10/04/2012

Lantaran Sesal

PAGI buta kakek sudah tak di rumah. Sudah kewajiban seorang imam memimpin salat subuh di masjid. Istrinya nanar lagi melihat luberan puntung rokok berserakan di lantai. Merokoknya sudah tak mampu lagi dia batasi. Pun mantri telah berulang kali memberi saran. Namun, sukar diterima bagi perokok berat seperti kakek.

Hidangan menu sederhana kesukaan kakek -sayur bayam dan ikan bakar sambel kecap tomat- telah disajikan istrinya sebelum berangkat ke hajatan pernikahan di seberang desa.

Seketika terdengar rem mikrolet meringkik tanda buru-buru sang empunya mobil. Rombongan hajatan pernikahan tampak sudah lengkap dalam mobil. Semua terlihat anggun dengan busana terbaik mereka. Maklum saja, yang punya hajatan adalah keluarga arung. Tentu sangat dianjurkan untuk tampil sebaik mungkin. Berbeda ketika hanya menghadiri acara maulid atau takziah.

“Duduk di depan puang hajah!” ibu-ibu dalam mobil memberi saran.

Sisa jok depan samping kiri sopir belum terisi. Mereka sangat mafhum siapa yang pantas duduk di tempat paling terhormat mobil angkutan umum itu. Tentu dengan banyak pertimbangan, baik dari segi umur dan status istri seorang imam kampung.

***

Wangi siang semakin menerik. Angin menyepoi canggung di sela lamunannya bakda dhuhur di sudut mushala tak jauh dari rumahnya.

“Kita akan membangun sebuah masjid. Tanah kosong milikku di sana akan kuwakafkan,” sahutnya kepada seorang jemaah –sahabat kakek.

“Saya setuju. Tapi kan cuma kau saja yang sering didaulat menjadi iman di sini. Bila masjid itu sudah jadi, kau juga jadi imam di sana. Terus mushala ini bagaimana?”

“Kan ada kamu. Mushala ini tak usah dipugar menjadi masjid. Biar tetap seperti ini.”

Kakek khawatir bila bangunan mushala itu diperluas menjadi masjid, bisa-bisa hanya karena persoalan uang celengan serta jatah penghulu pernikahan, warga kampung terpecah. Banyak yang berebut menjadi imam baru.

“Kau akan dihujat dengan persoalan uang celengan bila jadi imam di sana,” sahabatnya terus mencecarnya.

“Semua uang celengan akan kumasukkan ke bendahara panitia pembangunan masjid. Kau kan tahu pembangunannya bertahap, butuh banyak dana.”

Di kampung kakek, setelah shalat id, uang hasil celengan dibagi ratakan kepada imam beserta khatib-khatibnya, sebagai ‘upah’ mereka dalam pelaksanaan salat-salat wajib dan kegiatan masjid lainnya. Hal yang wajar mereka dapatkan. Mereka tak ada gaji ataupun sekadar hadiah umrah dari kanwil departemen agama.

***

Haiyya ’ala sholaaah...!” muazin berdendang menyerukan azan.

Suara itu terdengar nyaring dari arah sebuah bangunan lebih menyerupai pendopo yang baru setengah jadi. Melalui toa yang diikat tidak terlalu tinggi pada tiga buah tiang bambu yang tampak berlumuran sisa-sisa cor tukang bangunan masjid, azan perdana dikumandangkan tanda khotbah jumat segera dimulai.

Tak ada acara seremonial semacam pemencetan tombol sirene, pengguntingan pita, ataukah sekadar atraksi pemukulan beduk. Kasihan, panitia tak punya dana. Alasan klasik tak mampu melakukan apa-apa. Cuma tujuh baki kue-kue sumbangan ibu-ibu menghampar di sudut belakang yang dijaga seorang garang. Sepertinya hanya ada rangkaian baca-baca sebagai tanda peresmian setelah salat jumat nanti.

Kakek duduk di saf paling depan. Di sebelah kanan kakek, tampak hadir kepala desa beserta jajaran pemerintahannya. Di sebelah kiri kakek, hadir kepala kantor cabang perusahaan listrik negara yang telah membantu pemasangan instalasi listrik beserta dengan toa bekas sumbangannya. Kemudian hadir pula Ambo Kama -guru mengaji- yang diprediksi sebagai calon khatib pendamping pak imam, serta beberapa tokoh masyarakat, juga ikut berderet di saf bagian depan, meluap sampai ke saf kedua.

Deretan saf ketiga tampak sepi, hanya beberapa bapak guru dari sekolah madrasah. Padahal dari mereka, juga menyumbangkan dua buah mikrofon beserta gagangnya, sisa perangkat upacara sekolah.

Tidak ketinggalan beberapa pemuda kampung yang tampak gelisah, turut hadir meramaikan barisan saf keempat. Barangkali mereka takut jika dilantik sebagai remaja masjid karena harus berbicara di depan jemaah menyampaikan daftar penyumbang. Mau apa lagi, pemuda kampung yang tersisa cuma mereka. Selebihnya merantau ke Kalimantan dan Malaysia.

Berbeda dengan tokoh-tokoh masyarakat tadi. Mereka sudah sedikit fasih berpidato karena keranjingan berpartisipasi dalam beberapa kampanye anggota dewan, pemilihan kepala daerah, dan kegiatan-kegiatan politik praktis lainnya. Apalagi masa jabatan kepala desa sekarang tersisa satu tahun lagi. Pahamlah dengan keadaan itu.

Jangan lupa, sebentar setelah jumatan ada acara selamatan. Banyak kue di situ. Hal demikianlah yang paling banyak jemaah tunggu-tunggu. Orang-orang seperti merekalah yang memenuhi deretan saf keempat sampai belakang. Padat merayap, berjibaku bersama anak-anak.

Ambo Kama bangkit mengumandangkan ikamah, kakek maju memimpin.

***

Di kamar, kakek termenung memandang sebidang langit berkalung awan putih dari arah jendela. Akhir-akhir ini kakek terus bermimpi tentang kehancuran karena air dan angin. Firasatnya tentang sakratulmaut juga terus merasuki pikirannya. Pun batuk terus ikut serta. Dipikirnya kalau dirinya masih punya hutang. Tak ada siapa-siapa saat itu. Istrinya belum pulang dari hajatan pernikahan. Anak-anaknya semua sudah berkeluarga. Ada yang jadi pengusaha, pegawai negeri, dan ada yang cuma jadi ibu rumah tangga.

Dirinya risau mengenai pembagian harta warisan. Kelak, jangan sampai ada perselisihan diantara anak-anaknya seperti kebanyakan yang terjadi setelah orang tua mereka meninggal. Dia juga gelisah memikirkan mimpinya tentang kehancuran karena air dan angin itu.

Innalillahi wainna ilaihi rajiun!

Terisak-isak Ambo Kama menyampaikan kabar duka -kematian kakek- kepada orang sekampung melalui toa di masjid. Seketika hening sebentar, kemudian riuh membuncah. Terdengar tangisan meliuk-liuk seperti sirene ambulans kematian sepanjang jalan menuju rumah kediamannya.

***

Senja beranjak dari peraduannya ketika malam perlahan mulai menyapa. Tak kuasa ibuku menahan derai air mata. Terbesit kerinduan berbalut sesal yang mendalam di wajahnya. Lantaran sesal, cuma sampai di situ ia mampu bercerita tentang ayahnya kepadaku, tentang almarhum kakek. Sepulang ziarah dari makamnya di halaman belakang sebuah masjid, ibuku mengakhiri ceritanya.

Masih ingat? Ibuku adalah anak yang cuma jadi ibu rumah tangga itu. Ia menyesal tak banyak belajar kepada ayahnya yang ahli dalam pengobatan luka bakar itu, serta beberapa pappaseng warisan leluhurnya. Ibuku menyesal tak banyak bertanya kepada kakek tentang ayat-ayat Quran yang dapat menerangi hati dan pikiran anak-anak supaya jadi cerdas dan bisa sekolah tinggi-tinggi. Lantaran ia tak mau anak-anaknya seperti dirinya, menjadi ibu rumah tangga ataukah hanya menjadi seorang tukang kebun dan penggarap sawah tadah hujan seperti ayahku. Ia mau anak-anaknya menjadi cerdas dan bisa sekolah tinggi-tinggi. (*)

4 comments:

  1. Sebuah harapan yang tulus dari seorang Ibu yang tak mengecap pendidikan tinggi namun mempunyai mimpi yang setinggi langit pada masa depan anak-anaknya...Semoga tercapai....Amin

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saya to'ji saja bunda, yg lain tidak sempat..:(

      Delete
  2. hiks,,, terbawa suasana,,,, :(

    ReplyDelete