(Sumber Google)
APAKAH kau mengetahuinya? Ada segumpal hasrat yang terus membuncah dalam anganku. Kian
hari kian tak terbendung. Ingin kuat menepisnya malah lemah menjadikannya
lejit. Otakku berusaha bungkam menampik riaknya, tetapi justru tubuhku dibuatnya
bergelutan tidak karuan. Hasrat itu semakin betah mengendap di alam bawah
sadarku. Jadilah ia sebagai fantasi-fantasi tak berkesudahan dalam setiap tidur
dan sadarku. Di setiap pagi, kulayangkan khayal itu setinggi awan. Melesat
sampai ke kolong langit, terus dan terus menaik menembus lapisan langit paling luar.
Sampai akhirnya tersungkum di pelataran mimpi.
Apakah kau memahaminya? Ketika di sore hari yang indah bersamamu
di taman itu, cuma tajam tatapmu kujadikan pelipur. Hanya seutas senyummu
kujadikan penawar. Sorot matamu lekat-lekat menatap tepat di kedua bola mataku.
Rekah senyummu diam-diam menyembur beriring bersama aliran darahku, membuat
hasrat itu menjadi terberai-berai membentuk beberapa bagian. Sebagiannya lenyap
musnah tersapu angin sendalu, sebagiannya lagi malah membelah diri membentuk
embrio-embrio khayal dan hasrat-hasrat yang baru. Membuatnya tak mempan lagi
dengan sorotan mata dan senyummu itu. Menjadikannya rentan dan semakin
kecanduan.
Maka jangan menyalahkanku
bila kuingin memandangi raut wajahmu setiap inci demi incinya ketika kita
bertemu. Pun jangan pula melarangku berkelakar tentang berbagai
keanehan-keanehan di kehidupan sekitar. Cuma ingin memandangi garis wajahmu secara
mendetail, kemudian merekamnya dalam memoriku. Hanya sekadar ingin membuatmu
tertawa saja, melihatmu tersenyum. Lalu dengan khidmat akan kupandangi dengan
saksama seutas senyummu saat itu. Berharap ketika malam mendatangiku kembali dalam
kesendirian, pun aku sudah punya penawar untuk sejenak menimpali gigilnya sepi
yang dihadirkanya. Namun sayang, itupun tak cukup menjadikannya mujarab. Sampai
akhirnya pagi mendapatiku kembali tersungkum di pelataran mimpi. Tak kuasa
menahan hasrat yang semakin menjeratku sekaligus mendamaikan itu.
Kadang, kita tak perlu berkata-kata untuk
mengungkapkan betapa cinta dan rindunya kita atas seseorang.
Akhirnya, akupun harus pasrah mengakuinya. Rinduku
tak punya nyali untuk menyulam kata-kata. Aku hanya ingin kau memahaminya saja.
Maka di saat bertemu nanti, tariklah nafasmu dalam-dalam, lalu tahanlah barang sejenak.
Hembuskan selega-leganya tatkala matamu telah menyaksikan damai senyumku. Kemudian
biarkan tubuhmu rebah bersandar di bahuku, bersama menyaksikan sebidang langit
yang bertudung sutra senja. Sebuah penanda bahwa kau dan aku sama-sama telah
memahaminya. (*)
(Makassar, 07 April 2012)
Sangat dalam....Very nice...I Like this...
ReplyDeleteAyahanda Naja mgkin bisa mmpraktikkannya kpd istri tercintanya tatkala brtemu nanti,ckckck,,,
Delete