(Dimuat di Koran Fajar)
Sudah
berkali-kali Bora dan Sara membincang simpulan cinta mereka di masa depan.
Namun, berkali-kali pula tidak menuai sepakat karena Sara berkukuh memasrahkan
nasibnya kepada Ambo, ayahnya. Mereka memilih bertemu di dermaga Pantai
Pajalele-Pinrang yang sudah usang itu, di
kampung
halaman mereka, untuk melebur resah berdua hingga sirna tersapu malam.
“Bukanlah cinta namanya
jika tidak bertumbalkan peluh dan kepiluan. Cinta mutlak diperjuangkan lantaran
cinta meniscayakan ketegaran,” ucap Bora kepada Sara setelah Ambo lagi-lagi
mengusirnya karena masih datang menawar restu.
Terkadang Bora sesumbar
menampakkan keyakinan cintanya. Untuk menghibur perasaan kekasihnya tatkala
dilanda pilu, ia selalu antusias mendeskripsikan prosesi impian pernikahan mereka.
“Bayangkanlah,
Sara,” ucap Bora bangkit dari duduk, menuntun Sara membayangkan ucapannya. “Kelak
cinta kita akan bersanding di pelaminan dekorasi Hajja Lisa. Mukamu akan semringah
tatkala indoq botting yang tersohor
dari Soppeng itu mulai melukis dadasa di
dahimu, lalu membungkus badanmu dengan baju pengantin bersutra merah marun,
warna kegemaranmu. Tidak ketinggalan tari padduppa
akan digelar meriah untuk
menyambutku dan beberapa tetua di ujung atas tangga rumah panggungmu akan menyemaiku
dengan beberapa cubit beras. Setelah itu, seorang tetua akan meraih tanganku
memasuki ruang akad yang telah dipagari wala
suji. Sungguh nyaliku tak akan ciut menjabat tangan Penghulu saat menuntunku
merapal ijab kabul. Keluargamu juga tak akan mempermasalahkan jumlah mahar yang
dibawa oleh pakkalung somba-ku,
bukan?”
“Iya, ya..,
tentu saja,” Sara menimpali terbata karena kaget baru tersadar dari lamunannya.
Sejak Bora mulai berbicara tadi, dalam benak Sara malah membayangkan kepiluan
yang akan menderanya. Sara tahu bahwa Bora akan melakukan segala hal demi
membahagiakannya. Namun, Sara masih terlalu segan melukai hati ayahnya.
“Maka simaklah, Sara,”
ucap Bora melanjutkan. “Senandung lagu pop Bugis-Melayu akan mengiringi
rombongan pengantarku memasuki tenda terowongan tempat pernikahan kita digelar.
Para biduan elekton dari Sidenreng itu
akan berdendang seharian. Dan, setelah prosesi akad nikah usai, kita akan naik
bersanding di singgasana pelaminan impian kita itu. Para undangan akan silih
berganti meminta berfoto bersama. Tidakkah semua itu dapat membuatmu senang?”
“Tidak, Bora.
Eh, maksudku bukan begitu,” ucapan Sara menjadi tidak keruan. Ia kemudian
mencoba untuk tenang. “Ya..., aku senang mendengar semua yang kau katakan tadi.
Perempuan mana yang tidak mendamba pernikahan seperti itu? Akan tetapi, bisakah
kita tidak memikirkan hal-hal yang masih belum jelas? Sementara, jelas-jelas
kau belum mendapat restu dari Ambo, bukan?”
“Apa maksudmu? Kau
tak suka dengan impian pernikahan yang kukatakan dari tadi?”
“Maksudku...,” ucapan
Sara mentok dan terdiam sejenak. Pikirannya terbayang pada kejadian semalam.
Malam di mana ayahnya telah menerima pinangan Haji Puang Rasi, seseorang yang pernah
memiliki hubungan dengan Ammak, ibu Sara.
“Mengapa kau
diam, Sara?” Bora mendesak.
“Kau masih ingat
dengan mendiang Ammak?”
“Tentu. Tapi apa
hubungannya dengan Ammak?”
“Sakit yang Ammak
derita dulu membuatnya sering keluar-masuk rumah sakit. Ambo dibuat kelimpungan
mencari biaya pengobatan dan operasi diabetes Ammak saat itu. Dua petak sawah
yang sering digarap Ambo bersama adik-adikku juga sudah raib dijual, dan itupun
juga masih belum cukup. Hingga akhirnya, seorang kerabat kami ikhlas memberikan
kami bantuan. Dan semalam, perantau dari Samarinda itu, maksudku Haji Puang
Rasi, datang ke rumah menemui Ambo dan menyatakan niatnya untuk melamar.”
“Abdul Rasyid si
perjaka tua itu, maksudmu?” Amarah Bora mulai tersulut, dahinya berkerut,
geram.
Sara terdiam,
mulutnya kelu.
“Dan kau menerimanya?”
Sara mengangguk
sangat pelan.
“Oh, Tuhan.
Tidak, Sara, tidak, tidak…,” ucap Bora membalik badan. Gurat geram di wajahnya
kini tampak jelas. “Bukankah tempo hari kita sudah mengikrar sumpah cinta sejati
sehidup semati di sini?”
“Cinta adalah
keikhlasan, Bora,” Sara meraih lengan Bora. “Kau masih ingat itu, kan? Waktu
itu kau bilang bukanlah cinta namanya jika mengharap pamrih dan belas kasih. Katamu
kau berjanji akan rutin menderaiku bahagia tanpa pernah aku minta, karena cinta
adalah seikhlas-ikhlasnya memberi, bukan meminta. Kau masih ingat, bukan?”
Bora mematung,
mencoba untuk tidak mengingat apapun.
“Bisakah kau sedikit
saja mencoba memahami keadaan keluargaku dan mencoba mengikhlaskan atas semua
yang akan terjadi?” Air mata Sara kini meleleh.
“Tidak, Sara. Sedikitpun
aku tak akan iba dengan air mata itu. Demi Tuhan kau telah ingkar.” Bora berlalu
meninggalkan Sara terisak sendirian di dermaga Pantai Pajalele yang baru saja
tersapu malam.
***
Bora dan Sara
selalu mencoba berdamai dengan keadaan, dan pada akhirnya mereka menyadari
bahwa keadaan itu pula yang akan membunuh pengharapan mereka satu sama lain.
Pun sejoli itu juga telah khusyuk memimpikan bahagia jika saja sudah punya
sesuatu yang dibutuhkan untuk hidup bahagia, namun tak juga kunjung bahagia.
Cinta kita mekar di saat yang tak kuingini, dan kini
telah tandas di saat yang tak kuingini pula. Kau mewasiatkan petaka untuk
menyusulmu melarung ajal, tetapi tak sanggup kuturutkan lantaran undangan
pernikahan telah tersebar. Sara membatin. Hening sekitar
membuat suasana hatinya sendu hingga bulir-bulir air matanya menetes.
Di mana ketegaranmu meratapi perihnya cinta yang kau
bangga-banggakan dulu? Di mana kau sandarkan keyakinanmu dalam memaknai akan
cinta-Nya yang dulu selalu kau tasbihkan dalam bait-bait puisimu? Cintakah yang
telah membutakanmu, ataukah aku yang telah silap memahami hakikat cinta? Kau
yang seharusnya lebih tegar menantang rintang cinta daripada aku yang hanya
seorang perempuan lemah. Kaulah yang mestinya lebih ikhlas menanggung cinta
ketimbang aku yang hanya dititipi hati yang sudah telanjur rapuh didera air
mata dan derita kemiskinan sejak lahir.
Sara menyeka air matanya, mencoba untuk tegar.
Jika sebenarnya kau ingin mengadu antara kasih
sayang Amboku dengan kesetiaan cintamu, maka sungguh kau tak patut. Inilah
kenyataan cinta, Bora. Tegar dan ikhlaslah di dalam makammu.
Sara menghela
nafas kemudian mengembusnya keras ke udara. Setelah terdiam beberapa saat, Sara
bangkit dari duduknya setelah meratapi sebuah pusara. (*)
Makassar, Mei 2016