30/04/2012

Ikan Asin dan BBM

(Cerpen; Setumpuk doa untuk Ammak)

MUNGKIN lantaran ikan asin yang selalu menjadi sajian makanan kami saban hari. Mungkin karena tak punya banyak uang untuk membeli buku-buku sastra dan buku pelajaran lain, asumsiku bergeliat mengenai sebab kenyataan hidup yang pelik. Mempersoalkan tentang keadaan keluarga yang tak semestinya begini. Sampai-sampai mendiskreditkan Tuhan yang mungkin telah keliru menakdirkan hidup seperti ini.

“Aku ini punya bakat terpendam, Ammak!”

Dalam hati aku bergumam kepada ibu. Sadar bahwa ada bakat luar biasa yang terpendam dalam diriku. Tumbuh kembangnya bakat itu mungkin sangat bergantung dari asupan makanan yang bergizi setiap hari, serta lingkungan keluarga yang mapan dan berkecukupan, menurutku.

“Loh, kalau setiap hari makanannya cuma begini?” gumamku berlanjut mempersoalkan makanan.

Berenam, kami termasuk salah satu keluarga golongan garis bawah seperti kebanyakan di kampung. Bermata pencaharian yang cuma mengandalkan keberuntungan dari hujan –petani sawah tadah hujan. Tak ada bantuan irigasi dari pemerintah kabupaten. Pun berkali-kali warga kampung telah menjeritkannya kepada yang terkait. Sampai dahi mereka mengerut bukan karena sudah tua lapuk. Sampai mulut mereka berbusa-busa bukan karena epilepsi yang akut, hanya acuh tak acuhnya saja seolah tak peduli. Banyak alasan yang mereka terima. Belum ada anggaran, belum dianggarkan, atau karena anggarannya belum turun. Bertahun-tahun tetap seperti itu. Dulu sampai sekarang belum ada yang berubah. Cuma jalanan aspal yang sudah berubah. Sudah banyak lubang-lubangnya sekarang.

Tiga saudaraku sudah tidak tinggal di kampung. Si sulung ke kota dengan alasan ingin kursus komputer sambil bekerja paruh waktu sebagai pramusaji di warung-warung makan. Selang tak berapa lama ia pulang membawa segudang sesal. Kehidupan di kota sangat susah dan kejam, katanya penuh pasrah. Sedangkan dua saudaraku lainnya minggat memilih merantau ke Kalimantan dan Malaysia selepas tamat sekolah. Gamang mereka bermimpi menjadi seorang sarjana. Tak ada biaya melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Lantas bingung tak tahu mau jadi apa. Sisa aku, si bungsu yang masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. Susah payah bersekolah dengan biaya hasil panen ayah yang tak menentu. Seingatku, belum ada program Bantuan Operasional Sekolah kala itu. Belum ada jargon pendidikan dan kesehatan gratis.

Kudapati ayah sedang makan selepasku mandi pagi sebelum berangkat ke sekolah. Sudah kebiasaannya menyantap sarapan –kadang merangkap sebagai makan siang– dengan menu nasi putih dan ikan asin di beranda rumah, sebelum ia berlalu mengayuh sepedanya menuju lahan persawahan warisan orang tuanya di seberang kampung. Sembari makan, pandangannya berarak jauh ke depan, kosong. Entah ayah sedang memandangi apa? Ataukah cuma sedang berkhayal tentang sebuah kehidupan yang lebih baik untuk anak-anaknya, kelak? Pun belum sempat aku menanyainya tentang kebiasaannya itu.

Jarang aku menggerutu kepada ayah tentang sajian ibu setiap hari. Selalu, dia hanya diam, tak menimpali apa-apa, pasrah. Entah alasan mau ke kebun atau ke sawah, dia berlalu begitu saja.

“Arrggh..!!! Saya bosan makan ini terus, Ammak!” kali ini aku lantang menggerutu kepada ibu.

Dalam kamar ibu tak bergeming. Kali ini ia harus pasrah memahami gerutuku setiap pagi dan ketika pulang sekolah. Rupa-rupanya anak pendongkol sepertiku tak pantas lagi ditimpali dengan cemoohan-cemoohan pula, seperti yang sering ia lakukan kepadaku sebelum-sebelumnya. Pening kepalanya kalau harus meladeniku beradu gerutu saban hari. Sakit darah tingginya kambuh lagi. Dan parahnya, aku tak peduli.

Dari dalam kamar, samar-samar terdengar ibu terisak. Menangis untuk sebuah alasan yang jelas ia mengerti dan belum sempat kumengerti. Aku beranjak tunggang langgang ke sekolah. Sepeser pun tak ada uang dalam saku celana. Tak boleh ada istilah jajan untuk anak sepertiku.

Sedikit pun tak ada rasa bersalah dariku, atau sekadar sebuah penyesalan. Tak ada reaksi muka yang menyendu berbalut gamang akan tetesan air mata seorang ibu. Dalam pikirku, tak ada yang terbayang tentang pedihnya azab yang harus kutuai akibat kedurhakaanku. Saat itu, aku belum tahu apa-apa. Aku belum memahami tentang arti sebuah kemiskinan.

Kala itu, aku belum tahu betul mengapa harga ikan asin semakin mahal. Yang aku tahu, ikan asin yang disajikan ibu tambah kecil-kecil dan semakin asin saja. Aku belum terlalu peduli mengapa harga-harga kebutuhan sembilan bahan pokok terus merangkak naik. Yang aku tahu, ibu selalu melarangku memakai sabun banyak-banyak. Pakai secukupnya saja, katanya. Barulah belakangan aku mulai tahu melalui percakapan guru-guruku di sekolah. BBM akan naik lagi, bincangnya.

“Mungkin Barang Barang tambah Mahal yach?” kelakarku mengartikan singkatan dari BBM itu.

Peduli apa aku kalau harga BBM harus naik. Toh orang tuaku tak punya kendaraan bermotor, apalagi usaha pabrik berbahan bakar bensin ataupun solar. Ayah hanya punya sebuah sepeda reyot karatan merek Mustang tahun sembilan puluhan. Minyak tanah apalagi. Tumpukan kayu bakar di kolong rumah masih terlalu banyak untuk dipakai ibu memasak sampai berbulan-bulan.

Aku lebih memilih menyendiri di tepi lautan tak jauh dari rumahku ketika hari sudah sore. Di sana, aku bisa lebih leluasa mempermasalahkan takdir yang pikir-pikirku kemungkinannya telah terjadi kekeliruan dalam penyusunannya. Berteriak sekeras mungkin, takkan ada yang dengar. Pun tersedu sesedih mungkin, takkan ada juga yang bakal peduli. Berlarian ke sana kemari hingga lelah, lalu menceburkan diri tidak karuan ke lautan. Mengendap-negendap seperti bayi paus yang tersesat kehilangan induk.

Anak-anak lain seumuranku sedang asyik bermain play station yang disewakan oleh seorang kaya di kampung. Mau apalagi, aku tak bisa ikut bersama mereka. Pahamlah, meminta uang kepada ibu dalam keadaan peceklik seperti ini sama saja dengan mengais-ngais luka dalam hatinya.

Dua belas tahun telah hangus sejak terakhir aku menyendiri di tepi lautan itu. Berangsur-angsur keadaan keluarga sudah jarang kuresahkan di sana. Kulihat rupanya sudah ada perubahan sekarang. Selaras juga dengan pahamanku dalam memaknai kehidupan. Bahwa bersyukur adalah bentuk kepuasan yang paling mendasar dalam segala pencapaian, tidak memandang banyak atau sedikitnya hasil yang diperoleh.

Ibu sudah punya kios sederhana sekarang. Sudah punya kesibukan dengan berjualan beberapa barang sembilan bahan pokok di beranda rumah, selain cuma menjadi seorang ibu rumah tangga saja. Ayah juga sudah punya motor bebek bekas untuk ia kendarai ke sawah, hadiah dari saudaraku yang telah merantau bertahun-tahun di negeri orang. Kadang jika panen tak kesampaian karena puso, ojek bisa menjadi sambilan ayah mencari nafkah keluarga.

“Masak apa sebentar, Ammak?” tanyaku senang melihat ibu pulang dari pasar dengan keranjang penuh dengan ikan segar dan sayuran hijau.

Ada banyak alasan untuk selalu mensyukuri hidup. Roda kehidupan akan terus berputar karena perubahan adalah sebuah keniscayaan. Manusia tanpa perubahan, bagaikan benda mati, kata filosof Ali Syariati. Pun kalau nanti pemerintah tetap jadi menaikkan harga BBM, mungkin cuma satu yang belum berubah. Dulu dan sekarang, BBM tetap akan naik.

“Perubahan merupakan suatu proses yang spiral dalam kehidupan. Kita berangkat dari sebuah titik kehidupan –titik di pusat utara, kemudian memintali setiap ranah kehidupan ini secara spiral pula. Dan pada akhirnya, lilitan itu akan mentok pada sebuah titik juga –titik di pusat selatan, titik akhir dari kehidupan kita. Karena hidup seperti siklus, lingkaran kehidupan, bulat seperti bumi. Hanya dengan bersyukur, setiap pintalan perubahan itu membuatnya penuh makna!” pikirku bijak ketika berlalu meninggalkan Ammak menuju ke kota, kembali bergumul dengan tugas-tugas kuliah. (*)

(Pajalele-Pinrang, 29 April 2012)

4 comments:

  1. Sejatinya setiap orang tua selalu ingin memberikan yang terbaik buat anak-anaknya, tapi jika keinginan tak sesuai dengan kenyataan di sinilah kita dituntut untuk memaknai hidup dengan belajar menerima apa yang sudah ditakdirkan...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Seandainya saja qt paham kondisinya, tapi itu dulu, sudh lalumi..:)

      Delete
  2. Lanjut, ane cuman nyimak gan, bagus tulisannya

    ReplyDelete