Malam hampir larut. Tubuhku tergelatak
sekenanya sebab letih yang mendera seharian. Telah kusematkan ego beserta senyumanmu
di gudang pikiranku barang sejenak, cuma cemas berdiam menyemai prasangka-prasangka.
Tampaknya kini tangguhku hampir meleleh sebab rutin kau sulut dengan alasan jumpa
yang mesti selalu diberi jarak. Kau punya argumentasi atas itu dan sepenuhnya
belum mampu kupahami. Hidupku perlahan sudah berasimilasi bersama alur
kehidupanmu. Namun kadang tertatih merunut maksud-maksudmu. Aku berusaha lentur
mengikuti iramamu. Selalu bersenandung sebelum kau memulai melentikkan
nada-nada. Menderaimu bahagia sebelum hatimu canggung memintanya. Pun aku akan menghilang
sebelum kau bermohon untuk menjauh, sebentar atau bisa saja lama.
Malam sudah terlalu larut. Kelopak mataku
telah mengatup menenggelamkan retina. Otot-otot dan persendianku pelan-pelan
mengulur ngilu dan sengal. Namun lelap sepenuhnya belum sempurna kurasai lantaran
Bandoci dan kawan-kawannya juga sementara asyik bergulat membuat gaduh dari luar
kamar. Mereka sedang riuh mempermasalahkan beberapa dari jawaban tebakan-tebakan
konyol. Adakalanya kalau sedang tak ada kerjaan, kebiasaannya memang begitu. Seolah-olah
tinggal di tengah hutan, tidak peduli dengan ketenangan para tetangga. Risiko tinggal di rumah kontrakan, pikirku.
Terkadang kita –manusia– teguh merapal suatu sabda
kebenaran sementara kita berpijak di atas kesalahan yang merapuh.
“Dasar bandit-bandit, tukang rusuh, dan malas
disuruh” aku menggerutu.
Ketenanganku terusik. Sekalipun menjadi biang
dari segala kekonyolan di rumah, namun mereka juga punya sisi lain yang baik-baik.
Selain pandai-pandai memasak, meraka juga taat sembahyang magrib. Hatiku jadi cooling down. Hingga tiba saatnya Bandoci
mengajukan sebuah tebakan baru dan menjadi penutup dari acara tebak-tebakan
malam itu.
“Naa, ini yang terakhir. Tahi apa yang bisa
dimakan?” tanyanya.
Karena soal tebakannya tergolong mudah, kawan-kawan
lainnya, termasuk aku –walau hanya mampu menebak dalam hati, serentak menjawab,
“tai minynya’,” mereka terbahak.
Sekarang aku benar-benar jadi terjaga, tersadar
dari kantuk karena sorakannya heboh memecah separuh lelapku. Mereka sudah selesai
dengan aksinya dan hendak beranjak tidur. Semantara aku dilanda resah. Gara-gara
itu, insomnia mengambil alih situasiku. Nanar tak dapat kutampik. Meluapkan
amarah dengan cara apa di saat-saat seperti itu, selain cuma jengkel dan
menggerutu. Kucoba menyetel beberapa lagu favoritku dan kukeraskan volumenya
sampai mereka sadar akan ketidaknyamananku tadi. Dan ternyata lumayan membantu.
Ini bisa menjadi pelajaran bagi siapa pun. Pertama,
tak perlu turut serta menjawab tebak-tebakan orang lain jika kau sudah sangat
terkantuk-kantuk. Kedua, jika sebelum
tidur suasana di sekitarmu sedang gaduh, pasanglah headset dan cobalah setel beberapa daftar lagu melankolis.
Gara-gara tahi minyak mataku sulit terpejam lagi. Tahu-tahu terpaksa aku mengingatmu
lagi. Dulu sebelum aku pulang ke kampung, kau menitip pesan supaya dibawakan
tahi minyak.
“Ray, jangan sampai lupa yah! Aku sangat suka
dengan sambal tai minynya’ racikan
ibuku. Apalagi kalau dijadikan isi sayur pare. Sudah terlalu lama aku tidak
menikmatinya,” pintamu penuh harap, aku menelan ludah.
Mendengar itu aku tertawa, tetapi cuma dalam
hati. Aku hendak memalingkan muka, sejenak untuk terkekah meluapkan tawa yang
tertahan. Lagi-lagi aku segan. Raut mukamu terlanjur riang. Ternyata seleramu sedikit kampungan,
kataku dalam hati sembari melebarkan senyum.
***
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ampas
olahan minyak kelentik itu diberi istilah tahi minyak. Orang-orang di kampungku
–suku Pattinjo atau masyarakat Bugis pada umumnya– mengucapnya dengan aksen yang
sedikit berbeda, tai minynya’. Jadi supaya
lebih Indonesia dan terucap nyaman, disebut saja dengan tahi minyak.
Asal kau tahu, Idea. Sunter terdengar kabar dari
orang-orang tua yang pernah kutemui bahwa di saat sekarang ini tahi minyak sangat
susah didapat. Hal itu dipertegas pula oleh Indo Becce –seorang nenek yang
umurnya bisa kutaksir telah mencapai angka ratusan. Terlebih lagi industri
per-minyak-kelapa-an sudah banyak gulung tikar sebab kalah saing dengan minyak
sawit dan minyak-minyak kemasan yang harganya cenderung jauh lebih murah serta
jenisnya variatif pula. Bahkan ada yang bisa langsung diminum. Hebatkan? Yang
kutahu minyak kelapa memang bisa diminum hanya ketika seorang ibu hamil ingin melahirkan.
Itu ibuku sendiri yang bilang dan pernah dipraktikkan ke kakak iparku. Supaya
bayinya licin keluar, katanya. Oleh beberapa dukun beranak di kampungku juga
berkata demikian. Dan memang terbukti mujarab.
Tahi minyak yang enak dan bisa dijadikan
bahan dasar untuk membuat sambal adalah tahi minyak yang diperoleh dari proses
penanakan santan secara langsung. Maksudnya, setelah santan diperoleh dari
perasan sari-sari buah kelapa, santan itu langsung ditanak di atas bara api
yang stabil. Berbeda jika santan itu didiamkan semalaman dahulu, lalu kumpulan
bagian atasnya ditanak. Tahi minyaknya tidak akan sebagus dengan hasil tanakan
secara langsung. Biasanya ampasnya hanya dijadikan sebagai bahan campuran untuk
pakan ternak saja.
Proses pembuatan minyak kelapa tradisional ini
memang tergolong susah dan prosesnya lumayan lama. Dari 20-25 buah kelapa,
hanya dapat menghasilkan sekitar 2-3 liter minyak saja. Itu juga bergantung
dari jenis kelapanya. Info itu akurat karena dulu ibuku termasuk salah seorang
penghasil minyak kelapa rumahan. Kala itu, belum banyak minyak kemasan. Di
pasar, minyak kelapa ibuku lumayan dikenal banyak orang karena warna minyaknya
tidak terlalu kuning, juga tidak terlampau merah, dan memiliki wangi khas.
Hasil seperti itu diperoleh karena proses pengolahannya telaten. Aku senang
memperhatikan ibu memeras parutan kelapa dan menanak santannya sampai menjadi
minyak. Momentum yang paling kusukai adalah ketika ibu menuangkan hasil akhir
dari tanakan santan kelapa itu ke dalam botol-botol sirup bekas. Dan ketika
jari-jarinya sudah berlumuran minyak, langsung diusapkan ke rambut
bergelombangnya. Selalu ia menawari ke rambutku, namun terlanjur aku kabur
duluan. Sekarang, setelah kupikir matang-matang, sekiranya aku selalu menuruti
ajakan ibu dulu, mungkin saja rambutku tidak sekering ini.
Saat masih kecil, aku senang menemani ayah mencari
dan memanjat kelapa di kebun untuk dipakai ibu membuat minyak. Kadang aku jadi
rewel kalau ayah sampai lupa memetikkan buah kelapa muda untukku. Jika dia
sampai marah-marah karena itu, ia sering mengancam meninggalkanku sendirian di
kebun. Aku takut. Kuburan dekat dari situ. Dengan menggunakan sebuah gerobak
kayu rakitan, kami masukkan kelapa-kelapa itu ke dalamnya. Tak lupa aku
menghitungnya dengan menggunakan metode hitung khas pedagang kelapa di kampung
–istilahnya poto’ dalam persepuluh
buah. Kemudian kelapa-kelapa itu kami angkut ke rumah, mendorongnya
bersama-sama. Namun sesekali ayah cuma sendirian karena aku naik bertengger di
atas gerobak bak seorang kesatria berkuda. Aku membayangkan sosok Sultan
Hasanuddin sedang berkuda dengan gagahnya, serupa di poster-poster pahlawan.
Dari ayah aku tahu beberapa teknik memanjat
kelapa yang lumayan jitu. Salah satunya yaitu dengan menggunakan tali dari lilitan
pelepah daun pisang kering. Kedua ujungnya disambung kemudian dikaitkan pada kedua
pergelangan kaki. Pun teknik itu pernah aku praktikkan di umur 14 tahun. Saat
itu, setelah pelajaran olahraga, salah seorang teman perempuan satu kelasku sedang
manja-manja merayuku untuk memetikkan beberapa buah kelapa muda untuknya di
belakang sekolah. Rasa kelaki-lakianku memuncak. Teman-teman yang lain bersorak-sorai
dari dalam kelas ikutan meminta jatah. Aku beraksi. Pun beberapa buah kelapa
berhasil kupetik, berjatuhan satu per satu. Namun, seturunnya dari pohon,
dadaku merah-merah dan terkelupas. Itu perihnya bukan main. Tetapi pantang bagi
seorang remaja laki-laki menunjukkan rasa sakit di depan gadis-gadis.
Kisah berlanjut. Di saat bingung mencari tahi
minyak, Indo Becce memberi saran agar mencari tahi minyak di suatu pasar.
“Nnyyak, nnyyobha ngo nyari djyi fhacnyar
nydjara...,” dia berujar memberi rekomendasi.
Aku paham maksud perkataannya lewat ekspresi
wajah dan sorot matanya. Kata ibuku, Indo Becce masih sedarah denganku. Tapi
entah mau dirunut dari mana, silsilah tak mencantumkan namanya. Dia juga sering
memijatku saat aku masih balita. Saran ibuku, aku disuruh memangilnya Indo’ –serupa sapaan kepada nenek buyut.
Sekarang giginya sudah ompong melompong. Kedua bibirnya lemas melentur semakin
kendur menjulur ke tanah. Jadi kata-kata yang terucap sudah tidak terlalu jelas
lagi.
Esok hari aku bergegas ke pasar yang
ditunjukkan Indo Becce semalam. Mudah saja menjumpai pasar itu. Letaknya tak
jauh dari jalan raya. Suasananya pun masih sangat konservatif. Belum banyak kios
yang sudah terpetak-petak sesuai dengan jatah wilayah jual para pedagang. Kebanyakan
pedagang hanya menggunakan hamparan tikar untuk dipakai menggelar barang-barang
jualannya. Sebagai pelindung dari panas dan hujan, mereka cuma menggantung
terpal seadanya sebagai atap sementara. Boleh dibilang itu pasar kaget karena
berada di selasar jalan-jalan. Waktu operasinya dimulai setelah azan subuh
sampai pukul sembilan pagi, dan hanya berlangsung di hari senin dan jumat saja.
Tak perlu buang-buang waktu, segera kususur
satu demi satu hamparan jualan barang-barang dapur. Pencarianku terfokus di
tempat-tempat yang menjual minyak kelapa, karena kupikir tak mungkin barang
carianku itu berada di bagian ikan-ikan ataupun cakar –pakaian bekas impor. Dan
akhirnya, seperti perkiraan Indo Becce semula, di pasar tradisional itulah aku
berhasil menjumpai sekantung tahi minyak yang teronggok bisu menanti
kedatanganku. Wajahnya –tahi minyak– tampak semringah. Segera kuraih tanpa
banyak tawar pada si pemilik dagangan. Aku menghela nafas kemudian berlalu
lekas pulang. Tunggu ini, Idea,
bisikku dalam hati.
***
Dan kini malam beringsut menuju hari yang
sebentar lagi dini. Aku masih begini, lelap tak kunjung mampu teraih. Prasangka
terus berkelebat menjerat rasa dan rasio. Detak jarum jam dinding terdengar
rancu mengulur waktu. Senandung lagu-lagu ‘Noah’ mulai terdengar sumbang
lantaran sengal berulang-ulang mengikuti irama malam. Angin malam berdesir
sumbang semakin merambat memecah keheningan. Cakrawala kosong melompong,
sungkan menggubah komposisi nada. Resonansi dari angkasa raya urung mendekap
harmonisasi. Semesta berpaling; kau menjauh; aku apatis. Ya sudah, kunikmati ini
sendirian. Mainkan saja irama masing-masing.
....
Entah kapan
malam berhenti
Teman, aku
masih menunggu pagi
....
Malam
begini, malam tetap begini
Entah
mengapa pagi enggan kembali (Menunggu Pagi, Peterpan). (*)
Makassar
dini hari, 19 September 2012