Pada
tengah malam yang purnama, seorang pria hampir memergoki Sanna berseliweran di
kolong rumahnya. Anjing menyalak memecah keheningan. Pria itu bergegas ke halaman
depan rumahnya menggali sebuah lubang. Dengan memakai sarung dan songkok, pria
itu memasukkan kendi berisi ari-ari ke dalam lubang. Ayah dari ari-ari bayi itu
melafazkan beberapa mantra kemudian menaburkan segenggam garam dan bawang di selingkaran
lubang yang telah dikubur.
Nyalak
anjing bertalu-talu. Perhatian Sanna terutuju pada bau anyir di atas rumah
panggung pria itu. Hasratnya hampir memudar lantaran rapalan mantra dan bau
bawang. Namun, tidak. Liurnya makin membuncah. Dahaganya kian menyiksa.
Rambutnya semrawut. Matanya memancar nyala merah. Sanna menunggu perhatian dukun
beranak lengah setelah lelah membantu
persalinan istri pria itu. Perasaannya berkecamuk karena sudah tak mampu
menahan hasratnya yang semakin menyiksa saat purnama datang.
***
Menjelang
subuh, tubuh Sanna melesat menuju rumahnya. Tubuhnya melayang ke atas bubung rumah panggungnya, lalu turun ke kamar
tidur. Sanna merubah diri. Kini tubuhnya dirasa benar-benar telah pulih seperti
manusia biasa.
Lumayan untuk permulaan, batinnya.
Untuk
kali pertama, ia merasakan tubuhnya semakin kuat. Semangatnya membara, wajahnya
kian menawan. Sanna senang, kemudian terlelap tenang. Akhirnya, malam itu, Sanna
luluh menuruti nalurinya menjadi Poppo’.
(*)
Keterangan: Poppo’
adalah sosok siluman di kalangan masyarakat Bugis-Makassar
(Dipublish di Novel Nusantara, http://novel.id/t/poppo-umar-mansyur/3092, dan meraih pengahargaan sebagai Cerite Terpendek Terbaik 4)