengan segudang prestasi, supaya dapat membuatnya bangga memiliki seorang bungsu yang berdedikasi tinggi.

Terhadap saudara-saudara sedarahku, rasanya tak lengkap bila tanpanya. Aku bisa berbuat apa tanpa mereka? Aku sudah berada di titik ini justru karena dukungan mereka. Bahkan seorang diantaranya harus rela menidurkan mimpinya sekolah tinggi-tinggi lantaran biaya enggan merestui. Darinya pun kini ia bangunkan mimpinya kemudian ia sematkan di pundakku. Kepada-Mu jua aku bermohon, lindungi mereka dari segala bahaya. Kabulkan doa-doa mereka. Simpul kami dalam ikatan persaudaraan abadi, berbakti kepada Ayah dan Ibu, serta kelak dijauhkan dari seteru perihal warisan dan gono-gini.

Duhai Tuhanku, Kekaksih Sejatiku. Kurasa cukup sekian dulu doaku. Selebihnya akan kususul dalam tafakur di keheningan malam-malam berikutnya. Ramadan adalah bulan suci, mujarab memanjatkan setumpuk doa-doa. Namun jangan merasa bosan jika doa ini selalu berulang dan terulang. Tentu semuanya akan kembali kepada-Mu. Mohon efisienkan bila terlalu berlebihan, ingatkan bila masih ada hal penting yang terlewatkan. Sekali lagi, mohon pemahaman dan pengertian-Mu!

Tertanda
Hamba-Mu yang masih saja bodoh,

UM Ray Bitta (cukup sebut Ray saja)
***
Sinar jingga semburat merangai pagi. Awan yang berkelabat menudungi telaga sunyi, terberai-berai karena fajar gegas menyembul di baliknya. Esok ataupun lusa, suasananya akan jadi beda. Kokokan ayam dan bedug di senja kala dalam sebulan ke depan akan menjadi ramai dinanti-nanti. Setelah itu sunyi senyap tanpa jejak. Semoga saja tidak. Kalau sidang isbat jadi menetapkan esok sebagai hari pertama Ramadan, aku berencana melantunkan doa itu di sepertiga malam sebentar. Namun seandainya lelap menggelayuti lelahku sampai tahajud tak dapat kutemui, kutitipkan doa itu padamu, Idea. Semoga kau tak keberatan. Bacakan untukku tatkala kau sedang terjaga. Lantunkan beberapa ayat peneguh iman, sebelumnya. Setelahnya, zikirkan dalam sekebat tasbih pengikat keyakinan. Padamu juga telah kusematkan seuntai doa dalam senandung kerinduan. Seperti sebaris kata yang pernah kupindai, bahwa wujud rindu nan hakiki adalah ketika kita takzim saling mendoakan di sujud rakaat paling akhir. (*)

Makassar (menuju Pajalele), 19 juli 2012

03/07/2012

Satu Kaleng Susu Cap Bendera

Jika seorang ibu melahirkan di malam buta, kelak anak yang dilahirkannya akan berkulit gelap. Kalaupun besarnya nanti berparas rupawan dan memiliki gingsul, derajatnya akan naik menjadi ‘hitam manis’. Sebaliknya, jika dilahirkan di siang hari, kulitnya akan berwarna cerah juga. Terlalu cerah juga tak elok. Bisa-bisa jadi pucat. Sementara aku yang terang-terangan dilahirkan di Jumat siang, harus menerima kenyataan pahit bahwa kulitku bolong –warna hitam sebutan orang bugis? Apakah karena aku dilahirkan di waktu siang bolong? Seperti itulah orang-orang kampung dulu memberikan filosofi asal mula warna kulit. Pikirku terlalu kampungan mereka memberikan hipotesis asal-asalan seperti itu.
Sejak dilahirkan 26 tahun yang lalu, sampai sekarang, orang-orang di kampung masih sangat betah memanggilku bolong kappu­ –hitam pekat. Memang jikalau dideretkan dengan tiga saudaraku, tampak jelas warna kulitku berada di sebelah kanan paling ujung, jika urutan yang kulitnya putih dimulai sebelah kiri –seperti pada indikator perubahan warna kulit produk-produk kecantikan. Bukan hanya itu, aku yang secara kronologis merupakan anak bungsu, masih saja dianggap lebih tua dari kakak-kakakku. Apa coba. Apakah warna kulit memengaruhi proses penuaan?
Di suatu kesempatan aku pernah menayakan hal ini kepada ibuku.
“Dulu waktu ngidam kamu, Ibu sering minum kopi ketimbang minum susu cap bendera, Nak,” jawabnya sekonyong-konyong.
Lantas apakah ketika ibu sedang ngidam, kopi dan susu juga berpengaruh terhadap warna kulit anak? Apa ini ilmiah? Sudahlah, tulisan ini bukan melulu menyoal tentang halusinasi warna kulit. Melainkan tentang susu. Tepatnya susu cap bendera yang dimaksud ibuku tadi. Tak ada inovasi yang lahir dari otak orang-orang yang terus-terusan berhalusinasi.
Hal itulah yang akan kuceritakan kepadamu, Idea. Beberapa kisah tentang masa laluku yang tak seindah masa-masa kecilmu. Barangkali saja dulu ibumu sering membuatkanmu segelas susu sebelum tidurmu. Aku tahu kalau sejak kecil kau menyukai susu kental manis cap bendera itu. Apalagi yang rasa cokelat. Pun aku tahu betul bahwa susu sangat membantu dalam proses pertumbuhan fisik dan otak anak. Supaya bisa sehat dan tentu cerdas-cerdas. Dan itu tampak jelas terlihat padamu sekarang. Walaupun badanmu tidak terlalu montok, Idea yang kukenal sangat cerdas dan kreatif dalam berinovasi. Tak usah menampiknya kalau ternyata aku berlebihan. Paling tidak kau bisa lebih memahamiku, mengerti mental dan pola pikirku sebagai seorang yang pernah hidup dengan kondisi keluarga yang sangat pas-pasan dan jarang minum susu.
***
Orang-orang di kampungku sangat suka dengan yang berbau bendera, termasuk susu yang bergambar bendera. Setiap upacara pengibaran bendera merah-putih 17 Agustus di lapangan, semuanya turut khidmat memberi penghormatan. Mengerek bendera setengah tiang karena Presiden Soeharto wafat, mereka juga keranjingan. Apalagi menjelang hari ulang tahun kabupaten, warga kampung sangat antusias menaikkan umbul-umbul segala macam warna. Walaupun mereka sangsi bapak bupati akan berkonvoi memasuki kampung yang terbilang jauh itu. Terkecuali kalau sedang ada pilkada, itu lain ceritanya.
Kalau kau membuka peta Kabupaten Pinrang, kampungku terletak di ujung paling utara kota kabupaten. Diapit oleh gunung yang berderet semena hati, dan pesisir pantai yang memanjang tak berpasir putih. Makanya, pembangunan dan jalan-jalannya tidak akan sebagus yang ada di kota. Itu lumrah bagi kampung-kampung yang berada di daerah-daerah perbatasan, termasuk kampungku, Pajalele. Mainan-mainan impor dari China juga sangat susah didapat di sana. Apalagi game sekaliber Play Station (PS-3), jangan mimpi. Yang ada cuma mainan rakitan mobil-mobilan dari kaleng-kaleng bekas. Aku sendiri tak tahu itu bekas dari kaleng apa. Aku belum tahu apa-apa. Saat itu umurku baru menginjak umur sekira lima tahun. Yang aku tahu kaleng bekas itu memiliki bungkusan bergambar menyerupai bendera. Orang-orang di kampungku juga masih jarang yang fasih membaca. Apalagi yang berbahasa Inggris, jangan tanya lagi. Mana tahu mereka dengan “Frisian Flag”. Cukup dengan melihat gambarnya saja, sekena-kenanya susu itu mereka beri sebuah cap nama, susu cap bendera.
Susu kaleng yang memiliki label Halal dari Majelis Ulama Indonesia itu sangat berterima di kalangan mana saja. Mulai dari anak-anak, remaja, dewasa, sampai jompo-jompo, terkecuali bayi. Sangat paslah dikonsumsi oleh keluarga di berbagai tingkatan. Apalagi jika sedang terindikasi kurang darah. Gejala-gejalanya seperti: kantong mata tampak hitam, setelah duduk lama penglihatan berkunang-kunang, dan badan terasa kurang bertenaga.
Gejala seperti itu pernah dialami ayahku. Oleh ibu bidan desa, ayahku diberi sebuah resep sederhana: 1 kaleng susu cap bendera. Dengan sigap aku menebus resep itu di pasar. Segera kuhunus sebuah belati milik ibu di dapur. Kemudian kutusukkan ke bagian atas kaleng susu itu sampai membentuk dua lubang. Keluarlah cairan kental putih di salah satu lubangnya. Ayahku langsung menenggaknya tanpa diseduh air panas, sampai tersisa hanya sepertiganya. Kau tau? Sepertiganya itu disisakan untukku.
“Ini minuman halal, Nak. Minumlah supaya kau bisa tumbuh jadi anak yang cerdas dan bisa rangking satu,” katanya mengakhiri prosesi pengobatan yang agak sedikit kampungan itu.
Bagi keluargaku, kesempatan meminum susu merupakan kegiatan yang sangat langka kami lakukan. Terkecuali hanya kalau sedang sakit, ataukah sedang ada tamu terhormat yang datang berkunjung ke rumah.
***
Beberapa hari yang lalu sepulang dari  kampung, aku diserang demam. Imbas dari flu yang luar biasa itu menderaku minta ampun. Tak ada yang bisa kulakukan selain hanya pasrah dan tertidur. Tubuhku lemah karena badan semakin panas. Tak ada seorang ibu yang bisa merawatku. Itulah konsekuensi dari seorang mahasiswa bujang yang hidup jauh dari kampung halaman.
Kau sedang sibuk dengan pekerjaanmu. Aku sengaja tak memberitahumu. Aku tak mau mengganggu aktivitas kantormu. Namun karena feeling-mu terlalu tajam, pun tak lama akhirnya kau mengetahuinya. Kau datang menjengukku dengan membawa bungkusan putih merek sebuah mini market. Aku acuh tak memedulikannya. Yang aku butuhkan hanyalah perhatianmu. Wajahmu meringis melihatku terkulai lemas. Kau merawatku sampai benar-benar aku merasa nyaman dan bisa tertidur pulas. Hingga tak terasa malam sudah hampir larut, kau berlalu pulang dengan segudang cemas. Segera kubuka bungkusanmu. Kulihat beberapa buah-buahan segar dan satu kaleng susu cap bendera terselip di dalamnya. (*)


Pajalele–Makassar, 3 Juni 2012

(Halaman pada blog ini diikutsertakan dalam Kontes Blog dengan tema "Susu Inovasi yang Sehat dan Halal untuk Pertumbuhan Anak" kerjasama Blogdetik dengan LPPOM MUI dan Frisian Flag)

26/06/2012

Dinamika (Kau dan Biolamu 3)

BAHWA hidup itu akan menarik jika ada dinamikanya, barangkali aku menyetujuinya. Perjalanan dalam hidup ini jelaslah penuh liku nan berkelok. Pun jalan yang demikian itu tidaklah selamanya mulus. Terseok-seok, tergelincir, hingga merdeka dan bahagia merupakan beberapa imbas dari sekian banyak konsekuensi dalam perjalanan yang dinamis itu. Hanya pengalaman yang dapat dijadikan bekal pelajaran dalam menitinya. Bergerak merupakan kemestian yang mau tidak mau menjadi keniscayaan, tolok ukur dari perubahan. Bumi yang hanya tampak diam oleh beberapa mata manusia sebanarnya malah aktif bergerak dengan rotasinya mengitari pusat matahari.
Dalam hal yang demikian itu aku sepakat denganmu. Namun dalam berketetapan hati kita pernah berbeda pemahaman. Logikaku ketat mengikat dalam memantapkan pilihan hati, kau masih fleksibel memaknai hal tersebut. Seperti dulu kau pernah berceracau di selasar taman –yang dulu pernah kita namai sebagai taman langit– ketika senja beringsut ke peraduannya.
“Hidup kita tak selamanya akan begini. Ada dinamikanya, naik turun, fluktuatif seperti harga sembako. Hari ini mungkin kita bersedih karena cela dari mereka yang urung mengerti. Esok siapa yang tahu?”
Aku hanya nganguk-ngangguk mencoba memahami. Kubiarkan kau terus melanjutkan.
“Saat ini mungkin kita bahagia karena masih bisa bersama, esok mana tahu? Pun hati ini masih selalu menyoal tentangmu setiap saat. Esok? Entah?”
Kau mengakhiri dengan nada cemas. Lalu menatapku miris bercampur waswas, lantas aku meringis. Saat itu, hanya ‘keadaan’ yang dijadikan sebagai musabab atas masalah yang kadang tak merestui.
Itu dulu. Sekarang, perlahan namun pasti, kau sudah yakin memastikan bahwa aku adalah satu-satunya orang yang pantas untuk kau curahkan setumpuk perhatian, pantas untuk kau jadikan tumpuan di saat rapuhmu. Sampai pada titik yang paling pantas, malah kau menyebutku sebagai separuhmu. Luar biasa, bukan? Semringah kau mengucap itu, aku berjingkrak bukan main dalam hati.
Sementara di belahan Eropa sana, di Polandia dan Ukraina, berlangsung beberapa laga pamungkas kesukaan banyak orang. Bukan hanya para pria, pun banyak kaum hawa telah dihipnotisnya. Sampai-sampai banyak yang dibuatnya panas dingin. Ya, demam Piala Eropa. Kau juga ikutan demam dibuatnya. Bermunculan banyak binatang peramal. Mulai dari yang berkaki banyak, berkaki empat, tak berkaki, atau yang cuma berekor saja. Tahu apa mereka tentang sepak bola? Terkadang manusia selalu menjadikan ketidakmungkinan menjadi sesuatu yang mungkin untuk dilogikakan. Ada-ada saja. Dan sepertinya akan selalu ada.
Saat ini sudah memasuki laga semifinal. Kau mendukung Jerman karena pemain favorit Real Madrid-mu bermain di sana, Mesut Ozil. Sementara aku, mati-matian tetap akan mendukung tim kesayanganku, Spanyol. Mayoritas pemain Barcelona bermain di sana. Kita mempunyai alasan yang serupa. Terkadang El Classico memang menyisakan beragam ketidaksepahaman bagi para pendukungnya. Namun aku berharap kedua negara itu dapat bertemu di laga final nanti. Apa salahnya kalau kita berbeda minat. Sesekali perbedaan kita jadikan sebagai perekat, supaya ada dinamika.
***
Di sebuah rumah sederhana yang tak begitu luas, aku tinggal dengan beberapa kawan. Sebut saja mereka sebagai Bandoci dan kawan-kawan. Tak elok menyebutkan nama mereka satu persatu. Sebab kalau jadi populer, bisa-bisa mereka malah minta upah karena namanya telah kujadikan tokoh ke dalam cerita ini. Gengsi mereka terlalu tinggi. Jadinya, hanya kalau rumah sedang sepi barulah aku semangat latihan menggesek biola. Sangat tidak nyaman bila mereka sedang di rumah, terutama Si Bandoci itu. Yang dilakukannya hanya mengejek dan mencibir. Bayangkan saja, hasil bunyi gesekan biola perdanaku dikiranya lebih mirip (maaf) suara kentut yang sengaja dikeluarkan sedikit demi sedikit. Ada-ada saja.
Tanah airku Indonesia
negeri elok yang amat kucinta
tanah tumpah darahku yang mulia
yang kupuja sepanjang masa...
Entah dapat wangsit dari mana, instrumen Lagu Nasional 'Rayuan Pulau Kelapa' itu nyelonong masuk seenaknya mondar-mandir ke dalam kepalaku ketika memulai mempelajari nada-nada pada biola. Padahal aku termasuk pemerhati lagu-lagu pop terbaru negeri ini. Apalagi yang bergenre galau –salah satu jenis lagu terfavorit umat manusia Indonesia saat ini. Agustusan juga masih terbilang jauh. Mungkin di zaman penjajahan dulu, biola selalu identik dengan instrumen lagu-lagu nasionalisme seperti yang dilakukan WR. Supratman. Ataukah karena kunci nada lagu karya Ismail Marzuki tersebut hanya berkutat pada nada mayor seperti G, C, dan D saja. Sementara nada dasar biola adalah G, D, A, dan E. Berbeda dengan jenis lagu-lagu galau itu, pada umumnya bermain pada nada-nada minor seperti Am, Dm, dan Em. Otomatis nadanya selalu miris, membuat hati meringis dan tentu menyayat-nyayat hati.
Pengetahuanku tentang gitar sebanarnya sudah ada dan mumpuni dalam memainkan beberapa lagu. Sebut saja lagu rock lawas Sweet Child of Mine milik Guns n Roses. Atau beberapa lagu hits Rolling Stone, Metalica, dan Nirvana. Kau percaya? Syukurlah kalau kau tidak memercayainya. Aku cuma mampu menyebutkannya saja. Bahwa aku sedikit memiliki pengetahuan dan bisa memetik gitar itu memang benar. Tetapi jangan harap mampu bernyanyi seperti Iwan Fals dan Sandhy Sondoro yang teramat lihai bernyanyi sambil memetik gitar. Tapi kalau hujan sedang lebat-lebatnya, mungkin aku bisa kalian adu. Diadu berteriak tak karuan atau memutuskan tali-tali gitar.
Berbeda dengan gitar, biola tidak mempunyai fret penanda jari. Jadi mesti memiliki rasa musik yang tinggi dan membutuhkan daya kesabaran luar biasa. Salah-salah menekan titik nada, sumbanglah suara gesekannya. Makanya mentormu dulu sengaja memberikan tanda fret berupa isolatif merah pada papan dawainya supaya lebih mudah diingat. Tanda-tanda itu disesuaikan dengan skala nada mayornya.
***
 
 Sumber : di sini

“Biola itu tidak harmonis, kurang padu, beda, dan cenderung sendiri. Namun tatkala baur, simfoni jadinya!” Katamu bijak menjelaskan tentang filosofi biola. Kuanggap itu sebagai arahan prolog pra-pertunjukan dari seorang pelatih. Kau genggam erat lenganku memberi semangat. Aku takjub menyaksikan rautmu yang sendu. Bahuku menaik. Kuhela nafas dalam-dalam kemudian bibirku menghembusnya kuat-kuat. Sekarang, semangatku sudah berada pada titik puncak kepercayaan diri luar biasa.
Sebelum memulai pertunjukan simfoni sederhana itu, kuambil beberapa gerakan SKJ tahun sembilan puluhan, sebuah gerakan pemanasan. Setelah itu, dengan gemulai kuraut bow-nya menggunakan damar agar suara gesekannya dapat melengking sempurna. Bukan hanya kendaran bermotor yang harus dipanaskan sebelum dipakai, bukan? Di selasar taman ini semuanya akan bermula. Sebuah langkah kecil untuk hasil besar.
“Apakah kau sudah siap, Idea?” tanyaku penuh keyakinan.
Kau menimpali dengan menggerak-gerakkan pinggangmu supaya memperoleh posisi duduk yang paling nyaman. Padahal sedari tadi kau sudah tampak khidmat duduk manis menantikan aksiku. Sudah tak sabar kau rupanya. Tak lupa kau menyetel rekaman handphone-mu. Tentu kesempatan langka seperti ini enggan kau lewatkan begitu saja.
            Aku hendak memulai aksi. Posisi tubuhku sudah sangat menyakinkan. Terdengar nada yang agak sumbang. Barangkali karena hari sudah gelap, sementara penerang di taman ini tak cukup memperjelas tanda-tanda fret pada papan dawai biolamu. Rembulan masih sabit.
“Kesan pertama jarang yang sempurna, Idea. Biasalah, demam panggung,” aku berkilah pura-pura menutupi grogi yang menggerogot.
Sebuah instrumen Lagu Nasional samar-samar terdengar canggung. Namun lama-lama semakin tanggung. Gemerusuk dedaunan bersorak merdu. Semilir angin malam menyepoi memperjelas tempo. Kesunyian, keindahan, dan cinta memadu satu dalam irama. Nada demi nada mendayu-dayu menjadi lagu. Lagu tergubah menjadi rayu. Rayuan Pulau Kelapa mengalun merdu nan penuh syahdu. Kau terkesima menyaksikan simfoniku berkolaborasi dengan suara alam. Azan Isya memberi irama penutupan yang apik. Hening jadinya. Matamu berkaca-kaca menahan haru. Seutas senyummu menyimpul bahagia. Nafasku lega menyaksikan itu. (*)

Makassar, 26 Juni 2012