28/10/2018

Ragam Bahasa: Tercyduk Hingga Micin

Istilah Generasi Milenial sedang viral di media sosial dewasa ini. Warganet sering menyebutnya dengan kids jaman now. Generasi ini hadir sebagai bentuk diferensiasi antara generasi zaman old yang eksis tahun 90-an dengan generasi yang eksis zaman sekarang. Tidak dapat dimungkiri, media sosial dewasa ini turut memengaruhi perkembangan bahasa Indonesia. Media sosial, facebook, instagram, dan twitter, menjadi media paling populer digunakan. Hasil survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2016 menyebutkan bahwa pengguna internet di Indonesia telah mencapai 132,7 juta orang. Facebook menjadi konten yang paling sering dikunjungi, yakni sebesar 54%.

Media sosial mayoritas diakses kalangan remaja. Secara psikologi, usia remaja menjadi fase pertumbuhan manusia yang cenderung labil dan rentan terhadap berbagai pengaruh, seperti dalam gaya berpakaian  dan gaya berbahasa. Maka tidak heran jika para remaja zaman sekarang kerap menggunakan istilah-istilah yang juga “labil” dari segi bahasa, yang kemudian telanjur viral di media sosial.

Penggunaan bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari haruslah memperhatikan konteks atau yang disebut dengan ragam bahasa. Istilah-istilah yang dipopulerkan para generasi milenial bisa dikatakan sebagai produk ragam bahasa sosial tertentu yang bersifat nonbaku. Jadi, tidaklah salah jika banyak pengguna bahasa Indonesia di media sosial cenderung memakai bahasa Indonesia yang kurang memenuhi standar baku bahasa Indonesia. Namun, menurut Alwi dkk. (2003), ragam sosial sering dihubungkan dengan tinggi-rendahnya status kemasyarakatan lingkungan sosial seseorang. Artinya, ragam baku bahasa Indonesia berfungsi sebagai ragam sosial yang tinggi.

Oleh karena itu, sebelum beberapa istilah telanjur viral, baiknya jika penulisannya dilakukan secara benar. Mulai dari istilah ‘tercyduk’ yang seharusnya ditulis ‘terciduk’, doyan ‘micin’ ditulis menjadi doyan ‘vetsin’, kids ‘jaman’ now ditulis menjadi kids ‘zaman’ now, dan sebagainya. Jadi, para generasi milenial yang juga orang Indonesia, hendaknya selalu merasa bangga menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar, karena bahasa Indonesia merupakan lambang identitas dan kebanggan nasional. (*)

Makassar, 28 Oktober 2018

23/06/2018

Cambuk untuk Gerakan Literasi di UMI


Budaya membaca dan menulis (literasi) semestinya sudah menjadi tradisi akademis di perguruan tinggi. Setiap perguruan tinggi berkewajiban menyediakan fasilitas yang memadai untuk menunjang peningkatan minat baca dan prestasi karya tulis para mahasiswa, salah satunya adalah perpustakaan. Perpustakaan merupakan sarana yang menyediakan berbagai jenis kepustakaan yang dapat digunakan mahasiswa untuk belajar secara mandiri dan memanfaatkan waktu luang untuk membaca. Namun, di beberapa perpustakaan tidak lagi menyimpan pustaka, melainkan sudah menjadi tempat pusaka buku -teronggok menahun tak bertambah stok, lusuh jarang tersentuh.

Berbicara minat baca, beberapa hasil survei menunjukkan minat baca di Indonesia masih sangat rendah. World’s Most Literate Nations Ranked tahun 2016 menempatkan Indonesia di peringkat 60 dari 61 negara yang disurvei. Indonesia hanya lebih unggul dari Botswana, sebuah negara bekas jajahan Inggris yang terletak di Benua Afrika. Dibandingkan dengan negara-negara tetangga di Asia Tenggara, Indonesia jauh di bawah Singapura yang berada di peringkat 36, diikuti Malaysia dan Thailand yang masing-masing menempati peringkat 53 dan 59. Di tahun 2012, UNESCO juga melansir data indeks tingkat membaca orang Indonesia yang hanya 0,001 persen. Artinya, dari 1.000 penduduk hanya terdapat satu orang yang memiliki minat baca.

Berbeda jika dikomparasikan dengan fakta ketersediaan buku-buku dan perpustakaan di Indonesia. Rata-rata jumlah buku yang diterbitkan di Indonesia mencapai 30.000 judul setiap tahun. Lebih lanjut, rangking perpustakaan Indonesia di tingkat dunia juga menunjukkan fakta yang menggembirakan karena berada di peringkat 36. Maka tidak heran jika beberapa pihak dengan tegas membantah anggapan yang mengatakan minat baca di Indonesia masih sangat rendah. Namun demikian, buku yang melimpah maupun perpustakaan yang memadai kadang tidak selaras dengan tingginya minat baca.

Di lingkup Universitas Muslim Indonesia (UMI), sarana perpustakaan yang dimiliki bisa dikatakan sudah layak dan memadai. Koleksi buku-buku yang tersedia di Perpustakaan Utsman bin Affan cukup melimpah dan mutakhir untuk setiap bidang ilmu. Pada jam-jam tertentu, juga sangat ramai dikunjungi oleh para mahasiswa. Meskipun aktivitas yang dilakukan lebih banyak untuk mengerjakan tugas-tugas dari para dosen. Tampak juga beberapa mahasiswa tingkat akhir yang sedang menyusun tugas akhir skripsi di lantai dua. Selain itu, sistem layanannya sudah terkomputerisasi, sehingga setelah penulis telusuri diketahui mahasiswa yang paling sering berkunjung mayoritas dari Fakultas Teknik. Tentu kabar gembira ini harus diapresiasi agar semangat meramaikan perpustakaan kampus dapat tertular layaknya virus kepada para mahasiswa lainnya.

 Apa yang Salah?

Jika buku-buku yang diterbitkan sudah cukup melimpah, pun sarana perpustakaan juga memadai, lantas apa yang salah? Mengapa minat baca masyarakat masih rendah? Tentu naif jika harus mencari tumbal dan selalu menyalahkan pemerintah atas permasalahan yang ada. Namun, ada beberapa faktor yang patut diajukan sebagai alasan. Pertama, kualitas bacaan. Puluhan ribu buku yang diterbitkan setiap tahun itu nyatanya juga belum mampu meningkatkan minat baca masyarakat. Beberapa buku yang beredar di masyarakat terkadang membuat orang yang membacanya mengernyitkan dahi. Bisa jadi karena bahasa yang digunakan sulit dipahami, sehingga yang ada malah muncul rasa bosan terhadap buku. Padahal, minat baca muncul jika timbul rasa suka terhadap hal-hal yang melingkupi buku itu, seperti suka dengan sampulnya, suka dengan bahasa pengantarnya yang memantik rasa penasaran, atau hanya sebatas suka dengan sosok penulisnya.

Kedua, harga buku di Indonesia mahal. Harus diakui, buku-buku yang berkualitas tinggi yang dipasarkan di toko-toko buku dipastikan juga memiliki harga yang tinggi, sehingga meskipun masyarakat tertentu memiliki minat untuk membacanya tetap tidak akan terbaca, karena ketidakmampuan mereka untuk membelinya. Sebenarnya masalah ini dapat teratasi karena di beberapa perpustakaan yang besar selalu update dalam menyediakan buku-buku baru yang berkualitas. Akan tetapi, tidak semua perpustakaan yang besar itu dapat diakses oleh masyarakat umum.

Ketiga, minat baca yang telanjur rendah. Pada prinsipnya, sesuatu yang digemari pasti diminati. Jika memang masyarakat memiliki kegemaran dengan buku, pasti juga memiliki minat yang tinggi untuk membacanya. Hal yang sederhana misalnya, ketika berkunjung ke mall bersama keluarga, sempatkah kita masuk ke toko buku? Pun jika sudah membeli buku, sudahkah kita menyelesaikan membacanya? Kapan terakhir kali ke perpustakaan? Belum lagi pengaruh media sosial yang banyak menyita waktu. Buktinya, Indonesia selalu masuk kategori empat besar pengguna media sosial terbanyak di dunia, baik itu facebook, instagram, twitter, dan sebagainya.

 Apa yang harus dilakukan?

Rendahnya budaya literasi di Indonesia menjadi persoalan serius yang dihadapi pemerintah, karena memiliki minat baca yang tinggi merupakan faktor utama dalam meningkatkan mutu pendidikan dan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Sebenarnya, baik pihak pemerintah maupun para pegiat literasi, sejauh ini sudah mencanangkan berbagai program pengembangan literasi, seperti Gerakan Indonesia Membaca, Gerakan Literasi Bangsa, Gerakan Literasi Sekolah, serta berbagai kegiatan kreatif yang digagas para komunitas literasi. Namun, beragam upaya itu tidak akan pernah cukup jika tidak dilakukan secara komprehensif oleh semua pihak.

Ada beberapa hal sederhana yang bisa diupayakan agar budaya literasi dapat tumbuh dan berkembang. Pertama, tanamkan gemar membaca sejak dini. Gemar membaca dan menulis bukanlah faktor keturunan, tetapi kebiasaan yang diturunkan dan dilakukan secara kontinu. Oleh karena itu, membaca haruslah ditumbuhkan sejak usia dini. Dibutuhkan kesadaran dan dorongan para orang tua, yang sejak awal selalu menyisihkan waktunya melakukan aktivitas membaca bersama dengan anak.

Kedua, ciptakan lingkungan ramah buku. Minat baca pada awalnya akan muncul dan tumbuh dari dalam diri seseorang. Minat baca akan berkembang dengan baik apabila didukung oleh lingkungan yang ramah dengan buku. Terutama bagi para mahasiswa, bergaullah dengan orang-orang yang gemar membaca. Mulailah membeli atau meminjam buku yang disukai. Bacalah buku itu di waktu yang tepat, duduklah di tempat yang nyaman, dan seduhlah secawan teh atau kopi sebagai pemantik semangat.

Ketiga, perguruan tinggi harus mengambil peran. Dalam menjalankan kewajiban Tri Dharma Perguruan Tinggi, setiap perguruan tinggi berperan penting dalam pengembangan minat baca kepada masyarakat. Para dosen dan mahasiswa dapat mengambil peran melalui kegiatan pengabdian kepada masyarakat dengan cara merancang program-program kreatif yang bertujuan menumbuhkan budaya literasi kepada masyarakat secara luas.

Dengan demikian, meminjam istilah dari buku biografi Rektor UMI, Prof. Dr. Hj. Masrurah Mokhtar, M.A. yang berjudul “Sepotong Cambuk” yang diluncurkan dua tahun silam, fakta mengenai rendahnya minat baca di Indonesia yang telah dipaparkan di awal tulisan ini, baiknya dijadikan sebagai “cambuk” terhadap buruknya literasi saat ini. Diksi tersebut dirasa sangat tepat mengingat minat baca di Indonesia masih memprihatikan. Terkadang di saat-saat terpuruk dibutuhkan cambuk untuk memotivasi diri. Oleh karena itu, dibutuhkan usaha keras dan serius oleh semua pihak, termasuk UMI, agar secara bersama-sama terus berupaya menumbuhkan minat baca masyarakat, terutama kepada para mahasiswa sebagai generasi muda penerus bangsa. Dan, kita berharap budaya literasi di UMI dapat menjadi gerakan positif yang mampu menggerakkan masyarakat luas agar gemar membaca dan menulis. (*)

 Makassar, 23 Juni 2018

30/06/2016

Di Dermaga Pantai Pajalele


(Dimuat di Koran Fajar)

Sudah berkali-kali Bora dan Sara membincang simpulan cinta mereka di masa depan. Namun, berkali-kali pula tidak menuai sepakat karena Sara berkukuh memasrahkan nasibnya kepada Ambo, ayahnya. Mereka memilih bertemu di dermaga Pantai Pajalele-Pinrang yang sudah usang itu, di kampung halaman mereka, untuk melebur resah berdua hingga sirna tersapu malam.
“Bukanlah cinta namanya jika tidak bertumbalkan peluh dan kepiluan. Cinta mutlak diperjuangkan lantaran cinta meniscayakan ketegaran,” ucap Bora kepada Sara setelah Ambo lagi-lagi mengusirnya karena masih datang menawar restu.
Terkadang Bora sesumbar menampakkan keyakinan cintanya. Untuk menghibur perasaan kekasihnya tatkala dilanda pilu, ia selalu antusias mendeskripsikan prosesi impian pernikahan mereka.
“Bayangkanlah, Sara,” ucap Bora bangkit dari duduk, menuntun Sara membayangkan ucapannya. “Kelak cinta kita akan bersanding di pelaminan dekorasi Hajja Lisa. Mukamu akan semringah tatkala indoq botting yang tersohor dari Soppeng itu mulai melukis dadasa di dahimu, lalu membungkus badanmu dengan baju pengantin bersutra merah marun, warna kegemaranmu. Tidak ketinggalan tari padduppa akan digelar meriah untuk menyambutku dan beberapa tetua di ujung atas tangga rumah panggungmu akan menyemaiku dengan beberapa cubit beras. Setelah itu, seorang tetua akan meraih tanganku memasuki ruang akad yang telah dipagari wala suji. Sungguh nyaliku tak akan ciut menjabat tangan Penghulu saat menuntunku merapal ijab kabul. Keluargamu juga tak akan mempermasalahkan jumlah mahar yang dibawa oleh pakkalung somba-ku, bukan?”
“Iya, ya.., tentu saja,” Sara menimpali terbata karena kaget baru tersadar dari lamunannya. Sejak Bora mulai berbicara tadi, dalam benak Sara malah membayangkan kepiluan yang akan menderanya. Sara tahu bahwa Bora akan melakukan segala hal demi membahagiakannya. Namun, Sara masih terlalu segan melukai hati ayahnya.
“Maka simaklah, Sara,” ucap Bora melanjutkan. “Senandung lagu pop Bugis-Melayu akan mengiringi rombongan pengantarku memasuki tenda terowongan tempat pernikahan kita digelar. Para biduan elekton dari Sidenreng itu akan berdendang seharian. Dan, setelah prosesi akad nikah usai, kita akan naik bersanding di singgasana pelaminan impian kita itu. Para undangan akan silih berganti meminta berfoto bersama. Tidakkah semua itu dapat membuatmu senang?”
“Tidak, Bora. Eh, maksudku bukan begitu,” ucapan Sara menjadi tidak keruan. Ia kemudian mencoba untuk tenang. “Ya..., aku senang mendengar semua yang kau katakan tadi. Perempuan mana yang tidak mendamba pernikahan seperti itu? Akan tetapi, bisakah kita tidak memikirkan hal-hal yang masih belum jelas? Sementara, jelas-jelas kau belum mendapat restu dari Ambo, bukan?”
“Apa maksudmu? Kau tak suka dengan impian pernikahan yang kukatakan dari tadi?”
“Maksudku...,” ucapan Sara mentok dan terdiam sejenak. Pikirannya terbayang pada kejadian semalam. Malam di mana ayahnya telah menerima pinangan Haji Puang Rasi, seseorang yang pernah memiliki hubungan dengan Ammak, ibu Sara.
“Mengapa kau diam, Sara?” Bora mendesak.
“Kau masih ingat dengan mendiang Ammak?”
“Tentu. Tapi apa hubungannya dengan Ammak?”
“Sakit yang Ammak derita dulu membuatnya sering keluar-masuk rumah sakit. Ambo dibuat kelimpungan mencari biaya pengobatan dan operasi diabetes Ammak saat itu. Dua petak sawah yang sering digarap Ambo bersama adik-adikku juga sudah raib dijual, dan itupun juga masih belum cukup. Hingga akhirnya, seorang kerabat kami ikhlas memberikan kami bantuan. Dan semalam, perantau dari Samarinda itu, maksudku Haji Puang Rasi, datang ke rumah menemui Ambo dan menyatakan niatnya untuk melamar.”
“Abdul Rasyid si perjaka tua itu, maksudmu?” Amarah Bora mulai tersulut, dahinya berkerut, geram.
Sara terdiam, mulutnya kelu.
“Dan kau menerimanya?”
Sara mengangguk sangat pelan.
“Oh, Tuhan. Tidak, Sara, tidak, tidak…,” ucap Bora membalik badan. Gurat geram di wajahnya kini tampak jelas. “Bukankah tempo hari kita sudah mengikrar sumpah cinta sejati sehidup semati di sini?”
“Cinta adalah keikhlasan, Bora,” Sara meraih lengan Bora. “Kau masih ingat itu, kan? Waktu itu kau bilang bukanlah cinta namanya jika mengharap pamrih dan belas kasih. Katamu kau berjanji akan rutin menderaiku bahagia tanpa pernah aku minta, karena cinta adalah seikhlas-ikhlasnya memberi, bukan meminta. Kau masih ingat, bukan?”
Bora mematung, mencoba untuk tidak mengingat apapun.
“Bisakah kau sedikit saja mencoba memahami keadaan keluargaku dan mencoba mengikhlaskan atas semua yang akan terjadi?” Air mata Sara kini meleleh.
“Tidak, Sara. Sedikitpun aku tak akan iba dengan air mata itu. Demi Tuhan kau telah ingkar.” Bora berlalu meninggalkan Sara terisak sendirian di dermaga Pantai Pajalele yang baru saja tersapu malam.
***
Bora dan Sara selalu mencoba berdamai dengan keadaan, dan pada akhirnya mereka menyadari bahwa keadaan itu pula yang akan membunuh pengharapan mereka satu sama lain. Pun sejoli itu juga telah khusyuk memimpikan bahagia jika saja sudah punya sesuatu yang dibutuhkan untuk hidup bahagia, namun tak juga kunjung bahagia.
Cinta kita mekar di saat yang tak kuingini, dan kini telah tandas di saat yang tak kuingini pula. Kau mewasiatkan petaka untuk menyusulmu melarung ajal, tetapi tak sanggup kuturutkan lantaran undangan pernikahan telah tersebar. Sara membatin. Hening sekitar membuat suasana hatinya sendu hingga bulir-bulir air matanya menetes.
Di mana ketegaranmu meratapi perihnya cinta yang kau bangga-banggakan dulu? Di mana kau sandarkan keyakinanmu dalam memaknai akan cinta-Nya yang dulu selalu kau tasbihkan dalam bait-bait puisimu? Cintakah yang telah membutakanmu, ataukah aku yang telah silap memahami hakikat cinta? Kau yang seharusnya lebih tegar menantang rintang cinta daripada aku yang hanya seorang perempuan lemah. Kaulah yang mestinya lebih ikhlas menanggung cinta ketimbang aku yang hanya dititipi hati yang sudah telanjur rapuh didera air mata dan derita kemiskinan sejak lahir. Sara menyeka air matanya, mencoba untuk tegar.
Jika sebenarnya kau ingin mengadu antara kasih sayang Amboku dengan kesetiaan cintamu, maka sungguh kau tak patut. Inilah kenyataan cinta, Bora. Tegar dan ikhlaslah di dalam makammu.
Sara menghela nafas kemudian mengembusnya keras ke udara. Setelah terdiam beberapa saat, Sara bangkit dari duduknya setelah meratapi sebuah pusara. (*)

Makassar,   Mei 2016

25/01/2016

Poppo'


Pada tengah malam yang purnama, seorang pria hampir memergoki Sanna berseliweran di kolong rumahnya. Anjing menyalak memecah keheningan. Pria itu bergegas ke halaman depan rumahnya menggali sebuah lubang. Dengan memakai sarung dan songkok, pria itu memasukkan kendi berisi ari-ari ke dalam lubang. Ayah dari ari-ari bayi itu melafazkan beberapa mantra kemudian menaburkan segenggam garam dan bawang di selingkaran lubang yang telah dikubur.
Nyalak anjing bertalu-talu. Perhatian Sanna terutuju pada bau anyir di atas rumah panggung pria itu. Hasratnya hampir memudar lantaran rapalan mantra dan bau bawang. Namun, tidak. Liurnya makin membuncah. Dahaganya kian menyiksa. Rambutnya semrawut. Matanya memancar nyala merah. Sanna menunggu perhatian dukun beranak lengah setelah lelah membantu persalinan istri pria itu. Perasaannya berkecamuk karena sudah tak mampu menahan hasratnya yang semakin menyiksa saat purnama datang.
***
Menjelang subuh, tubuh Sanna melesat menuju rumahnya. Tubuhnya melayang ke atas bubung rumah panggungnya, lalu turun ke kamar tidur. Sanna merubah diri. Kini tubuhnya dirasa benar-benar telah pulih seperti manusia biasa.
Lumayan untuk permulaan, batinnya.
Untuk kali pertama, ia merasakan tubuhnya semakin kuat. Semangatnya membara, wajahnya kian menawan. Sanna senang, kemudian terlelap tenang. Akhirnya, malam itu, Sanna luluh menuruti nalurinya menjadi Poppo’. (*)

Keterangan: Poppo’ adalah sosok siluman di kalangan masyarakat Bugis-Makassar
(Dipublish di Novel Nusantara, http://novel.id/t/poppo-umar-mansyur/3092, dan meraih pengahargaan sebagai Cerite Terpendek Terbaik 4)

17/01/2016

Malam Ulang Tahun Tanpa Pijar Lilin 29

BELAKANGAN ini kamu sering gundah didera bermacam masalah yang acap kamu keluhkan. Bukan hanya karena masalah saja, kadang rasa senangmu pun juga tidak ketinggalan kamu keluhkan kepadaku.
Agar lebih mudah, seabrek duka dan suka itu akan saya klasifikasikan ke dalam 4 macam keluhan. Pertama, keluhan rutinitas pekerjaan. Dukanya karena kamu sudah dilayangkan surat peringatan 1 dan 2 dari atasan tempatmu bekerja; sukanya karena selalu saja ada bonus tambahan yang nyasar ke rekeningmu. Kedua, keluhan kelakuan Syira. Dukanya karena dia masih enggan menyusui dot botolnya; sukanya karena tingkahnya semakin menggemaskan saja. Ketiga, keluhan kebutuhan rumah tangga. Dukanya karena harga-harga sembako di pasar makin merangkak naik, meskipun harga BBM sedikit diturunkan; sukanya karena ada diskon telur ayam ras di trans mart dan carefour. Dan keempat, keluhan terkait kesehatan badanmu. Dukanya karena pinggang dan rambutmu kadang sakit dan sering rontok; sukanya kamu bilang badanmu terlihat lebih langsing sekarang.
Di dalam hati saya hanya bisa mengatakan begini: Suka dan duka dalam rumah tangga itu laksana ‘memelihara’ sepasang Upin dan Ipin, sahabat selamanya. Selalu ada masalah dan kesenangan tatkala bahtera rumah tangga itu dilarung ke samudera kehidupan. Kehidupan meniscayakan suka dan duka bersahabat  dan beriringan selama rumah tangga itu dibangun. Selain itu, dan ini yang lebih penting saya pikir, bahwa bukanlah namnya ibu-ibu jika tidak gemar mengeluh dan marah-marah. Karena harus kamu sadari, kini kamu telah menjadi orang (yang sudah) tua.
Sengaja itu saya katakan di dalam hati karena saya tak sudi kamu marah-marahi. Dan malam ini, umurmu akan bertambah satu. Namun sangat disayangkan, tidak akan ada nyala lilin 29 di atas cake kue ulang tahunmu, sebab saya tak pernah suka dengan ritual macam begituan.
Akan tetapi, jika kamu ingin bernostalgia, saat di mana saya masih romantis-romantisnya mengumbar cinta, kamu bukalah lembaran-lembaran kenangan akan masa lalu di halaman-halaman blog ini.
Selamat ulang tahun saja kuucapkan kepadamu, Mamaknya Syira Binar Tannaliu. Pesanku: jagalah hatimu, terutama gaya dan juga penampilanmu, sebab di balik istri yang bergaya dan berpenampilan menarik, tersembunyi sosok suami yang kalem dan imut. Macam akulah, barangkali. Gurau ajaa...:D (*)


Makassar, 17 Januari 2016