28/03/2012

Titik Balik

"Semuanya akan stagnan pada sebuah dinding yang besar”

(Sumber Google)

TAK ada yang dapat kusangka sebelumnya. Pun tak ada yang mampu kusangkal akhirnya. Bak seorang filsuf, pernah aku sesumbar mendeklarasikan pernyataan di atas. Pangkal dari beberapa kontemplasi sederhana, memaknai tentang kehidupan secara sederhana pula. Bahwa hidup tak selamanya selalu begini dan tak selamanya selalu begitu. Ada fase di mana kita akan terhenti di sebuah titik, tersungkur layu, tak mampu berbuat apa-apa. Pada momentum itu, tersuguhkanlah beberapa pilihan. Bangkit untuk maju atau bangkit untuk mundur. Pun memilih untuk tidak memilih satu diantaranya juga merupakan sebuah pilihan. Memilih untuk selamanya stagnan, meratapi kemegahan ‘dinding’ tersebut.

Sontak aku terperangah memandangi ‘dinding’ besar itu. Banyak hal yang membuatku miris. Mengukur-ngukur dosa di masa lalu, menimbang-nimbang maksiat yang terlampau bejat, menakar-nakar air mata dari mereka yang telah dipaksanya menetes karena lakuku, juga dekadensi akhlak membuatku semakin ciut, gamang bukan kepalang. Sadar bahwa tuah dari kata-kata yang pernah kucelotehkan benar-benar tertuai sendiri padaku.

Lelah merasai itu, pilihan-pilihan pun telah tersajikan. Memilih dan tak memilih adalah sebuah pilihan. Mudah dulu aku mendemonstrasikannya, sulit kini merealisasikannya. Ketika memilih untuk memilih, aku masih diperhadapkan pada dua pilihan, bangkit untuk maju atau bangkit untuk mundur. Pun ketika memilih untuk tidak memilih satu diantaranya adalah pilihan juga. Aku tak menyangka sampai terlampau rumit seperti ini.

Aku mampunya termangu di beberapa malam sesudahnya. Bertafakur, hanya bisa melakukan itu saja. Meluapkan segala penat keresahan, mendengungkan pinta yang menguap-nguap, berharap dapat berekonsiliasi dengan para malaikat tentang predestinasi Sang Pemilik Segalanya yang menurutku mungkin telah terjadi kekeliruan dalam penetapannya. Menginginkan sebuah resolusi.

Aku ingin hidayah, pintaku secara sederhana.

Berkali-kali telah kurenegosiasikan kepada-Nya. Pun sampai berkali-kali pagi mendapatiku masih dalam keadaan termangu di sisa-sisa tafakur. Aku bosan menyaksikan seruakan cahayanya yang menyusup di sela-sela tirai jendela kamarku. Tersadar bahwa belum terjadi apa-apa, belum ada hasil apa-apa. Kalau pagi saja tak pernah merasa lelah menyapaku, mengapa aku harus lelah? Pinta yang berjerih payah akan menuai hasil yang melimpah ruah, pikirku secara sederhana pula. Setelah itu kumantapkan, bukan pagi yang harus mendatangiku, aku yang harus menunggu pagi.

Sampai pada akhirnya terberai juga kekalutan transendental tentang pilihan itu. Aku akan memilih sekaligus tidak untuk memilih.

Waktu telah berjalan menjejaki angka-angka penutupannya pada penanggalan matahari, duapuluh delapan Maret, sebulan setelah moment kelahiranku. Tetap, aku yang masih menunggu pagi. Kuharap akan tetap seperti itu, meskipun telah ada hasil yang melimpah ruah. Balik lakuku sebagai bentuk syukur kepada-Nya. Kunamai ini sebagai titik balik.

Aku tahu, Tuhan tidak diam. Diam-diam Dia telah merangkul doa-doa dan  sebagian mimpi-mimpiku. Pun aku merasa bahwa porsi hidayah-Nya padaku telah dititiskan kepadanya. “Dari-Nya” oleh “padanya” kepadaku. Dari-Nya kumunajatkan syukur tiada tara atas hidayah luar biasa ini. Kepadanya kuucap terima kasih atas ide yang berderai-derai tiada henti. Atas segalanya itu, kunamailah wadah ini sebagai halaman-halaman untuk Idea.

(Saat menunggu pagi, Makassar, 28 Maret 2012)

20/03/2012

Paragraf untuk Kepergian

(Sumber Google)

PUN kalau Yang Maha Pengatur menginginkan permulaan selanjutnya, itu soal lain. Dimensinya berbeda, dan segalanya akan jadi berbeda. Bukan urusan kita.

***

Layaknya seperti siklus, sebuah permulaan yang dimulai kembali. Apakah sepadan juga dengan sebuah pengakhiran yang diakhiri kembali? Dengan sadar kujawab, tidak. Tidak ada kata ‘akhir’ secara filosofis menurutku. Mengakhiri sama saja dengan...??? 
Sulit, tak ada kata yang kupunya, yang secara sempurna mampu mendefinisikannya. Memberikannya definisi berarti sama saja dengan melanggar eksistensinya, membatasinya. Mendefinisikannya berarti sama saja dengan mengakhiri yang sebenarnya. Sudah, titik, mentok, tidak ada apa-apa lagi setelahnya.

Layaknya seperti siklus, hujan, eksistensinya berada di situ. Namun, esensinya menurutku hanya terjadi pada satu siklus dari hujan itu sendiri, pada saat hujan itu saja. Apakah kalian pikir tetesan air hujan yang merintikmu kemarin itu sama dengan tetesan air hujan yang kembali merintikmu hari ini? Tidaklah seperti itu, kupikir. Tuhan Maha tak terbatas. Tuhan tak akan membatasi kemampuannya untuk menciptakan sesuatu yang perannya selalu sama. Tidak menarik kupikir kalau hanya seperti itu. Semua kita -baik benda apapun- diberikan alasan masing-masing untuk berada di kehidupan ini. Tak ada yang tak memiliki peran, tak ada yang memilki peran yang sama.

Kalau juga seperti siklus, apakah kepergian juga begitu? Apakah juga pergi untuk mengakhiri kepergian-kepergian selanjutnya? Namun, tentang kepergian, aku mempunyai beberapa paragraf khusus tentangnya.

***

Aku pernah memulainya, lalu mengakhirinya. Kumulai kembali, lalu mengakhirinya lagi. Ada apa dengan ke“aku”anku saat itu? Kalau layaknya seperti siklus hujan seperti yang kumaksud sebelumnya, kalau setiap siklus mempunyai dimensinya masing-masing yang membuatnya selalu berbeda, lalu mengapa selalu berulang? Berulang dan tetap berulang? Apa ini cuma permainan siklus yang tak bermakna apa-apa? Ataukah masih merupakan bagian dari fase-fase menuju sebuah kesempurnaan?

Tendensiku ada pada pilihan yang terakhir.

Ingin sekali kukatakan, dan selalu ingin kukatakan. Pada dimensiku, tak ada kata ‘pergi’ ataupun ‘akhir’ kepadamu. Hanya karena tak ada kata yang sempurna saat itu untuk menjelaskannya. Hanya karena waktu dan kondisi yang tidak memihakku saat itu. Hanya karena banyak sebab yang tak mampu kupleidoikan di depanmu saat itu. Naif rasanya ketika harus mengungkitnya kembali. Sudahlah, toh ini bukanlah sebuah pengakhiran yang sebenarnya, masih bagian dari proses menuju kesempurnaan, katamu.

Aku akan memulainya lagi untuk melanjutkan yang tak pernah akan kuakhiri, gentar sedikitpun tak. Aku sudah kebanjiran kata-kata untuk menjelaskannya kembali. Aku sudah diberi banyak waktu dan kesempatan yang akan selalu memihakku. Aku sudah kelebihan bukti untuk memperkarakannya kembali. Kini, aku sudah punya banyak alasan untuk melanjutkannya kembali. (*)

(Makassar, 20 Maret 2012)

18/03/2012

Cemburu


DI senja ini aku adalah sepatah kata yang tak bermakna. Sayapku patah melunglai tak berdaya. Rapuh bersimbah penat dan jerih. Hanya seperti konjungsi dalam kalimat tak beraturan. Hanya seperti muara yang mengasimilasi sungai ke lautan luas. Hanya seperti senja yang mengantarkan siang ke peraduan malam. Bingung menerangkan arti tentang maksud hati yang selalu bersenandung sumbang.

Aku ingin mencintaimu secara sederhana, seperti kata yang tak mampu mengungkap sesuatu secara sempurna. Tak cukup kata untuk menjelaskannya. Tak cukup arti untuk mendefinisikannya. Tak cukup tanda untuk memaknainya. Pernah kutawarkan tentang cinta yang sederhana kepadamu, pun sepadan dengan syukur dalam caramu menerimanya.

Kau bagai angin di bawah sayapku. Tanpamu, sendiri aku tak bisa seimbang. Sejenak telah kucoba sumbar merajai angkuhku. Seketika ciut menyadari lemahku tak bersandingmu. Lalu kepada siapa jerit ini kutengadahkan? Kepada siapa penat ini kukeluhkan? Kepada siapa payah ini akan kujerihkan? Pun senja tak menimpali apa-apa. Sekadar untuk menyiratkan peduli melalui lembayung di ujung samudera.

Di senja ini aku tahu kau sedang apa dan di mana. Pikiranku pasrah mengizini, hatiku sengal mengingkari. Seperti madu, hanya mencair di depan api dan tak membeku kecuali bila diletakkan di atas es. Tak mencair, pun tak membeku. Siang sekan lambat melambai malam, pun malam enggan merangai siang. Sendiri aku di sini, bersama senja yang tak berkesudahan. Kini aku rela mengakui, aku sedang cemburu.

(Di senja hari, Makassar, 18 Maret 2012)

15/03/2012

Go Ahead

TENTANG hujan, aku pernah berceloteh tentangnya kepadamu. Kita ini seperti hujan. Kita menguap bersama di lautan, merintik bersama di permukaan, terberai ke sana kemari karena sungai yang beraneka lintas. Tak peduli dengan seberapa teriknya matahari saat itu, tak peduli dengan seberapa bencinya mereka yang hendak bepergian, tak peduli dengan seberapa dahaganya sawah-sawah tadah hujan yang selalu puso. Mari kita pedulikan diri kita saja. Karena, kadang peduli kita kepadanya, mereka bilang, telat. Sering peduli kita kepadanya, mereka bilang, belum saatnya. Tak jarang juga peduli kita kepadanya, mereka bilang, Alhamdulillah.
 
Mari kita berbasah-basahan saja dalam hujan kita sendiri. Biarkan mereka sibuk dengan jabatannya yang kadang tak amanah, biarkan mereka linglung dengan ibadah-ibadah agamanya, biarkan juga mereka tetap istikamah dengan tanggungjawabnya. Toh kita akan ke laut juga. Memulai sebuah permulaan-permulaan baru, membuat kita selalu tampak baru di hati dan pikiran mereka.

Seperti kidung bijakmu kemarin sore, “jarak tahun ke tahun hanyalah sebuah relativitas. Sebuah permulaan yang berubah menjadi permulaan kembali. Suatu masa selalu menuju ke pemberhentian, namun hanya untuk memastikan dimulainya kembali sebuah permulaan. Layaknya siklus, berulang dan terus berlanjut. Dunia tak membiarkan suatu hal berhenti sepenuhnya, tak ada yang benar-benar selesai. Keterbatasan tak selamanya berakhir miris.” Takjub aku mendengarnya.

Tak perlu risau dengan cercaan yang –akan dan selalu- mendengki kita. Pun tak penting pula mencari dukungan dari mereka untuk sebuah pengakuan. Hujan kita akan tetap pada siklusnya, mereka tetap pada jalannya masing-masing. Go ahead sajalah.

(Ditemani hujan yang sedang merintik, Makassar, 15 Maret 2012)

12/03/2012

Umar Bakri Cuma Guru Honor

(Sebuah cerpen; dimuat di koran Fajar, 11 Maret 2012

(Sumber Google)

KANTUK masih bergelayut di kepala, melanjutkan megah mimpi yang sementara berkisah tentang keheroikan sang tanpa tanda jasa. Lakonnya, aku seorang guru muda mendadak populer dengan video lipsyinc di youtube. Seketika terkenal, diarak keliling sekabupaten menggunakan mobil berpelat merah milik kepala dinas pendidikan pemuda dan olahraga. Menerima banyak tawaran show, menginap di hotel-hotel berbintang, dan dikejar-kejar banyak gadis-gadis. Pun kisah percintaanku menjadi sorotan para infotainment. Tak lupa aku mengajak kedua orang tuaku berangkat ke tanah suci dengan paket ONH plus.

Sekejap buyar oleh teriakan dari balik kamar, berceracau dengan bunyi alarm handphone yang sudah ditunda beberapa kali.

“Bangun, Nak, tililit..tililit.., cepat salat sana, tililit..tililit..!” ibuku memberi perintah.

“Iya, Bu, tililit..tililit.., saya sudah bangun, tililit..tililit..” sahutku setengah terjaga.

Seperti biasa, bangun kesiangan lagi. Kupacu sepeda motorku -yang masih dicicil- menapaki jalan-jalan yang meliuk-liuk mengikuti tepian bukit dengan cuaca yang masih gigil. Jalan yang kutempuh ke sekolah tempatku mengajar terlampau berbahaya lagi menyedihkan. Membutuhkan waktu sekitar enam puluh menit untuk bisa sampai ke sana. Medannya menanjak, membelah bukit demi bukit. Berserakan bebatuan cadas akibat longsor karena hujan sedari malam.

“Selamat pagi, Pak!” seragam suara, siswa serentak memberi sapa seperti siap pentas paduan suara.

“Pagi, anak-anak,” jawabku bijak lalu mengarahkan ketua kelas menyiapkan teman-temannya.

“Seluruhnya, duduk siaaap grak.”

Di sekolah itu tak ada sinyal telekomunikasi. Jadi teramat sulit untuk berinteraksi dengan para relasi, ataukah cuma sekadar berburu informasi tentang kabar hari ini. Hanya orang tua dengan kondisi keluarga tidak mampu saja yang menyekolahkan anak mereka di sana. Tak ada pilihan lain. Sekolah itu merupakan subsidi dari pemerintah yang bekerjasama dengan salah satu lembaga asing yang bergerak di bidang pendidikan.

“Tadi jam pertama kalian belajar apa?”

“Tidak ada, Pak!” sahut lantang ketua kelas.

“Guru-guru PNS itu mana?” tanyaku sedikit kesal.

Ketua kelas diam membatu. Sesekali bingung memalingkan pandangan ke teman-temannya, gamang.

“Tidak datangi, Pak. Sudah beberapa minggumi tidak masuk,” jawab seorang siswi di pojok belakang malu-malu menimpali.

***

“Engkau sarjana muda resah mencari kerja mengandalkan ijazahmu
Empat tahun lamanya bergelut dengan buku tuk jaminan masa depan”

Seperti itulah sepenggal lagu Iwan Fals membekas pedih di hati sanubariku. Tak kunjung menjadi seorang pegawai negeri, selepas wisuda sarjana pendidikan yang aku raih dengan penuh bangga beberapa waktu silam. Mungkin aku juga seperti beberapa orang lainnya. Masuk ke perguruan tinggi tanpa tahu dulu nanti mau jadi apa setelah tamat kuliah. Akibatnya, selepas wisuda kelabakan mencari kerja.

Pernah terbesit dalam pikiranku memasukkan berkas lamaran ke beberapa bank. Namun seketika ciut tersadar bahwa diriku tidak masuk dalam syarat ‘berpenampilan menarik’. Kemampuan berbahasa asingku amburadul. Pun pengetahuan mengelola microsof office juga demikian. Jadilah ijazah cuma formalitas semata. Menjadi guru di yayasan swasta pun agak sulit buatku. Banyak tes-tesnya di sana. Alasan yang sering mereka katakan, “maaf Anda kurang komunikatif dalam mengajar”.

Sekarang pun, menjadi seorang guru pegawai negeri terbilang susah. Mesti punya budget yang cukup untuk memuluskan jalan, mesti punya familly di pemerintahan daerah dan di dinas-dinas terkait, mesti mau mengurut dada tanda pasrah tak mampu berbuat apa-apa. Apalagi dengan kemampuan sekelas diriku. Intelegensi tak memadai ditambah keadaan keluarga yang cuma petani.

Suatu ketika aku ditawari seorang calo untuk menjadi seorang guru pegawai negeri pada saat pendaftaran CPNS daerah. Tawaran tarifnya pun bermacam-macam. Disesuaikan dengan SK penempatan sekolah nantinya. Apakah sekolahnya masuk kategori terjangkau ataukah kategori sekolah terpencil. Pilihan yang terakhir tadi biasanya ditempatkan di pegunungan daerah-daerah terpencil dan tertinggal. Ditempuh dengan beberapa hari perjalanan, menyebrangi sungai-sungai, dan tidak ada jaringan telekomunikasi.

Aku menimbang-nimbang tawaran itu. Orang tuaku telah bersepakat, berencana menggadaikan sawah beberapa petak warisan keluarga kepada orang lain. Kau tahu? Banyak orang tua sekampungku sangat menginginkan anak-anak mereka menjadi seorang pegawai negeri. Mereka sudah sangat bangga jika anak mereka telah mendapatkan status seperti itu. Meskipun harus menempuh jalan-jalan yang dilarang keras oleh KPK. Mereka hanya ingin anak-anak mereka sukses menjadi seorang guru dengan tunjungan sertifikasi yang menggiurkan, serta bahagia di hari tua dengan tunjangan pensiun yang menjanjikan.

Aku bingung mesti bagaimana. Di satu sisi, kalau sudah jadi guru PNS, aku ingin membahagiakan kedua orang tuaku dengan mendaftarkannya di bank perwakilan departemen agama sebagai daftar tunggu calon jemaah haji. Dengan jalan mengambil kredit dari bank dengan jaminan SK pengangkatanku nanti. Di sisi lain, aku juga tidak tega menggadaikan tanah persawahan ayahku. Kalau pun jadi digadaikan, itu pun baru separuh saja. Belum cukup untuk jadi tebusan jika tawaran menjadi guru itu aku terima. Sementara tidak ada istilah depe dalam hal joki pegawai negeri tersebut. Istilahnya, ada uang ada barang.

***

Kalau kalian pencinta Iwan Fals, tentu tahulah sosok Umar Bakri. Kebetulan namanya sama denganku. Aku hanya seorang guru honor, bukanlah guru yang sudah mempunyai nomor induk kepegawaian. Gajiku seadanya saja. Kadang dibayar setiap tiga bulan, atau cuma sekali dalam setiap satu semester.

Aku hanya mampu menjadi seorang guru honor di sebuah sekolah yang masuk kategori terpencil itu. Tak ada kepala sekolah di perkotaan yang mau menerimaku mengajar di tempatnya. Pun sudah beberapa kali aku mengikuti tes-tes penerimaan CPNS namun tak kunjung diterima juga. Tak tega aku menerima tawaran calo PNS itu, kasihan kedua orang tuaku.

Oleh pemerintah, telah banyak janji tentang kesejahteraan kami para guru honor. Kadang kami hanya dijadikan alat bagi mereka yang butuh kekuasaan. Ketika menjabat, lupalah mereka dengan janjinya. Berganti pimpinan berganti kebijakan. Nasib kami terombang-ambing, sesuka mereka memainkannya. Persetan dengan kalimat penggugah itu –pahlawan tanpa tanda jasa. Adakah yang seperti itu? Kisahnya mungkin hanya ada di tempat-tempat nun jauh di sana. Sebuah tempat yang masih steril dari pengaruh materi dan kekuasaan. (*)

Makassar, 7 Maret 2012