23/06/2018

Cambuk untuk Gerakan Literasi di UMI


Budaya membaca dan menulis (literasi) semestinya sudah menjadi tradisi akademis di perguruan tinggi. Setiap perguruan tinggi berkewajiban menyediakan fasilitas yang memadai untuk menunjang peningkatan minat baca dan prestasi karya tulis para mahasiswa, salah satunya adalah perpustakaan. Perpustakaan merupakan sarana yang menyediakan berbagai jenis kepustakaan yang dapat digunakan mahasiswa untuk belajar secara mandiri dan memanfaatkan waktu luang untuk membaca. Namun, di beberapa perpustakaan tidak lagi menyimpan pustaka, melainkan sudah menjadi tempat pusaka buku -teronggok menahun tak bertambah stok, lusuh jarang tersentuh.

Berbicara minat baca, beberapa hasil survei menunjukkan minat baca di Indonesia masih sangat rendah. World’s Most Literate Nations Ranked tahun 2016 menempatkan Indonesia di peringkat 60 dari 61 negara yang disurvei. Indonesia hanya lebih unggul dari Botswana, sebuah negara bekas jajahan Inggris yang terletak di Benua Afrika. Dibandingkan dengan negara-negara tetangga di Asia Tenggara, Indonesia jauh di bawah Singapura yang berada di peringkat 36, diikuti Malaysia dan Thailand yang masing-masing menempati peringkat 53 dan 59. Di tahun 2012, UNESCO juga melansir data indeks tingkat membaca orang Indonesia yang hanya 0,001 persen. Artinya, dari 1.000 penduduk hanya terdapat satu orang yang memiliki minat baca.

Berbeda jika dikomparasikan dengan fakta ketersediaan buku-buku dan perpustakaan di Indonesia. Rata-rata jumlah buku yang diterbitkan di Indonesia mencapai 30.000 judul setiap tahun. Lebih lanjut, rangking perpustakaan Indonesia di tingkat dunia juga menunjukkan fakta yang menggembirakan karena berada di peringkat 36. Maka tidak heran jika beberapa pihak dengan tegas membantah anggapan yang mengatakan minat baca di Indonesia masih sangat rendah. Namun demikian, buku yang melimpah maupun perpustakaan yang memadai kadang tidak selaras dengan tingginya minat baca.

Di lingkup Universitas Muslim Indonesia (UMI), sarana perpustakaan yang dimiliki bisa dikatakan sudah layak dan memadai. Koleksi buku-buku yang tersedia di Perpustakaan Utsman bin Affan cukup melimpah dan mutakhir untuk setiap bidang ilmu. Pada jam-jam tertentu, juga sangat ramai dikunjungi oleh para mahasiswa. Meskipun aktivitas yang dilakukan lebih banyak untuk mengerjakan tugas-tugas dari para dosen. Tampak juga beberapa mahasiswa tingkat akhir yang sedang menyusun tugas akhir skripsi di lantai dua. Selain itu, sistem layanannya sudah terkomputerisasi, sehingga setelah penulis telusuri diketahui mahasiswa yang paling sering berkunjung mayoritas dari Fakultas Teknik. Tentu kabar gembira ini harus diapresiasi agar semangat meramaikan perpustakaan kampus dapat tertular layaknya virus kepada para mahasiswa lainnya.

 Apa yang Salah?

Jika buku-buku yang diterbitkan sudah cukup melimpah, pun sarana perpustakaan juga memadai, lantas apa yang salah? Mengapa minat baca masyarakat masih rendah? Tentu naif jika harus mencari tumbal dan selalu menyalahkan pemerintah atas permasalahan yang ada. Namun, ada beberapa faktor yang patut diajukan sebagai alasan. Pertama, kualitas bacaan. Puluhan ribu buku yang diterbitkan setiap tahun itu nyatanya juga belum mampu meningkatkan minat baca masyarakat. Beberapa buku yang beredar di masyarakat terkadang membuat orang yang membacanya mengernyitkan dahi. Bisa jadi karena bahasa yang digunakan sulit dipahami, sehingga yang ada malah muncul rasa bosan terhadap buku. Padahal, minat baca muncul jika timbul rasa suka terhadap hal-hal yang melingkupi buku itu, seperti suka dengan sampulnya, suka dengan bahasa pengantarnya yang memantik rasa penasaran, atau hanya sebatas suka dengan sosok penulisnya.

Kedua, harga buku di Indonesia mahal. Harus diakui, buku-buku yang berkualitas tinggi yang dipasarkan di toko-toko buku dipastikan juga memiliki harga yang tinggi, sehingga meskipun masyarakat tertentu memiliki minat untuk membacanya tetap tidak akan terbaca, karena ketidakmampuan mereka untuk membelinya. Sebenarnya masalah ini dapat teratasi karena di beberapa perpustakaan yang besar selalu update dalam menyediakan buku-buku baru yang berkualitas. Akan tetapi, tidak semua perpustakaan yang besar itu dapat diakses oleh masyarakat umum.

Ketiga, minat baca yang telanjur rendah. Pada prinsipnya, sesuatu yang digemari pasti diminati. Jika memang masyarakat memiliki kegemaran dengan buku, pasti juga memiliki minat yang tinggi untuk membacanya. Hal yang sederhana misalnya, ketika berkunjung ke mall bersama keluarga, sempatkah kita masuk ke toko buku? Pun jika sudah membeli buku, sudahkah kita menyelesaikan membacanya? Kapan terakhir kali ke perpustakaan? Belum lagi pengaruh media sosial yang banyak menyita waktu. Buktinya, Indonesia selalu masuk kategori empat besar pengguna media sosial terbanyak di dunia, baik itu facebook, instagram, twitter, dan sebagainya.

 Apa yang harus dilakukan?

Rendahnya budaya literasi di Indonesia menjadi persoalan serius yang dihadapi pemerintah, karena memiliki minat baca yang tinggi merupakan faktor utama dalam meningkatkan mutu pendidikan dan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Sebenarnya, baik pihak pemerintah maupun para pegiat literasi, sejauh ini sudah mencanangkan berbagai program pengembangan literasi, seperti Gerakan Indonesia Membaca, Gerakan Literasi Bangsa, Gerakan Literasi Sekolah, serta berbagai kegiatan kreatif yang digagas para komunitas literasi. Namun, beragam upaya itu tidak akan pernah cukup jika tidak dilakukan secara komprehensif oleh semua pihak.

Ada beberapa hal sederhana yang bisa diupayakan agar budaya literasi dapat tumbuh dan berkembang. Pertama, tanamkan gemar membaca sejak dini. Gemar membaca dan menulis bukanlah faktor keturunan, tetapi kebiasaan yang diturunkan dan dilakukan secara kontinu. Oleh karena itu, membaca haruslah ditumbuhkan sejak usia dini. Dibutuhkan kesadaran dan dorongan para orang tua, yang sejak awal selalu menyisihkan waktunya melakukan aktivitas membaca bersama dengan anak.

Kedua, ciptakan lingkungan ramah buku. Minat baca pada awalnya akan muncul dan tumbuh dari dalam diri seseorang. Minat baca akan berkembang dengan baik apabila didukung oleh lingkungan yang ramah dengan buku. Terutama bagi para mahasiswa, bergaullah dengan orang-orang yang gemar membaca. Mulailah membeli atau meminjam buku yang disukai. Bacalah buku itu di waktu yang tepat, duduklah di tempat yang nyaman, dan seduhlah secawan teh atau kopi sebagai pemantik semangat.

Ketiga, perguruan tinggi harus mengambil peran. Dalam menjalankan kewajiban Tri Dharma Perguruan Tinggi, setiap perguruan tinggi berperan penting dalam pengembangan minat baca kepada masyarakat. Para dosen dan mahasiswa dapat mengambil peran melalui kegiatan pengabdian kepada masyarakat dengan cara merancang program-program kreatif yang bertujuan menumbuhkan budaya literasi kepada masyarakat secara luas.

Dengan demikian, meminjam istilah dari buku biografi Rektor UMI, Prof. Dr. Hj. Masrurah Mokhtar, M.A. yang berjudul “Sepotong Cambuk” yang diluncurkan dua tahun silam, fakta mengenai rendahnya minat baca di Indonesia yang telah dipaparkan di awal tulisan ini, baiknya dijadikan sebagai “cambuk” terhadap buruknya literasi saat ini. Diksi tersebut dirasa sangat tepat mengingat minat baca di Indonesia masih memprihatikan. Terkadang di saat-saat terpuruk dibutuhkan cambuk untuk memotivasi diri. Oleh karena itu, dibutuhkan usaha keras dan serius oleh semua pihak, termasuk UMI, agar secara bersama-sama terus berupaya menumbuhkan minat baca masyarakat, terutama kepada para mahasiswa sebagai generasi muda penerus bangsa. Dan, kita berharap budaya literasi di UMI dapat menjadi gerakan positif yang mampu menggerakkan masyarakat luas agar gemar membaca dan menulis. (*)

 Makassar, 23 Juni 2018

1 comment: