Ternyata sudah berselang lama tak menyoal
tentangmu di sini. Sekarang sudah berada di akhir Agustus. Malam-malam di sisa
Agustus selalu tampak cerah terlihat. Purnama nikmat beranjak menyusut ke
sabit. Bintang gemintang mengerlip girang seantero langit. Terasa indah
nian, sampai lengah membiarnya memagut sepi sendirian. Terakhir kuisi halaman
ini saat Mei yang basah. Benar-benar basah. Apakah kau masih ingat? Banyak
peristiwa penting terlewati percuma. Sebut saja di antaranya Ramadhan, Lebaran,
dan HUT Kemerdekaan RI ke-68. Padahal banyak kisah bersamamu melewati
momen-momen itu, yang semestinya perlu kutuang di sini. Apa mau dikata, begitulah
adanya. Harus kuakui, gairah menulisku tak lagi membuncah seperti dahulu. Menderas
sedikit mungkin masih bisa. Masih sebatas pernyataan-pernyataan sederhana di facebook. Bisa saja berkembang sampai memenuhi
halaman-halaman baru, asal saja, sepertinya
hatimu perlu kubuat resah supaya ide menulismu terucurah deras. Alasanmu memancing,
dan kurasa itu tak lagi mempan. Yang ada malah gairah jenis lain yang sering
berjibaku dalam pikiran. Pengaruh umur juga barangkali. Entahlah.
Mendapatkan ide cerita memang tak gampang
bila belum menjadi kebiasaan. Salah jika harus menunggu ide itu turun dari
langit, ataukah sampai harus merenung di sepanjang malam, hingga bohlam lampu
di atas kepala berdenting terang sebagai tanda bahwa ide sudah berhasil didapatkan.
Tidak semudah itu barangkali. Asal kau tahu, hingga saat ini ideku masih
tersekap pada rutinitas akademik. Harus mengurusi ini, itu, dan anu. Apa mau
dikata, konsekuensinya memang demikian. Semakin tinggi suatu pohon, semakin
kencang pula angin menggoncangnya. Bebannya akan semakin berat juga. Berbanding
terbalik dengan berat badanku yang justru semakin berkurang. Yah, memang bukanlah
alasan rasional. ‘Seseorang’ yang sedang dipenjara saja, selama masa
penahanannya malah sudah berhasil menulis 7 buah naskah novel. Tak jelas siapa
si penulis itu. Informasinya aku dapat dari pesan singkatmu beberapa malam lalu,
saat sedang menyaksikan sebuah acara talk
show yang dipandu seorang pria
botak berkacamata –dulu rambutnya masih kribo– pada salah satu siaran teve
swasta. “Sungguh kisah inspiratif.” Tulismu di akhir pesan. Lagi-lagi harus
kuakui, manajemen waktuku masih sempoyongan mengurai rutinitas.
Semoga ini kembali menjadi permulaan yang
baik. Kubiarkan mengalir seadanya, seperti daun yang melepas diri dari tangkai.
Berjuntai-juntai dahulu karena dihembus angin sepoi hingga tergeletak sekenanya
ke dasar tanah. Namun, semuanya terjadi bukan karena seadanya, melainkan sebuah
alasan.
Baiklah. Akan
kumulai dengan sesuatu yang sederhana. Mengawalinya dengan menuliskan “tak
terasa waktu cepat berlalu,” lantas mengakhirinya dengan tanya “bagaimana, sungguh
bukan kisah yang mengharukan, kan?”
***
Tak terasa waktu cepat berlalu. Waktu begitu singkat menyingkap hari.
Hari gesit memintal bulan. Lambat namun pasti, bulan juga santai menyulam
peralihan tahun. Terus, tahun me-ngapain
dasawarsa. Lalu, abad di-apain
dekade? Terus apa lagi? Hufh, terlalu bertele-tele menggunakan diksi. Ribet. Apa tabiatku juga demikiankah? Padahal
aku senang (dan ingin) menjadi orang yang sederhana saja, baik dalam bertingkah
laku maupun cara berpikir. Lebih tepatnya bersahaja: hidup dengan apa adanya, punya
banyak apa-apa, rajin sembahyang, dan tentu gemar menyumbang. Asal kau tahu, daerah
asalku dari sebuah kabupaten yang memunyai julukan ‘Pinrang Bersahaja’. Sampai
sekarang masih belum kupahami dasar julukan itu. Apanya yang bersahaja? Ataukah
orang-orang dari daerah itu memang punya sifat bersahaja? Entahlah. Tetapi semestinya
memang orang-orang dari sana punya sifat demikian. Sepertiku, mungkin. Tak masalah
jika kaupun ingin menjulukiku ‘Ray yang Bersahaja’ atau ‘Ray Sang Pria
Bersahaja’. Norak.
Selain ribet dalam berpikir, aku juga meledak-ledak
dalam menganggapi sesuatu. Berlebihan,
katamu. Orang sepertiku tentu tak cocok dengan orang yang meledak-ledak pula. Bisa-bisa
kompor meleduk jadinya. Seperti api ketemu api. Jadi, tentu cocoknya kupikir
dengan orang penyabar, cermat, dan punya semangat hidup tinggi. Maksudku, orang
itu kamu, Idea. Iya, aku berbicara tentang tabiatmu. Sebatas yang kulihat sampai
saat ini masih begitu, dan kuharapnya dirimu tidak meledak-ledak juga nantinya,
terutama dalam berbelanja. Hal yang tidak terlihat (pada dirimu) bukan berarti
tidak ada, bukan? Esok lusa siapa yang tahu. Orang bilang: sekarang adalah
kenyataan, esok masih misteri. Namun, kekhawatiranku tentang itu sirna saat
kudengar dirimu mengatakan “Banyak hal yang tak bisa kutampakkan kepadamu,
tetapi itu selalu ada”. Aduhai, mulutku jadi kelu.
Ibuku pernah menjelaskan tentang kalkulasi
kecocokan dalam memilih pasangan, ditinjau dari segi kesejahteraan ekonomi dan
rejeki rumah tangga suatu pasangan. Ini
agak serius. Perhitungannya dilihat dari urutan kelahiran masing-masing.
Misalnya anak pertama, anak kedua, ketiga, dan seterusnya. Ibu kadang paranoid
dalam menimbang dan memikirkan sesuatu. Selalu didasarkan pada norma dan
ketentuan konservatif. Semacam lontara kalau
boleh dikata. Termasuk tentang itu tadi. Katanya itu pappaseng dari orang tua dulu-dulu. Yah, begitulah dia. Apalagi
kalau mengusut tentang silsilah keluarga. Dan ketika harus digambarkan dengan
menggunakan pola mind mapping, pasti
butuh kertas super lebar. Maklumi saja. Dulu, bersama dengan ayah, ibu hanya
mengenyam pendidikan sampai tingkat SD. Tepatnya masih bernama Sekolah Rakyat. Katanya
saat bercerita dulu, belum ada papan tulis. Cuma menggunakan batu kapur untuk
menulis pada sebuah batu datar.
“Jadi begini, Nak. Kamu kan anak keempat.
Berarti....,” ungkapnya mulai menjelaskan, namun terhenti karena sedikit lupa
tentang rumus kalkulasinya.
Setelah diam sejenak, akhirnya dia sudah
ingat dan kembali melanjutkan. Katanya, anak pertama itu disimbolkan sebagai
tanah, anak kedua sebagai air, anak ketiga sebagai angin, dan anak keempat disimbolkan
sebagai api.
“Terus, anak kelima simbolnya apa, Mak?” Aku
memotong, penasaran.
Aku mulai paham tatkala Ibuku mulai menjelaskan
tentang empat unsur kehidupan, yang dikorelasikan dengan urutan kelahiran anak manusia,
yakni: tanah, air, angin, dan api. Jadi, selanjutnya, untuk anak kelima dan
seterusnya, perhitungannya kembali dimulai seperti pada anak pertama, sampai
seterusnya.
“Dia anak ke berapa?”
“Dia siapa, Mak?” Aku berpura-pura.
Sebelum kuberitahu mengenai urutan
kelahiranmu, ibu telah menjelaskan secara panjang lebar bahwa bila ditinjau
dari segi kesejahteraan ekonomi dan rejeki rumah tangga suatu pasangan, api
merupakan unsur yang paling penting. Menurutnya, api disimbolkan sebagai
kobaran dalle’ (rejeki).
“Jadi, kamu itu cocoknya dengan perempuan
yang simbol urutan kelahirannya tidak mematikan unsur apimu.” Kata Ibuku memberi
petuah.
“Bukannya api disimbolkan sebagai amarah, Mak?”
Dahiku mengernyit, mukanya sedikit sebal. Dia tetap pada keyakinannya, aku
ngangguk-ngangguk. Entahlah, benakku.
Percaya atau tidak, toh itu hanya sebatas
pertimbangan. Bukanlah sebuah keharusan yang niscaya hukumnya. Sementara, pertimbanganku
memang lebih kepada watak dan pola pikir, dan kupikir itu lebih penting dalam menjalin
sebuah hubungan. Soal rejeki dan kesejateraan hidup sepenuhnya takdir Tuhan. Beranikah
kita menyepelekan ketetapan-Nya? Namun, pada sisi yang lain, tentang simbol
urutan kelahiran itu Ibuku juga ada benarnya. Lantas pikiranku melayang, “Apakah memang pantas tabiatku meledak-ledak
dan kadang sedikit emosian? Simbol api toh...”. Bisa iya, bisa juga tidak. Wallahualam bisshawab.
Jangan terlalu memikirkan itu. Aku orang
baik-baik kok. Sangat baik. Cuma kadang kurang baik juga, tapi amat jarang.
Naluriah, bukan? Apa yang kau lihat, begitulah adanya. Sesuatu yang tak
kutampakkan pun bukan berarti tak ada, dan itu bisa kujamin akan jauh lebih
menawan dari apa yang sudah terlihat. Kau pasti tahu betul dengan keramahan dan
ke-murah senyum-anku, bukan? Jadi, sekali lagi kutekankan: aku (orang) bersahaja.
Ahay, narsis!
Bagaimana, sungguh bukan kisah yang
mengharukan, kan?
***
Orang pernah bilang bahwa “Dalam
satu atom didapati semua unsur-unsur bumi. Dalam titik air mengandung semua
rahasia laut. Dalam satu gerak pikiran didapati gerakan semua hukum keberadaan”.
Dan kuakhiri dengan pernyataan “Dalam
satu gurat senyuman berlimpah seluruh kedamaian hati”.
Makassar, 29
Agustus 2013