Waktu sudah menunjuk pukul sembilan pagi. Namun,
kabut masih terlalu lebat segan mengurai pagi. Kamis yang bisu. Tetesan embun di
pucuk-pucuk daun kopi merabas menjatuhi bebatuan pegunungan yang berlumut.
Gigil tak dapat kutampik. Sekalipun jaket kulit erat membungkus badan kurusku
mengendari sepeda motor, tetap saja dingin merasuk sampai ke tulang-tulang. Aku belum
terbiasa dengan dingin seperti itu karena rumahku dekat dengan pesisir pantai.
Suhunya berbeda. Sementara sekolah yang kutuju saban pagi letaknya di atas puncak
gunung. Gunung sebenar-benarnya gunung. Dan jika telah sampai di puncak yang
kumaskud tadi, barang semenit sudah bisa sampai di sekolah.
![]() |
Tampak gedung sekolah (yang beratap merah) difoto di atas bukit Salimbongan |
Karena letaknya di dusun Salimbongan, sekolah itu diberi nama SMP Salimbongan. Tepatnya SMP Satu Atap Salimbongan Kec. Lembang, Kab. Pinrang. Bangunannya baru, tapi cuma seadanya. Cuma tiga
ruangan saja. Namun demikian, itu sudah cukup untuk dipakai belajar oleh siswa kelas VII dan
VIII. Ruangan yang satunya lagi didaulat mejadi ruangan serbaguna: kantor kepala
sekolah, ruang guru-guru, ruang BK, laboratotium IPA, penyimpanan alat-alat
olahraga, dapur, serta lonceng, cangkul, dan badik peralatan bujang sekolah. Ruangan
kelas IX belum tersedia karena sekolah itu baru berjalan dua tahun. Coba bayangkan
bila nanti sudah memasuki tahun ketiga. Siswa baru mau belajar di mana? Atau bisa saja
salah satu ruangan itu beralih fungsi karena ruangan yang tak mencukupi. Alhasil, bapak kepala
sekolah gelisah dibuatnya saat itu.
Kalau diukur dari rumah dinas pak camat di
kota kecamatan ke sekolah, sekolah tempatku mengajar itu jaraknya 35 km. Kemudian jarak dari kediaman pak
camat ke rumahku sekira 10 km. Jadi, kalau menunggangi sepeda motor, aku membutuhkan waktu sekira
sejam lamanya untuk bisa sampai di sana. Jangan harap ada sinyal hape. Medannya menanjak, membelah bukit
demi bukit. Kadang berserakan bebatuan cadas akibat longsor karena hujan lebat.
Sementara kalau dari sekolah menuju ibu kota kabupaten, jaraknya mencapai
dua kali lipat jarak dari rumahku ke sekolah itu. Coba hitung sendiri lalu renungkan.
Tak usah berpanjang lebar. Sekolah itu letaknya jauh. Sederhananya, terpencil.
Bayangkan betapa repotnya bila mendadak ada
panggilan rapat dari dinas pendidikan di kota kabupaten. Mau apa lagi? Menjadi
pendidik memang juga harus sigap. Haruslah sabar dan ikhlas serta memiliki hati yang
lapang. Hanya senyum dan semangat para siswa yang menjadi pelipur. Itu jelas
tergambar tatkala mereka takzim menunggu pelajaranku di dalam kelas. Tak perlu mengasihaniku.
Aku sudah kenyang dengan segala keluhan-keluhan. Cukup beri simpati buat mereka
yang bersekolah di sana. Mereka adalah anak-anak yang punya segudang cita-cita
mulia. Anak-anak yang menyimpan berjuta potensi dan kreativitas, sebelum semua
itu sirna karena terenggut oleh tradisi nikah muda, warisan berladang kopi dan jagung,
serta karena alasan biaya yang tak lagi memadai. Namun, mereka tetap bisa tersenyum
berlarian menuju sekolah, sementara orang tuanya meringis dalam hati membayangkan
masa depan anaknya.
“Anak-anak, cukup sekian dulu pelajaran kita
hari ini. Mungkin hari ini juga merupakan pertemuan kita yang terakhir.
Semangat dan tetap rajin belajar,” kataku menutup pelajaran sekaligus sebagai salam
perpisahan singkat.
Sulit menggambarkan suasana haru saat itu. Siang itu sudah memasuki tahun kedua masa
kerjaku. Dengan berbagai alasan, aku memilih untuk tak lagi melanjutkan menjadi
seorang guru di sana. Seorang guru honor.
***
“Terus, bagaimana dengan siswa-siswamu sekarang, Ray?”
Aku diam tak menimpalimu.
“Ayolah, Ray. Aku ingin mendengarkan pengalaman-pengalamanmu
di sana,” desakmu sambil menarik-narik lengan kemejaku.
“Sudahlah, Idea. Miris kalau harus mengulik
kisah itu lagi. Aku telah kalah dengan keadaan,” keluhku.
Barangkali kau butuh banyak referensi tentang
keadaan begitu. Kau suka dengan kondisi sekolah seperti itu. Tantangan, katamu.
Walaupun masih gadis, dirimu sering mengajukan permohonan mengikuti
program-program menjadi pendidik di sekolah-sekolah terpencil dan tertinggal. Serupa
Indonesia Mengajar, Sarjana Mengajar, Menjadi Pendidik Muda, dan semacamnya. Gerakan-gerakan
seperti itu sangat bagus, output-nya
jelas dan menjanjikan, terangmu. Sedangkan aku dulu, cuma gerakan hati nurani saja. Hanya
karena akumulasi dari rasa putus asa dan kebingunganku mencari pekerjaan.
Saat itu, menjadi guru honor menjadi pilihan paling
akhir untuk melabuhkan kesakralan ijazahku yang telah kuraih selama empat
tahun. Tak ada kejelasan harus mengabdi sampai berapa lama agar derajat bisa diangkat
menjadi Pegawai Negeri Sipil. Begitupun dengan gaji, juga sama tak jelasnya. Dan
itu hampir dialami oleh seluruh kawan-kawan guru honor di Indonesia. Lihatlah mereka sekarang. Pandang nasib mereka. Toh masih begitubegitu saja. Belum ada perubahan.
Padahal mereka juga adalah seorang pendidik, dan malah memiliki loyalitas
tinggi, tetapi diabaikan.
Profesi seorang guru adalah mulia. Disebut
profesi karena tak boleh sembarangan orang menjadi guru. Haruslah orang yang
kompeten dan kapabel, alias profesional. Pekerjaan seorang guru adalah
mendidik, bukan cuma sekadar mengajar tok. Guru merupakan orang yang paling
banyak berinteraksi dengan peserta didik. Tidak hanya berkutat pada persoalan
pembelajaran di kelas, tetapi berbagai hal tentang sikap dan perilaku para
siswa ikut menjadi tanggung jawabnya agar mereka kelak menjadi pribadi
yang mandiri dan berkarakter. Guru selalu berada di barisan terdepan dalam dunia
pendidikan. Berhasil atau tidaknya pendidikan suatu bangsa, mau tidak mau, faktor
guru menjadi muara dari segala alasan yang nantinya akan muncul.
“Kurasa cukup, Idea. Aku tak perlu
menceramahimu tentang itu. Kita sama-sama sudah memahami. Menjadi seorang
guru memang profesi yang mulia. Tapi di sisi lain, kesejahteran guru juga tak kalah
pentingnya!”
“Apakah karena alasan itu kamu berhenti
mengajar di sana?” sahutmu seketika.
Kubalas dengan diam membuang muka.
“Lantas? desakmu lagi. “Ayolah, Ray!”
“Apa yang membuat manusia dapat terus survive?” tanyaku berbalik ke arahmu.
“Mimpi, hope”
tebakmu.
“Kamu benar. Kita sama-sama mempunyai mimpi,
Idea. Akupun demikian. Hanya itu yang kupunya. Mimpi yang akan terus kukejar,
bahkan akan berusaha melampauinya,” kataku mencoba bijak menjelaskan.
Di selasar taman yang tak jauh dari balai kota aku kembali diam memaknai
keadaan. Kau termangu memahamiku. Pandanganku kosong, tatapanmu berbinar. Sore yang
bisu. Burung berkicau, dedauanan gemeresik lantaran angin sepoi melentiknya bersilir.
Sebuah map berisi beberapa lembar fotokopi ijazah yang telah kulegalisir bersamamu
siang tadi, tergeletak sekenanya di pangkuanku. Tentang menjadi pendidik,
tentang masa depan, tentang mimpi dan harapan, berpadu satu dalam semilir angin
senja yang perlahan menjemput malam, lalu terbang bersama awan ke angkasa yang jingga.
Makassar, 27
Juli 2012