30/06/2016

Di Dermaga Pantai Pajalele


(Dimuat di Koran Fajar)

Sudah berkali-kali Bora dan Sara membincang simpulan cinta mereka di masa depan. Namun, berkali-kali pula tidak menuai sepakat karena Sara berkukuh memasrahkan nasibnya kepada Ambo, ayahnya. Mereka memilih bertemu di dermaga Pantai Pajalele-Pinrang yang sudah usang itu, di kampung halaman mereka, untuk melebur resah berdua hingga sirna tersapu malam.
“Bukanlah cinta namanya jika tidak bertumbalkan peluh dan kepiluan. Cinta mutlak diperjuangkan lantaran cinta meniscayakan ketegaran,” ucap Bora kepada Sara setelah Ambo lagi-lagi mengusirnya karena masih datang menawar restu.
Terkadang Bora sesumbar menampakkan keyakinan cintanya. Untuk menghibur perasaan kekasihnya tatkala dilanda pilu, ia selalu antusias mendeskripsikan prosesi impian pernikahan mereka.
“Bayangkanlah, Sara,” ucap Bora bangkit dari duduk, menuntun Sara membayangkan ucapannya. “Kelak cinta kita akan bersanding di pelaminan dekorasi Hajja Lisa. Mukamu akan semringah tatkala indoq botting yang tersohor dari Soppeng itu mulai melukis dadasa di dahimu, lalu membungkus badanmu dengan baju pengantin bersutra merah marun, warna kegemaranmu. Tidak ketinggalan tari padduppa akan digelar meriah untuk menyambutku dan beberapa tetua di ujung atas tangga rumah panggungmu akan menyemaiku dengan beberapa cubit beras. Setelah itu, seorang tetua akan meraih tanganku memasuki ruang akad yang telah dipagari wala suji. Sungguh nyaliku tak akan ciut menjabat tangan Penghulu saat menuntunku merapal ijab kabul. Keluargamu juga tak akan mempermasalahkan jumlah mahar yang dibawa oleh pakkalung somba-ku, bukan?”
“Iya, ya.., tentu saja,” Sara menimpali terbata karena kaget baru tersadar dari lamunannya. Sejak Bora mulai berbicara tadi, dalam benak Sara malah membayangkan kepiluan yang akan menderanya. Sara tahu bahwa Bora akan melakukan segala hal demi membahagiakannya. Namun, Sara masih terlalu segan melukai hati ayahnya.
“Maka simaklah, Sara,” ucap Bora melanjutkan. “Senandung lagu pop Bugis-Melayu akan mengiringi rombongan pengantarku memasuki tenda terowongan tempat pernikahan kita digelar. Para biduan elekton dari Sidenreng itu akan berdendang seharian. Dan, setelah prosesi akad nikah usai, kita akan naik bersanding di singgasana pelaminan impian kita itu. Para undangan akan silih berganti meminta berfoto bersama. Tidakkah semua itu dapat membuatmu senang?”
“Tidak, Bora. Eh, maksudku bukan begitu,” ucapan Sara menjadi tidak keruan. Ia kemudian mencoba untuk tenang. “Ya..., aku senang mendengar semua yang kau katakan tadi. Perempuan mana yang tidak mendamba pernikahan seperti itu? Akan tetapi, bisakah kita tidak memikirkan hal-hal yang masih belum jelas? Sementara, jelas-jelas kau belum mendapat restu dari Ambo, bukan?”
“Apa maksudmu? Kau tak suka dengan impian pernikahan yang kukatakan dari tadi?”
“Maksudku...,” ucapan Sara mentok dan terdiam sejenak. Pikirannya terbayang pada kejadian semalam. Malam di mana ayahnya telah menerima pinangan Haji Puang Rasi, seseorang yang pernah memiliki hubungan dengan Ammak, ibu Sara.
“Mengapa kau diam, Sara?” Bora mendesak.
“Kau masih ingat dengan mendiang Ammak?”
“Tentu. Tapi apa hubungannya dengan Ammak?”
“Sakit yang Ammak derita dulu membuatnya sering keluar-masuk rumah sakit. Ambo dibuat kelimpungan mencari biaya pengobatan dan operasi diabetes Ammak saat itu. Dua petak sawah yang sering digarap Ambo bersama adik-adikku juga sudah raib dijual, dan itupun juga masih belum cukup. Hingga akhirnya, seorang kerabat kami ikhlas memberikan kami bantuan. Dan semalam, perantau dari Samarinda itu, maksudku Haji Puang Rasi, datang ke rumah menemui Ambo dan menyatakan niatnya untuk melamar.”
“Abdul Rasyid si perjaka tua itu, maksudmu?” Amarah Bora mulai tersulut, dahinya berkerut, geram.
Sara terdiam, mulutnya kelu.
“Dan kau menerimanya?”
Sara mengangguk sangat pelan.
“Oh, Tuhan. Tidak, Sara, tidak, tidak…,” ucap Bora membalik badan. Gurat geram di wajahnya kini tampak jelas. “Bukankah tempo hari kita sudah mengikrar sumpah cinta sejati sehidup semati di sini?”
“Cinta adalah keikhlasan, Bora,” Sara meraih lengan Bora. “Kau masih ingat itu, kan? Waktu itu kau bilang bukanlah cinta namanya jika mengharap pamrih dan belas kasih. Katamu kau berjanji akan rutin menderaiku bahagia tanpa pernah aku minta, karena cinta adalah seikhlas-ikhlasnya memberi, bukan meminta. Kau masih ingat, bukan?”
Bora mematung, mencoba untuk tidak mengingat apapun.
“Bisakah kau sedikit saja mencoba memahami keadaan keluargaku dan mencoba mengikhlaskan atas semua yang akan terjadi?” Air mata Sara kini meleleh.
“Tidak, Sara. Sedikitpun aku tak akan iba dengan air mata itu. Demi Tuhan kau telah ingkar.” Bora berlalu meninggalkan Sara terisak sendirian di dermaga Pantai Pajalele yang baru saja tersapu malam.
***
Bora dan Sara selalu mencoba berdamai dengan keadaan, dan pada akhirnya mereka menyadari bahwa keadaan itu pula yang akan membunuh pengharapan mereka satu sama lain. Pun sejoli itu juga telah khusyuk memimpikan bahagia jika saja sudah punya sesuatu yang dibutuhkan untuk hidup bahagia, namun tak juga kunjung bahagia.
Cinta kita mekar di saat yang tak kuingini, dan kini telah tandas di saat yang tak kuingini pula. Kau mewasiatkan petaka untuk menyusulmu melarung ajal, tetapi tak sanggup kuturutkan lantaran undangan pernikahan telah tersebar. Sara membatin. Hening sekitar membuat suasana hatinya sendu hingga bulir-bulir air matanya menetes.
Di mana ketegaranmu meratapi perihnya cinta yang kau bangga-banggakan dulu? Di mana kau sandarkan keyakinanmu dalam memaknai akan cinta-Nya yang dulu selalu kau tasbihkan dalam bait-bait puisimu? Cintakah yang telah membutakanmu, ataukah aku yang telah silap memahami hakikat cinta? Kau yang seharusnya lebih tegar menantang rintang cinta daripada aku yang hanya seorang perempuan lemah. Kaulah yang mestinya lebih ikhlas menanggung cinta ketimbang aku yang hanya dititipi hati yang sudah telanjur rapuh didera air mata dan derita kemiskinan sejak lahir. Sara menyeka air matanya, mencoba untuk tegar.
Jika sebenarnya kau ingin mengadu antara kasih sayang Amboku dengan kesetiaan cintamu, maka sungguh kau tak patut. Inilah kenyataan cinta, Bora. Tegar dan ikhlaslah di dalam makammu.
Sara menghela nafas kemudian mengembusnya keras ke udara. Setelah terdiam beberapa saat, Sara bangkit dari duduknya setelah meratapi sebuah pusara. (*)

Makassar,   Mei 2016

25/01/2016

Poppo'


Pada tengah malam yang purnama, seorang pria hampir memergoki Sanna berseliweran di kolong rumahnya. Anjing menyalak memecah keheningan. Pria itu bergegas ke halaman depan rumahnya menggali sebuah lubang. Dengan memakai sarung dan songkok, pria itu memasukkan kendi berisi ari-ari ke dalam lubang. Ayah dari ari-ari bayi itu melafazkan beberapa mantra kemudian menaburkan segenggam garam dan bawang di selingkaran lubang yang telah dikubur.
Nyalak anjing bertalu-talu. Perhatian Sanna terutuju pada bau anyir di atas rumah panggung pria itu. Hasratnya hampir memudar lantaran rapalan mantra dan bau bawang. Namun, tidak. Liurnya makin membuncah. Dahaganya kian menyiksa. Rambutnya semrawut. Matanya memancar nyala merah. Sanna menunggu perhatian dukun beranak lengah setelah lelah membantu persalinan istri pria itu. Perasaannya berkecamuk karena sudah tak mampu menahan hasratnya yang semakin menyiksa saat purnama datang.
***
Menjelang subuh, tubuh Sanna melesat menuju rumahnya. Tubuhnya melayang ke atas bubung rumah panggungnya, lalu turun ke kamar tidur. Sanna merubah diri. Kini tubuhnya dirasa benar-benar telah pulih seperti manusia biasa.
Lumayan untuk permulaan, batinnya.
Untuk kali pertama, ia merasakan tubuhnya semakin kuat. Semangatnya membara, wajahnya kian menawan. Sanna senang, kemudian terlelap tenang. Akhirnya, malam itu, Sanna luluh menuruti nalurinya menjadi Poppo’. (*)

Keterangan: Poppo’ adalah sosok siluman di kalangan masyarakat Bugis-Makassar
(Dipublish di Novel Nusantara, http://novel.id/t/poppo-umar-mansyur/3092, dan meraih pengahargaan sebagai Cerite Terpendek Terbaik 4)

17/01/2016

Malam Ulang Tahun Tanpa Pijar Lilin 29

BELAKANGAN ini kamu sering gundah didera bermacam masalah yang acap kamu keluhkan. Bukan hanya karena masalah saja, kadang rasa senangmu pun juga tidak ketinggalan kamu keluhkan kepadaku.
Agar lebih mudah, seabrek duka dan suka itu akan saya klasifikasikan ke dalam 4 macam keluhan. Pertama, keluhan rutinitas pekerjaan. Dukanya karena kamu sudah dilayangkan surat peringatan 1 dan 2 dari atasan tempatmu bekerja; sukanya karena selalu saja ada bonus tambahan yang nyasar ke rekeningmu. Kedua, keluhan kelakuan Syira. Dukanya karena dia masih enggan menyusui dot botolnya; sukanya karena tingkahnya semakin menggemaskan saja. Ketiga, keluhan kebutuhan rumah tangga. Dukanya karena harga-harga sembako di pasar makin merangkak naik, meskipun harga BBM sedikit diturunkan; sukanya karena ada diskon telur ayam ras di trans mart dan carefour. Dan keempat, keluhan terkait kesehatan badanmu. Dukanya karena pinggang dan rambutmu kadang sakit dan sering rontok; sukanya kamu bilang badanmu terlihat lebih langsing sekarang.
Di dalam hati saya hanya bisa mengatakan begini: Suka dan duka dalam rumah tangga itu laksana ‘memelihara’ sepasang Upin dan Ipin, sahabat selamanya. Selalu ada masalah dan kesenangan tatkala bahtera rumah tangga itu dilarung ke samudera kehidupan. Kehidupan meniscayakan suka dan duka bersahabat  dan beriringan selama rumah tangga itu dibangun. Selain itu, dan ini yang lebih penting saya pikir, bahwa bukanlah namnya ibu-ibu jika tidak gemar mengeluh dan marah-marah. Karena harus kamu sadari, kini kamu telah menjadi orang (yang sudah) tua.
Sengaja itu saya katakan di dalam hati karena saya tak sudi kamu marah-marahi. Dan malam ini, umurmu akan bertambah satu. Namun sangat disayangkan, tidak akan ada nyala lilin 29 di atas cake kue ulang tahunmu, sebab saya tak pernah suka dengan ritual macam begituan.
Akan tetapi, jika kamu ingin bernostalgia, saat di mana saya masih romantis-romantisnya mengumbar cinta, kamu bukalah lembaran-lembaran kenangan akan masa lalu di halaman-halaman blog ini.
Selamat ulang tahun saja kuucapkan kepadamu, Mamaknya Syira Binar Tannaliu. Pesanku: jagalah hatimu, terutama gaya dan juga penampilanmu, sebab di balik istri yang bergaya dan berpenampilan menarik, tersembunyi sosok suami yang kalem dan imut. Macam akulah, barangkali. Gurau ajaa...:D (*)


Makassar, 17 Januari 2016

30/08/2014

Cuma Danau Buatan


Ketika semua ini kumulai, jarum jam di pergelangan tangan kiriku menunjuk pukul 4 sore lewat sedikit. Kumandang azan Asar dari mesjid yang berada persis di belakangku baru saja usai. Kupikir agak telat dari jadwal sembahyang pada umumnya. Tapi tak tahu juga. Sudah jarang aku salat tepat waktu. Meskipun Idea masih tetap rajin menjadi pengingat jadwal salatku, nyatanya saat azan usai tadi aku masih betah tak beranjak mengambil air wudhu. Sebentar saja, Tuhan. Ini tak akan lama, pintaku memohon. Kalaupun ternyata lama, juga tak akan sampai Magrib, kok.
Bisa dibilang sekarang hari sudah memasuki sore. Namun, sore kali ini masih terik. Barangkali nanti selang satu jam baru akan sejuk. Entahlah. Bisa iya, bisa juga tidak. Ini kali pertama aku serius mengamati sore, tepatnya di tepi sebuah danau. Untuk saat ini, kurasakan tak ada yang benar-benar memberi kejelasan akan sesuatu. Akupun enggan menelaah lebih dalam. Akhir-akhir ini kurasa jemu melanda. Entah sedang bosan dengan keadaan, ataukah cuma karena bimbang lantaran ketidakjelasan pada rutinitas pekerjaan. Manusia selalu ingin yang enak-enaknya saja. Tak pernah merasa cukup dan bersabar. Bagaimana bisa diberi kejelasan dan kecukupan, salat 5 waktu saja jarang tepat waktu. Aduh, mengapa juga manusia selalu menyalahkan diri sendiri? Gumamku.
Di sekitar danau ini, tempat sekarang aku berada, angin berhembus dari arah timur. Di sini angin berhembus agak kencang. Biasanya angin berhembus sepoi-sepoi, seperti Anging Mamiri khas Pantai Losari. Akibatnya, bermunculan gelombang-gelombang air di permukaan danau menyerupai ombak kecil berkejar-kejaran menuju bibir danau sebelah barat. Beberapa kumpulan eceng gondok yang semula tenang berdiam di tengah kini tercerai-berai percuma, kemudian berdesak-desakan menimpali satu sama lain, hingga mentok ke tepian membentuk kumpulan eceng gondok yang lebih lapang dari sebelumnya. Lantas terus merambat, tepat di bawah sebuah pohon berbatang besar nan rindang. Di sela-sela dahannya, daun-daun pohon itu berdesik jika angin berhembus. Berhenti jika angin juga berlalu. Suara dari bunyi knalpot mobil dan motor berupa-rupa merek menderu bising lalu lalang bersama burung-burung di udara sekitaran danau. Padahal jarak dari jalanan sana ke sini lumayan jauh, dan suaranya juga masih terdengar keras. Nanti setalah mematung selama tiga detik, aku baru tahu bahwa ternyata arahnya dari timur juga, asal di mana arah angin berhembus. Pantas saja, pikirku lambat. 

Sumber: koleksi pribadi

Aku hampir lupa. Danau yang kumaksud ini cuma danau buatan. Jumlahnya ada dua. Benarnya dibuat terpisah menjadi dua. Masing-masing berada di samping kanan dan kiri jalan memasuki sebuah kampus besar di Kota Makassar. Aku berada di tepi danau yang sebelah kanan jalan. Iya, di tepi danau buatan yang dekat dengan pohon yang berbatang besar tadi, sebelah barat. Di situlah aku duduk. Aku duduk sendirian saja, tak bersama siapa-siapa, memangku satu buah buku bersampul api. Bukan api sungguhan. Maksudku, sampul luarnya bergambar nyala api yang membakar buku tersebut. Judulnya “Fahrenheit 451”, ditulis oleh Ray Bradbury. Sedikit mirip dengan namaku. Cuma beda di last name saja. Sejak duduk di sini belum sehelai pun lembarannya aku buka. Terakhir saat di rumah, itu sekira sebulan yang lalu, aku sudah baca di halaman 138, akhir dari bagian ke-2 buku itu. Tersisa 1 bagian lagi karena isi buku ini cuma terdiri atas 3 bagian saja. Sebenarnya buku ini menarik di bagian awal sampai tengahnya. Akan tetapi, menuju akhir, ceritanya sudah mulai membosankan, sekalipun menjadi penerima penghargaan sebagai The National Book Foundation’s Medal for Distinguished Contribution to American Letters. Penilaian seseorang terhadap sesuatu memang beda-beda.
Selang hampir tiga puluh menit, sore perlahan menyejuk. Akhirnya. Aku menghela nafas dalam-dalam dan menghembusnya ke udara panjang-panjang. Kuedarkan pandangan ke sebelah kanan lalu ke kiri, kemudian kuteruskan ke belakang. Tampak suasana belum banyak berubah. Semenjak berada di tepi danau ini, sekelilingku masih sepi dari orang-orang. Mungkin karena hari Jumat. Bisa jadi. Biasanya banyak yang tanpa sengaja singgah untuk sekadar duduk-duduk, tetapi masih lebih banyak yang sengaja untuk datang. Kadang-kadang mereka kemari untuk bercakap-cakap tentang alur kehidupan pribadinya yang tak kunjung membaik. Berkeluh kesah kepada air danau. Sesekali berteriak keras, lalu menyudahinya dengan beberapa lemparan menyamping memakai kerikil, sehingga kerikil yang dilempar tadi berjuntai-juntai di permukaan danau menyerupai selancar di laut. Ada juga yang datang cuma karena ingin sendirian berdiam diri membatu di atas sebongkah batu. Hanya datang untuk memandangi air danau sambil melututi kedua siku lengannya bagian dalam yang tersimpul di jari tangan. Setelah menyaksikan temaram senja terbenam di permukaan air danau, meraka akan pulang. Pada dasarnya, air (baik laut, sungai, maupun danau) memang menjadi tempat paling bijak untuk mengungkap segala keluh kesah manusia-manusia bermasalah.
Selain itu, ada yang memang sengaja datang untuk bergaya-gaya ria. Secara bergantian, kepalanya dimiringkan ke kiri lalu ke kanan, memotret diri dengan beragam pose alias selfie untuk keperluan update display picture di BBM barunya. Setelah itu, laksana seorang sastrawan, kemudian menulis sebaris status sarat makna dilematis di dinding FB-nya. Sesungguhnya air telah menjadi latar belakang paling pavorit untuk berfoto-foto, bukan? Pada sisi lainnya, di sana kulihat banyak bapak-bapak pemancing masih ngotot mengail di danau buatan ini. Padahal oleh security kampus sudah dipatok di bibir-bibir danau tiga papan tanda larangan memancing. Merasa tak peduli dengan larangan itu, mereka tampak acuh saja. Mungkin dalam benak mereka beranggapan bahwa air merupakan ladang tak bertuan bagi manusia untuk mencari nafkah keluarga. Mungkin meraka merasa berhak ataukah memang tak bisa diatur.
Semua hal di atas berangkat dari masalah dan niat yang beragam, menyatu padu pada tujuan yang samar. Dan di tepi danau yang cuma buatan ini aku memasrahkan diri. Yah, kehidupan memang tak memberikan banyak kejelasan, karena manusia hanya diajar untuk meyakini akan sesuatu. Meyakini bahwa kita hidup bukan untuk menghabiskan umur meratapi kehidupan, melainkan memanfaatkan sisa umur untuk bersyukur atas nikmat tiada tara-Nya.

Makassar,  di tepi danau Unhas, 29 Agustus 2014.

19/11/2013

Hujan dan Kematian: Serupa tapi tak Sama


Beberapa orang, termasuk dirimu, sering bertanya-tanya kepadaku, “Ray, mengapa akhir-akhir ini keseringan menulis tentang kematian? Apa sudah mau mati, ya?” Hanya kutimpali dengan senyum pasrah, seolah-olah memang berharap demikian.
Sekarang sudah saatnya kuungkap musababnya. Salah satu alasannya sederhana saja. Aku kan gemar menulis tentang hujan, dan kupikir kematian punya kemiripan dengan hujan. Namun, di antara keduanya kontras secara hakikat. Serupa tapi tak sama, barangkali. Hasil perenungan itu akan terurai dengan sendirinya setelah halaman ini tamat kau baca.
***
Belakangan ini, hampir seluruhnya, seragam menyoal hujan di bulan November. November Rain, November yang Basah, atau apa saja yang menyeret nama bulan kesebelas masehi itu. Baik lagu, prosa, puisi, menjadikan November kian memikat untuk disesaki narasi dan deskripsi. Aku pun dibuatnya turut serta –namun bukan kali ini saja– menjadi bagian dari keseluruhan kisahnya yang tak pernah tamat berderai diksi dari beragam penulis fiksi. Tentu kau masih ingat setahun yang lalu. Momennya sama seperti saat ini, juga tercipta sebuah halaman “Hujan November”. Terlampau sayang apabila Halaman Idea pada November 2013 juga tak tercurahi ide-ide tentangmu. Bukannya ikutan latah dengan keadaan sekitar, tetapi aku memang menggemari hujan. Walaupun terkadang hujan juga bersahabat dengan topan dan badai. Itu soal lain. Lantas salah siapa? Tak ada yang lain: salah kita, manusia. Musim tak pantas dirutuki.
Oh iya, kaupun menggemari hujan juga, bukan? Bahkan kau sering mengajakku menghabiskan sore yang jingga mendebat tentang hujan dan fenomenanya. Bukan hanya itu. Kita pun kadang berdebat tentang jenis lagu, genre buku, sampai rasa semangkuk bubur ayam. Saranku: kita jangan keseringan mendebat sesuatu yang menjadi kegemaranku. Bukankah lebih baik kalau kau diam. Duduk manis saja di situ, bersama-sama mengawal lajur senja yang melembayung hingga azan magrib menyudahi.
Dulu saat masih kecil –sekarang sudah jarang, bermain-main dengan rinai hujan adalah kegiatan paling mengesankan. Saat beranjak remaja, aku pernah mengungkap sebuah kiat jitu, bahwa sebenarnya bermain dengan hujan dapat menjadi penawar atas penat yang datangnya tak bisa ditawar. Ini memang terbukti mujarab. Di film-film juga sering ada adegan seperti ini. Kebanyakan memang ada di film India, barangkali. Tampaknya mereka sangat bahagia menari-nari bersama hujan, tepatnya mungkin hujan buatan dari mobil pemadam kebakaran. Kalau di film-film Indonesia sering menggunakan setting deras hujan sebagai adegan paling romantis, yaitu berciuman. 
Maaf jika sebelumnya harus keluar dari topik. Aku akan melanjutkan, bahwa sebenarnya bermain dengan hujan dapat menjadi penawar atas penat yang datangnya kadang tak bisa ditawar.
Coba bayangkan saat dirimu sedang berkendara di jalan yang hiruk menjelang magrib. Kemudian kendaraanmu pasrah mengekor dan diekori oleh kendaraan lain, bersama-sama membentangi jalan menyulam sebuah kemacetan panjang. Sangat panjang, dan saat itu juga sedang hujan rintik. Penat, lelah, letih, lapar, dan segala hal yang dapat memancing emosi ramai-ramai berjibaku dalam batok kepala. Pikiran menjadi mumet, dan dalam keadaan seperti itu segala hal bisa menjadi pemantik amarah yang membabi buta, sekalipun itu hal sepele. Senggol sedikit saja bisa jadi pertikaian. Padahal siapa yang betah berlama-lama dalam kemacetan? Bunyi klakson yang bertubi-tubi pun tak akan mampu mengurai kemacetan. Tidak ada gunanya. Jadi, mendingan duduk manis saja, dan jangan lupa tersenyum manis. Sapa tahu ada laki-laki atau perempuan manis yang sedang memperhatikanmu. Selalu ada kesempatan dalam kesempitan.
Coba perhatikan, alur tulisan ini menjadi semakin tak jelas lagi. Akan kuarahkan kembali. Sekali lagi ingin kukatakan, bahwa memang bermain dengan hujan dapat menjadi penawar atas penat yang datangnya kadang tak bisa ditawar-tawar.
Tak ada gunanya menggerutu dalam kemacetan, apalagi jika sedang gerimis. Awalnya mungkin cuma rintik demi rintik, namun lama-lama serentak menderas bukan main, seperti hujan malam ini. Semula badan gerah karena keringat, berganti menjadi kuyup karena deras hujan. Maka, cobalah untuk menepi sejenak. Bertahan dalam kemacetan juga tak memberi banyak solusi. Singsingkan jaket/mantel yang membungkus tubuhmu. Berjalanlah sedikit mencari tanah yang agak lapang, lalu tengadahkan muka ke langit sambil merentangkan tangan ke kiri dan ke kanan. Telapaknya juga arahkan ke atas. Pejamkanlah mata, karena memang sulit untuk membuka kelopak mata saat sedang menengadahkan muka  ke atas yang berlangitkan rinai hujan. Apalagi hujan November, rinainya besar-besar seperti butiran es. Sumpah. Kalau tak percaya, coba saja.
Percaya sajalah, dan lanjutkan ini. Ini sudah tahap akhir, Idea. Kasihan bila tak kau sudahi. Selanjutnya, sambil berkincak-kicak sedikit, masih pada posisi sebelumnya, berputarlah searah tawaf di Kabbah. Perlahan saja. Fokuskan pikiranmu ke langit. Resapi butiran demi butiran hujan menghunjam wajah, kepala, dan sebagian permukaan tubuhmu. Nikmati itu sebagai pijatan relaksasi. Ini butuh keberanian ekstra, sebab banyak orang yang akan memperhatikanmu. Malu? Acuhkan  saja mereka, karena jika kau melakukannya dengan sempurna, bisa kupastikan mereka juga akan mengambil posisi sama denganmu. Lakukan dalam waktu beberapa menit saja. Jangan terlalu lama karena kau bisa sakit. Maka, rasakanlah derai-derai hujan itu meleburkan setiap masalah dan beban pikiranmu. Setelah semuanya terasa ringan, hela nafas dalam-dalam kemudian hembuskan panjang-panjang.
***

 
Sumber: di sini

Secara filosofis, di bawah ini juga akan kuungkap kiat menghadapi kematian. Jadi, ikuti saja jika masih punya segudang minat.
Hidup ini laiknya sebuah balon udara. Menjalaninya sama seperti sedang meniupkan udara ke dalamnya. Jika hidup ingin baik, maka tiupkan udara (gas) dengan kualitas yang baik pula. Bukan dengan asap atau gas beracun. Jangan meniupnya kencang-kencang sebab nanti akan meletus, dan jika terjadi demikian, bisa dipastikan kau akan mati mendadak dengan arwah bergentayangan. Juga jangan terlampau pelan menunda-nunda kesempatan, atau kau hanya akan jauh tertinggal, hidup terlalu lama dalam derita menyusahkan orang-orang sekitar. Kita hidup bukan sedang bermain-main.
Nikmatnya hidup tidak dihitung dari panjang pendeknya umur, melainkan ditakar dari seberapa banyaknya udara (gas) yang mampu kau tiupkan ke dalam balon udaramu, dan juga seberapa besar kemampuanmu menjaga stabilisasi keseimbangannya: tidak kencang, juga tidak pelan. Mari, kita lanjutkan. Jika menurutmu cadangan udara yang kau tiupkan tadi sudah hampir habis, maka segeralah tutup corong udaranya, lalu ikat erat dengan sehelai kain kematian. Ketahuilah, bahwa kematian adalah penutup sekaligus pembuka jalan hidup yang sebenarnya. Kehidupan yang kekal. Usah lagi menyisipkan beberapa bekal. Kita bukan hendak ke taman untuk berpiknik. Malah nanti semakin menambah berat bebanmu.
Pertama-tama, mulailah dengan merentangkan kedua tangan ke udara. Kaitkan tali balonmu pada salah satu ujung jari sebelah kiri. Hanya ujung jari sebelah kiri, karena saat lahir kau telah dibisiki azan di telinga sebelah kanan. Satu lagi, hanya jari telunjuk, bukan jari yang lain. Tuhan gemar memberi petunjuk dan tanda-tanda, dan kita pun semakin senang dengan rasa penasaran. Jangan sepelekan itu. Segalanya bermula dari sebuah tanda-tanda ataupun sebuah petunjuk. Misalnya saja hujan, apakah kita tidak bisa membaca tanda-tanda sebelum datangnya hujan? Begitupun juga dengan kematian.
Sudah, saatnya tengadahkan muka ke langit. Setelah itu, lantunkan beberapa syair-syair kerinduan kepada-Nya, bukan tangisan duka cita yang meraung-raung. Bersiaplah melepas ikatan balonmu yang mengait di jari telunjuk sebelah kiri tadi. Untuk kali terakhir, pastikan baca tanda-tanda dan petunjuk yang hadir di sekitar: kapan saat yang paling tepat untuk melepasnya. Jika sudah, maka mulailah melepasnya perlahan, pelan, seiring dengan pandanganmu menyibak kelopak mata, dan seirama dengan semilir angin menghempas balonmu ke angkasa sana. Tinggi, dan sangat tinggi, hingga langit mendekapnya lenyap. Menghilang seirama dengan nadi yang tak lagi mendenyut, beserta kelopak mata yang benar-benar telah mengatup rapat kembali, sangat rapat. (*)


Saat sedang menanti hujan mereda, bersama dua orang sahabat: Karan dan Malik. Malam itu, Malik antusias bercerita tentang masa lalu yang kini bertuah bahagia; Karan takzim mendengarkan; aku khusyuk menulis.

Makassar, 18 November 2013