Budaya membaca dan menulis (literasi) semestinya
sudah menjadi tradisi akademis di perguruan tinggi. Setiap perguruan tinggi
berkewajiban menyediakan fasilitas yang memadai untuk menunjang peningkatan
minat baca dan prestasi karya tulis para mahasiswa, salah satunya adalah
perpustakaan. Perpustakaan merupakan sarana yang menyediakan berbagai jenis
kepustakaan yang dapat digunakan mahasiswa untuk belajar secara mandiri dan
memanfaatkan waktu luang untuk membaca. Namun, di beberapa perpustakaan tidak
lagi menyimpan pustaka, melainkan sudah menjadi tempat pusaka buku -teronggok menahun tak bertambah stok, lusuh jarang tersentuh.
Berbicara minat baca, beberapa hasil survei
menunjukkan minat baca di Indonesia masih sangat rendah. World’s Most Literate Nations Ranked
tahun 2016 menempatkan Indonesia di peringkat 60 dari 61 negara yang
disurvei. Indonesia hanya lebih unggul dari Botswana, sebuah negara bekas
jajahan Inggris yang terletak di Benua Afrika. Dibandingkan dengan
negara-negara tetangga di Asia Tenggara, Indonesia jauh di bawah Singapura yang
berada di peringkat 36, diikuti Malaysia dan Thailand yang masing-masing
menempati peringkat 53 dan 59. Di tahun 2012, UNESCO juga melansir data indeks
tingkat membaca orang Indonesia yang hanya 0,001 persen. Artinya, dari 1.000
penduduk hanya terdapat satu orang yang memiliki minat baca.
Berbeda jika dikomparasikan dengan fakta
ketersediaan buku-buku dan perpustakaan di Indonesia. Rata-rata jumlah buku
yang diterbitkan di Indonesia mencapai 30.000 judul setiap tahun. Lebih lanjut,
rangking perpustakaan Indonesia di tingkat dunia juga menunjukkan fakta yang
menggembirakan karena berada di peringkat 36. Maka tidak heran jika beberapa
pihak dengan tegas membantah anggapan yang mengatakan minat baca di Indonesia
masih sangat rendah. Namun demikian, buku yang melimpah maupun perpustakaan
yang memadai kadang tidak selaras dengan tingginya minat baca.
Di lingkup Universitas Muslim Indonesia (UMI), sarana
perpustakaan yang dimiliki bisa dikatakan sudah layak dan memadai. Koleksi
buku-buku yang tersedia di Perpustakaan Utsman bin Affan cukup melimpah dan
mutakhir untuk setiap bidang ilmu. Pada jam-jam tertentu, juga sangat ramai
dikunjungi oleh para mahasiswa. Meskipun aktivitas yang dilakukan lebih banyak
untuk mengerjakan tugas-tugas dari para dosen. Tampak juga beberapa mahasiswa
tingkat akhir yang sedang menyusun tugas akhir skripsi di lantai dua. Selain
itu, sistem layanannya sudah terkomputerisasi, sehingga setelah penulis
telusuri diketahui mahasiswa yang paling sering berkunjung mayoritas dari
Fakultas Teknik. Tentu kabar gembira ini harus diapresiasi agar semangat
meramaikan perpustakaan kampus dapat tertular layaknya virus kepada para
mahasiswa lainnya.
Jika buku-buku yang diterbitkan sudah cukup
melimpah, pun sarana perpustakaan juga memadai, lantas apa yang salah? Mengapa
minat baca masyarakat masih rendah? Tentu naif jika harus mencari tumbal dan
selalu menyalahkan pemerintah atas permasalahan yang ada. Namun, ada beberapa
faktor yang patut diajukan sebagai alasan. Pertama,
kualitas bacaan. Puluhan ribu buku yang diterbitkan setiap tahun itu nyatanya juga
belum mampu meningkatkan minat baca masyarakat. Beberapa buku yang beredar di
masyarakat terkadang membuat orang yang membacanya mengernyitkan dahi. Bisa
jadi karena bahasa yang digunakan sulit dipahami, sehingga yang ada malah
muncul rasa bosan terhadap buku. Padahal, minat baca muncul jika timbul rasa
suka terhadap hal-hal yang melingkupi buku itu, seperti suka dengan sampulnya,
suka dengan bahasa pengantarnya yang memantik rasa penasaran, atau hanya
sebatas suka dengan sosok penulisnya.
Kedua, harga buku di Indonesia mahal. Harus
diakui, buku-buku yang berkualitas tinggi yang dipasarkan di toko-toko buku
dipastikan juga memiliki harga yang tinggi, sehingga meskipun masyarakat
tertentu memiliki minat untuk membacanya tetap tidak akan terbaca, karena
ketidakmampuan mereka untuk membelinya. Sebenarnya masalah ini dapat teratasi
karena di beberapa perpustakaan yang besar selalu update dalam menyediakan buku-buku baru yang berkualitas. Akan
tetapi, tidak semua perpustakaan yang besar itu dapat diakses oleh masyarakat
umum.
Ketiga, minat baca yang telanjur rendah. Pada
prinsipnya, sesuatu yang digemari pasti diminati. Jika memang masyarakat
memiliki kegemaran dengan buku, pasti juga memiliki minat yang tinggi untuk
membacanya. Hal yang sederhana misalnya, ketika berkunjung ke mall bersama keluarga, sempatkah kita
masuk ke toko buku? Pun jika sudah membeli buku, sudahkah kita menyelesaikan
membacanya? Kapan terakhir kali ke perpustakaan? Belum lagi pengaruh media
sosial yang banyak menyita waktu. Buktinya, Indonesia selalu masuk kategori
empat besar pengguna media sosial terbanyak di dunia, baik itu facebook, instagram, twitter, dan
sebagainya.
Rendahnya budaya literasi di Indonesia menjadi
persoalan serius yang dihadapi pemerintah, karena memiliki minat baca yang
tinggi merupakan faktor utama dalam meningkatkan mutu pendidikan dan kualitas
sumber daya manusia Indonesia. Sebenarnya, baik pihak pemerintah maupun para
pegiat literasi, sejauh ini sudah mencanangkan berbagai program pengembangan
literasi, seperti Gerakan Indonesia Membaca, Gerakan Literasi Bangsa, Gerakan
Literasi Sekolah, serta berbagai kegiatan kreatif yang digagas para komunitas
literasi. Namun, beragam upaya itu tidak akan pernah cukup jika tidak dilakukan
secara komprehensif oleh semua pihak.
Ada beberapa hal sederhana yang bisa diupayakan
agar budaya literasi dapat tumbuh dan berkembang. Pertama, tanamkan gemar membaca sejak dini. Gemar membaca dan
menulis bukanlah faktor keturunan, tetapi kebiasaan yang diturunkan dan
dilakukan secara kontinu. Oleh karena itu, membaca haruslah ditumbuhkan sejak
usia dini. Dibutuhkan kesadaran dan dorongan para orang tua, yang sejak awal
selalu menyisihkan waktunya melakukan aktivitas membaca bersama dengan anak.
Kedua, ciptakan lingkungan ramah buku. Minat
baca pada awalnya akan muncul dan tumbuh dari dalam diri seseorang. Minat baca
akan berkembang dengan baik apabila didukung oleh lingkungan yang ramah dengan
buku. Terutama bagi para mahasiswa, bergaullah dengan orang-orang yang gemar
membaca. Mulailah membeli atau meminjam buku yang disukai. Bacalah buku itu di
waktu yang tepat, duduklah di tempat yang nyaman, dan seduhlah secawan teh atau
kopi sebagai pemantik semangat.
Ketiga, perguruan tinggi harus mengambil
peran. Dalam menjalankan kewajiban Tri Dharma Perguruan Tinggi, setiap
perguruan tinggi berperan penting dalam pengembangan minat baca kepada masyarakat.
Para dosen dan mahasiswa dapat mengambil peran melalui kegiatan pengabdian
kepada masyarakat dengan cara merancang program-program kreatif yang bertujuan
menumbuhkan budaya literasi kepada masyarakat secara luas.
Dengan demikian, meminjam istilah dari buku
biografi Rektor UMI, Prof. Dr. Hj. Masrurah Mokhtar, M.A. yang berjudul
“Sepotong Cambuk” yang diluncurkan dua tahun silam, fakta mengenai rendahnya
minat baca di Indonesia yang telah dipaparkan di awal tulisan ini, baiknya
dijadikan sebagai “cambuk” terhadap buruknya literasi saat ini. Diksi tersebut
dirasa sangat tepat mengingat minat baca di Indonesia masih memprihatikan.
Terkadang di saat-saat terpuruk dibutuhkan cambuk untuk memotivasi diri. Oleh
karena itu, dibutuhkan usaha keras dan serius oleh semua pihak, termasuk UMI,
agar secara bersama-sama terus berupaya menumbuhkan minat baca masyarakat,
terutama kepada para mahasiswa sebagai generasi muda penerus bangsa. Dan, kita
berharap budaya literasi di UMI dapat menjadi gerakan positif yang mampu
menggerakkan masyarakat luas agar gemar membaca dan menulis. (*)