19/11/2013

Hujan dan Kematian: Serupa tapi tak Sama


Beberapa orang, termasuk dirimu, sering bertanya-tanya kepadaku, “Ray, mengapa akhir-akhir ini keseringan menulis tentang kematian? Apa sudah mau mati, ya?” Hanya kutimpali dengan senyum pasrah, seolah-olah memang berharap demikian.
Sekarang sudah saatnya kuungkap musababnya. Salah satu alasannya sederhana saja. Aku kan gemar menulis tentang hujan, dan kupikir kematian punya kemiripan dengan hujan. Namun, di antara keduanya kontras secara hakikat. Serupa tapi tak sama, barangkali. Hasil perenungan itu akan terurai dengan sendirinya setelah halaman ini tamat kau baca.
***
Belakangan ini, hampir seluruhnya, seragam menyoal hujan di bulan November. November Rain, November yang Basah, atau apa saja yang menyeret nama bulan kesebelas masehi itu. Baik lagu, prosa, puisi, menjadikan November kian memikat untuk disesaki narasi dan deskripsi. Aku pun dibuatnya turut serta –namun bukan kali ini saja– menjadi bagian dari keseluruhan kisahnya yang tak pernah tamat berderai diksi dari beragam penulis fiksi. Tentu kau masih ingat setahun yang lalu. Momennya sama seperti saat ini, juga tercipta sebuah halaman “Hujan November”. Terlampau sayang apabila Halaman Idea pada November 2013 juga tak tercurahi ide-ide tentangmu. Bukannya ikutan latah dengan keadaan sekitar, tetapi aku memang menggemari hujan. Walaupun terkadang hujan juga bersahabat dengan topan dan badai. Itu soal lain. Lantas salah siapa? Tak ada yang lain: salah kita, manusia. Musim tak pantas dirutuki.
Oh iya, kaupun menggemari hujan juga, bukan? Bahkan kau sering mengajakku menghabiskan sore yang jingga mendebat tentang hujan dan fenomenanya. Bukan hanya itu. Kita pun kadang berdebat tentang jenis lagu, genre buku, sampai rasa semangkuk bubur ayam. Saranku: kita jangan keseringan mendebat sesuatu yang menjadi kegemaranku. Bukankah lebih baik kalau kau diam. Duduk manis saja di situ, bersama-sama mengawal lajur senja yang melembayung hingga azan magrib menyudahi.
Dulu saat masih kecil –sekarang sudah jarang, bermain-main dengan rinai hujan adalah kegiatan paling mengesankan. Saat beranjak remaja, aku pernah mengungkap sebuah kiat jitu, bahwa sebenarnya bermain dengan hujan dapat menjadi penawar atas penat yang datangnya tak bisa ditawar. Ini memang terbukti mujarab. Di film-film juga sering ada adegan seperti ini. Kebanyakan memang ada di film India, barangkali. Tampaknya mereka sangat bahagia menari-nari bersama hujan, tepatnya mungkin hujan buatan dari mobil pemadam kebakaran. Kalau di film-film Indonesia sering menggunakan setting deras hujan sebagai adegan paling romantis, yaitu berciuman. 
Maaf jika sebelumnya harus keluar dari topik. Aku akan melanjutkan, bahwa sebenarnya bermain dengan hujan dapat menjadi penawar atas penat yang datangnya kadang tak bisa ditawar.
Coba bayangkan saat dirimu sedang berkendara di jalan yang hiruk menjelang magrib. Kemudian kendaraanmu pasrah mengekor dan diekori oleh kendaraan lain, bersama-sama membentangi jalan menyulam sebuah kemacetan panjang. Sangat panjang, dan saat itu juga sedang hujan rintik. Penat, lelah, letih, lapar, dan segala hal yang dapat memancing emosi ramai-ramai berjibaku dalam batok kepala. Pikiran menjadi mumet, dan dalam keadaan seperti itu segala hal bisa menjadi pemantik amarah yang membabi buta, sekalipun itu hal sepele. Senggol sedikit saja bisa jadi pertikaian. Padahal siapa yang betah berlama-lama dalam kemacetan? Bunyi klakson yang bertubi-tubi pun tak akan mampu mengurai kemacetan. Tidak ada gunanya. Jadi, mendingan duduk manis saja, dan jangan lupa tersenyum manis. Sapa tahu ada laki-laki atau perempuan manis yang sedang memperhatikanmu. Selalu ada kesempatan dalam kesempitan.
Coba perhatikan, alur tulisan ini menjadi semakin tak jelas lagi. Akan kuarahkan kembali. Sekali lagi ingin kukatakan, bahwa memang bermain dengan hujan dapat menjadi penawar atas penat yang datangnya kadang tak bisa ditawar-tawar.
Tak ada gunanya menggerutu dalam kemacetan, apalagi jika sedang gerimis. Awalnya mungkin cuma rintik demi rintik, namun lama-lama serentak menderas bukan main, seperti hujan malam ini. Semula badan gerah karena keringat, berganti menjadi kuyup karena deras hujan. Maka, cobalah untuk menepi sejenak. Bertahan dalam kemacetan juga tak memberi banyak solusi. Singsingkan jaket/mantel yang membungkus tubuhmu. Berjalanlah sedikit mencari tanah yang agak lapang, lalu tengadahkan muka ke langit sambil merentangkan tangan ke kiri dan ke kanan. Telapaknya juga arahkan ke atas. Pejamkanlah mata, karena memang sulit untuk membuka kelopak mata saat sedang menengadahkan muka  ke atas yang berlangitkan rinai hujan. Apalagi hujan November, rinainya besar-besar seperti butiran es. Sumpah. Kalau tak percaya, coba saja.
Percaya sajalah, dan lanjutkan ini. Ini sudah tahap akhir, Idea. Kasihan bila tak kau sudahi. Selanjutnya, sambil berkincak-kicak sedikit, masih pada posisi sebelumnya, berputarlah searah tawaf di Kabbah. Perlahan saja. Fokuskan pikiranmu ke langit. Resapi butiran demi butiran hujan menghunjam wajah, kepala, dan sebagian permukaan tubuhmu. Nikmati itu sebagai pijatan relaksasi. Ini butuh keberanian ekstra, sebab banyak orang yang akan memperhatikanmu. Malu? Acuhkan  saja mereka, karena jika kau melakukannya dengan sempurna, bisa kupastikan mereka juga akan mengambil posisi sama denganmu. Lakukan dalam waktu beberapa menit saja. Jangan terlalu lama karena kau bisa sakit. Maka, rasakanlah derai-derai hujan itu meleburkan setiap masalah dan beban pikiranmu. Setelah semuanya terasa ringan, hela nafas dalam-dalam kemudian hembuskan panjang-panjang.
***

 
Sumber: di sini

Secara filosofis, di bawah ini juga akan kuungkap kiat menghadapi kematian. Jadi, ikuti saja jika masih punya segudang minat.
Hidup ini laiknya sebuah balon udara. Menjalaninya sama seperti sedang meniupkan udara ke dalamnya. Jika hidup ingin baik, maka tiupkan udara (gas) dengan kualitas yang baik pula. Bukan dengan asap atau gas beracun. Jangan meniupnya kencang-kencang sebab nanti akan meletus, dan jika terjadi demikian, bisa dipastikan kau akan mati mendadak dengan arwah bergentayangan. Juga jangan terlampau pelan menunda-nunda kesempatan, atau kau hanya akan jauh tertinggal, hidup terlalu lama dalam derita menyusahkan orang-orang sekitar. Kita hidup bukan sedang bermain-main.
Nikmatnya hidup tidak dihitung dari panjang pendeknya umur, melainkan ditakar dari seberapa banyaknya udara (gas) yang mampu kau tiupkan ke dalam balon udaramu, dan juga seberapa besar kemampuanmu menjaga stabilisasi keseimbangannya: tidak kencang, juga tidak pelan. Mari, kita lanjutkan. Jika menurutmu cadangan udara yang kau tiupkan tadi sudah hampir habis, maka segeralah tutup corong udaranya, lalu ikat erat dengan sehelai kain kematian. Ketahuilah, bahwa kematian adalah penutup sekaligus pembuka jalan hidup yang sebenarnya. Kehidupan yang kekal. Usah lagi menyisipkan beberapa bekal. Kita bukan hendak ke taman untuk berpiknik. Malah nanti semakin menambah berat bebanmu.
Pertama-tama, mulailah dengan merentangkan kedua tangan ke udara. Kaitkan tali balonmu pada salah satu ujung jari sebelah kiri. Hanya ujung jari sebelah kiri, karena saat lahir kau telah dibisiki azan di telinga sebelah kanan. Satu lagi, hanya jari telunjuk, bukan jari yang lain. Tuhan gemar memberi petunjuk dan tanda-tanda, dan kita pun semakin senang dengan rasa penasaran. Jangan sepelekan itu. Segalanya bermula dari sebuah tanda-tanda ataupun sebuah petunjuk. Misalnya saja hujan, apakah kita tidak bisa membaca tanda-tanda sebelum datangnya hujan? Begitupun juga dengan kematian.
Sudah, saatnya tengadahkan muka ke langit. Setelah itu, lantunkan beberapa syair-syair kerinduan kepada-Nya, bukan tangisan duka cita yang meraung-raung. Bersiaplah melepas ikatan balonmu yang mengait di jari telunjuk sebelah kiri tadi. Untuk kali terakhir, pastikan baca tanda-tanda dan petunjuk yang hadir di sekitar: kapan saat yang paling tepat untuk melepasnya. Jika sudah, maka mulailah melepasnya perlahan, pelan, seiring dengan pandanganmu menyibak kelopak mata, dan seirama dengan semilir angin menghempas balonmu ke angkasa sana. Tinggi, dan sangat tinggi, hingga langit mendekapnya lenyap. Menghilang seirama dengan nadi yang tak lagi mendenyut, beserta kelopak mata yang benar-benar telah mengatup rapat kembali, sangat rapat. (*)


Saat sedang menanti hujan mereda, bersama dua orang sahabat: Karan dan Malik. Malam itu, Malik antusias bercerita tentang masa lalu yang kini bertuah bahagia; Karan takzim mendengarkan; aku khusyuk menulis.

Makassar, 18 November 2013

30/08/2013

Bersahaja


Ternyata sudah berselang lama tak menyoal tentangmu di sini. Sekarang sudah berada di akhir Agustus. Malam-malam di sisa Agustus selalu tampak cerah terlihat. Purnama nikmat beranjak menyusut ke sabit. Bintang gemintang mengerlip girang seantero langit. Terasa indah nian, sampai lengah membiarnya memagut sepi sendirian. Terakhir kuisi halaman ini saat Mei yang basah. Benar-benar basah. Apakah kau masih ingat? Banyak peristiwa penting terlewati percuma. Sebut saja di antaranya Ramadhan, Lebaran, dan HUT Kemerdekaan RI ke-68. Padahal banyak kisah bersamamu melewati momen-momen itu, yang semestinya perlu kutuang di sini. Apa mau dikata, begitulah adanya. Harus kuakui, gairah menulisku tak lagi membuncah seperti dahulu. Menderas sedikit mungkin masih bisa. Masih sebatas pernyataan-pernyataan sederhana di facebook. Bisa saja berkembang sampai memenuhi halaman-halaman baru, asal saja, sepertinya hatimu perlu kubuat resah supaya ide menulismu terucurah deras. Alasanmu memancing, dan kurasa itu tak lagi mempan. Yang ada malah gairah jenis lain yang sering berjibaku dalam pikiran. Pengaruh umur juga barangkali. Entahlah.
Mendapatkan ide cerita memang tak gampang bila belum menjadi kebiasaan. Salah jika harus menunggu ide itu turun dari langit, ataukah sampai harus merenung di sepanjang malam, hingga bohlam lampu di atas kepala berdenting terang sebagai tanda bahwa ide sudah berhasil didapatkan. Tidak semudah itu barangkali. Asal kau tahu, hingga saat ini ideku masih tersekap pada rutinitas akademik. Harus mengurusi ini, itu, dan anu. Apa mau dikata, konsekuensinya memang demikian. Semakin tinggi suatu pohon, semakin kencang pula angin menggoncangnya. Bebannya akan semakin berat juga. Berbanding terbalik dengan berat badanku yang justru semakin berkurang. Yah, memang bukanlah alasan rasional. ‘Seseorang’ yang sedang dipenjara saja, selama masa penahanannya malah sudah berhasil menulis 7 buah naskah novel. Tak jelas siapa si penulis itu. Informasinya aku dapat dari pesan singkatmu beberapa malam lalu, saat sedang menyaksikan sebuah acara talk show yang dipandu seorang pria botak berkacamata –dulu rambutnya masih kribo– pada salah satu siaran teve swasta. “Sungguh kisah inspiratif.” Tulismu di akhir pesan. Lagi-lagi harus kuakui, manajemen waktuku masih sempoyongan mengurai rutinitas.
Semoga ini kembali menjadi permulaan yang baik. Kubiarkan mengalir seadanya, seperti daun yang melepas diri dari tangkai. Berjuntai-juntai dahulu karena dihembus angin sepoi hingga tergeletak sekenanya ke dasar tanah. Namun, semuanya terjadi bukan karena seadanya, melainkan sebuah alasan.
            Baiklah. Akan kumulai dengan sesuatu yang sederhana. Mengawalinya dengan menuliskan “tak terasa waktu cepat berlalu,” lantas mengakhirinya dengan tanya “bagaimana, sungguh bukan kisah yang mengharukan, kan?”

***

Tak terasa waktu cepat berlalu. Waktu begitu singkat menyingkap hari. Hari gesit memintal bulan. Lambat namun pasti, bulan juga santai menyulam peralihan tahun. Terus, tahun me-ngapain dasawarsa. Lalu, abad di-apain dekade? Terus apa lagi? Hufh, terlalu bertele-tele menggunakan diksi. Ribet. Apa tabiatku juga demikiankah? Padahal aku senang (dan ingin) menjadi orang yang sederhana saja, baik dalam bertingkah laku maupun cara berpikir. Lebih tepatnya bersahaja: hidup dengan apa adanya, punya banyak apa-apa, rajin sembahyang, dan tentu gemar menyumbang. Asal kau tahu, daerah asalku dari sebuah kabupaten yang memunyai julukan ‘Pinrang Bersahaja’. Sampai sekarang masih belum kupahami dasar julukan itu. Apanya yang bersahaja? Ataukah orang-orang dari daerah itu memang punya sifat bersahaja? Entahlah. Tetapi semestinya memang orang-orang dari sana punya sifat demikian. Sepertiku, mungkin. Tak masalah jika kaupun ingin menjulukiku ‘Ray yang Bersahaja’ atau ‘Ray Sang Pria Bersahaja’. Norak.
Selain ribet dalam berpikir, aku juga meledak-ledak dalam menganggapi sesuatu. Berlebihan, katamu. Orang sepertiku tentu tak cocok dengan orang yang meledak-ledak pula. Bisa-bisa kompor meleduk jadinya. Seperti api ketemu api. Jadi, tentu cocoknya kupikir dengan orang penyabar, cermat, dan punya semangat hidup tinggi. Maksudku, orang itu kamu, Idea. Iya, aku berbicara tentang tabiatmu. Sebatas yang kulihat sampai saat ini masih begitu, dan kuharapnya dirimu tidak meledak-ledak juga nantinya, terutama dalam berbelanja. Hal yang tidak terlihat (pada dirimu) bukan berarti tidak ada, bukan? Esok lusa siapa yang tahu. Orang bilang: sekarang adalah kenyataan, esok masih misteri. Namun, kekhawatiranku tentang itu sirna saat kudengar dirimu mengatakan “Banyak hal yang tak bisa kutampakkan kepadamu, tetapi itu selalu ada”. Aduhai, mulutku jadi kelu.
Ibuku pernah menjelaskan tentang kalkulasi kecocokan dalam memilih pasangan, ditinjau dari segi kesejahteraan ekonomi dan rejeki rumah tangga suatu pasangan. Ini agak serius. Perhitungannya dilihat dari urutan kelahiran masing-masing. Misalnya anak pertama, anak kedua, ketiga, dan seterusnya. Ibu kadang paranoid dalam menimbang dan memikirkan sesuatu. Selalu didasarkan pada norma dan ketentuan konservatif. Semacam lontara kalau boleh dikata. Termasuk tentang itu tadi. Katanya itu pappaseng dari orang tua dulu-dulu. Yah, begitulah dia. Apalagi kalau mengusut tentang silsilah keluarga. Dan ketika harus digambarkan dengan menggunakan pola mind mapping, pasti butuh kertas super lebar. Maklumi saja. Dulu, bersama dengan ayah, ibu hanya mengenyam pendidikan sampai tingkat SD. Tepatnya masih bernama Sekolah Rakyat. Katanya saat bercerita dulu, belum ada papan tulis. Cuma menggunakan batu kapur untuk menulis pada sebuah batu datar.
“Jadi begini, Nak. Kamu kan anak keempat. Berarti....,” ungkapnya mulai menjelaskan, namun terhenti karena sedikit lupa tentang rumus kalkulasinya.
Setelah diam sejenak, akhirnya dia sudah ingat dan kembali melanjutkan. Katanya, anak pertama itu disimbolkan sebagai tanah, anak kedua sebagai air, anak ketiga sebagai angin, dan anak keempat disimbolkan sebagai api.
“Terus, anak kelima simbolnya apa, Mak?” Aku memotong, penasaran.
Aku mulai paham tatkala Ibuku mulai menjelaskan tentang empat unsur kehidupan, yang dikorelasikan dengan urutan kelahiran anak manusia, yakni: tanah, air, angin, dan api. Jadi, selanjutnya, untuk anak kelima dan seterusnya, perhitungannya kembali dimulai seperti pada anak pertama, sampai seterusnya.
“Dia anak ke berapa?”
“Dia siapa, Mak?” Aku berpura-pura.
Sebelum kuberitahu mengenai urutan kelahiranmu, ibu telah menjelaskan secara panjang lebar bahwa bila ditinjau dari segi kesejahteraan ekonomi dan rejeki rumah tangga suatu pasangan, api merupakan unsur yang paling penting. Menurutnya, api disimbolkan sebagai kobaran dalle’ (rejeki).
“Jadi, kamu itu cocoknya dengan perempuan yang simbol urutan kelahirannya tidak mematikan unsur apimu.” Kata Ibuku memberi petuah.
“Bukannya api disimbolkan sebagai amarah, Mak?” Dahiku mengernyit, mukanya sedikit sebal. Dia tetap pada keyakinannya, aku ngangguk-ngangguk. Entahlah, benakku.
Percaya atau tidak, toh itu hanya sebatas pertimbangan. Bukanlah sebuah keharusan yang niscaya hukumnya. Sementara, pertimbanganku memang lebih kepada watak dan pola pikir, dan kupikir itu lebih penting dalam menjalin sebuah hubungan. Soal rejeki dan kesejateraan hidup sepenuhnya takdir Tuhan. Beranikah kita menyepelekan ketetapan-Nya? Namun, pada sisi yang lain, tentang simbol urutan kelahiran itu Ibuku juga ada benarnya. Lantas pikiranku melayang, “Apakah memang pantas tabiatku meledak-ledak dan kadang sedikit emosian? Simbol api toh...”. Bisa iya, bisa juga tidak. Wallahualam bisshawab.
Jangan terlalu memikirkan itu. Aku orang baik-baik kok. Sangat baik. Cuma kadang kurang baik juga, tapi amat jarang. Naluriah, bukan? Apa yang kau lihat, begitulah adanya. Sesuatu yang tak kutampakkan pun bukan berarti tak ada, dan itu bisa kujamin akan jauh lebih menawan dari apa yang sudah terlihat. Kau pasti tahu betul dengan keramahan dan ke-murah senyum-anku, bukan? Jadi, sekali lagi kutekankan: aku (orang) bersahaja. Ahay, narsis!
Bagaimana, sungguh bukan kisah yang mengharukan, kan?

Sumber: di sini

***

Orang pernah bilang bahwa “Dalam satu atom didapati semua unsur-unsur bumi. Dalam titik air mengandung semua rahasia laut. Dalam satu gerak pikiran didapati gerakan semua hukum keberadaan”. Dan kuakhiri dengan pernyataan “Dalam satu gurat senyuman berlimpah seluruh kedamaian hati”.

Makassar, 29 Agustus 2013

22/05/2013

Karan dan Hari Kamis


“Jika kamu ingin mengerti perempuan, lihatlah mulutnya ketika dia tersenyum;
tetapi mempelajari laki-laki, lihatlah putih matanya ketika dia marah.”

Ungkapan itu pernah aku baca di sebuah buku. Aku tak ingat judul dan penulisnya siapa. Pikiranku sedang kacau setelah pulang menemuimu. Hari itu Kamis. Rintik hujan riang merabas jalan-jalan berdebu. Di pertemuan sore itu kulihat lakumu terasa beda, kaku membendung kehendak yang membuncah lantaran maksudmu yang tak lagi dapat bersepaham dengan keadaan. Tampak dari rautmu ingin berteriak akibat resah yang letih kau pendam sendirian. Namun, dasar kamu orang yang tak sudi mengumbar perasaan semau dan sesuka hati. Ucapmu masih saja santun, tetap memuji dan penuh pemahaman. Malah senyum tetap kau rekahkan. Menyaksikan semua itu aku tertegun pilu karena tersadar telah melakukan sebuah kesalahan. Lagi dan lagi. Kesalahan kali ini mungkin tak dapat kau tolerir lantaran perasaanmu enggan bersahabat dengan hal seperti itu, dan kupikir semua perempuan pun tak sudi diperlakukan begitu.
Sudah. Miris aku mengungkit-ungkitnya lagi. Cukup itu jadi sebuah pelajaran berharga. Aku sepenuhnya telah menyadari bahwa kesalahan terbesarku adalah ketika hanya sibuk memikirkan kesalahan-kesalahanmu. Dan keliruku karena selalu mengungkit kebaikan-kebaikanku. Makanya tak salah jika kau sampai bertanya kepadaku di akhir pertemuan kita di senja yang basah itu.
“Jadi, apa sebenarnya relevansi dari sebuah kebaikan dan keikhlasan?”
Dengan mata yang hampir sembap, kamu mengucapnya sekali, pelan, kemudian berlalu pergi. Langkahmu seirama dengan rintik hujan yang terdengar semakin cepat, dan berganti hujan yang deras. Dilatari senja yang basah, wujudmu sudah tidak kulihat lagi.
***

Sudah lama aku ingin menceritakan ini kepadamu, Idea. Pada halaman ini aku ingin banyak bercerita tentangnya. Tentang seseorang yang mungkin jauh lebih mengenalmu, tapi tak sedalam bagaimana dia dapat memahamiku. Tenang, dia itu seorang laki-laki. Kali ini aku baru sempat menuliskan sesuatu tentangnya. Tulisan yang sangat sederhana, namun kuanggap jauh lebih berharga dari hadiah dalam bentuk apapun. Ya, hanya ini, dan dia sudah memahami itu. Ada peristiwa getir yang telah menimpanya beberapa saat yang lalu. Perih memang. Hari itu juga Kamis. Akhir April yang pilu. Aku tak sempat berbagi kesedihan dengannya sore itu. Sayang sekali, aku tak bisa datang. Walaupun sudah sebulan lebih, mudah-mudahan tulisan ini masih dapat menghiburnya. Walaupun aku tahu betul dia adalah orang yang suka menghibur banyak orang, termasuk diriku. Bahkan saat peristiwa getir itu menimpanya, tak ada air mata yang menetes di pipinya. Padahal ‘Ummi’ yang sangat dicintainya telah menutup usia. Wajahnya tetap tegar. Seperti biasa, sesekali masih saja bergurau menghibur kawan-kawannya yang hadir melayat di kediamannya saat itu, termasuk juga dirimu.
Kamu pasti sudah mengenalnya. Tebak saja setelah membaca seluruh isi halaman ini. Dan kupikir kamu sudah dapat menerka siapa orangnya. Boleh dibilang dia itu seorang sahabat, bisa juga kakak, seorang bapak, sekaligus seorang guru –tepatnya seseorang yang selalu kujadikan penasihat. Tapi untuk yang satu itu –bapak– cukup kita berdua saja yang tahu. Wajar bila aku menyebutnya demikian karena kamu pernah mencibir gayanya yang menurutmu lebih menyerupai seorang ‘bapak-bapak’. Kamu punya alasan sendiri tentang itu, dan itu sering kamu katakan kepadaku. Sementara aku, seingatku, belum pernah mencibirnya seperti itu. Aku mana berani. Dia sering membawa kerupuk ke rumah. Dan aku memang suka dengan kerupuknya. Jadi, kamu siap-siap saja kalau sampai dia membaca halaman ini. Harus kuakui indera penciumannya sangat hebat. Waspada saja. Nanti silakan berurusan dengannya langsung jika dirinya sampai tersinggung, atau bahkan sampai melaporkanmu ke kantor polisi atas tuduhan perbuatan yang kurang menyenangkan. Wah, bisa jadi seru bila itu jadi kesampaian. Seheboh perseteruan Si Eyang Subur dengan Adi Bing Slamet dan Arya Wiguna. Kamu tahu Arya Wiguna kan? Orang yang sering melototkan kedua bola mata dan memukul meja keras-keras ketika di wawancarai oleh awak infotainment itu. Kamu tahu kan? Aku bahkan tak mampu membayangkan jika sampai dirinya melakukan hal yang sama kepadamu, marah besar karena sangat tersinggung oleh cibiranmu. Maka, dengan sangat beringas dia juga akan berteriak: “Ideaaa.., waktumu sudah habis. Waktumu akan habis, Ideaaa...!!! Demi Tuhaaannn...!!!” Ngerinya bukan main.

 

Okelah. Di sini aku akan memanggilnya, Karan. Namanya memang familier di telinga. Mirip nama artis Bolywood, bukan? Ya, benar. Karan memang salah satu penggemar film India. Aku masih ingat betul film kesukaannya, “Veer Zaara”. Film itu dibintangi oleh Sahrukh khan dan Preity Zinta –dua artis  India kesukaanya. Makanya, Karan cukup lihai menyanyi dan menari ala India. Mungkin kamu belum pernah melihatnya begitu. Aku sudah sudah pernah, malah sangat sering. Mungkin karena kegemarannya akan film India itulah yang membuatnya banyak tahu dan memahami tentang lika-liku dan permasalahan sebuah jalinan percintaan. Padahal Karan tak pernah pacaran. Sesungguhnya dia yang tak mau pacaran. Sepertinya Karan tahu betul apa yang akan terjadi ketika ada sebuah masalah percintaan yang menimpaku. Serupa yang sudah kutulis di awal ceritaku tadi, dia sering kudaulat sebagai penasihat. Terserah temanya tentang apa saja. Tapi memang lebih sering tentang percintaan. Karan memang tak pernah pacaran. Tapi jangan coba-coba meremehkannya. Sudah ada perempuan cantik yang tertarik kepadanya. Bahkan tahun ini mereka sudah berencana untuk melepas masa lajang. Aamiin. Alhamdulillah, aku sangat gembira mendengarnya. Akhirnya dia laku juga.
Suatu saat Karan pernah menasihatiku seperti ini.
“Katakan apa yang hendak kamu katakan, dan jangan katakan bila itu tak ingin kamu katakan!”
Tunggu dulu. Barangkali aku keliru mengingat kembali nasihatnya. Oh Tuhan, aku baru ingat. Rupanya itu pernyataan Si Uya Kuya pada acara hipnotis-hipnotisan di televisi. Aku memang bukan pengingat yang ulung. Tapi tenang, supaya kamu tak penasaran, akan kuulang mengingatnya sekali lagi. Sekali lagi. Sepertinya nasihatnya begini.
“Katakan jika itu memang sebuah kebenaran. Meskipun getir, kejujuran jauh lebih berharga dari sebuah permata!” Ya, itu sudah sangat betul.  
Peristiwa itu adalah kejadian di mana seperti yang aku tulis di awal halaman ini. Dan saat itu Karan aku bikin keteteran. Aku sangat intens berkonsultasi dengannya. Setiap hari waktunya hampir habis oleh dering teleponku yang terus-terusan bertanya dan meminta solusi. Dasar, aku memang payah.
Kurasa cukup sampai di sini saja. Kepalanya bisa membesar apabila melulu menulis tentangnya. Menyoal tentang Karan butuh hari dan halaman yang baru. Sementara malam ini aku harus siap-siap ke kampung halaman. Namun begitu, wajah Karan memang tidaklah rupawan, akan tetapi hatinya amatlah menawan. Semoga engkau terhibur, kawan. Dan kuharap cerita ini juga dapat menghiburmu, Idea. Seperti Karan yang suka menghibur semua orang. Maka tersenyumlah, karena aku senang melihatmu tersenyum. Kamu tahu itu kan, Idea? (*)

Saat-saat menanti keberangkatan menuju kampung halaman.
Makassar, 22 Mei 2013

06/05/2013

Irama yang Terbata

(Cerpen: Kontributor Antologi Cerpen “Cermin, Nama, dan Pelita”)

Malam hampir larut. Tubuhku tergelatak sekenanya sebab letih yang mendera seharian. Telah kusematkan ego dan senyumannya di gudang pikiranku barang sejenak, cuma cemas berdiam menyemai prasangka. Tampaknya kini tangguhku sudah mulai meleleh sebab rutin dia sulut dengan alasan jumpa yang mesti selalu diberi jarak. Dia selalu punya argumentasi atas itu, dan sepenuhnya belum mampu kupahami saat ini. Hidupku perlahan telah berasimilasi bersama alur kehidupannya. Namun, kadang tertatih merunut maksud-maksudnya. Aku selalu berusaha lentur mengikuti iramanya, bersenandung sebelum dia memulai melentikkan nada-nada, dan terus menderainya bahagia sebelum hatinya canggung meminta. Pun aku akan rela menghilang sebelum dia bermohon untuk menjauh, sebentar atau bisa saja lama.
***
Dan kini malam beringsut menuju hari yang sebentar lagi dini. Aku masih begini, terbata, hingga lelap tak kunjung teraih. Prasangka terus berkelebat menjerat rasa dan rasio. Detak jarum jam dinding terdengar rancu mengulur waktu. Senandung lagu-lagu melankolis mulai terdengar sumbang lantaran sengal berulang-ulang mengikuti irama malam. Angin malam berdesir sumbang semakin merambat memecah keheningan. Cakrawala kosong melompong, sungkan menggubah komposisi nada. Resonansi dari angkasa raya urung mendekap harmonisasi. Semesta berpaling; kau menjauh; aku apatis. Ya sudah, kunikmati ini sendirian. Mainkan saja irama masing-masing.....




TELAH TERBIT!!!

Judul          : Cermin, Nama, dan Pelita
Penerbit    : Leutika Prio (April, 2013)
ISBN           : 978-602-225-655-7
Jumlah Hal : 255
Harga         : Rp 50.300 (belum termasuk ongkos kirim)

Para Penulis:
Luklukul Maknun - Nachita - Ripo Mht - Nafisah - Maulana Alir Pena - Agil Hp - Dee Idee Anggraeni - UM Ray Bitta - Shafira El-Khaira -Kynar - Aas Kartini - Marwah Oh Marwah -Ade Rahayu - Arinda Shafa - Hendrika Zai - Akurnie - Riana Yahya - Restia - Al Hadad Adyan - Altami Nurmila Daniari -Ceng Ahmar Syamsi - Annisa Puja Kelam - Izzathy Dhea - Nida’Ufairah - Atik Pili - Hilal Ahmad - Uda Agus

Berminat?