SEJATINYA sebuah pertanyaan butuh adanya
jawaban. Tak cukup dengan ngangguk-ngangguk atau geleng-geleng saja, yang mewakili
jawaban ‘ya’ atau ‘tidak’. Masalah tidak akan selesai jika cuma memberikan
jawaban seperti itu. Butuh beberapa rentetan argumentasi yang bisa menopang atas
keberadaan kebenarannya. Sementara sebagian orang menganggap kebenaran itu
relatif, sebagiannya lagi mengatakan mutlak matematis. Separuh kebenaran bisa kita
ketahui, separuhnya lagi tidak. Tetapi semuanya tetaplah kebenaran. Jika kau kebingungan,
itu wajar. Wajar jika menimbulkan pertanyaan-pertanyaan, butuh jawaban-jawaban
lagi, bukan? Tidakkah di awal kelahiran dan akhir kematian kita selalu dimulai
dengan tanya?
Terkadang pertanyaan muncul ketika hadir
sebuah keraguan. Keraguan merupakan ketidakmampuan dalam memastikan atas
ketidakmatangan akan suatu keadaan. Meragukan berarti mempertanyakan sesuatu. Keraguan
sangatlah dekat dengan ketidakpastian. Namun, dibalik keraguan tersirat
keyakinan bahwa kita sadar sedang meragu. Ketidakpastian membutuhkan penjelasan.
Kejelasan atas hal itu tentu butuh sebuah jawaban. Dari jawaban itulah yang
akan menjelaskan atas segala keraguan yang mencecar, dan yang akan menerangkan atas
segala ketidakpastian yang mendera. Apakah masalahnya telah selesai sampai di
situ? Tidak, kita tunggu sampai muncul antitesis baru yang akan memperkarakannya.
Benar, sifatnya dialektis.
Apakah kau masih bingung? Ya, akupun juga
demikian. Maka dari itu, pada halaman ini ada sekebat tanda tanya. Aku akan
banyak bertanya, bertanya kepadamu yang lebih banyak diam.
***
Sangat kupahami bahwa perangai kita jauh berbeda.
Emoh aku menyamaimu, apalagi kau, jelas tak sudi menyerupai sifatku. Aku lebih sering
bicara, kau lebih sering diam. Aku lebih suka bergerak, kau lebih suka diam. Aku
lebih banyak bertanya, kau lebih banyak diam. Diam merupakan sesuatu yang patut
dihargai. Diam juga adalah jawaban. Kau bijak memaklumiku, aku mafhum menghargaimu.
Menariknya kisah ini justru karena perbedaan itu. Menjalin suatu hubungan
tidaklah harus melulu berpikiran sama, melainkan untuk berpikir bersama. Saat lelah
menunggumu tak bicara, aku lengah ikut termangu. Dulu kita pernah bersepakat, terkadang
diam kita jadikan sebagai bahasa hati.
Suatu ketika kau pernah aktif berkata-kata tanpa
aku tanya. Pun semalam aku tak pernah bertanya apa-apa kepadamu. Apalagi hari kemarin,
seingatku tak ada tanya yang belum sempat kau jawab, karena tak penting buatmu
mengingat-ingat pertanyaan yang sudah-sudah. Saat itu kupahami saja kau sedang
memberikan sebuah pernyataan, sedang presentasi menurutku. Lantas aku bingung
harus bagaimana? Apakah mesti kutimpali dengan diam juga? Ataukah aku harus
menempatkan diri sebagai jemaah yang cukup dengan berujar “Iyyeee...” dan
“Lillaaah...” dari seruan seorang ustaz yang lebih mirip komedian?
Senang akhirnya melihatmu bisa berkata-kata.
Aku terperanjat kegirangan lalu mendebatmu dengan pertanyaan-pertanyaan.
“Terus-terus, APA lagi? Tempatnya DI MANA itu?
KAPAN kejadiannya? Sama SIAPA? MENGAPA bisa begitu? Jadi BAGAIMANA?”
Garing melihatku lebay beruntun menanyai 5W + 1H seperti itu, kau malah hilang
gairah berpresentasi. Penyakitmu seketika kambuh, kembali diam seperti batu. Jika
sudah sampai pada keadaan begitu, kuterima saja sebagai sebuah kenyataan, bahwa
dirimu memang lebih suka diam. Kan sudah kukatakan dari awal, bahwa aku lebih
suka bertanya. Pun sudah kupahami juga bahwa kau lebih suka diam. Kau bahagia hidup
dengannya, aku damai sadar akannya. Pahami saja dengan melayangkan seutas senyuman,
karena kutahu kau murah senyum, sama sepertiku. Seperti dulu kita juga pernah bersepakat,
menyenyumi satu sama lain adalah isyarat bahwa kita telah saling memahami.
Menganggap bahwa mencecarmu dengan tanya 5W +
1H itu adalah hal yang paling membosankan, maka kali ini cukup kusingkat dengan
satu kata tanya saja.
“ADIKSIMBA sayang...???”
“Tanyakan pada rumput yang bergoyang!”
jawabmu lugas menusuk.
“Cinta tak punya bahasa, Anak muda!” titah malaikat
menyambit dari atas langit.
Puluhan bahkan ratusan tanda tanya bernas berisi
menumpuk sesak di kepalaku. Tanda tanya-tanya itu tercacah urai membelah diri
membentuk tanya yang terus meng-kuadrat tak terhingga. Terlalu tinggi bahasa
yang mereka gunakan. Semakin tak jelas, membuatku kebingungan. Sedangkan kau,
cekikikan seperti kuda meringkik kegirangan melihatku geleng-geleng dan
ngangguk-ngangguk, juga seperti kuda.
(Menanti jawaban dari pesan yang
tak kunjung dibalas; Makassar 18 April 2012)
nice postingan nya gan..sukses ya?????
ReplyDeleteMakasih bang sepri. Blog Venusnya juga sangat inspiratif.. :)
ReplyDeleteKalau keduanya terlahir dengan banyak tanya akan semakin sedikit keingintahuan kita pada sesuatu karena semua pasti sudah terjawab walau masih samar-samar. Begitu pun sebaliknya, akan banyak ketidaktahuan pada kita karena semua diam tak bertanya. Semua pertanyaan itu pun tak mesti terjawab dengan bahasa verbal kan? Ok Dinda lanjutkan perjuanganmu untuk menanti jawaban-jawaban itu...
ReplyDeleteMakasih kanda..:)
Delete