26/05/2012

Kau dan Biolamu 1

SELALU ada pelajaran yang bertuah kebijakan hanya bila kita mau menyempatkan diri menyibak setiap kepingan misteri kehidupan. Jelas, misteri itu tak suka pasang gaya. Ia cuma duduk manis bersemayam di kerak kehidupan paling dalam. Sesekali hanya menggelitik rasa keingintahuan. Menanti kontemplasi dari orang-orang yang selalu merasa gerah dengan ketidakjelasan. Bagi mereka yang telah selesai dengan urusan itu, hidupnya menjadi lebih menarik karena selalu asyik dalam aktivitas mencari dan menemukan. Menjadikannya tampak selalu bijak dalam memaknai segala hal.

Masalah apa yang tak berujung dengan sebuah penyelesaian? Karena selalu ada jalan yang menuju bagi yang memiliki tujuan.

Aku mengisi halaman kali ini mengawalinya dengan beberapa hasil perenungan sederhana itu ketika sepi menyeretku memandangi lautan di sore ini. Jelas, sepi karena tak bersamamu. Kau sedang sibuk dengan kursus biolamu dan mengikuti rapat penting di beberapa tempat. Di sini, aku pasrah meringis, mencecari lautan yang hanya selalu diam dengan beragam jenis tanya. Pertanyaan-pertanyaanku hanya ditimpali dengan ombaknya yang menggulung-gulung. Cuma mampu bergemuruh ketika angin menghempasnya, terseret hingga ke permukaan. Suaranya mendesir karena pasir di bibir pantai menyambutnya dengan ketegaran rasa yang tak pernah merasa miris. Setia menjadikannya betah. Pasang membuatnya menjadi luap, pun surut membuatnya semakin susut. Mungkin laut dan pantai sudah selesai dengan urusan kesetiaan dan kepastian. Bagi mereka, kesetiaan sudah menjadi kemestian yang akan selalu demikian kepastiannya.

Mengetahui kau memiliki sebuah biola, terperangahlah aku sejadi-jadinya. “Apaa.., Idea punya biola?” Aku kegirangan karena dapat melihat dua objek keindahan itu secara bersamaan nantinya. Kau dan biola. Dan dua hal itu akan kujadikan satu paket dalam daftar kekagumanku urutan teratas. Melampaui kekagumanku kepada dua tokoh favoritku di negeri ini, Andrea Hirata dan Ariel Peterpan. Jelas, kau dan biolamu, duduk manis bertengger pada list paling atas. Mendengar semua itu, semoga saja raut wajahmu tidak merah lagi karena kelewat tersanjung. Jangan tanya lagi mengapa aku masih memfavoritkan vokalis band itu. Walaupun masih banyak cemooh yang mencercanya, sosoknya tetap aku favoritkan. Jelas, hanya karena karya yang kujadikan alasan.

Aku selalu terpaku ketika melihat sebuah biola dan merasa terpukau saat menyaksikan seseorang memainkannya. Segera kubayangkan bila kau yang memainkannya untukku di selasar taman dekat kolam, tempat favorit kita. Sungguh sebuah pertunjukan yang luar biasa. Bagiku, biola merupakan alat instrumen yang elegan, dingin, berwibawa, dan anggun. Tak boleh sembarangan memainkannya. Ia adalah benda yang terhormat, berkilau, melengkung, sekaligus tampak rapuh layaknya seorang perempuan, sepertimu. Alat musik luar biasa itu hanya bisa dimainkan oleh orang yang memiliki rasa yang stabil dan tentu jiwa seni yang tinggi. Jelas, aku belum masuk ketegori itu. Kutekankan sekali lagi, aku belum masuk ketegori seperti itu. Tetapi aku akan terus berusaha sampai bisa masuk kategori itu. Setidak-tidaknya cukup mampu memegangnya saja dan bisa memainkan tangga nada dasar do-re-mi yang sangat standar. Mungkin dengan memilikimu berarti harus pula bisa memainkan biolamu. Jangan mencibirku, karena aku yakin dengan hal itu. “Selalu ada jalan bagi orang yang memiliki tujuan!” kataku di awal tadi.

 (Sumber: di sini)

Bosan melihatku merepetisi, selalu membincang soal biola dan biola sepulangmu dari kerja, keesokan hari kau malah membawakanku benda berhargamu itu. “Ini.., kagumi sepuasnya, gesek semampumu sampai dawainya putus-putus. Masa aku disamakan dengan biola?!!” katamu agak sedikit kesal. Aku tahu alat musik kesayanganmu itu laksana pusaka leluhur yang dengan sangat hati-hati kau simpan dalam lemari pakaianmu pada posisi yang paling nyaman. Tak akan kau biarkan seorang pun memegangnya apalagi sampai membiarkan dawainya digesek semena hati. Namun segala pantangan itu sama sekali tak kau berlakukan kepadaku. Aku belum sempat menanyaimu mengenai hal itu. Tetapi sebelumnya di suatu kesempatan kau pernah berkata, “Aku akan lebih memprioritaskanmu dibanding dengan yang lain!”

Dengan sangat hati-hati kau mengeluarkan biolamu dari dalam tas persemayamannya. “Ini namanya leher biola. Coba pegang!” kau menyeret tangan kiriku sampai aku benar-benar erat menggenggamnya. Kau cekatan mencontohkan. Kusampirkan di bahu kiriku terjepit dengan daguku. “Nah, kalau yang ini namanya bow, yang dipakai menggesek dawai dan dipegang peke tangan kanan!” katamu lihai menjelaskan satu persatu setiap bagian-bagiannya. Mau apalagi, kali ini aku harus patuh mengikuti setiap arahanmu dalam menjelaskan materi perkenalan itu. Gayaku kaku sekaligus takjub, bingung tak tahu harus bagaimana. Kini ia pasrah bersandar di bahuku, erat mengikat di genggamanku.

Aku bahkan tak bisa dengan sempurna memegangnya. Ada rasa yang kurang nyaman yang selalu mengganjal. Mungkin karena leherku yang agak panjang, dijepit paksa dengan daguku yang lancip. Ditambah kedua tulang bahuku yang melengkung keluar, sehingga biola itu tidak pernah merasa nyaman bersandar. Sudahlah, kusimpulkan saja, tubuhku kurus kerempeng. Berbeda denganmu. Di bahumu, biola itu seakan sudah menyatu dengan bagian tubuhmu. Tanganmu gemulai menggesek dawainya satu persatu. Tak ada yang terlihat ganjil, semua tampak sempurna.

Oke, kucoba sekali lagi walau agak sedikit canggung karena sedari tadi kau meringkik menertawaiku. Kurentang bow-nya sejajar dengan scroll di ujung tangan kiriku, siap landing di landasan dawai paling atas. Aku tak peduli dengan segala jenis bunyi nada yang mewakili setiap dawainya. Mau nadanya A kek, B, I, atau S, kusikat saja sampai ABIS. Mataku fokus melirik lurus memandang keempat barisan dawainya. Badanku tegap siap menggesek. “Nggeeeeeeekk....?!!” Nafasku terhenti mendengar bunyi aneh yang dihasilkannya. Sepertinya lebih menyerupai suara sapi yang menguak kekenyangan. Aku tak menyerah. Kucoba kali kedua menggesek dawainya yang paling bawah. “Nggiiiiiiikk...?!!” Kali ini suara anehnya berbeda dengan sebelumnya. Malah mirip suara sirene mobil pemadam kebakaran yang meliuk-liuk memecah kemacetan di jalan raya.

Sudahlah, aku pasrah saja menerima kenyataan bahwa aku belum mampu memainkannya. “Boleh saya pinjam? Ayolah, Idea, cuma beberapa hari saja,” pintaku memelas. Aku sangat berharap bisa mempelajarinya secara lebih mendalam ketika berada di rumah. Masuk ke kamar, kunci pintu, dan tutup jendela rapat-rapat. Tanpa ada seorang pun yang akan melihat, sehingga aku bisa dengan leluasa belajar memainkannya. Cukup dengan nada standar do-re-mi itu dulu. Kulihat kau ngangguk-ngangguk, tanda izin permohonan resmi kau berikan. “Tapi ingat, rawat ia seperti kau memperhatikanku!” katamu memberi syarat. Aku senang, kau pun tersenyum. (*)

Makassar, 24 Mei 2012

22/05/2012

Sebab Kau Memanggilku Panjul


(Dimuat dalam Antologi Cerpen Tokoh Utama Pelajar Season II)

Kawan, betapa kita benar-benar sudah sampai di sini. Banyak hal yang telah kita reduksi bersama. Memproyeksi waktu sesuka hati, tanpa harus tunduk dengan aturan yang telah ada. Kadang kita adalah benalu, kadang pula jemaah alim berlalu. Berat memberainya dengan alasan mimpi dan kenyataan hidup masing-masing. Berdua kita sudah sampai di titik ini. Bukan, kita baru sampai pada koma-koma cerita ini.

Kita sama-sama hening mengamati objek yang serupa. Kemudian sekejab bersitatap lalu saling mendaratkan tepukan persahabatan di pundak satu sama lain.

“Panjul, sukses kawan!”

“Goras, sukses juga kawan!”

Secarik ijazah ini janganlah menjadi sebab terhadap akibat ngeri yang tak rela kita namai nanti. Pisah ini hanyalah awal dari berjuta jumpa dan canda selanjutnya di kemudian hari. Kita adalah hujan. Kita menguap bersama, merintik bersama, kemudian terberai ke sana kemari, memisah diri karena sungai yang beraneka lintas. Jangan takut, kita akan bermuara di tempat yang sama. Kelak, aku akan mencarimu di sana, pun kau akan menemuiku di sana. Lalu kita melanjutkan cerita tentang kita selanjutnya.

***

“Hei, Kamu ke sini!”

Beberapa kakak senior mencoba mengerjaiku. Mungkin karena tubuhku kecil dan kurus, menurutnya akulah sasaran empuk buat mereka untuk menjajal siksanya.

“Iya, Kak. Saya?”

Aku pura-pura tak tahu apa-apa, mencoba bertanya ulang. Aku baru sadar, tugas membawa sapu lidi tertinggal di dalam angkot tadi. Sial benar aku hari ini. Susah payah membuat sapu itu kemarin. Sampai-sampai harus mencuri sapu milik nenekku yang ikatan dan panjangnya sudah kupermak ulang.

“Iya, Kamu, dasar panjul. Cepat ke sini!”

Kakak senior itu tampak kesal. Maka mengudaralah kata ‘panjul’ menjijikkan itu. Bagiku kata itu sangat memalukan. Hal inilah yang selalu membuatku malas mengikuti kegiatan MOS sekolah. Pasalnya kepala harus diplontos, licin seperti tuyul. Kau kan tahu sendiri bentuk kepalaku tidaklah sesempurna dengan milikmu, kawan. Bentuknya kurang menyerupai kepala manusia pada umumnya, agak lancip ke atas sampai ke belakang. Sudahlah, aku tahu kau pasti menertawainya.

“Iya, Kak. Ada apa?”

“Pake nanya. Push up tiga puluh kali. Cepat, Panjul!”

Melakukan push up sebanyak itu tak jadi masalah buatku. Tapi kalau kata sapaan Panjul yang memalukan itu turut serta, kurasa hukumannya seakan tiga kali lipat saja.

“Maaf, Kak?

Samar-samar aku mendengar suaramu. Terlalu berkonsentrasi dengan hukumanku. Menoleh pun aku tak mampu. Baru sampai di hitungan kesepuluh saja sendi-sendi pergelanganku terasa kaku seperti engsel jendela tua berkarat yang dipaksa terbuka.

“Ini sapu lidi milik teman saya yang sedang dihukum itu, Kak,” kau mencoba memberikan pleidoi kepada beberapa kakak senior yang berlagak bak seorang hakim.

“Hei cukup, Panjul. Cepat gabung dengan temanmu di sana!” perintah seorang kakak senior seketika memberikan putusan tanpa didahului oleh keberatan para saksi.

Nanar aku melihat mereka yang berlagak sok jagoan. Percuma juga dengan putusannya itu. Toh push up ku sudah sampai di hitungan dua puluh sembilan. Mereka untung lebih duluan masuk ke sekolah ini. Salah satu budaya rekrutmen dalam pendidikan sekolah yang tak patut dilestarikan lagi.

“Ayo, Kawan. Cepat, kita ke sana!” ajakmu penuh hangat, seolah akrab bertahun-tahun.

Membelalak aku menatapmu. Kau menopangku bangkit dari jeratan siksa itu, kemudian menuntunku berjalan. Aku masih bingung saat itu. Kau itu siapa? Tiba-tiba menampakkan diri bak seorang malaikat tak bersayap saja. Pun aku baru ingat. Kau satu angkot denganku ke sekolah pagi tadi. Karena sapu lidiku tertinggal, mungkin kau yang mengambilnya, lalu mengajukannya kepada kakak senior itu dan membatalkan hukumanku.

Sejak saat itulah kau memanggilku dengan nama Panjul. Awalnya aku sedikit kesal, tapi dengan apa yang telah kau berikan hari itu, pun aku pasrah saja mendengarnya.

Kali ini kau pasti akan sombong karena harus menceritakan ciri fisikmu. Mau apa lagi, kenyataannya memang begitu. Aku tertinggal jauh darimu, kawan.

Badanmu tampak jauh lebih sempurna jika tubuhku yang jadi komparasinya. Tubuhmu kekar tanda kerasnya pekerjaanmu sebagai seorang petani yatim dengan adik sebanyak tiga. Alismu tebal seperti semut hitam beriring tertib. Hidungmu mancung tegak menopang kedua bola matamu yang sayup. Suaramu terdengar berat, bicara seadanya saja, mengisyaratkan jeritan beban keluarga yang betah kau bungkam. Namun, sesekali candaanmu membuatku sampai terpingkal-pingkal cekikikan. Ternyata humoris juga dirimu.

Kesimpulannya, dirimu tampan, kawan. Wajar saja pada pemilihan siswa baru kategori ‘tergagah’, kau yang menggaetnya secara aklamasi. Pun ada beberapa kakak senior perempuan yang mengirimkan salam padamu. Aku iri padamu, kawan. Aku hanya melongok pasrah menelan ludah, kasihan tak satupun masuk nominasi. Minimal kategori siswa baru ‘terlucu’ kek, ‘terunik’, atau apa sajalah. Sekadar untuk pasang aksi saja kepada siswi-siswi baru itu. Barangkali ada yang diam-diam menaruh hati padaku.

Kupikir sudah cukup. Selanjutnya, giliranku menceritakan keunggulanku sendiri. Kelebihanku ini ternyata adalah kekuranganmu, kawan.

“Panjul, kau tau? Dari namanya saja, guru matematika kita ini orangnya pasti santun, lembut dan bersahaja. Percayalah!” komentarmu senang merajai ketakmampuanmu pada mata pelajaran itu.

Tentu kau masih ingat dengan salah satu guru kita itu. Ya, betul. Pak Asri namanya. Seperti interpretasimu dulu, kala menjelaskan sosoknya yang santun dan bersahaja kepadaku. Saat itu kita sedang sibuk berdesak-desakan dengan para siswa baru lainnya ketika menulis jadwal mata pelajaran baru. Tak jarang banyak teman kita yang pria -termasuk diriku- sengaja memanfaatkan kesempatan langka seperti itu. Maklum, banyak juga siswa perempuan yang ikutan nimbrung berjibaku di sana. Kesempatan dalam kesempitan, katamu.

“Anak-anak, buka buku paketnya halaman empat puluh enam!”

Sudah menjadi kebiasaan Pak Asri ketika mengajar, selalu memulainya dengan arahan memerhatikan halaman pada buku paket yang ada soal latihan dan tugas-tugasnya. Sering tanpa didahului dengan penjelasan rumus-rumus sebelumnya, imbasnya banyak teman yang kelabakan, kebingungan tak mengerti.

“Sudah lihat, anak-anak? Kerjakan nomor satu sampai lima! Angkat tangan bagi yang sudah selesai!”

Rasanya enak benner menjadi guru seperti dia. Kerjanya cuma memberi perintah seperti itu. Seketika berlalu minggat meninggalkan ruangan kelas dengan alasan ada rapat di kantor.

Saat itu aku agak resah. Resah bukan karena soal latihan yang sukar dari Pak Asri. Melainkan gelisah karena kau belum tampak sedari pelajaran dimulai. Kau teramat sulit untuk dihubungi karena handphone-mu telah kau jual demi untuk tambahan biaya sekolah adik-adikmu. Aku baru ingat, kau terlambat masuk sekolah hari itu. Keesokan hari barulah aku tahu musababnya. Ternyata ada masalah dengan adik bungsumu yang masih duduk di bangku sekolah dasar kelas tiga. Adikmu enggan masuk sekolah lantaran malu pada teman-temannya yang selalu mengejeknya karena ujung sepatunya sudah bolong-bolong. Katanya dengan polos, “sepatuku seperti ikan yang mangap-mangap kelaparan, Kak.” Kau terlambat ke sekolah karena harus meyakinkan adikmu dulu sampai ia bersedia mau masuk sekolah lagi. Ibumu sedang sakit, kau yang harus menjahit sepatunya.

“Saya sudah, Pak!” penuh semangat aku mengangkat tangan ketika Pak Asri kembali masuk ke dalam kelas.

“Yang lain bagaimana?”

Tak satupun yang menggubris tanya guru sangar itu, terkecuali aku sendiri. Aku keranjingan betul dengan pelajaran Matematika. Cuma butuh waktu beberapa menit saja soal-soalnya sudah kuselesaikan. Tak kubiarkan seorang pun mendahuluiku mengangkat tangan. Aku telah menjadi siswa kesayangannya, kebanggaan Pak Asri.

“Yang lain bagaimana? Hei..., kalian tuli ya? (prraaakkk...)”

Kali ini Pak Asri mulai beringas memberi tanya. Sebuah pukulan ke meja dia daratkan, mempertegas betapa pentingnya sebuah pertanyaan yang harus dijawab. Tampak beberapa teman sudah gemetaran. Biasanya kalau sudah sampai pada kondisi seperti ini, mesti ada yang harus rela menerima tepukan kerasnya. Yaa, paling cuma mendarat di pundak dan di pipi saja. Atau biasanya tendangan maut yang mendarat di bokong. Semuanya tampak khusyuk ketakutan, berharap tak kena sial hari itu.

“Tok.. tok.. tok... Assalamu alaikum, Pak!” kau memberi salam, petantang-petenteng masuk ke dalam kelas.

Hening seketika membuncah ketika kau masuk. Pak Asri geram tampak siap menerkam. Tepukan dan tendangannya yang kuceritakan tadi, terpaksa kau yang yang harus merasakannya. Malang nian nasibmu, kawan.

Pak Asri menyeretmu maju ke depan kelas setelah melancarkan aksi heroiknya itu. Kemudian kau disuruh untuk mengerjakan salah satu soal latihan yang penyelesaiannya menggunakan rumus phytagoras. Saat itulah aku baru tahu kalau kau buntu dalam pelajaran Matematika. Rumus apapun tak kau mengerti. Menuliskan rumus phytagoras saja kau tak mampu. Pun tepukan dan tendangan guru bersahajamu itu kembali mendarat di pundak dan bokongmu. Kawanku yang malang, phytagorasku sayang. Sejak kejadian itu, aku lebih suka memanggilmu Goras. Hitung-hitung balas dendamku karena telah memanggilku Panjul. 

***

Hidupmu memang tak seburuntung diriku. Tapi banyak pelajaran yang telah kuambil dari ketegaranmu menjalani hidup. Kau bahkan tak pernah menyesali diri. Terlalu cepat sosok Ayah berlalu meninggalkanmu. Terlalu dini dirimu memikul beban sebagai tumpuan keluarga dengan adik-adik sebanyak tiga. Sedangkan aku? Aku hanyalah seorang bungsu yang cengeng. Lemah tak teguh pendirian, serta naif merasai segala hal. Tapi beruntung aku memiliki sahabat sepertimu. Seandainya saja kau ditakdirkan hidup sebagai saudaraku, sebagai kakak kandungku. Betapa bahagianya aku, kawan.

Banyak mimpi yang telah kurajut. Pun sosokmu telah kuseret ke dalam mimpi-mimpi besarku itu. Selepas pendidikan sekolah menengah atas ini, mimpi-mimpi itu akan mulai kutapaki meski harus lelah bersimbah keringat. Hari ini bukanlah akhir dari segalanya. Kisah tentang kita, tentang kau dan aku, tentang Goras dan Panjul, senantiasa terpatri dalam sanubari ini. Kelak kisah ini akan kunamai, tatkala mimpi-mimpi itu telah mewujud, kawan.

Seperti dulu kau pernah mengkhotbahku, jangan redam melanglangkan mimpi. Mantapkan keyakinanmu tentang cita-cita dan harapan akan jalan yang ingin kau susur. Orang yang memiliki keberanian memimpi tentu jauh melesat dari mereka yang sungkan berkhayal tentang apa-apa. Tidakkah kau berpikir bahwa segala hal yang besar di dunia ini berangkat dari debar angan yang mendebur? Berangkat dari sebuah pilihan mengingini yang tertumpah dari khayalan-khayalan sederhana kemudian bermuara pada sebuah hasil besar.

Tak selamanya kita bisa bersama, pun mungkin tak selamanya kita terpisah. Tapi tetap kau adalah sabahatku, selamanya.

Rentang waktu memang telah memaparkan rincian nasib kita yang akan jauh berbeda. Namun bagiku, jarak tahun ke tahun hanyalah sebuah relativitas. Sebuah permulaan yang berubah menjadi permulaan kembali. Suatu masa selalu menuju ke pemberhentian, namun hanya untuk memastikan dimulainya kembali sebuah permulaan. Layaknya siklus, berulang dan terus berlanjut. Dunia tak membiarkan suatu hal berhenti sepenuhnya, tak ada yang benar-benar selesai. Keterbatasan tak selamanya berakhir miris. Padamu, mimpi itu kulekatkan juga. Padamu, kusisipkan serapan dari  khotbahmu sendiri.

“Sampai bertemu kembali, Panjul sahabatku!”

Kali ini aku tak kuasa menimpali. Segera kurengkuh tubuhmu tanpa reda, erat mengikat tanda pisah yang harus segera disalami.

Pada hati masing-masing, kita sudah terlanjur memahat nama sahabat satu sama lain. Aku sahabatmu, kau sahabatku. Darimu aku bisa berani bermimpi. Darimu kedewasaan diri perlahan mulai kumaknai. (*)

Makassar, 12 Maret 2012

14/05/2012

Ruang dan Waktu

AKU menelentang di selasar kegelisahan ketika fajar dan kokokan ayam mulai memadu satu dalam imsak di jingga langit ufuk timur. Telingaku terbuka oleh suara keajaiban-Nya, mataku terkatup karena perih menyusur gelap. Sambil bercengkrama dengan semesta yang menyeduhkan secawan tadarus sang Qari dalam prosesi peralihan malam menuju siang, sementara yang lainnya masih terlalu lelap dengan teduh di bawah tudung pulasnya subuh ini. Aku masih terjaga dari sisa-sisa munajat yang membubung tinggi hingga menembus langit lapis ke enam saja, tempat di mana para malaikat bersemayam. Beberapa diantaranya tak bergeming, menganggap doaku selalu yang itu-itu saja saban hari. Abdi Tuhan paling setia itu tampak sedang serius menimbang-nimbang beberapa doa para pendosa lainnya, sebelum disampaikan kepada Dia yang terhalang pandang dariku oleh tirai keagungan dan dinding kemuliaan.

 (Sumber : di sini)

Syahdu rasanya tatkala menikmati fajar menggelar warna di cakrawala angkasa raya. Ditemani kokokan ayam jantan, azan subuh, dengkuran para penidur, decingan peralatan dapur para ibu menyiapkan sarapan, desiran air keran kamar mandi, gerutu anak-anak karena dibangunkan terlalu dini, nyanyian dangdut, serta tadarusan para santri lewat toa di masjid, ikut beradu merdu dalam harmonisasi menyambut pagi. Kita hanya akan bisa sampai kepada fajar apabila telah melalui jalan-jalan malam. Aku cuma termangu meresapi keadaan. Kupahami itu sebagai peristiwa menunggu pagi. Juga tak kalah nikmatnya ketika menyaksikan lembayung menyembul di ufuk barat langit senja. Malam menggantikan siang, sesuatu yang tak pernah berubah dari dulu.

Aku masih terjaga untuk sebuah meditasi tentang kehidupan, tentang persoalan-persoalan hidup yang belum sempat usai aku diskusikan denganmu malam tadi. Kau mulai keranjingan mempersoalkan beberapa fenomena tentang kehidupan kepadaku. Kau mengawalinya dengan tanya “apakah ruang dan waktu itu terbatas?” Belum sempat kujawab, kau mencecarku dengan tanya selanjutnya, “apakah sesuatu itu ada tanpa akhir, atau ada tanpa awal?”

Idea yang dulu kukenal sebagi sosok yang pendiam, dingin sarat makna, kini mulai agak ‘cerewet’ mempertanyakan beberapa hal yang membingungkan. Sama sekali aku tak berharap kau tertular syndrom adiksimba, sebagai seorang tukang tanya, sepertiku. Namun, setelah kupikir-pikir, sepertinya kita harus mulai belajar menempatkan diri pada posisi dan kondisi yang kadang harus terbalik. Tak elok jika kita sama-sama diam, pun tak menarik jika kita saling mencecar tanya satu sama lain. “Kita harus belajar menjadi orang yang fleksibel, karena terkadang hanya dengan begitu kita bisa terus survive,” katamu menceramahi. Kudiamkan saja memahami ucapanmu itu, reaksi awalku memulai pelajaran menjadi seorang yang dingin dan fleksibel.

Aku sadar bahwa ada rahasia-rahasia Tuhan yang tak dapat dimengerti oleh manusia. Aku juga memahami bahwa ada jalan menuju ke suatu tempat di mana cinta memutusnya tidak dengan menggunakan hukum manusia. Namun, berjalan di titian kehidupan ini tak cukup hanya dengan menyadari dan memahaminya saja.

Kau mendapatiku membatu memandangi sebidang langit sore. Menjadi kebingungan karena telah mempersoalkan beberapa masalah yang telah kau celotehkan tadi malam, tentang ruang dan waktu itu. Sampai detik ini,  gelisah masih betah menggelayutiku dalam kebungkaman. Sesekali kau cuma tersenyum menertawai ekspresi kebingunganku. Hingga tak terasa kita sama-sama sudah sampai di peralihan siang menuju malam lagi. Baru saja tadi pagi kunikmati timbulnya fajar, tahu-tahu senja sudah bertengger pasang aksi.

Sungguh tak cukup waktu untuk mempermasalahkan banyak hal tentang kehidupan. Sama tak cukupnya dengan kebersamaan kita hari ini yang cuma sebentar saja. Waktu terasa tak akan pernah cukup untuk mengurai setumpuk kerinduan di hati satu sama lain. Kita selalu dibatasi oleh beberapa keadaan yang menjadikan pertemuan ini harus disudahi. Ruang jumpa ini pun belumlah sepenuhnya bisa kita katakan sebagai rumah atau milik kita seutuhnya. “Aku belum menjadi yang halal untukmu,” ujarmu mencoba memasrahkan keadaan.

Berangkat dari alasan yang sederhana itu, maka aku bisa memberimu sebuah pemahaman. “Ruang dan waktu itu terbatas, Idea. Tak mungkin ada ruang yang tak terbatas. Memang ada sesuatu yang tak berujung, tapi pastilah ia bertepi. Tak mungkin juga waktu itu akan berlangsung secara terus-menerus tanpa akhir, karena kehidupan kita bukanlah keabadian. Tentu ada permulaan, juga ada pengakhiran. Hatiku pun juga demikian, Idea. Hati ini terbatas hanya untukmu saja, percayalah!” ungkapku memulai penjelasan sekaligus menutup perjumpaan.

Mendengar itu, aku tak tahu kalau kau sudah paham ataukah merasa sedang terbang karena kalimatku yang terakhir tadi. Kau hanya tersenyum. Oh Tuhan, wajahmu merah tersipu malu-malu. Tak mau terlalu lama kunikmati ketidakberdayaanmu itu, kau bergegas bersiap pulang sembari melantunkan beberapa lirik lagu yang sepertinya pernah aku dengar.

time stands still
beauty in all she is
i will be brave
i will not let anything take away
what’s standing in front of me
every breath
every hour has come to this
one step closer

Tak salah lagi, lagu itu milik Christina Perri ‘A Thousand Years’ yang sering kau perdengarkan kepadaku. “Aku banget ini lagu,” katamu dulu. Aku tak begitu hafal semua liriknya, cuma sedikit di bagian reff-nya saja. Mungkin kau sudah tahu kalau bahasa Inggrisku sangat amburadul. Aku mau ikutan bersenandung bersamamu, tetapi kulihat kau tampak sudah jauh membelakangiku berlalu menuju arah pulangmu. “Yaa sudahlah, next time saja...!!!” (*)

(Makassar, 13 Mei 2012)

03/05/2012

Aku Memanggilnya Idea

AKU memanggilmu dengan nama Idea. Kuharap kau tidak banyak protes. Tertawa saja bila ada yang terpaksa harus kau tertawai. Atau kalau menurutmu tidak menarik, mau apa lagi, perangaimu memang demikian. Cukup kau diam saja sampai halaman ini selesai kau baca. Begitupun dengan kalian, para sahabat penikmat halaman-halaman sederhana ini. Mohon dukungan tertawaannya. Kalau menurut para sahabat, ini juga tak menarik, ikuti saja Idea. Cukup diam saja sampai halaman ini juga selesai kalian baca.

Halaman-halaman ini sebagiannya bukanlah karena ideku semata, tapi sepenuhnya untuk Idea. Kudedikasikan kepadamu, untuk Ideaku. Banyak sebab yang mendasarinya. Banyak sejarah yang melatarbelakangi proses penamaannya. Sebagian pernah kutuliskan pada beberapa halaman sebelumnya, seperti di halaman Titik Balik, dan sebagiannya lagi cukup aku saja yang mengetahuinya. Selamat bila kau jadi penasaran. Tak menarik bila tak ada rahasia.

Kadang kalau suasana hatimu sedang tak baik, terenyuh karena kondisi hubungan kita yang belum pada posisi yang ‘layak’, ataukah suasana hatimu sedang mojjo’ –sepadan dengan istilah bad mood–, Noneng merupakan nama alternatif yang aku pakai untuk menyapamu. Aku menyukainya karena kau sedikit tak menyukainya. Kampungan, kata sebagian orang –termasuk diriku. Hitung-hitung kujadikan sebagai pencair suasana saja. Ada alasan yang mendasarinya. Ada pula sejarah yang melatarbelakangi proses penamaannya. Sebagian pernah kutuliskan secara fiksi di halaman Sudahlah, dan sebagiannya lagi cukup aku saja yang mengetahuinya. Selamat bila kau jadi penasaran lagi. Tak menarik bila tak ada rahasia.

Mungkin kau tak mengetahuinya –kecuali jika kubawakan sebuah cermin seukuran badan– bahwa wajahmu sangat tidak sedap dipandang bila kau sedang mojjo’. Fenomena ini hampir diderita oleh sebagian besar perempuan di muka bumi ini. Parahnya, kadang mereka tak suka dan tak mau tahu bila dikatakan seperti demikian. Perempuan hanya ingin dipahami, katamu. Belum cukupkah pahamanku selama ini? Tentangmu memang sangat kompleks dan rumit. Masih ada setumpuk rahasia yang belum bisa aku kuak. Terkadang, menariknya dirimu karena masih adanya sisi-sisi kehidupanmu yang belum kuketahui, yang membuatku semakin penasaran. Dan dengan cara yang sangat disengaja kau menjadikannya demikian. Selamat berpenasaran, katamu sambil meringkik.
***
 
(Sumber : di sini)
Oke, mari kita berbicara tentang rahasia. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI edisi kedua) –edisi paling baru yang kupunya, rahasia adalah sesuatu yang sengaja disembunyikan supaya tidak diketahui orang lain. Apa sebenarnya yang membuat kita menjadikan sesuatu itu sengaja untuk disembunyikan dari seseorang? Perhatikan kata ‘sengaja’ itu. Pertanyaan yang agak rumitnya mungkin seperti ini. Mengapa Tuhan dengan sengaja menebarkan rahasia-rahasia kehidupan kepada kita –manusia– di dunia ini? Untuk apa? Tuhan telah dengan sengaja menitipkan dua hal yang paling mendasar kepada kita, yaitu akal dan rahasia. Untuk apa Tuhan memberikan kita akal kalau tak ada rahasia yang mau diungkap? Apa gunanya juga Tuhan menciptakan rahasia-rahasia kehidupan kalau akal tidak pernah kita miliki? Nah, kalau ada seseorang yang ingin membisikmu dengan mengatakan, “Eh sini, ada rahasia yang ingin kukatakan”, itu bukanlah rahasia namanya. Ceritanya lain karena kontradiktif dengan makna yang ada dalam KBBI edisi terbaru yang kupunya. Kita bersepakat saja dengan mengatakan, itu cuma gosip.

Kupikir di situlah menariknya sebuah rahasia, ‘seksi’ menurut sebagian orang. Bagi seseorang yang mau meluangkan waktu menggunakan akalnya untuk menguak sebuah rahasia kehidupan, penasaran adalah kata yang tepat untuk mewakili suasana hatinya. Dalam benak orang-orang yang penasaran, menumpuk banyak pertanyaan-pertanyaan. Akan banyak tanda tanya yang berseliweran di dalam kepalanya. Berpikir dan teruslah berpikir untuk mencari tahu, karena sejatinya sebuah pertanyaan membutuhkan adanya sebuah jawaban. Maka, jadilah ia sebagai seorang “pencari kebenaran”. Seperti Nabi Ibrahim ketika melakukan pengembaraan akal mencari eksistensi tentang Tuhan dan kehidupan.

Tak ada ilmu yang dengan seketika bisa kita ketahui. Banyak proses-prosesnya menuju ke sana. Pengetahuan-pengetahuan yang diperoleh dari proses pencarian itu masih perlu dipoles dengan dialektika yang menempa-nempa. Semakin banyak tempaannya, ilmunya akan semakin berkilau. Masih terlampau banyak ilmu yang mengendap dalam ranah kehidupan ini. Bahkan, jika lautan yang dijadikan sebagai tinta dan daratan yang dijadikan sebagai hamparan kertas, pun itu tidak akan cukup untuk menuliskan segalanya. Maaf, ayat atau hadisnya belum aku tahu. Aku hanya tahu artinya saja dari ceramah-ceramah di mesjid. Itupun mungkin belum terlalu sempurna.

Banyak cara untuk menguak rahasia-rahasia kehidupan ini. Banyak jalan untuk mengetahui ilmu-ilmu itu. Hanya saja jalan menuju ke sana bermacam-macam lintas. Ada yang jalannya lurus-lurus saja, ada yang berbelok-belok, ada yang mentok, bahkan ada yang cuma ilusi, membuat kita tersesat dalam proses pengembaraan pencarian itu. Maka, dibutuhkanlah sebuah obor, penerang dalam pengembaraan kehidupan ini. Mudah-mudahan kita bersepakat dengan mengatakan bahwa iman adalah satu-satunya obor itu. Ilmu tanpa iman, pincang. Iman tanpa ilmu, lumpuh. Maaf, mungkin susunan kalimatnya tertukar atau masih belum sempurna. Aku tak mampu mengingat-ingatnya lagi.
***
Bukan hanya dengan nama Idea saja aku memanggilnya. Masih ada nama lain yang sering aku gunakan untuk menyapanya. Belum ada sebab yang mendasarinya. Pun belum ada sejarah yang melatarbelakanginya. Kupikir cukup kami berdua saja yang mengetahuinya karena sifatnya privasi dan bukanlah untuk konsumsi publik. Pahami sajalah para sahabat. Tak menarik bila tak ada rahasia yang bisa kami bagi kepada kalian di akhir halaman ini. Namun, setelah ini dan di halaman-halaman selanjutnya, tetap, aku memanggilnya Idea. (*)

(Makassar, 3 Mei 2012)