Agustus yang tentram berlalu nyaris tanpa
menyisakan lara. Selaksa nikmat sisa ramadhan telah membuaiku dalam candu yang
menyejukkan jiwa. Bermacam rupa ibadah mulai terasa nikmat rutin terselenggara.
Hati yang masih bergetar tatkala asma-Nya merdu dilantunkan –kuharap senantiasa
begitu, selalu melinangkan air mata sesal yang teramat dalam. Terasa seperti damai
memagut duka membenamkan nelangsa. Semua dari itu mewujud dalam syukur atas-Nya
yang senantiasa kurapalkan di sujud terakhir salat-salatku. Hanya kepada-Nya segala
munajat bermuara, pemilik atas segala ke-Mahaan tiada tara.
“Itu berkah ramadhan, Ray,” ucapmu tak lama setelah kuutarakan suasana batin itu padamu.
“Itu berkah ramadhan, Ray,” ucapmu tak lama setelah kuutarakan suasana batin itu padamu.
Betapa tidak, nikmat kemerdekaan dan
kemenangan telah diraih di momentum ramadhan yang baru saja berlalu. Dalam
bahasa yang trendi, orang-orang menyebutnya dengan istilah liberty and victory. Kemerdekaan
adalah wujud kebebasan dari segala jerat yang membelenggu. Bangsa ini punya
sejarah panjang nan kelam dalam meraih kemerdekaan. Bukan pekerjaan mudah untuk
meraihnya, terlebih mempertahankannya. Sementara kemenangan diperoleh setelah
melalui perjuangan yang menempa. Dalam konteks ini adalah puasa. Tetapi setelah
menjalankan puasa, apa? Adakah yang berubah? Namun pesta kemerdekaan 17 Agustus
dan kemeriahan kemenangan Idul Fitri tahun ini terasa begitu khidmat. Keduanya telah
memadu satu dalam berkah fitrah lahir dan batin.
Tentu masih jelas tergambar dalam kenangmu
saat puasa kemarin menempa rasa cinta dan kesabaran kita. Sering kita saling berebut
peran, menjadi reminder, serupa kokokan
ayam ataupun beduk penanda imsak dan azan buka puasa. Riang saling berlomba menamatkan
bacaan Quran masing-masing, serta mengajak satu sama lain menghabiskan sisa-sisa
tarawih bersama di mesjid kesukaanmu. Aku pun nyaman menikmatinya. Itu hal yang
sangat jarang kulakukan di tahun-tahun sebelumnya. Kerap cuma terlalui dengan
kegiatan-kegiatan tak berguna. Sekalipun menjadi kewajiban dan rutinitas tiap
tahunnya, selalu hanya datang dan berlalu begitu saja, tak menyisakan hikmah
apa-apa. Redam tak berjejak, suram semakin mengelam.
Namun jika kau sedang absen lantaran siklus
kodratimu datang mengunjungi, Bandoci dan kawan-kawan tak lupa kuajak serta menjemaahkan
isya serta witir. Malah jadinya lebih mirip tim safari ramadhan kabupaten yang
berkunjung dari masjid yang satu ke mesjid yang lain di kampung-kampung. Mereka
tampak bersuka cita dalam menyemarakkan acara tarawih bersama itu. Hanya saja
terkadang Bandoci resah berkeluh lantaran salah satu kawan keranjingan menghabiskan
tarawih sampai 20 rakaat. Tapi itu tak menjadi beban. “Kita jadikan ini sebagai
ujian kesabaran dan keimanan kita, kawan,” ujarnya berlagak seorang ustaz,
kawan lainnya malah terpingkal-pingkal menimpali. Kau tau kan, imam-imam mesjid
di kota ini gemar membaca surah-surah yang panjang-panjang. Sangat berbeda
dengan yang ada di kampungku, bacaan surahnya pendek-pendek dan gerakan
salatnya cepat-cepat pula.
Apakah benar ini berkah? Kupikir bisa jadi
demikian. Seumur hidup tak pernah kunikmati yang demikian. Namun seiring usia
yang semakin menahun, membuatku tertegun malu meratapi dosa yang telah lebat
berimbun.
“Aku malu menengadahkan muka kepada-Nya,
Idea,” resahku.
“Tuhan Maha Pemaaf sekaligus Pengampun bagi
yang pasrah memohon!” bujukmu
memperbaiki suasana.
Aku tahu Tuhan memahaminya. Hidupku akan
sangat bernilai jika keberadaanku diantara sesama dapat menjadi manfaat dan solusi
atas masalah-masalah mereka. Seperti tertulis dalam quote of day yang pernah kutilik di pojok sampul depan salah satu
koran, “kebahagiaan adalah ketika kita
dapat membuat orang-orang di sekitar kita merasa bahagia”. Hanya saja di
usia seperempat abad lebih umurku saat ini, sesekali mulai terngiang resah yang
menggundah karena kematangan berpikir dan kemapanan duniawi yang biasa kusebut
dengan kesejahteraan hidup, masih sungkan merapat. Barangkali itu sah-sah saja
karena aku seorang pria. Masih lajang pula. Terlalu lebay, hehe..
Tentang itu adalah kuasa Tuhan, hak
keistimewaan-Nya yang sudah kita sepakati sebagai takdir. Jika memang takdir sudah
termaktub pada garis tangan-tangan kita, aku bisanya apa? Namun kupikir
masalahnya tidak sesederhana itu. Aku percaya dengan kekuatan doa dan mimpi. Aku
dan akal pikiranku adalah bagian dari alam semesta ini. Pun mimpi yang kuat
kuimajinasikan serta kenyataan hidup yang akan terjadi, juga tersimpul di
dalamnya. Keberadaanmu pun juga demikain. Semuanya menjadi satu kesatuan
kesemestaan yang memiliki kemampuan saling memahami yang disebut dengan bahasa
semesta. Setiap daripada bagian-bagian itu akan kait mengait tatkala salah satu
bagiannnya bereaksi. Masing-masing kita memiliki peran dan alasan hidup di
dunia ini. Kadang ketika ternyata mimpi tak seindah kenyataan, kita mereduksi makna
takdir menjadi nasib. Dan ketika kenyataan jauh lebih menawan dari mimpi, takzim
kusebut sebagai sebuah keajaiban.
Sudahlah, sekarang cukup untuk apa yang ada
saja. Mensyukuri nikmat-nikmat ini saja bersama dengan orang-orang terdekat,
termasuk dirimu. Dan dalam keadaan begini, aku merindukanmu.
Awan putih gemawan menudungi jumpa yang sudah
tak lagi lama. Kunanti senyummu yang elok rupawan serupa di taman ataupun
halaman impianku. Segera kusaji sambut menawan nan berkawan tatkala pertemuan
tergelar lantaran lebaran telah memilah kita dalam ikatan cinta yang kurasa semakin
tentram. Aku ke kampungku, kau tetap di kotamu. Tersenyumlah nanti,
setidak-tidaknya penawar atas sekebat rindu yang berkelabat beberapa pekan.
Makassar, di
akhir Agustus 2012