Showing posts with label cerpen. Show all posts
Showing posts with label cerpen. Show all posts

30/04/2012

Ikan Asin dan BBM

(Cerpen; Setumpuk doa untuk Ammak)

MUNGKIN lantaran ikan asin yang selalu menjadi sajian makanan kami saban hari. Mungkin karena tak punya banyak uang untuk membeli buku-buku sastra dan buku pelajaran lain, asumsiku bergeliat mengenai sebab kenyataan hidup yang pelik. Mempersoalkan tentang keadaan keluarga yang tak semestinya begini. Sampai-sampai mendiskreditkan Tuhan yang mungkin telah keliru menakdirkan hidup seperti ini.

“Aku ini punya bakat terpendam, Ammak!”

Dalam hati aku bergumam kepada ibu. Sadar bahwa ada bakat luar biasa yang terpendam dalam diriku. Tumbuh kembangnya bakat itu mungkin sangat bergantung dari asupan makanan yang bergizi setiap hari, serta lingkungan keluarga yang mapan dan berkecukupan, menurutku.

“Loh, kalau setiap hari makanannya cuma begini?” gumamku berlanjut mempersoalkan makanan.

Berenam, kami termasuk salah satu keluarga golongan garis bawah seperti kebanyakan di kampung. Bermata pencaharian yang cuma mengandalkan keberuntungan dari hujan –petani sawah tadah hujan. Tak ada bantuan irigasi dari pemerintah kabupaten. Pun berkali-kali warga kampung telah menjeritkannya kepada yang terkait. Sampai dahi mereka mengerut bukan karena sudah tua lapuk. Sampai mulut mereka berbusa-busa bukan karena epilepsi yang akut, hanya acuh tak acuhnya saja seolah tak peduli. Banyak alasan yang mereka terima. Belum ada anggaran, belum dianggarkan, atau karena anggarannya belum turun. Bertahun-tahun tetap seperti itu. Dulu sampai sekarang belum ada yang berubah. Cuma jalanan aspal yang sudah berubah. Sudah banyak lubang-lubangnya sekarang.

Tiga saudaraku sudah tidak tinggal di kampung. Si sulung ke kota dengan alasan ingin kursus komputer sambil bekerja paruh waktu sebagai pramusaji di warung-warung makan. Selang tak berapa lama ia pulang membawa segudang sesal. Kehidupan di kota sangat susah dan kejam, katanya penuh pasrah. Sedangkan dua saudaraku lainnya minggat memilih merantau ke Kalimantan dan Malaysia selepas tamat sekolah. Gamang mereka bermimpi menjadi seorang sarjana. Tak ada biaya melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Lantas bingung tak tahu mau jadi apa. Sisa aku, si bungsu yang masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. Susah payah bersekolah dengan biaya hasil panen ayah yang tak menentu. Seingatku, belum ada program Bantuan Operasional Sekolah kala itu. Belum ada jargon pendidikan dan kesehatan gratis.

Kudapati ayah sedang makan selepasku mandi pagi sebelum berangkat ke sekolah. Sudah kebiasaannya menyantap sarapan –kadang merangkap sebagai makan siang– dengan menu nasi putih dan ikan asin di beranda rumah, sebelum ia berlalu mengayuh sepedanya menuju lahan persawahan warisan orang tuanya di seberang kampung. Sembari makan, pandangannya berarak jauh ke depan, kosong. Entah ayah sedang memandangi apa? Ataukah cuma sedang berkhayal tentang sebuah kehidupan yang lebih baik untuk anak-anaknya, kelak? Pun belum sempat aku menanyainya tentang kebiasaannya itu.

Jarang aku menggerutu kepada ayah tentang sajian ibu setiap hari. Selalu, dia hanya diam, tak menimpali apa-apa, pasrah. Entah alasan mau ke kebun atau ke sawah, dia berlalu begitu saja.

“Arrggh..!!! Saya bosan makan ini terus, Ammak!” kali ini aku lantang menggerutu kepada ibu.

Dalam kamar ibu tak bergeming. Kali ini ia harus pasrah memahami gerutuku setiap pagi dan ketika pulang sekolah. Rupa-rupanya anak pendongkol sepertiku tak pantas lagi ditimpali dengan cemoohan-cemoohan pula, seperti yang sering ia lakukan kepadaku sebelum-sebelumnya. Pening kepalanya kalau harus meladeniku beradu gerutu saban hari. Sakit darah tingginya kambuh lagi. Dan parahnya, aku tak peduli.

Dari dalam kamar, samar-samar terdengar ibu terisak. Menangis untuk sebuah alasan yang jelas ia mengerti dan belum sempat kumengerti. Aku beranjak tunggang langgang ke sekolah. Sepeser pun tak ada uang dalam saku celana. Tak boleh ada istilah jajan untuk anak sepertiku.

Sedikit pun tak ada rasa bersalah dariku, atau sekadar sebuah penyesalan. Tak ada reaksi muka yang menyendu berbalut gamang akan tetesan air mata seorang ibu. Dalam pikirku, tak ada yang terbayang tentang pedihnya azab yang harus kutuai akibat kedurhakaanku. Saat itu, aku belum tahu apa-apa. Aku belum memahami tentang arti sebuah kemiskinan.

Kala itu, aku belum tahu betul mengapa harga ikan asin semakin mahal. Yang aku tahu, ikan asin yang disajikan ibu tambah kecil-kecil dan semakin asin saja. Aku belum terlalu peduli mengapa harga-harga kebutuhan sembilan bahan pokok terus merangkak naik. Yang aku tahu, ibu selalu melarangku memakai sabun banyak-banyak. Pakai secukupnya saja, katanya. Barulah belakangan aku mulai tahu melalui percakapan guru-guruku di sekolah. BBM akan naik lagi, bincangnya.

“Mungkin Barang Barang tambah Mahal yach?” kelakarku mengartikan singkatan dari BBM itu.

Peduli apa aku kalau harga BBM harus naik. Toh orang tuaku tak punya kendaraan bermotor, apalagi usaha pabrik berbahan bakar bensin ataupun solar. Ayah hanya punya sebuah sepeda reyot karatan merek Mustang tahun sembilan puluhan. Minyak tanah apalagi. Tumpukan kayu bakar di kolong rumah masih terlalu banyak untuk dipakai ibu memasak sampai berbulan-bulan.

Aku lebih memilih menyendiri di tepi lautan tak jauh dari rumahku ketika hari sudah sore. Di sana, aku bisa lebih leluasa mempermasalahkan takdir yang pikir-pikirku kemungkinannya telah terjadi kekeliruan dalam penyusunannya. Berteriak sekeras mungkin, takkan ada yang dengar. Pun tersedu sesedih mungkin, takkan ada juga yang bakal peduli. Berlarian ke sana kemari hingga lelah, lalu menceburkan diri tidak karuan ke lautan. Mengendap-negendap seperti bayi paus yang tersesat kehilangan induk.

Anak-anak lain seumuranku sedang asyik bermain play station yang disewakan oleh seorang kaya di kampung. Mau apalagi, aku tak bisa ikut bersama mereka. Pahamlah, meminta uang kepada ibu dalam keadaan peceklik seperti ini sama saja dengan mengais-ngais luka dalam hatinya.

Dua belas tahun telah hangus sejak terakhir aku menyendiri di tepi lautan itu. Berangsur-angsur keadaan keluarga sudah jarang kuresahkan di sana. Kulihat rupanya sudah ada perubahan sekarang. Selaras juga dengan pahamanku dalam memaknai kehidupan. Bahwa bersyukur adalah bentuk kepuasan yang paling mendasar dalam segala pencapaian, tidak memandang banyak atau sedikitnya hasil yang diperoleh.

Ibu sudah punya kios sederhana sekarang. Sudah punya kesibukan dengan berjualan beberapa barang sembilan bahan pokok di beranda rumah, selain cuma menjadi seorang ibu rumah tangga saja. Ayah juga sudah punya motor bebek bekas untuk ia kendarai ke sawah, hadiah dari saudaraku yang telah merantau bertahun-tahun di negeri orang. Kadang jika panen tak kesampaian karena puso, ojek bisa menjadi sambilan ayah mencari nafkah keluarga.

“Masak apa sebentar, Ammak?” tanyaku senang melihat ibu pulang dari pasar dengan keranjang penuh dengan ikan segar dan sayuran hijau.

Ada banyak alasan untuk selalu mensyukuri hidup. Roda kehidupan akan terus berputar karena perubahan adalah sebuah keniscayaan. Manusia tanpa perubahan, bagaikan benda mati, kata filosof Ali Syariati. Pun kalau nanti pemerintah tetap jadi menaikkan harga BBM, mungkin cuma satu yang belum berubah. Dulu dan sekarang, BBM tetap akan naik.

“Perubahan merupakan suatu proses yang spiral dalam kehidupan. Kita berangkat dari sebuah titik kehidupan –titik di pusat utara, kemudian memintali setiap ranah kehidupan ini secara spiral pula. Dan pada akhirnya, lilitan itu akan mentok pada sebuah titik juga –titik di pusat selatan, titik akhir dari kehidupan kita. Karena hidup seperti siklus, lingkaran kehidupan, bulat seperti bumi. Hanya dengan bersyukur, setiap pintalan perubahan itu membuatnya penuh makna!” pikirku bijak ketika berlalu meninggalkan Ammak menuju ke kota, kembali bergumul dengan tugas-tugas kuliah. (*)

(Pajalele-Pinrang, 29 April 2012)

10/04/2012

Lantaran Sesal

PAGI buta kakek sudah tak di rumah. Sudah kewajiban seorang imam memimpin salat subuh di masjid. Istrinya nanar lagi melihat luberan puntung rokok berserakan di lantai. Merokoknya sudah tak mampu lagi dia batasi. Pun mantri telah berulang kali memberi saran. Namun, sukar diterima bagi perokok berat seperti kakek.

Hidangan menu sederhana kesukaan kakek -sayur bayam dan ikan bakar sambel kecap tomat- telah disajikan istrinya sebelum berangkat ke hajatan pernikahan di seberang desa.

Seketika terdengar rem mikrolet meringkik tanda buru-buru sang empunya mobil. Rombongan hajatan pernikahan tampak sudah lengkap dalam mobil. Semua terlihat anggun dengan busana terbaik mereka. Maklum saja, yang punya hajatan adalah keluarga arung. Tentu sangat dianjurkan untuk tampil sebaik mungkin. Berbeda ketika hanya menghadiri acara maulid atau takziah.

“Duduk di depan puang hajah!” ibu-ibu dalam mobil memberi saran.

Sisa jok depan samping kiri sopir belum terisi. Mereka sangat mafhum siapa yang pantas duduk di tempat paling terhormat mobil angkutan umum itu. Tentu dengan banyak pertimbangan, baik dari segi umur dan status istri seorang imam kampung.

***

Wangi siang semakin menerik. Angin menyepoi canggung di sela lamunannya bakda dhuhur di sudut mushala tak jauh dari rumahnya.

“Kita akan membangun sebuah masjid. Tanah kosong milikku di sana akan kuwakafkan,” sahutnya kepada seorang jemaah –sahabat kakek.

“Saya setuju. Tapi kan cuma kau saja yang sering didaulat menjadi iman di sini. Bila masjid itu sudah jadi, kau juga jadi imam di sana. Terus mushala ini bagaimana?”

“Kan ada kamu. Mushala ini tak usah dipugar menjadi masjid. Biar tetap seperti ini.”

Kakek khawatir bila bangunan mushala itu diperluas menjadi masjid, bisa-bisa hanya karena persoalan uang celengan serta jatah penghulu pernikahan, warga kampung terpecah. Banyak yang berebut menjadi imam baru.

“Kau akan dihujat dengan persoalan uang celengan bila jadi imam di sana,” sahabatnya terus mencecarnya.

“Semua uang celengan akan kumasukkan ke bendahara panitia pembangunan masjid. Kau kan tahu pembangunannya bertahap, butuh banyak dana.”

Di kampung kakek, setelah shalat id, uang hasil celengan dibagi ratakan kepada imam beserta khatib-khatibnya, sebagai ‘upah’ mereka dalam pelaksanaan salat-salat wajib dan kegiatan masjid lainnya. Hal yang wajar mereka dapatkan. Mereka tak ada gaji ataupun sekadar hadiah umrah dari kanwil departemen agama.

***

Haiyya ’ala sholaaah...!” muazin berdendang menyerukan azan.

Suara itu terdengar nyaring dari arah sebuah bangunan lebih menyerupai pendopo yang baru setengah jadi. Melalui toa yang diikat tidak terlalu tinggi pada tiga buah tiang bambu yang tampak berlumuran sisa-sisa cor tukang bangunan masjid, azan perdana dikumandangkan tanda khotbah jumat segera dimulai.

Tak ada acara seremonial semacam pemencetan tombol sirene, pengguntingan pita, ataukah sekadar atraksi pemukulan beduk. Kasihan, panitia tak punya dana. Alasan klasik tak mampu melakukan apa-apa. Cuma tujuh baki kue-kue sumbangan ibu-ibu menghampar di sudut belakang yang dijaga seorang garang. Sepertinya hanya ada rangkaian baca-baca sebagai tanda peresmian setelah salat jumat nanti.

Kakek duduk di saf paling depan. Di sebelah kanan kakek, tampak hadir kepala desa beserta jajaran pemerintahannya. Di sebelah kiri kakek, hadir kepala kantor cabang perusahaan listrik negara yang telah membantu pemasangan instalasi listrik beserta dengan toa bekas sumbangannya. Kemudian hadir pula Ambo Kama -guru mengaji- yang diprediksi sebagai calon khatib pendamping pak imam, serta beberapa tokoh masyarakat, juga ikut berderet di saf bagian depan, meluap sampai ke saf kedua.

Deretan saf ketiga tampak sepi, hanya beberapa bapak guru dari sekolah madrasah. Padahal dari mereka, juga menyumbangkan dua buah mikrofon beserta gagangnya, sisa perangkat upacara sekolah.

Tidak ketinggalan beberapa pemuda kampung yang tampak gelisah, turut hadir meramaikan barisan saf keempat. Barangkali mereka takut jika dilantik sebagai remaja masjid karena harus berbicara di depan jemaah menyampaikan daftar penyumbang. Mau apa lagi, pemuda kampung yang tersisa cuma mereka. Selebihnya merantau ke Kalimantan dan Malaysia.

Berbeda dengan tokoh-tokoh masyarakat tadi. Mereka sudah sedikit fasih berpidato karena keranjingan berpartisipasi dalam beberapa kampanye anggota dewan, pemilihan kepala daerah, dan kegiatan-kegiatan politik praktis lainnya. Apalagi masa jabatan kepala desa sekarang tersisa satu tahun lagi. Pahamlah dengan keadaan itu.

Jangan lupa, sebentar setelah jumatan ada acara selamatan. Banyak kue di situ. Hal demikianlah yang paling banyak jemaah tunggu-tunggu. Orang-orang seperti merekalah yang memenuhi deretan saf keempat sampai belakang. Padat merayap, berjibaku bersama anak-anak.

Ambo Kama bangkit mengumandangkan ikamah, kakek maju memimpin.

***

Di kamar, kakek termenung memandang sebidang langit berkalung awan putih dari arah jendela. Akhir-akhir ini kakek terus bermimpi tentang kehancuran karena air dan angin. Firasatnya tentang sakratulmaut juga terus merasuki pikirannya. Pun batuk terus ikut serta. Dipikirnya kalau dirinya masih punya hutang. Tak ada siapa-siapa saat itu. Istrinya belum pulang dari hajatan pernikahan. Anak-anaknya semua sudah berkeluarga. Ada yang jadi pengusaha, pegawai negeri, dan ada yang cuma jadi ibu rumah tangga.

Dirinya risau mengenai pembagian harta warisan. Kelak, jangan sampai ada perselisihan diantara anak-anaknya seperti kebanyakan yang terjadi setelah orang tua mereka meninggal. Dia juga gelisah memikirkan mimpinya tentang kehancuran karena air dan angin itu.

Innalillahi wainna ilaihi rajiun!

Terisak-isak Ambo Kama menyampaikan kabar duka -kematian kakek- kepada orang sekampung melalui toa di masjid. Seketika hening sebentar, kemudian riuh membuncah. Terdengar tangisan meliuk-liuk seperti sirene ambulans kematian sepanjang jalan menuju rumah kediamannya.

***

Senja beranjak dari peraduannya ketika malam perlahan mulai menyapa. Tak kuasa ibuku menahan derai air mata. Terbesit kerinduan berbalut sesal yang mendalam di wajahnya. Lantaran sesal, cuma sampai di situ ia mampu bercerita tentang ayahnya kepadaku, tentang almarhum kakek. Sepulang ziarah dari makamnya di halaman belakang sebuah masjid, ibuku mengakhiri ceritanya.

Masih ingat? Ibuku adalah anak yang cuma jadi ibu rumah tangga itu. Ia menyesal tak banyak belajar kepada ayahnya yang ahli dalam pengobatan luka bakar itu, serta beberapa pappaseng warisan leluhurnya. Ibuku menyesal tak banyak bertanya kepada kakek tentang ayat-ayat Quran yang dapat menerangi hati dan pikiran anak-anak supaya jadi cerdas dan bisa sekolah tinggi-tinggi. Lantaran ia tak mau anak-anaknya seperti dirinya, menjadi ibu rumah tangga ataukah hanya menjadi seorang tukang kebun dan penggarap sawah tadah hujan seperti ayahku. Ia mau anak-anaknya menjadi cerdas dan bisa sekolah tinggi-tinggi. (*)

03/04/2012

Sudahlah

(Cerpen; kelakar di masa lalu)

(Sumber Google)

NONENG, itulah namanya. Banyak halang rintang yang harus kususur hanya untuk mengetahui namanya saja. Sebuah nama yang menurutku biasa-biasa saja, agak sedikit ndeso, dan sangat tidak menarik. Sudahlah, kukatakan dengan kata yang sederhana saja, namanya kampungan.

Masalahnya bukan pada namanya saja. Namun, ada sebuah kondisi logis yang membuatku harus mafhum bercampur kagum terhadap apa yang sedang aku saksikan. Nama itu terdistorsi dengan paras wajahnya yang begitu memukau. Sebuah pemandangan lahiriah ciptaan Tuhan yang membuat para bujang pengagum sepertiku mesti berbagi ruang pikiran yang sudah semakin sesak dengan tugas-tugas kuliah dalam otakku setiap malam.

***

Aku mahasiswa baru pada sebuah perguruan tinggi negeri di Makassar. Pontang-panting melangkah canggung memasuki sebuah dunia baru dengan modal tampang yang biasa-biasa saja, kurus kerempeng, rambut ikal berminyak, dan semakin diperparah dengan jerawat yang berseliweran di wajahku. Sudahlah, kukatakan dengan kata yang sederhana saja, aku jelak.

Namun, sedikit mengobati kenyataan pahit itu, ada status baru yang telah bertengger di pundakku. “Aku anak kuliahan bro...,” kebanggaan tersendiri yang masih sangat jarang dimiliki oleh beberapa pemuda di kampungku.

Secara sadar, diriku tidaklah termasuk mahasiswa yang akan menjadi idola di kampus. Pun aku pasrah menerima lantikan itu. Tergabung ke dalam golongan mahasiswa pengagum perempuan bermental kerupuk, tak diminati para mahasiswi, apalagi bermimpi menjadi populer bak seorang aktivis sejati. Mahasiswa seperti itu identik dengan posisi berjalan yang sempoyongan, duduk lemas memangku dagu mengisyaratkan beratnya beban penderitaan yang harus mereka pikul. Terkadang mereka hanya terduduk lesu di pinggiran kantin, terkucilkan di sudut-sudut taman ketika sedang istirahat, atau rela terdepak ke posisi paling belakang ruangan kelas ketika perkuliahan sedang berlangsung.

Bermula ketika ada urusan tugas kuliah di perpustakaan. Di sudut belakang perpustakaan itulah aku terpukau oleh kecantikan seorang perempuan untuk kali kesekian. Duduk manis di sebuah meja dekat petugas perpustakaan. Ia terlihat sedang asyik membaca sebuah buku yang tidak baru lagi. Bersampul agak kemerahan dengan bungkusan plastik kusam yang tampak sudah robek di keempat sudutnya. Di sekitarnya, hanya berjejeran beberapa buku tak beraturan, sisa-sisa bacaan mahasiswa yang telah keluar sebelumnya. Biasalah, kebiasaan buruk para pegawai perpustakaan yang enggan merapikannya kembali pada tempatnya. Kadang mereka hanya sibuk membaca majalah atau hanya bergosip dengan sesamanya, atau sesekali melototkan mata kepada mahasiswa yang agak gaduh.

Setelah melalui beberapa pengintaian dan penyelidikan, sampailah pada sebuah hipotesis sederhana dengan rincian sebagai berikut: Dia adalah gadis berjilbab dan sering ke perpustakaan.

“Cuma itu? Yaa.., cuma itu yang bisa kugali,” debatku heran dalam hati.

Wajar saja, aku tak punya sarana yang memadai untuk melakukan investigasi secara mendalam. Aku tak kenal banyak orang yang bisa aku jadikan informan. Aku tak punya banyak modal untuk mengintainya di sepanjang hari. Sudahlah, kukatakan dengan kata yang sederhana saja, aku kere.

Tapi itu tak jadi soal. Toh aku sudah tahu ia sering ke perpustakaan. Kupikir itu cukup untuk gerilya selanjutnya. Kesempatan itu pun tidak terlewatkan begitu saja. Aku sering berkunjung ke perpustakaan sekadar untuk memperhatikannya dari sudut pandang yang tak dipedulikan. Berharap dapat menarik perhatiannya walaupun sangat sedikit kemungkinannya untuk diperhatikan.

Dia memang seorang gadis yang sangat menarik dan amat memesona. Parasnya yang cantik dan senyumnya yang manis, berharmoni dengan lipatan jilbab yang ia lekukkan di sekitar lehernya. Pun busana yang ia pakai setiap hari selalu tampak selaras dengan rona wajahnya yang membuatku semakin terpesona.

Namun tragis, proses perkenalanku dengannya sungguh sangat memprihatinkan lagi menyakitkan. Awalnya aku menduga ia perempuan yang mudah untuk diajak berkenalan, setara dengan gadis gampangan yang mudah termakan rayuan maut seperti beberapa seniorku di kampus. Ternyata aku telah salah menilainya serendah itu. Ia sungguh berbeda dengan perempuan yang lain. Ia begitu memukau laksana bunga mawar yang berduri. Jujur, baru kali ini aku bertemu dengan perempuan seperti dia, dan seingatku sebelumnya memang belum pernah.

***

Tak terasa libur semester pun tiba. Sebuah momen yang paling ditunggu-tunggu oleh para mahasiswa yang doyan pulang kampung. Sebuah rutinitas paling esensial bagi para mahasiswa rantau untuk segera mudik ke kampung halaman masing-masing. Pun aku juga demikian. Akumulasi dari kehendak itu terjewantahkan pada realitas membludaknya penumpang yang memadati terminal–terminal angkutan antar kota di Makassar.

Pulang kampung merupakan hal yang mengasyikkan buatku. Pulang dengan menyandang sebuah status baru, seorang mahasiswa. Tak pelak banyak diantaranya yang melakukan hal demikian karena di kampung-kampung masih sangat jarang yang melanjutkan pendidikannya setelah tamat sekolah. Pola pikir orang tua mereka hanya menginginkan anaknya menjadi seorang pekerja keras di ladang dan di sawah-sawah, melanjutkan sebuah tradisi keluarga yang sudah turun-temurun.

Tersentak bulu romaku merinding kaku ketika melihatnya berada dalam sebuah mobil di terminal. Sebuah mobil panter yang juga merupakan mobil yang akan kunaiki menuju kampung halaman. Mobil pun melaju meninggalkan terminal yang tampak semakin sesak oleh para penumpang, pedagang asongan, dan para calo-calo terminal yang saling berebut penumpang. Aku duduk bersebelahan dengannya, tepat pada posisi belakang pak sopir.

“Ya Tuhan, aku harus bagaimana?” aku gugup, girang bukan kepalang.

Ini adalah karunia yang luar biasa dari Tuhan Yang Maha Esa. Menyandingkanku dengan gadis pujaanku meskipun cuma di sebuah mobil angkutan umum. Rugi besar kalau kesempatan ini terbuang percuma.

“Hai cewek, kalau boleh tahu nama kamu siapa?” tanyaku menyodorkan tangan.

Ia hanya merekahkan senyum sederhana yang tampak elegan, bisu tak menjawab, sama sekali tak memperdulikan ucapanku. Mukaku langsung merah pucat pasi bercampur rasa malu.

Mobil terus melaju dengan kencangnya. Kupikir pak sopir agak kurang suka dengan tingkahku di belakangnya. Kurasa pula dirinya juga kesal dengan Noneng karena sebelumnya ia juga merasakan kekecewaan yang sama denganku, tidak digubris sama sekali. Imbasnya, mobil yang ia kemudikan sengaja digas kencang-kencang. Sebuah kebiasaan buruk beberapa sopir angkutan umum yang belum mampu memisahkan antara urusan hati dengan pekerjaan, tidak profesional.

Selang tak berapa lama, kembali kuberanikan diri mengeluarkan deretan kata-kata penakluk yang mungkin saja bisa meluluhkan hatinya yang masih dingin. Sebelumnya memang telah kurancang sebuah kalimat rayuan khas Andre Taulani yang kira-kira bunyinya seperti ini, “Ayah kamu polisi yah?” Setelahnya kuharap ia menjawab dengan “iya, kok kamu tahu?” Dan dengan lantang akan kusambut dengan “soalnya kamu telah menembak hatiku!” celotehku riang dalam hati.

Alhasil, ekspansi perlahan terealisasi. Tak peduli dengan resolusi yang sudah jadi. Tak ada istilah gencatan senjata apalagi rekonsiliasi di masa transisi seperti ini. Aku yakin kemenangan sudah mulai bersemi.

“Ayah kamu polisi yah?” tanyaku halus penuh keyakinan.

“Bukan, Ayah saya seorang guru!”

Ternyata rencana tak seindah realisasi. Lagi-lagi hatiku remuk, hancur bukan main, malu. Strategi yang sebelumnya kususun seakan sirna diterpa angin yang masuk di sela-sela kaca pintu.

Dalam kendaraan yang kami lewati, di sebelah kirinya, dia duduk dengan seorang perempuan tua yang sesekali menatapku penuh amarah saat kucoba berkenalan dengannya.

“Noneng, berikan nenek air minum dalam tas, Nak,” nenek itu memberi perintah kepadanya.

Ternyata perumpuan tua itu adalah neneknya. Untungnya, dari dialog itulah aku bisa mengetahui nama gadis pujaanku itu. Noneng, ya itulah namanya.

Tentu tidak sampai di situ saja. Aku terus berupaya untuk menaklukkannya dengan mengeluarkan jurus-jurus pamungkas dengan harapan dapat sedikit membuatnya luluh.

“Pulang kampung juga ya? Turun dimana?” tanyaku penuh harap.

Dia pun langsung menjawabnya dengan nada agak keras. Namun, pandangannya ia arahkan kepada pak sopir kemudian berkata, “Pak, kiri depan, Pak sopir!”

Noneng berlalu bergitu saja. Si sopir juga tampak senang melihat kemalanganku, cekikikan seperti seekor kuda yang meringkik kegirangan. Seakan berisyarat “rasain, emang enak!”

Tak ada sapaan penutup ataukah sebuah tolehan arah kanan sebagai simbol bahwa dirinya senang berkenalan denganku. Sudahlah, kukatakan dengan kata yang sederhana saja, aku ditolak. (*)

12/03/2012

Umar Bakri Cuma Guru Honor

(Sebuah cerpen; dimuat di koran Fajar, 11 Maret 2012

(Sumber Google)

KANTUK masih bergelayut di kepala, melanjutkan megah mimpi yang sementara berkisah tentang keheroikan sang tanpa tanda jasa. Lakonnya, aku seorang guru muda mendadak populer dengan video lipsyinc di youtube. Seketika terkenal, diarak keliling sekabupaten menggunakan mobil berpelat merah milik kepala dinas pendidikan pemuda dan olahraga. Menerima banyak tawaran show, menginap di hotel-hotel berbintang, dan dikejar-kejar banyak gadis-gadis. Pun kisah percintaanku menjadi sorotan para infotainment. Tak lupa aku mengajak kedua orang tuaku berangkat ke tanah suci dengan paket ONH plus.

Sekejap buyar oleh teriakan dari balik kamar, berceracau dengan bunyi alarm handphone yang sudah ditunda beberapa kali.

“Bangun, Nak, tililit..tililit.., cepat salat sana, tililit..tililit..!” ibuku memberi perintah.

“Iya, Bu, tililit..tililit.., saya sudah bangun, tililit..tililit..” sahutku setengah terjaga.

Seperti biasa, bangun kesiangan lagi. Kupacu sepeda motorku -yang masih dicicil- menapaki jalan-jalan yang meliuk-liuk mengikuti tepian bukit dengan cuaca yang masih gigil. Jalan yang kutempuh ke sekolah tempatku mengajar terlampau berbahaya lagi menyedihkan. Membutuhkan waktu sekitar enam puluh menit untuk bisa sampai ke sana. Medannya menanjak, membelah bukit demi bukit. Berserakan bebatuan cadas akibat longsor karena hujan sedari malam.

“Selamat pagi, Pak!” seragam suara, siswa serentak memberi sapa seperti siap pentas paduan suara.

“Pagi, anak-anak,” jawabku bijak lalu mengarahkan ketua kelas menyiapkan teman-temannya.

“Seluruhnya, duduk siaaap grak.”

Di sekolah itu tak ada sinyal telekomunikasi. Jadi teramat sulit untuk berinteraksi dengan para relasi, ataukah cuma sekadar berburu informasi tentang kabar hari ini. Hanya orang tua dengan kondisi keluarga tidak mampu saja yang menyekolahkan anak mereka di sana. Tak ada pilihan lain. Sekolah itu merupakan subsidi dari pemerintah yang bekerjasama dengan salah satu lembaga asing yang bergerak di bidang pendidikan.

“Tadi jam pertama kalian belajar apa?”

“Tidak ada, Pak!” sahut lantang ketua kelas.

“Guru-guru PNS itu mana?” tanyaku sedikit kesal.

Ketua kelas diam membatu. Sesekali bingung memalingkan pandangan ke teman-temannya, gamang.

“Tidak datangi, Pak. Sudah beberapa minggumi tidak masuk,” jawab seorang siswi di pojok belakang malu-malu menimpali.

***

“Engkau sarjana muda resah mencari kerja mengandalkan ijazahmu
Empat tahun lamanya bergelut dengan buku tuk jaminan masa depan”

Seperti itulah sepenggal lagu Iwan Fals membekas pedih di hati sanubariku. Tak kunjung menjadi seorang pegawai negeri, selepas wisuda sarjana pendidikan yang aku raih dengan penuh bangga beberapa waktu silam. Mungkin aku juga seperti beberapa orang lainnya. Masuk ke perguruan tinggi tanpa tahu dulu nanti mau jadi apa setelah tamat kuliah. Akibatnya, selepas wisuda kelabakan mencari kerja.

Pernah terbesit dalam pikiranku memasukkan berkas lamaran ke beberapa bank. Namun seketika ciut tersadar bahwa diriku tidak masuk dalam syarat ‘berpenampilan menarik’. Kemampuan berbahasa asingku amburadul. Pun pengetahuan mengelola microsof office juga demikian. Jadilah ijazah cuma formalitas semata. Menjadi guru di yayasan swasta pun agak sulit buatku. Banyak tes-tesnya di sana. Alasan yang sering mereka katakan, “maaf Anda kurang komunikatif dalam mengajar”.

Sekarang pun, menjadi seorang guru pegawai negeri terbilang susah. Mesti punya budget yang cukup untuk memuluskan jalan, mesti punya familly di pemerintahan daerah dan di dinas-dinas terkait, mesti mau mengurut dada tanda pasrah tak mampu berbuat apa-apa. Apalagi dengan kemampuan sekelas diriku. Intelegensi tak memadai ditambah keadaan keluarga yang cuma petani.

Suatu ketika aku ditawari seorang calo untuk menjadi seorang guru pegawai negeri pada saat pendaftaran CPNS daerah. Tawaran tarifnya pun bermacam-macam. Disesuaikan dengan SK penempatan sekolah nantinya. Apakah sekolahnya masuk kategori terjangkau ataukah kategori sekolah terpencil. Pilihan yang terakhir tadi biasanya ditempatkan di pegunungan daerah-daerah terpencil dan tertinggal. Ditempuh dengan beberapa hari perjalanan, menyebrangi sungai-sungai, dan tidak ada jaringan telekomunikasi.

Aku menimbang-nimbang tawaran itu. Orang tuaku telah bersepakat, berencana menggadaikan sawah beberapa petak warisan keluarga kepada orang lain. Kau tahu? Banyak orang tua sekampungku sangat menginginkan anak-anak mereka menjadi seorang pegawai negeri. Mereka sudah sangat bangga jika anak mereka telah mendapatkan status seperti itu. Meskipun harus menempuh jalan-jalan yang dilarang keras oleh KPK. Mereka hanya ingin anak-anak mereka sukses menjadi seorang guru dengan tunjungan sertifikasi yang menggiurkan, serta bahagia di hari tua dengan tunjangan pensiun yang menjanjikan.

Aku bingung mesti bagaimana. Di satu sisi, kalau sudah jadi guru PNS, aku ingin membahagiakan kedua orang tuaku dengan mendaftarkannya di bank perwakilan departemen agama sebagai daftar tunggu calon jemaah haji. Dengan jalan mengambil kredit dari bank dengan jaminan SK pengangkatanku nanti. Di sisi lain, aku juga tidak tega menggadaikan tanah persawahan ayahku. Kalau pun jadi digadaikan, itu pun baru separuh saja. Belum cukup untuk jadi tebusan jika tawaran menjadi guru itu aku terima. Sementara tidak ada istilah depe dalam hal joki pegawai negeri tersebut. Istilahnya, ada uang ada barang.

***

Kalau kalian pencinta Iwan Fals, tentu tahulah sosok Umar Bakri. Kebetulan namanya sama denganku. Aku hanya seorang guru honor, bukanlah guru yang sudah mempunyai nomor induk kepegawaian. Gajiku seadanya saja. Kadang dibayar setiap tiga bulan, atau cuma sekali dalam setiap satu semester.

Aku hanya mampu menjadi seorang guru honor di sebuah sekolah yang masuk kategori terpencil itu. Tak ada kepala sekolah di perkotaan yang mau menerimaku mengajar di tempatnya. Pun sudah beberapa kali aku mengikuti tes-tes penerimaan CPNS namun tak kunjung diterima juga. Tak tega aku menerima tawaran calo PNS itu, kasihan kedua orang tuaku.

Oleh pemerintah, telah banyak janji tentang kesejahteraan kami para guru honor. Kadang kami hanya dijadikan alat bagi mereka yang butuh kekuasaan. Ketika menjabat, lupalah mereka dengan janjinya. Berganti pimpinan berganti kebijakan. Nasib kami terombang-ambing, sesuka mereka memainkannya. Persetan dengan kalimat penggugah itu –pahlawan tanpa tanda jasa. Adakah yang seperti itu? Kisahnya mungkin hanya ada di tempat-tempat nun jauh di sana. Sebuah tempat yang masih steril dari pengaruh materi dan kekuasaan. (*)

Makassar, 7 Maret 2012