30/06/2016

Di Dermaga Pantai Pajalele


(Dimuat di Koran Fajar)

Sudah berkali-kali Bora dan Sara membincang simpulan cinta mereka di masa depan. Namun, berkali-kali pula tidak menuai sepakat karena Sara berkukuh memasrahkan nasibnya kepada Ambo, ayahnya. Mereka memilih bertemu di dermaga Pantai Pajalele-Pinrang yang sudah usang itu, di kampung halaman mereka, untuk melebur resah berdua hingga sirna tersapu malam.
“Bukanlah cinta namanya jika tidak bertumbalkan peluh dan kepiluan. Cinta mutlak diperjuangkan lantaran cinta meniscayakan ketegaran,” ucap Bora kepada Sara setelah Ambo lagi-lagi mengusirnya karena masih datang menawar restu.
Terkadang Bora sesumbar menampakkan keyakinan cintanya. Untuk menghibur perasaan kekasihnya tatkala dilanda pilu, ia selalu antusias mendeskripsikan prosesi impian pernikahan mereka.
“Bayangkanlah, Sara,” ucap Bora bangkit dari duduk, menuntun Sara membayangkan ucapannya. “Kelak cinta kita akan bersanding di pelaminan dekorasi Hajja Lisa. Mukamu akan semringah tatkala indoq botting yang tersohor dari Soppeng itu mulai melukis dadasa di dahimu, lalu membungkus badanmu dengan baju pengantin bersutra merah marun, warna kegemaranmu. Tidak ketinggalan tari padduppa akan digelar meriah untuk menyambutku dan beberapa tetua di ujung atas tangga rumah panggungmu akan menyemaiku dengan beberapa cubit beras. Setelah itu, seorang tetua akan meraih tanganku memasuki ruang akad yang telah dipagari wala suji. Sungguh nyaliku tak akan ciut menjabat tangan Penghulu saat menuntunku merapal ijab kabul. Keluargamu juga tak akan mempermasalahkan jumlah mahar yang dibawa oleh pakkalung somba-ku, bukan?”
“Iya, ya.., tentu saja,” Sara menimpali terbata karena kaget baru tersadar dari lamunannya. Sejak Bora mulai berbicara tadi, dalam benak Sara malah membayangkan kepiluan yang akan menderanya. Sara tahu bahwa Bora akan melakukan segala hal demi membahagiakannya. Namun, Sara masih terlalu segan melukai hati ayahnya.
“Maka simaklah, Sara,” ucap Bora melanjutkan. “Senandung lagu pop Bugis-Melayu akan mengiringi rombongan pengantarku memasuki tenda terowongan tempat pernikahan kita digelar. Para biduan elekton dari Sidenreng itu akan berdendang seharian. Dan, setelah prosesi akad nikah usai, kita akan naik bersanding di singgasana pelaminan impian kita itu. Para undangan akan silih berganti meminta berfoto bersama. Tidakkah semua itu dapat membuatmu senang?”
“Tidak, Bora. Eh, maksudku bukan begitu,” ucapan Sara menjadi tidak keruan. Ia kemudian mencoba untuk tenang. “Ya..., aku senang mendengar semua yang kau katakan tadi. Perempuan mana yang tidak mendamba pernikahan seperti itu? Akan tetapi, bisakah kita tidak memikirkan hal-hal yang masih belum jelas? Sementara, jelas-jelas kau belum mendapat restu dari Ambo, bukan?”
“Apa maksudmu? Kau tak suka dengan impian pernikahan yang kukatakan dari tadi?”
“Maksudku...,” ucapan Sara mentok dan terdiam sejenak. Pikirannya terbayang pada kejadian semalam. Malam di mana ayahnya telah menerima pinangan Haji Puang Rasi, seseorang yang pernah memiliki hubungan dengan Ammak, ibu Sara.
“Mengapa kau diam, Sara?” Bora mendesak.
“Kau masih ingat dengan mendiang Ammak?”
“Tentu. Tapi apa hubungannya dengan Ammak?”
“Sakit yang Ammak derita dulu membuatnya sering keluar-masuk rumah sakit. Ambo dibuat kelimpungan mencari biaya pengobatan dan operasi diabetes Ammak saat itu. Dua petak sawah yang sering digarap Ambo bersama adik-adikku juga sudah raib dijual, dan itupun juga masih belum cukup. Hingga akhirnya, seorang kerabat kami ikhlas memberikan kami bantuan. Dan semalam, perantau dari Samarinda itu, maksudku Haji Puang Rasi, datang ke rumah menemui Ambo dan menyatakan niatnya untuk melamar.”
“Abdul Rasyid si perjaka tua itu, maksudmu?” Amarah Bora mulai tersulut, dahinya berkerut, geram.
Sara terdiam, mulutnya kelu.
“Dan kau menerimanya?”
Sara mengangguk sangat pelan.
“Oh, Tuhan. Tidak, Sara, tidak, tidak…,” ucap Bora membalik badan. Gurat geram di wajahnya kini tampak jelas. “Bukankah tempo hari kita sudah mengikrar sumpah cinta sejati sehidup semati di sini?”
“Cinta adalah keikhlasan, Bora,” Sara meraih lengan Bora. “Kau masih ingat itu, kan? Waktu itu kau bilang bukanlah cinta namanya jika mengharap pamrih dan belas kasih. Katamu kau berjanji akan rutin menderaiku bahagia tanpa pernah aku minta, karena cinta adalah seikhlas-ikhlasnya memberi, bukan meminta. Kau masih ingat, bukan?”
Bora mematung, mencoba untuk tidak mengingat apapun.
“Bisakah kau sedikit saja mencoba memahami keadaan keluargaku dan mencoba mengikhlaskan atas semua yang akan terjadi?” Air mata Sara kini meleleh.
“Tidak, Sara. Sedikitpun aku tak akan iba dengan air mata itu. Demi Tuhan kau telah ingkar.” Bora berlalu meninggalkan Sara terisak sendirian di dermaga Pantai Pajalele yang baru saja tersapu malam.
***
Bora dan Sara selalu mencoba berdamai dengan keadaan, dan pada akhirnya mereka menyadari bahwa keadaan itu pula yang akan membunuh pengharapan mereka satu sama lain. Pun sejoli itu juga telah khusyuk memimpikan bahagia jika saja sudah punya sesuatu yang dibutuhkan untuk hidup bahagia, namun tak juga kunjung bahagia.
Cinta kita mekar di saat yang tak kuingini, dan kini telah tandas di saat yang tak kuingini pula. Kau mewasiatkan petaka untuk menyusulmu melarung ajal, tetapi tak sanggup kuturutkan lantaran undangan pernikahan telah tersebar. Sara membatin. Hening sekitar membuat suasana hatinya sendu hingga bulir-bulir air matanya menetes.
Di mana ketegaranmu meratapi perihnya cinta yang kau bangga-banggakan dulu? Di mana kau sandarkan keyakinanmu dalam memaknai akan cinta-Nya yang dulu selalu kau tasbihkan dalam bait-bait puisimu? Cintakah yang telah membutakanmu, ataukah aku yang telah silap memahami hakikat cinta? Kau yang seharusnya lebih tegar menantang rintang cinta daripada aku yang hanya seorang perempuan lemah. Kaulah yang mestinya lebih ikhlas menanggung cinta ketimbang aku yang hanya dititipi hati yang sudah telanjur rapuh didera air mata dan derita kemiskinan sejak lahir. Sara menyeka air matanya, mencoba untuk tegar.
Jika sebenarnya kau ingin mengadu antara kasih sayang Amboku dengan kesetiaan cintamu, maka sungguh kau tak patut. Inilah kenyataan cinta, Bora. Tegar dan ikhlaslah di dalam makammu.
Sara menghela nafas kemudian mengembusnya keras ke udara. Setelah terdiam beberapa saat, Sara bangkit dari duduknya setelah meratapi sebuah pusara. (*)

Makassar,   Mei 2016

25/01/2016

Poppo'


Pada tengah malam yang purnama, seorang pria hampir memergoki Sanna berseliweran di kolong rumahnya. Anjing menyalak memecah keheningan. Pria itu bergegas ke halaman depan rumahnya menggali sebuah lubang. Dengan memakai sarung dan songkok, pria itu memasukkan kendi berisi ari-ari ke dalam lubang. Ayah dari ari-ari bayi itu melafazkan beberapa mantra kemudian menaburkan segenggam garam dan bawang di selingkaran lubang yang telah dikubur.
Nyalak anjing bertalu-talu. Perhatian Sanna terutuju pada bau anyir di atas rumah panggung pria itu. Hasratnya hampir memudar lantaran rapalan mantra dan bau bawang. Namun, tidak. Liurnya makin membuncah. Dahaganya kian menyiksa. Rambutnya semrawut. Matanya memancar nyala merah. Sanna menunggu perhatian dukun beranak lengah setelah lelah membantu persalinan istri pria itu. Perasaannya berkecamuk karena sudah tak mampu menahan hasratnya yang semakin menyiksa saat purnama datang.
***
Menjelang subuh, tubuh Sanna melesat menuju rumahnya. Tubuhnya melayang ke atas bubung rumah panggungnya, lalu turun ke kamar tidur. Sanna merubah diri. Kini tubuhnya dirasa benar-benar telah pulih seperti manusia biasa.
Lumayan untuk permulaan, batinnya.
Untuk kali pertama, ia merasakan tubuhnya semakin kuat. Semangatnya membara, wajahnya kian menawan. Sanna senang, kemudian terlelap tenang. Akhirnya, malam itu, Sanna luluh menuruti nalurinya menjadi Poppo’. (*)

Keterangan: Poppo’ adalah sosok siluman di kalangan masyarakat Bugis-Makassar
(Dipublish di Novel Nusantara, http://novel.id/t/poppo-umar-mansyur/3092, dan meraih pengahargaan sebagai Cerite Terpendek Terbaik 4)

17/01/2016

Malam Ulang Tahun Tanpa Pijar Lilin 29

BELAKANGAN ini kamu sering gundah didera bermacam masalah yang acap kamu keluhkan. Bukan hanya karena masalah saja, kadang rasa senangmu pun juga tidak ketinggalan kamu keluhkan kepadaku.
Agar lebih mudah, seabrek duka dan suka itu akan saya klasifikasikan ke dalam 4 macam keluhan. Pertama, keluhan rutinitas pekerjaan. Dukanya karena kamu sudah dilayangkan surat peringatan 1 dan 2 dari atasan tempatmu bekerja; sukanya karena selalu saja ada bonus tambahan yang nyasar ke rekeningmu. Kedua, keluhan kelakuan Syira. Dukanya karena dia masih enggan menyusui dot botolnya; sukanya karena tingkahnya semakin menggemaskan saja. Ketiga, keluhan kebutuhan rumah tangga. Dukanya karena harga-harga sembako di pasar makin merangkak naik, meskipun harga BBM sedikit diturunkan; sukanya karena ada diskon telur ayam ras di trans mart dan carefour. Dan keempat, keluhan terkait kesehatan badanmu. Dukanya karena pinggang dan rambutmu kadang sakit dan sering rontok; sukanya kamu bilang badanmu terlihat lebih langsing sekarang.
Di dalam hati saya hanya bisa mengatakan begini: Suka dan duka dalam rumah tangga itu laksana ‘memelihara’ sepasang Upin dan Ipin, sahabat selamanya. Selalu ada masalah dan kesenangan tatkala bahtera rumah tangga itu dilarung ke samudera kehidupan. Kehidupan meniscayakan suka dan duka bersahabat  dan beriringan selama rumah tangga itu dibangun. Selain itu, dan ini yang lebih penting saya pikir, bahwa bukanlah namnya ibu-ibu jika tidak gemar mengeluh dan marah-marah. Karena harus kamu sadari, kini kamu telah menjadi orang (yang sudah) tua.
Sengaja itu saya katakan di dalam hati karena saya tak sudi kamu marah-marahi. Dan malam ini, umurmu akan bertambah satu. Namun sangat disayangkan, tidak akan ada nyala lilin 29 di atas cake kue ulang tahunmu, sebab saya tak pernah suka dengan ritual macam begituan.
Akan tetapi, jika kamu ingin bernostalgia, saat di mana saya masih romantis-romantisnya mengumbar cinta, kamu bukalah lembaran-lembaran kenangan akan masa lalu di halaman-halaman blog ini.
Selamat ulang tahun saja kuucapkan kepadamu, Mamaknya Syira Binar Tannaliu. Pesanku: jagalah hatimu, terutama gaya dan juga penampilanmu, sebab di balik istri yang bergaya dan berpenampilan menarik, tersembunyi sosok suami yang kalem dan imut. Macam akulah, barangkali. Gurau ajaa...:D (*)


Makassar, 17 Januari 2016

30/08/2014

Cuma Danau Buatan


Ketika semua ini kumulai, jarum jam di pergelangan tangan kiriku menunjuk pukul 4 sore lewat sedikit. Kumandang azan Asar dari mesjid yang berada persis di belakangku baru saja usai. Kupikir agak telat dari jadwal sembahyang pada umumnya. Tapi tak tahu juga. Sudah jarang aku salat tepat waktu. Meskipun Idea masih tetap rajin menjadi pengingat jadwal salatku, nyatanya saat azan usai tadi aku masih betah tak beranjak mengambil air wudhu. Sebentar saja, Tuhan. Ini tak akan lama, pintaku memohon. Kalaupun ternyata lama, juga tak akan sampai Magrib, kok.
Bisa dibilang sekarang hari sudah memasuki sore. Namun, sore kali ini masih terik. Barangkali nanti selang satu jam baru akan sejuk. Entahlah. Bisa iya, bisa juga tidak. Ini kali pertama aku serius mengamati sore, tepatnya di tepi sebuah danau. Untuk saat ini, kurasakan tak ada yang benar-benar memberi kejelasan akan sesuatu. Akupun enggan menelaah lebih dalam. Akhir-akhir ini kurasa jemu melanda. Entah sedang bosan dengan keadaan, ataukah cuma karena bimbang lantaran ketidakjelasan pada rutinitas pekerjaan. Manusia selalu ingin yang enak-enaknya saja. Tak pernah merasa cukup dan bersabar. Bagaimana bisa diberi kejelasan dan kecukupan, salat 5 waktu saja jarang tepat waktu. Aduh, mengapa juga manusia selalu menyalahkan diri sendiri? Gumamku.
Di sekitar danau ini, tempat sekarang aku berada, angin berhembus dari arah timur. Di sini angin berhembus agak kencang. Biasanya angin berhembus sepoi-sepoi, seperti Anging Mamiri khas Pantai Losari. Akibatnya, bermunculan gelombang-gelombang air di permukaan danau menyerupai ombak kecil berkejar-kejaran menuju bibir danau sebelah barat. Beberapa kumpulan eceng gondok yang semula tenang berdiam di tengah kini tercerai-berai percuma, kemudian berdesak-desakan menimpali satu sama lain, hingga mentok ke tepian membentuk kumpulan eceng gondok yang lebih lapang dari sebelumnya. Lantas terus merambat, tepat di bawah sebuah pohon berbatang besar nan rindang. Di sela-sela dahannya, daun-daun pohon itu berdesik jika angin berhembus. Berhenti jika angin juga berlalu. Suara dari bunyi knalpot mobil dan motor berupa-rupa merek menderu bising lalu lalang bersama burung-burung di udara sekitaran danau. Padahal jarak dari jalanan sana ke sini lumayan jauh, dan suaranya juga masih terdengar keras. Nanti setalah mematung selama tiga detik, aku baru tahu bahwa ternyata arahnya dari timur juga, asal di mana arah angin berhembus. Pantas saja, pikirku lambat. 

Sumber: koleksi pribadi

Aku hampir lupa. Danau yang kumaksud ini cuma danau buatan. Jumlahnya ada dua. Benarnya dibuat terpisah menjadi dua. Masing-masing berada di samping kanan dan kiri jalan memasuki sebuah kampus besar di Kota Makassar. Aku berada di tepi danau yang sebelah kanan jalan. Iya, di tepi danau buatan yang dekat dengan pohon yang berbatang besar tadi, sebelah barat. Di situlah aku duduk. Aku duduk sendirian saja, tak bersama siapa-siapa, memangku satu buah buku bersampul api. Bukan api sungguhan. Maksudku, sampul luarnya bergambar nyala api yang membakar buku tersebut. Judulnya “Fahrenheit 451”, ditulis oleh Ray Bradbury. Sedikit mirip dengan namaku. Cuma beda di last name saja. Sejak duduk di sini belum sehelai pun lembarannya aku buka. Terakhir saat di rumah, itu sekira sebulan yang lalu, aku sudah baca di halaman 138, akhir dari bagian ke-2 buku itu. Tersisa 1 bagian lagi karena isi buku ini cuma terdiri atas 3 bagian saja. Sebenarnya buku ini menarik di bagian awal sampai tengahnya. Akan tetapi, menuju akhir, ceritanya sudah mulai membosankan, sekalipun menjadi penerima penghargaan sebagai The National Book Foundation’s Medal for Distinguished Contribution to American Letters. Penilaian seseorang terhadap sesuatu memang beda-beda.
Selang hampir tiga puluh menit, sore perlahan menyejuk. Akhirnya. Aku menghela nafas dalam-dalam dan menghembusnya ke udara panjang-panjang. Kuedarkan pandangan ke sebelah kanan lalu ke kiri, kemudian kuteruskan ke belakang. Tampak suasana belum banyak berubah. Semenjak berada di tepi danau ini, sekelilingku masih sepi dari orang-orang. Mungkin karena hari Jumat. Bisa jadi. Biasanya banyak yang tanpa sengaja singgah untuk sekadar duduk-duduk, tetapi masih lebih banyak yang sengaja untuk datang. Kadang-kadang mereka kemari untuk bercakap-cakap tentang alur kehidupan pribadinya yang tak kunjung membaik. Berkeluh kesah kepada air danau. Sesekali berteriak keras, lalu menyudahinya dengan beberapa lemparan menyamping memakai kerikil, sehingga kerikil yang dilempar tadi berjuntai-juntai di permukaan danau menyerupai selancar di laut. Ada juga yang datang cuma karena ingin sendirian berdiam diri membatu di atas sebongkah batu. Hanya datang untuk memandangi air danau sambil melututi kedua siku lengannya bagian dalam yang tersimpul di jari tangan. Setelah menyaksikan temaram senja terbenam di permukaan air danau, meraka akan pulang. Pada dasarnya, air (baik laut, sungai, maupun danau) memang menjadi tempat paling bijak untuk mengungkap segala keluh kesah manusia-manusia bermasalah.
Selain itu, ada yang memang sengaja datang untuk bergaya-gaya ria. Secara bergantian, kepalanya dimiringkan ke kiri lalu ke kanan, memotret diri dengan beragam pose alias selfie untuk keperluan update display picture di BBM barunya. Setelah itu, laksana seorang sastrawan, kemudian menulis sebaris status sarat makna dilematis di dinding FB-nya. Sesungguhnya air telah menjadi latar belakang paling pavorit untuk berfoto-foto, bukan? Pada sisi lainnya, di sana kulihat banyak bapak-bapak pemancing masih ngotot mengail di danau buatan ini. Padahal oleh security kampus sudah dipatok di bibir-bibir danau tiga papan tanda larangan memancing. Merasa tak peduli dengan larangan itu, mereka tampak acuh saja. Mungkin dalam benak mereka beranggapan bahwa air merupakan ladang tak bertuan bagi manusia untuk mencari nafkah keluarga. Mungkin meraka merasa berhak ataukah memang tak bisa diatur.
Semua hal di atas berangkat dari masalah dan niat yang beragam, menyatu padu pada tujuan yang samar. Dan di tepi danau yang cuma buatan ini aku memasrahkan diri. Yah, kehidupan memang tak memberikan banyak kejelasan, karena manusia hanya diajar untuk meyakini akan sesuatu. Meyakini bahwa kita hidup bukan untuk menghabiskan umur meratapi kehidupan, melainkan memanfaatkan sisa umur untuk bersyukur atas nikmat tiada tara-Nya.

Makassar,  di tepi danau Unhas, 29 Agustus 2014.