19/04/2012

Adiksimba: Sekebat Tanda Tanya

SEJATINYA sebuah pertanyaan butuh adanya jawaban. Tak cukup dengan ngangguk-ngangguk atau geleng-geleng saja, yang mewakili jawaban ‘ya’ atau ‘tidak’. Masalah tidak akan selesai jika cuma memberikan jawaban seperti itu. Butuh beberapa rentetan argumentasi yang bisa menopang atas keberadaan kebenarannya. Sementara sebagian orang menganggap kebenaran itu relatif, sebagiannya lagi mengatakan mutlak matematis. Separuh kebenaran bisa kita ketahui, separuhnya lagi tidak. Tetapi semuanya tetaplah kebenaran. Jika kau kebingungan, itu wajar. Wajar jika menimbulkan pertanyaan-pertanyaan, butuh jawaban-jawaban lagi, bukan? Tidakkah di awal kelahiran dan akhir kematian kita selalu dimulai dengan tanya?

Terkadang pertanyaan muncul ketika hadir sebuah keraguan. Keraguan merupakan ketidakmampuan dalam memastikan atas ketidakmatangan akan suatu keadaan. Meragukan berarti mempertanyakan sesuatu. Keraguan sangatlah dekat dengan ketidakpastian. Namun, dibalik keraguan tersirat keyakinan bahwa kita sadar sedang meragu. Ketidakpastian membutuhkan penjelasan. Kejelasan atas hal itu tentu butuh sebuah jawaban. Dari jawaban itulah yang akan menjelaskan atas segala keraguan yang mencecar, dan yang akan menerangkan atas segala ketidakpastian yang mendera. Apakah masalahnya telah selesai sampai di situ? Tidak, kita tunggu sampai muncul antitesis baru yang akan memperkarakannya. Benar, sifatnya dialektis.

Apakah kau masih bingung? Ya, akupun juga demikian. Maka dari itu, pada halaman ini ada sekebat tanda tanya. Aku akan banyak bertanya, bertanya kepadamu yang lebih banyak diam.


***

 Sangat kupahami bahwa perangai kita jauh berbeda. Emoh aku menyamaimu, apalagi kau, jelas tak sudi menyerupai sifatku. Aku lebih sering bicara, kau lebih sering diam. Aku lebih suka bergerak, kau lebih suka diam. Aku lebih banyak bertanya, kau lebih banyak diam. Diam merupakan sesuatu yang patut dihargai. Diam juga adalah jawaban. Kau bijak memaklumiku, aku mafhum menghargaimu. Menariknya kisah ini justru karena perbedaan itu. Menjalin suatu hubungan tidaklah harus melulu berpikiran sama, melainkan untuk berpikir bersama. Saat lelah menunggumu tak bicara, aku lengah ikut termangu. Dulu kita pernah bersepakat, terkadang diam kita jadikan sebagai bahasa hati.

Suatu ketika kau pernah aktif berkata-kata tanpa aku tanya. Pun semalam aku tak pernah bertanya apa-apa kepadamu. Apalagi hari kemarin, seingatku tak ada tanya yang belum sempat kau jawab, karena tak penting buatmu mengingat-ingat pertanyaan yang sudah-sudah. Saat itu kupahami saja kau sedang memberikan sebuah pernyataan, sedang presentasi menurutku. Lantas aku bingung harus bagaimana? Apakah mesti kutimpali dengan diam juga? Ataukah aku harus menempatkan diri sebagai jemaah yang cukup dengan berujar “Iyyeee...” dan “Lillaaah...” dari seruan seorang ustaz yang lebih mirip komedian?

Senang akhirnya melihatmu bisa berkata-kata. Aku terperanjat kegirangan lalu mendebatmu dengan pertanyaan-pertanyaan.
“Terus-terus, APA lagi? Tempatnya DI MANA itu? KAPAN kejadiannya? Sama SIAPA? MENGAPA bisa begitu? Jadi BAGAIMANA?”

Garing melihatku lebay beruntun menanyai 5W + 1H seperti itu, kau malah hilang gairah berpresentasi. Penyakitmu seketika kambuh, kembali diam seperti batu. Jika sudah sampai pada keadaan begitu, kuterima saja sebagai sebuah kenyataan, bahwa dirimu memang lebih suka diam. Kan sudah kukatakan dari awal, bahwa aku lebih suka bertanya. Pun sudah kupahami juga bahwa kau lebih suka diam. Kau bahagia hidup dengannya, aku damai sadar akannya. Pahami saja dengan melayangkan seutas senyuman, karena kutahu kau murah senyum, sama sepertiku. Seperti dulu kita juga pernah bersepakat, menyenyumi satu sama lain adalah isyarat bahwa kita telah saling memahami.

Menganggap bahwa mencecarmu dengan tanya 5W + 1H itu adalah hal yang paling membosankan, maka kali ini cukup kusingkat dengan satu kata tanya saja.
“ADIKSIMBA sayang...???”
“Tanyakan pada rumput yang bergoyang!” jawabmu lugas menusuk.
“Cinta tak punya bahasa, Anak muda!” titah malaikat menyambit dari atas langit.

Puluhan bahkan ratusan tanda tanya bernas berisi menumpuk sesak di kepalaku. Tanda tanya-tanya itu tercacah urai membelah diri membentuk tanya yang terus meng-kuadrat tak terhingga. Terlalu tinggi bahasa yang mereka gunakan. Semakin tak jelas, membuatku kebingungan. Sedangkan kau, cekikikan seperti kuda meringkik kegirangan melihatku geleng-geleng dan ngangguk-ngangguk, juga seperti kuda.

(Menanti jawaban dari pesan yang tak kunjung dibalas; Makassar 18 April 2012)

4 comments:

  1. nice postingan nya gan..sukses ya?????

    ReplyDelete
  2. Makasih bang sepri. Blog Venusnya juga sangat inspiratif.. :)

    ReplyDelete
  3. Kalau keduanya terlahir dengan banyak tanya akan semakin sedikit keingintahuan kita pada sesuatu karena semua pasti sudah terjawab walau masih samar-samar. Begitu pun sebaliknya, akan banyak ketidaktahuan pada kita karena semua diam tak bertanya. Semua pertanyaan itu pun tak mesti terjawab dengan bahasa verbal kan? Ok Dinda lanjutkan perjuanganmu untuk menanti jawaban-jawaban itu...

    ReplyDelete