19/09/2012

Gara-gara Tahi Minyak

Malam hampir larut. Tubuhku tergelatak sekenanya sebab letih yang mendera seharian. Telah kusematkan ego beserta senyumanmu di gudang pikiranku barang sejenak, cuma cemas berdiam menyemai prasangka-prasangka. Tampaknya kini tangguhku hampir meleleh sebab rutin kau sulut dengan alasan jumpa yang mesti selalu diberi jarak. Kau punya argumentasi atas itu dan sepenuhnya belum mampu kupahami. Hidupku perlahan sudah berasimilasi bersama alur kehidupanmu. Namun kadang tertatih merunut maksud-maksudmu. Aku berusaha lentur mengikuti iramamu. Selalu bersenandung sebelum kau memulai melentikkan nada-nada. Menderaimu bahagia sebelum hatimu canggung memintanya. Pun aku akan menghilang sebelum kau bermohon untuk menjauh, sebentar atau bisa saja lama.
Malam sudah terlalu larut. Kelopak mataku telah mengatup menenggelamkan retina. Otot-otot dan persendianku pelan-pelan mengulur ngilu dan sengal. Namun lelap sepenuhnya belum sempurna kurasai lantaran Bandoci dan kawan-kawannya juga sementara asyik bergulat membuat gaduh dari luar kamar. Mereka sedang riuh mempermasalahkan beberapa dari jawaban tebakan-tebakan konyol. Adakalanya kalau sedang tak ada kerjaan, kebiasaannya memang begitu. Seolah-olah tinggal di tengah hutan, tidak peduli dengan ketenangan para tetangga. Risiko tinggal di rumah kontrakan, pikirku.
Terkadang kita –manusia– teguh merapal suatu sabda kebenaran sementara kita berpijak di atas kesalahan yang merapuh.
“Dasar bandit-bandit, tukang rusuh, dan malas disuruh” aku menggerutu.
Ketenanganku terusik. Sekalipun menjadi biang dari segala kekonyolan di rumah, namun mereka juga punya sisi lain yang baik-baik. Selain pandai-pandai memasak, meraka juga taat sembahyang magrib. Hatiku jadi cooling down. Hingga tiba saatnya Bandoci mengajukan sebuah tebakan baru dan menjadi penutup dari acara tebak-tebakan malam itu.
“Naa, ini yang terakhir. Tahi apa yang bisa dimakan?” tanyanya.
Karena soal tebakannya tergolong mudah, kawan-kawan lainnya, termasuk aku –walau hanya mampu menebak dalam hati, serentak menjawab, “tai minynya’,mereka terbahak.
Sekarang aku benar-benar jadi terjaga, tersadar dari kantuk karena sorakannya heboh memecah separuh lelapku. Mereka sudah selesai dengan aksinya dan hendak beranjak tidur. Semantara aku dilanda resah. Gara-gara itu, insomnia mengambil alih situasiku. Nanar tak dapat kutampik. Meluapkan amarah dengan cara apa di saat-saat seperti itu, selain cuma jengkel dan menggerutu. Kucoba menyetel beberapa lagu favoritku dan kukeraskan volumenya sampai mereka sadar akan ketidaknyamananku tadi. Dan ternyata lumayan membantu. Ini bisa menjadi pelajaran bagi siapa pun. Pertama, tak perlu turut serta menjawab tebak-tebakan orang lain jika kau sudah sangat terkantuk-kantuk. Kedua, jika sebelum tidur suasana di sekitarmu sedang gaduh, pasanglah headset dan cobalah setel beberapa daftar lagu melankolis.
Gara-gara tahi minyak mataku sulit terpejam lagi. Tahu-tahu terpaksa aku mengingatmu lagi. Dulu sebelum aku pulang ke kampung, kau menitip pesan supaya dibawakan tahi minyak.
“Ray, jangan sampai lupa yah! Aku sangat suka dengan sambal tai minynya’ racikan ibuku. Apalagi kalau dijadikan isi sayur pare. Sudah terlalu lama aku tidak menikmatinya,” pintamu penuh harap, aku menelan ludah.
Mendengar itu aku tertawa, tetapi cuma dalam hati. Aku hendak memalingkan muka, sejenak untuk terkekah meluapkan tawa yang tertahan. Lagi-lagi aku segan. Raut mukamu terlanjur riang. Ternyata seleramu sedikit kampungan, kataku dalam hati sembari melebarkan senyum.
***
Sumber di sini

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ampas olahan minyak kelentik itu diberi istilah tahi minyak. Orang-orang di kampungku –suku Pattinjo atau masyarakat Bugis pada umumnya– mengucapnya dengan aksen yang sedikit berbeda, tai minynya’. Jadi supaya lebih Indonesia dan terucap nyaman, disebut saja dengan tahi minyak.
Asal kau tahu, Idea. Sunter terdengar kabar dari orang-orang tua yang pernah kutemui bahwa di saat sekarang ini tahi minyak sangat susah didapat. Hal itu dipertegas pula oleh Indo Becce –seorang nenek yang umurnya bisa kutaksir telah mencapai angka ratusan. Terlebih lagi industri per-minyak-kelapa-an sudah banyak gulung tikar sebab kalah saing dengan minyak sawit dan minyak-minyak kemasan yang harganya cenderung jauh lebih murah serta jenisnya variatif pula. Bahkan ada yang bisa langsung diminum. Hebatkan? Yang kutahu minyak kelapa memang bisa diminum hanya ketika seorang ibu hamil ingin melahirkan. Itu ibuku sendiri yang bilang dan pernah dipraktikkan ke kakak iparku. Supaya bayinya licin keluar, katanya. Oleh beberapa dukun beranak di kampungku juga berkata demikian. Dan memang terbukti mujarab.
Tahi minyak yang enak dan bisa dijadikan bahan dasar untuk membuat sambal adalah tahi minyak yang diperoleh dari proses penanakan santan secara langsung. Maksudnya, setelah santan diperoleh dari perasan sari-sari buah kelapa, santan itu langsung ditanak di atas bara api yang stabil. Berbeda jika santan itu didiamkan semalaman dahulu, lalu kumpulan bagian atasnya ditanak. Tahi minyaknya tidak akan sebagus dengan hasil tanakan secara langsung. Biasanya ampasnya hanya dijadikan sebagai bahan campuran untuk pakan ternak saja.

Proses pembuatan minyak kelapa tradisional ini memang tergolong susah dan prosesnya lumayan lama. Dari 20-25 buah kelapa, hanya dapat menghasilkan sekitar 2-3 liter minyak saja. Itu juga bergantung dari jenis kelapanya. Info itu akurat karena dulu ibuku termasuk salah seorang penghasil minyak kelapa rumahan. Kala itu, belum banyak minyak kemasan. Di pasar, minyak kelapa ibuku lumayan dikenal banyak orang karena warna minyaknya tidak terlalu kuning, juga tidak terlampau merah, dan memiliki wangi khas. Hasil seperti itu diperoleh karena proses pengolahannya telaten. Aku senang memperhatikan ibu memeras parutan kelapa dan menanak santannya sampai menjadi minyak. Momentum yang paling kusukai adalah ketika ibu menuangkan hasil akhir dari tanakan santan kelapa itu ke dalam botol-botol sirup bekas. Dan ketika jari-jarinya sudah berlumuran minyak, langsung diusapkan ke rambut bergelombangnya. Selalu ia menawari ke rambutku, namun terlanjur aku kabur duluan. Sekarang, setelah kupikir matang-matang, sekiranya aku selalu menuruti ajakan ibu dulu, mungkin saja rambutku tidak sekering ini.
Saat masih kecil, aku senang menemani ayah mencari dan memanjat kelapa di kebun untuk dipakai ibu membuat minyak. Kadang aku jadi rewel kalau ayah sampai lupa memetikkan buah kelapa muda untukku. Jika dia sampai marah-marah karena itu, ia sering mengancam meninggalkanku sendirian di kebun. Aku takut. Kuburan dekat dari situ. Dengan menggunakan sebuah gerobak kayu rakitan, kami masukkan kelapa-kelapa itu ke dalamnya. Tak lupa aku menghitungnya dengan menggunakan metode hitung khas pedagang kelapa di kampung –istilahnya poto’ dalam persepuluh buah. Kemudian kelapa-kelapa itu kami angkut ke rumah, mendorongnya bersama-sama. Namun sesekali ayah cuma sendirian karena aku naik bertengger di atas gerobak bak seorang kesatria berkuda. Aku membayangkan sosok Sultan Hasanuddin sedang berkuda dengan gagahnya, serupa di poster-poster pahlawan.
Dari ayah aku tahu beberapa teknik memanjat kelapa yang lumayan jitu. Salah satunya yaitu dengan menggunakan tali dari lilitan pelepah daun pisang kering. Kedua ujungnya disambung kemudian dikaitkan pada kedua pergelangan kaki. Pun teknik itu pernah aku praktikkan di umur 14 tahun. Saat itu, setelah pelajaran olahraga, salah seorang teman perempuan satu kelasku sedang manja-manja merayuku untuk memetikkan beberapa buah kelapa muda untuknya di belakang sekolah. Rasa kelaki-lakianku memuncak. Teman-teman yang lain bersorak-sorai dari dalam kelas ikutan meminta jatah. Aku beraksi. Pun beberapa buah kelapa berhasil kupetik, berjatuhan satu per satu. Namun, seturunnya dari pohon, dadaku merah-merah dan terkelupas. Itu perihnya bukan main. Tetapi pantang bagi seorang remaja laki-laki menunjukkan rasa sakit di depan gadis-gadis.
Kisah berlanjut. Di saat bingung mencari tahi minyak, Indo Becce memberi saran agar mencari tahi minyak di suatu pasar.
“Nnyyak, nnyyobha ngo nyari djyi fhacnyar nydjara...,” dia berujar memberi rekomendasi.
Aku paham maksud perkataannya lewat ekspresi wajah dan sorot matanya. Kata ibuku, Indo Becce masih sedarah denganku. Tapi entah mau dirunut dari mana, silsilah tak mencantumkan namanya. Dia juga sering memijatku saat aku masih balita. Saran ibuku, aku disuruh memangilnya Indo’ –serupa sapaan kepada nenek buyut. Sekarang giginya sudah ompong melompong. Kedua bibirnya lemas melentur semakin kendur menjulur ke tanah. Jadi kata-kata yang terucap sudah tidak terlalu jelas lagi.
Esok hari aku bergegas ke pasar yang ditunjukkan Indo Becce semalam. Mudah saja menjumpai pasar itu. Letaknya tak jauh dari jalan raya. Suasananya pun masih sangat konservatif. Belum banyak kios yang sudah terpetak-petak sesuai dengan jatah wilayah jual para pedagang. Kebanyakan pedagang hanya menggunakan hamparan tikar untuk dipakai menggelar barang-barang jualannya. Sebagai pelindung dari panas dan hujan, mereka cuma menggantung terpal seadanya sebagai atap sementara. Boleh dibilang itu pasar kaget karena berada di selasar jalan-jalan. Waktu operasinya dimulai setelah azan subuh sampai pukul sembilan pagi, dan hanya berlangsung di hari senin dan jumat saja.
Tak perlu buang-buang waktu, segera kususur satu demi satu hamparan jualan barang-barang dapur. Pencarianku terfokus di tempat-tempat yang menjual minyak kelapa, karena kupikir tak mungkin barang carianku itu berada di bagian ikan-ikan ataupun cakar –pakaian bekas impor. Dan akhirnya, seperti perkiraan Indo Becce semula, di pasar tradisional itulah aku berhasil menjumpai sekantung tahi minyak yang teronggok bisu menanti kedatanganku. Wajahnya –tahi minyak– tampak semringah. Segera kuraih tanpa banyak tawar pada si pemilik dagangan. Aku menghela nafas kemudian berlalu lekas pulang. Tunggu ini, Idea, bisikku dalam hati.
***
Dan kini malam beringsut menuju hari yang sebentar lagi dini. Aku masih begini, lelap tak kunjung mampu teraih. Prasangka terus berkelebat menjerat rasa dan rasio. Detak jarum jam dinding terdengar rancu mengulur waktu. Senandung lagu-lagu ‘Noah’ mulai terdengar sumbang lantaran sengal berulang-ulang mengikuti irama malam. Angin malam berdesir sumbang semakin merambat memecah keheningan. Cakrawala kosong melompong, sungkan menggubah komposisi nada. Resonansi dari angkasa raya urung mendekap harmonisasi. Semesta berpaling; kau menjauh; aku apatis. Ya sudah, kunikmati ini sendirian. Mainkan saja irama masing-masing.
....
Entah kapan malam berhenti
Teman, aku masih menunggu pagi
....
Malam begini, malam tetap begini
Entah mengapa pagi enggan kembali (Menunggu Pagi, Peterpan). (*)

(Dimuat dalam Antologi Cerpen “Cermin, Nama, dan Pelita”)

Makassar dini hari, 19 September 2012

10/09/2012

Bagian dari Segalanya


 Sumber disini

Masih tentang yang sudah-sudah. Memandangimu menjadi ritual khusus tatkala pisah telah berganti jumpa, renggang menjadi rapat lagi. Konsekuensi dari itu pun selalu menyisakan kerinduan mendalam usai memandangi senyummu yang tak pernah tamat kunikmati. Aku kerap kalah tak berdaya dalam kenikmatan yang kadang menyiksa. Menjadi semakin lejit dan melesat dalam cakrawala fantasi-fantasi. Sayangnya dalam keadaan begitu, kau urung memahami dan aku sungkan memungkiri. Cukup untuk kurasai sendirian lantaran norma dan janji erat membatasi. Segan aku melanggarnya lantaran mimpi akanmu teramat mulia daripada secuil yang terbatas itu. Aku menjagamu sebab aku mencintaimu.
Kucoba menyisipkan harap tatkala mataku terpejam membayangkan sisa-sisa pertemuan semalam dan di malam-malam selanjutnya. Pun selalu kerinduan itu akan kureduksi menjadi doa-doa sebelum akhirnya kembali berkecambah menjadi fantasi yang terus memendar di samudera imajinasi. Harapan itu tentang realisasi dari mimpi-mimpi bersamamu, terus berkelabat bersama munajatku di ujung tafakur. Kupikir itu lebih pantas dan jelas menawan. Darimu dulu aku berani bermimpi. Darimu pula, kini aku mampu mengaitnya di titian takdir yang akan kita susur bersama. Hidupku untuk mencintaimu, takdirmu untuk bersamaku. Demikian sebagian mimpi kita saling bertutur.
Aku mencintai karena aku cinta. Tak ada alasan apa-apa untuk itu –mencintaimu. Semesta telah bereaksi merunut jejak-jejak kita menuju segalanya. Kau dan aku adalah bagian dari segalanya. Dan Tuhan pemilik atas segalanya. (*)

Makassar, 9 September 2012

31/08/2012

Liberty and Victory

Agustus yang tentram berlalu nyaris tanpa menyisakan lara. Selaksa nikmat sisa ramadhan telah membuaiku dalam candu yang menyejukkan jiwa. Bermacam rupa ibadah mulai terasa nikmat rutin terselenggara. Hati yang masih bergetar tatkala asma-Nya merdu dilantunkan –kuharap senantiasa begitu, selalu melinangkan air mata sesal yang teramat dalam. Terasa seperti damai memagut duka membenamkan nelangsa. Semua dari itu mewujud dalam syukur atas-Nya yang senantiasa kurapalkan di sujud terakhir salat-salatku. Hanya kepada-Nya segala munajat bermuara, pemilik atas segala ke-Mahaan tiada tara.
“Itu berkah ramadhan, Ray,” ucapmu tak lama setelah kuutarakan suasana batin itu padamu.
Betapa tidak, nikmat kemerdekaan dan kemenangan telah diraih di momentum ramadhan yang baru saja berlalu. Dalam bahasa yang trendi, orang-orang menyebutnya dengan istilah liberty and victory. Kemerdekaan adalah wujud kebebasan dari segala jerat yang membelenggu. Bangsa ini punya sejarah panjang nan kelam dalam meraih kemerdekaan. Bukan pekerjaan mudah untuk meraihnya, terlebih mempertahankannya. Sementara kemenangan diperoleh setelah melalui perjuangan yang menempa. Dalam konteks ini adalah puasa. Tetapi setelah menjalankan puasa, apa? Adakah yang berubah? Namun pesta kemerdekaan 17 Agustus dan kemeriahan kemenangan Idul Fitri tahun ini terasa begitu khidmat. Keduanya telah memadu satu dalam berkah fitrah lahir dan batin.
Tentu masih jelas tergambar dalam kenangmu saat puasa kemarin menempa rasa cinta dan kesabaran kita. Sering kita saling berebut peran, menjadi reminder, serupa kokokan ayam ataupun beduk penanda imsak dan azan buka puasa. Riang saling berlomba menamatkan bacaan Quran masing-masing, serta mengajak satu sama lain menghabiskan sisa-sisa tarawih bersama di mesjid kesukaanmu. Aku pun nyaman menikmatinya. Itu hal yang sangat jarang kulakukan di tahun-tahun sebelumnya. Kerap cuma terlalui dengan kegiatan-kegiatan tak berguna. Sekalipun menjadi kewajiban dan rutinitas tiap tahunnya, selalu hanya datang dan berlalu begitu saja, tak menyisakan hikmah apa-apa. Redam tak berjejak, suram semakin mengelam.
Namun jika kau sedang absen lantaran siklus kodratimu datang mengunjungi, Bandoci dan kawan-kawan tak lupa kuajak serta menjemaahkan isya serta witir. Malah jadinya lebih mirip tim safari ramadhan kabupaten yang berkunjung dari masjid yang satu ke mesjid yang lain di kampung-kampung. Mereka tampak bersuka cita dalam menyemarakkan acara tarawih bersama itu. Hanya saja terkadang Bandoci resah berkeluh lantaran salah satu kawan keranjingan menghabiskan tarawih sampai 20 rakaat. Tapi itu tak menjadi beban. “Kita jadikan ini sebagai ujian kesabaran dan keimanan kita, kawan,” ujarnya berlagak seorang ustaz, kawan lainnya malah terpingkal-pingkal menimpali. Kau tau kan, imam-imam mesjid di kota ini gemar membaca surah-surah yang panjang-panjang. Sangat berbeda dengan yang ada di kampungku, bacaan surahnya pendek-pendek dan gerakan salatnya cepat-cepat pula.


Apakah benar ini berkah? Kupikir bisa jadi demikian. Seumur hidup tak pernah kunikmati yang demikian. Namun seiring usia yang semakin menahun, membuatku tertegun malu meratapi dosa yang telah lebat berimbun.
“Aku malu menengadahkan muka kepada-Nya, Idea,” resahku.
“Tuhan Maha Pemaaf sekaligus Pengampun bagi yang pasrah  memohon!” bujukmu memperbaiki suasana.
Aku tahu Tuhan memahaminya. Hidupku akan sangat bernilai jika keberadaanku diantara sesama dapat menjadi manfaat dan solusi atas masalah-masalah mereka. Seperti tertulis dalam quote of day yang pernah kutilik di pojok sampul depan salah satu koran, “kebahagiaan adalah ketika kita dapat membuat orang-orang di sekitar kita merasa bahagia”. Hanya saja di usia seperempat abad lebih umurku saat ini, sesekali mulai terngiang resah yang menggundah karena kematangan berpikir dan kemapanan duniawi yang biasa kusebut dengan kesejahteraan hidup, masih sungkan merapat. Barangkali itu sah-sah saja karena aku seorang pria. Masih lajang pula. Terlalu lebay, hehe..
Tentang itu adalah kuasa Tuhan, hak keistimewaan-Nya yang sudah kita sepakati sebagai takdir. Jika memang takdir sudah termaktub pada garis tangan-tangan kita, aku bisanya apa? Namun kupikir masalahnya tidak sesederhana itu. Aku percaya dengan kekuatan doa dan mimpi. Aku dan akal pikiranku adalah bagian dari alam semesta ini. Pun mimpi yang kuat kuimajinasikan serta kenyataan hidup yang akan terjadi, juga tersimpul di dalamnya. Keberadaanmu pun juga demikain. Semuanya menjadi satu kesatuan kesemestaan yang memiliki kemampuan saling memahami yang disebut dengan bahasa semesta. Setiap daripada bagian-bagian itu akan kait mengait tatkala salah satu bagiannnya bereaksi. Masing-masing kita memiliki peran dan alasan hidup di dunia ini. Kadang ketika ternyata mimpi tak seindah kenyataan, kita mereduksi makna takdir menjadi nasib. Dan ketika kenyataan jauh lebih menawan dari mimpi, takzim kusebut sebagai sebuah keajaiban.
Sudahlah, sekarang cukup untuk apa yang ada saja. Mensyukuri nikmat-nikmat ini saja bersama dengan orang-orang terdekat, termasuk dirimu. Dan dalam keadaan begini, aku merindukanmu.
Awan putih gemawan menudungi jumpa yang sudah tak lagi lama. Kunanti senyummu yang elok rupawan serupa di taman ataupun halaman impianku. Segera kusaji sambut menawan nan berkawan tatkala pertemuan tergelar lantaran lebaran telah memilah kita dalam ikatan cinta yang kurasa semakin tentram. Aku ke kampungku, kau tetap di kotamu. Tersenyumlah nanti, setidak-tidaknya penawar atas sekebat rindu yang berkelabat beberapa pekan.

Makassar, di akhir Agustus 2012

27/07/2012

Profesi Mulia

Waktu sudah menunjuk pukul sembilan pagi. Namun, kabut masih terlalu lebat segan mengurai pagi. Kamis yang bisu. Tetesan embun di pucuk-pucuk daun kopi merabas menjatuhi bebatuan pegunungan yang berlumut. Gigil tak dapat kutampik. Sekalipun jaket kulit erat membungkus badan kurusku mengendari sepeda motor, tetap saja dingin merasuk sampai ke tulang-tulang. Aku belum terbiasa dengan dingin seperti itu karena rumahku dekat dengan pesisir pantai. Suhunya berbeda. Sementara sekolah yang kutuju saban pagi letaknya di atas puncak gunung. Gunung sebenar-benarnya gunung. Dan jika telah sampai di puncak yang kumaskud tadi, barang semenit sudah bisa sampai di sekolah.

Tampak gedung sekolah (yang beratap merah) difoto di atas bukit Salimbongan

Karena letaknya di dusun Salimbongan, sekolah itu diberi nama SMP Salimbongan. Tepatnya SMP Satu Atap Salimbongan Kec. Lembang, Kab. Pinrang. Bangunannya baru, tapi cuma seadanya. Cuma tiga ruangan saja. Namun demikian, itu sudah cukup untuk dipakai belajar oleh siswa kelas VII dan VIII. Ruangan yang satunya lagi didaulat mejadi ruangan serbaguna: kantor kepala sekolah, ruang guru-guru, ruang BK, laboratotium IPA, penyimpanan alat-alat olahraga, dapur, serta lonceng, cangkul, dan badik peralatan bujang sekolah. Ruangan kelas IX belum tersedia karena sekolah itu baru berjalan dua tahun. Coba bayangkan bila nanti sudah memasuki tahun ketiga. Siswa baru mau belajar di mana? Atau bisa saja salah satu ruangan itu beralih fungsi karena ruangan yang tak mencukupi. Alhasil, bapak kepala sekolah gelisah dibuatnya saat itu.
Kalau diukur dari rumah dinas pak camat di kota kecamatan ke sekolah, sekolah tempatku mengajar itu jaraknya 35 km. Kemudian jarak dari kediaman pak camat ke rumahku sekira 10 km. Jadi, kalau menunggangi sepeda motor, aku membutuhkan waktu sekira sejam lamanya untuk bisa sampai di sana. Jangan harap ada sinyal hape. Medannya menanjak, membelah bukit demi bukit. Kadang berserakan bebatuan cadas akibat longsor karena hujan lebat. Sementara kalau dari sekolah menuju ibu kota kabupaten, jaraknya mencapai dua kali lipat jarak dari rumahku ke sekolah itu. Coba hitung sendiri lalu renungkan. Tak usah berpanjang lebar. Sekolah itu letaknya jauh. Sederhananya, terpencil.
Bayangkan betapa repotnya bila mendadak ada panggilan rapat dari dinas pendidikan di kota kabupaten. Mau apa lagi? Menjadi pendidik memang juga harus sigap. Haruslah sabar dan ikhlas serta memiliki hati yang lapang. Hanya senyum dan semangat para siswa yang menjadi pelipur. Itu jelas tergambar tatkala mereka takzim menunggu pelajaranku di dalam kelas. Tak perlu mengasihaniku. Aku sudah kenyang dengan segala keluhan-keluhan. Cukup beri simpati buat mereka yang bersekolah di sana. Mereka adalah anak-anak yang punya segudang cita-cita mulia. Anak-anak yang menyimpan berjuta potensi dan kreativitas, sebelum semua itu sirna karena terenggut oleh tradisi nikah muda, warisan berladang kopi dan jagung, serta karena alasan biaya yang tak lagi memadai. Namun, mereka tetap bisa tersenyum berlarian menuju sekolah, sementara orang tuanya meringis dalam hati membayangkan masa depan anaknya.
“Anak-anak, cukup sekian dulu pelajaran kita hari ini. Mungkin hari ini juga merupakan pertemuan kita yang terakhir. Semangat dan tetap rajin belajar,” kataku menutup pelajaran sekaligus sebagai salam perpisahan singkat.
Sulit menggambarkan suasana haru saat itu. Siang itu sudah memasuki tahun kedua masa kerjaku. Dengan berbagai alasan, aku memilih untuk tak lagi melanjutkan menjadi seorang guru di sana. Seorang guru honor.
***
“Terus, bagaimana dengan siswa-siswamu sekarang, Ray?”
Aku diam tak menimpalimu.
“Ayolah, Ray. Aku ingin mendengarkan pengalaman-pengalamanmu di sana,” desakmu sambil menarik-narik lengan kemejaku.
“Sudahlah, Idea. Miris kalau harus mengulik kisah itu lagi. Aku telah kalah dengan keadaan,” keluhku.
Barangkali kau butuh banyak referensi tentang keadaan begitu. Kau suka dengan kondisi sekolah seperti itu. Tantangan, katamu. Walaupun masih gadis, dirimu sering mengajukan permohonan mengikuti program-program menjadi pendidik di sekolah-sekolah terpencil dan tertinggal. Serupa Indonesia Mengajar, Sarjana Mengajar, Menjadi Pendidik Muda, dan semacamnya. Gerakan-gerakan seperti itu sangat bagus, output-nya jelas dan menjanjikan, terangmu. Sedangkan aku dulu, cuma gerakan hati nurani saja. Hanya karena akumulasi dari rasa putus asa dan kebingunganku mencari pekerjaan.
Saat itu, menjadi guru honor menjadi pilihan paling akhir untuk melabuhkan kesakralan ijazahku yang telah kuraih selama empat tahun. Tak ada kejelasan harus mengabdi sampai berapa lama agar derajat bisa diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil. Begitupun dengan gaji, juga sama tak jelasnya. Dan itu hampir dialami oleh seluruh kawan-kawan guru honor di Indonesia. Lihatlah mereka sekarang. Pandang nasib mereka. Toh masih begitubegitu saja. Belum ada perubahan. Padahal mereka juga adalah seorang pendidik, dan malah memiliki loyalitas tinggi, tetapi diabaikan.
Profesi seorang guru adalah mulia. Disebut profesi karena tak boleh sembarangan orang menjadi guru. Haruslah orang yang kompeten dan kapabel, alias profesional. Pekerjaan seorang guru adalah mendidik, bukan cuma sekadar mengajar tok. Guru merupakan orang yang paling banyak berinteraksi dengan peserta didik. Tidak hanya berkutat pada persoalan pembelajaran di kelas, tetapi berbagai hal tentang sikap dan perilaku para siswa ikut menjadi tanggung jawabnya agar mereka kelak menjadi pribadi yang mandiri dan berkarakter. Guru selalu berada di barisan terdepan dalam dunia pendidikan. Berhasil atau tidaknya pendidikan suatu bangsa, mau tidak mau, faktor guru menjadi muara dari segala alasan yang nantinya akan muncul.
“Kurasa cukup, Idea. Aku tak perlu menceramahimu tentang itu. Kita sama-sama sudah memahami. Menjadi seorang guru memang profesi yang mulia. Tapi di sisi lain, kesejahteran guru juga tak kalah pentingnya!”
“Apakah karena alasan itu kamu berhenti mengajar di sana?” sahutmu seketika.
Kubalas dengan diam membuang muka.
“Lantas? desakmu lagi. “Ayolah, Ray!”
“Apa yang membuat manusia dapat terus survive?” tanyaku berbalik ke arahmu.
“Mimpi, hope” tebakmu.
“Kamu benar. Kita sama-sama mempunyai mimpi, Idea. Akupun demikian. Hanya itu yang kupunya. Mimpi yang akan terus kukejar, bahkan akan berusaha melampauinya,” kataku mencoba bijak menjelaskan.
Di selasar taman yang tak jauh dari balai kota aku kembali diam memaknai keadaan. Kau termangu memahamiku. Pandanganku kosong, tatapanmu berbinar. Sore yang bisu. Burung berkicau, dedauanan gemeresik lantaran angin sepoi melentiknya bersilir. Sebuah map berisi beberapa lembar fotokopi ijazah yang telah kulegalisir bersamamu siang tadi, tergeletak sekenanya di pangkuanku. Tentang menjadi pendidik, tentang masa depan, tentang mimpi dan harapan, berpadu satu dalam semilir angin senja yang perlahan menjemput malam, lalu terbang bersama awan ke angkasa yang jingga.

Foto diambil sebelum tampil mementaskan drama pada acara 17 Agustusan.

Makassar, 27 Juli 2012
 

19/07/2012

Doa di Malam 1 Ramadan

AKU bukanlah seorang pendoa ulung, bukan pula muslim paling alim. Aku hanya seorang pendosa yang selalu linglung, bahkan tak jarang berbuat zalim. Sembahyangku juga masih bolong-bolong. Tadarusan apalagi. Cuma Surah Yasin yang senang kumaratonkan. Tatkala berdoa, mulutku pun kaku tak mampu mengurai maksud lewat untaian kata-kata nan syahdu. Lidahku kelu lantaran gamang meratapi diri yang kurang terjamah wudhu. Aku malu. Apa mungkin Tuhan mau memberi dispensasi kepadaku sebagai hamba yang selalu ingin dipahami dan dimengerti?
Setelah kupikir-pikir, doa menjadi satu-satunya media penyerahan diri paling memadai saat ini. Dan rasanya tak sopan jika harus menangis lagi di hadapan-Nya. Tegur bila ternyata keliru. Sudah sering aku begitu. Rautku amat berantakan apabila meneteskan air mata. Rasanya tak enak menghadap-Nya dengan rupa sebentuk itu. Aku ingin menampakkan kesempurnaan wajah yang kupunya. Pernah kucoba untuk mengatupkan kelopak mata. Dan ketika harus begitu, air mataku tertahan tak dapat keluar dengan sempurna. Malah jadi sakit mata. Maka, perkenankanlah aku menyampaikan doa ini dengan cara sederhana saja. Mampuku hanya menuliskannya dulu, setelah ini akan kubacakan untuk-Nya di malam 1 ramadan nanti.
***

Untuk-Mu yang selalu menggetarkan hati dan semesta
Di singgasana paling agung

Engkau Maha Sempurna melampaui segala nilai dan sifat-sifat yang Kau punya. Engkau Maha Pengasih sekaligus Maha ‘Pemarah’ sebab murka atas aku yang kadang tak tahu arah. Aku masih saja rabun memahami kebajikan dan kejahatan, tentang kebahagiaan dan kesedihan, hitam dan putihnya kehidupan, serta segala hal yang berlawanan. Tidakkah sengaja Kau ciptakan hal-hal kontradiktif seperti itu? Maka Kau memberiku akal untuk itu. Satu kelebihan yang membuat makhluk-makhluk lain merasa iri: dapat mengungguli kemuliaan malaikat jikalau mempergunakannya dengan baik, dan sebaliknya, akan melampaui kesesatan setan jika tidak digunakan dengan baik pula. Singkatnya, makhluk sempurnalah. Namun sayang, akalku belum mampu mengurai makna-makna di balik semua itu.

Tuhan, mohon pengertian-Mu. Jalanku kini tampaknya mulai suram. Dulunya pernah temaram, kini perlahan kembali muram. Aku tahu diri ini berlumur dosa. Tetapi mohon dipertimbangkan. Barangkali saja ada dua, tiga, atau empat amal kebajikan yang sudah kubuat. Kuadratkan segala pahala dari itu. Atau kalau bisa, barterkan secuil amalku dengan segudang dosa yang telah kuperbuat. Sulutlah kembali obor kehidupanku. Hampir saja resah betah menjadikanku kalah. Sekali lagi, Tuhan, mohon pertimbangkan. Sekiranya ternyata belum sepadan, mohon dicek ulang. Bisa jadi terselip di tumpukan amal dermawan orang sebelah.

Selalu kuharapkan percikan cahaya-Mu, nur dari dari segala nur itu. Tak usah terlalu benderang. Cukup untuk untuk menerangi akal dan hatiku tok. Cukup untuk menyusuri jalan hidupku yang sudah Kau patok. Cukup untuk memancarkan cahaya kebaikan ke orang-orang sekitarku, serta bermanfaat bagi sesama. Hanya saja beberapa diantaranya malah membalasnya dengan maki. Selebihnya ada juga menimpali dengan doa dan terima kasih. Adapun mereka mau ikhlas membalasnya dengan harta benda, kupikir Engkau tak akan keberatan, bukan? Karena pemberian itu akan kuamalkan kembali. Di dunia mendulang amal, di akhirat meraih pahala secara optimal.

Teruntuk ibuku yang dulu sering kubuat murka, sampai-sampai harus meneteskan air mata, membuat dadaku selalu bergetar dibuatnya. Aku sangat menyayanginya, Tuhan. Hanya saja kemiskinan pernah membuat kami buta, tak bersepaham tentang arti sebuah penderitaan dan kebahagiaan. Lupakanlah itu. Kini, jikalau boleh memohon, aku ingin membahagiakannya dengan kesejahteraan hidup yang berkecukupan. Tentu saja hasil dari jerih payahku sendiri. Kalau hanya dengan itu bisa membuatnya senang, maka curahkanlah kepadaku rejeki dan harta berlimpah. Sampai di usia segini, aku bahkan belum mampu memberinya apa-apa. Apalagi menghadiahkannya beberapa cucu. Menghidupi diri sendiri saja aku tak becus. Namun apabila berkenan, mohon jadikan aku sebagai seorang pria mapan, layak untuk meminang anak gadis orang.

Untuk ayahku yang sering kubuat kesal karena perintahnya selalu kutampik, jelas tak boleh sampai ketinggalan dalam doa ini. Segala bentuk kerja kerasnya dalam menafkahi keluarga tentu tak cukup kubalas dengan harta maupun benda saja. Pekerjaan sekeras dan sekasar apa yang tak pernah dilakoninya? Kini tubuhnya tampak sudah tak sekekar dahulu. Usia telah menggerogoti keperkasaannya. Aku berharap dapat mempersembahkan kepadanya sebuah martabat dan kedudukan yang pantas. Sedih ketika harus mengingat hinaan dari orang-orang yang selalu memandangnya sebelah mata. Maka dari itu, Tuhan, wujudkanlah mimpiku menjadi seorang yang memiliki kedudukan dengan segudang prestasi, supaya dapat membuatnya bangga memiliki seorang bungsu yang berdedikasi tinggi.

Terhadap saudara-saudara sedarahku, rasanya tak lengkap bila tanpanya. Aku bisa berbuat apa tanpa mereka? Aku sudah berada di titik ini justru karena dukungan mereka. Bahkan seorang diantaranya harus rela menidurkan mimpinya sekolah tinggi-tinggi lantaran biaya enggan merestui. Darinya pun kini ia bangunkan mimpinya kemudian ia sematkan di pundakku. Kepada-Mu jua aku bermohon, lindungi mereka dari segala bahaya. Kabulkan doa-doa mereka. Simpul kami dalam ikatan persaudaraan abadi, berbakti kepada Ayah dan Ibu, serta kelak dijauhkan dari seteru perihal warisan dan gono-gini.

Duhai Tuhanku, Kekaksih Sejatiku. Kurasa cukup sekian dulu doaku. Selebihnya akan kususul dalam tafakur di keheningan malam-malam berikutnya. Ramadan adalah bulan suci, mujarab memanjatkan setumpuk doa-doa. Namun jangan merasa bosan jika doa ini selalu berulang dan terulang. Tentu semuanya akan kembali kepada-Mu. Mohon efisienkan bila terlalu berlebihan, ingatkan bila masih ada hal penting yang terlewatkan. Sekali lagi, mohon pemahaman dan pengertian-Mu!

Tertanda
Hamba-Mu yang masih saja bodoh,

UM Ray Bitta (cukup sebut Ray saja)
***
Sinar jingga semburat merangai pagi. Awan yang berkelabat menudungi telaga sunyi, terberai-berai karena fajar gegas menyembul di baliknya. Esok ataupun lusa, suasananya akan jadi beda. Kokokan ayam dan bedug di senja kala dalam sebulan ke depan akan menjadi ramai dinanti-nanti. Setelah itu sunyi senyap tanpa jejak. Semoga saja tidak. Kalau sidang isbat jadi menetapkan esok sebagai hari pertama Ramadan, aku berencana melantunkan doa itu di sepertiga malam sebentar. Namun seandainya lelap menggelayuti lelahku sampai tahajud tak dapat kutemui, kutitipkan doa itu padamu, Idea. Semoga kau tak keberatan. Bacakan untukku tatkala kau sedang terjaga. Lantunkan beberapa ayat peneguh iman, sebelumnya. Setelahnya, zikirkan dalam sekebat tasbih pengikat keyakinan. Padamu juga telah kusematkan seuntai doa dalam senandung kerinduan. Seperti sebaris kata yang pernah kupindai, bahwa wujud rindu nan hakiki adalah ketika kita takzim saling mendoakan di sujud rakaat paling akhir. (*)

Makassar (menuju Pajalele), 19 juli 2012