30/08/2013

Bersahaja


Ternyata sudah berselang lama tak menyoal tentangmu di sini. Sekarang sudah berada di akhir Agustus. Malam-malam di sisa Agustus selalu tampak cerah terlihat. Purnama nikmat beranjak menyusut ke sabit. Bintang gemintang mengerlip girang seantero langit. Terasa indah nian, sampai lengah membiarnya memagut sepi sendirian. Terakhir kuisi halaman ini saat Mei yang basah. Benar-benar basah. Apakah kau masih ingat? Banyak peristiwa penting terlewati percuma. Sebut saja di antaranya Ramadhan, Lebaran, dan HUT Kemerdekaan RI ke-68. Padahal banyak kisah bersamamu melewati momen-momen itu, yang semestinya perlu kutuang di sini. Apa mau dikata, begitulah adanya. Harus kuakui, gairah menulisku tak lagi membuncah seperti dahulu. Menderas sedikit mungkin masih bisa. Masih sebatas pernyataan-pernyataan sederhana di facebook. Bisa saja berkembang sampai memenuhi halaman-halaman baru, asal saja, sepertinya hatimu perlu kubuat resah supaya ide menulismu terucurah deras. Alasanmu memancing, dan kurasa itu tak lagi mempan. Yang ada malah gairah jenis lain yang sering berjibaku dalam pikiran. Pengaruh umur juga barangkali. Entahlah.
Mendapatkan ide cerita memang tak gampang bila belum menjadi kebiasaan. Salah jika harus menunggu ide itu turun dari langit, ataukah sampai harus merenung di sepanjang malam, hingga bohlam lampu di atas kepala berdenting terang sebagai tanda bahwa ide sudah berhasil didapatkan. Tidak semudah itu barangkali. Asal kau tahu, hingga saat ini ideku masih tersekap pada rutinitas akademik. Harus mengurusi ini, itu, dan anu. Apa mau dikata, konsekuensinya memang demikian. Semakin tinggi suatu pohon, semakin kencang pula angin menggoncangnya. Bebannya akan semakin berat juga. Berbanding terbalik dengan berat badanku yang justru semakin berkurang. Yah, memang bukanlah alasan rasional. ‘Seseorang’ yang sedang dipenjara saja, selama masa penahanannya malah sudah berhasil menulis 7 buah naskah novel. Tak jelas siapa si penulis itu. Informasinya aku dapat dari pesan singkatmu beberapa malam lalu, saat sedang menyaksikan sebuah acara talk show yang dipandu seorang pria botak berkacamata –dulu rambutnya masih kribo– pada salah satu siaran teve swasta. “Sungguh kisah inspiratif.” Tulismu di akhir pesan. Lagi-lagi harus kuakui, manajemen waktuku masih sempoyongan mengurai rutinitas.
Semoga ini kembali menjadi permulaan yang baik. Kubiarkan mengalir seadanya, seperti daun yang melepas diri dari tangkai. Berjuntai-juntai dahulu karena dihembus angin sepoi hingga tergeletak sekenanya ke dasar tanah. Namun, semuanya terjadi bukan karena seadanya, melainkan sebuah alasan.
            Baiklah. Akan kumulai dengan sesuatu yang sederhana. Mengawalinya dengan menuliskan “tak terasa waktu cepat berlalu,” lantas mengakhirinya dengan tanya “bagaimana, sungguh bukan kisah yang mengharukan, kan?”

***

Tak terasa waktu cepat berlalu. Waktu begitu singkat menyingkap hari. Hari gesit memintal bulan. Lambat namun pasti, bulan juga santai menyulam peralihan tahun. Terus, tahun me-ngapain dasawarsa. Lalu, abad di-apain dekade? Terus apa lagi? Hufh, terlalu bertele-tele menggunakan diksi. Ribet. Apa tabiatku juga demikiankah? Padahal aku senang (dan ingin) menjadi orang yang sederhana saja, baik dalam bertingkah laku maupun cara berpikir. Lebih tepatnya bersahaja: hidup dengan apa adanya, punya banyak apa-apa, rajin sembahyang, dan tentu gemar menyumbang. Asal kau tahu, daerah asalku dari sebuah kabupaten yang memunyai julukan ‘Pinrang Bersahaja’. Sampai sekarang masih belum kupahami dasar julukan itu. Apanya yang bersahaja? Ataukah orang-orang dari daerah itu memang punya sifat bersahaja? Entahlah. Tetapi semestinya memang orang-orang dari sana punya sifat demikian. Sepertiku, mungkin. Tak masalah jika kaupun ingin menjulukiku ‘Ray yang Bersahaja’ atau ‘Ray Sang Pria Bersahaja’. Norak.
Selain ribet dalam berpikir, aku juga meledak-ledak dalam menganggapi sesuatu. Berlebihan, katamu. Orang sepertiku tentu tak cocok dengan orang yang meledak-ledak pula. Bisa-bisa kompor meleduk jadinya. Seperti api ketemu api. Jadi, tentu cocoknya kupikir dengan orang penyabar, cermat, dan punya semangat hidup tinggi. Maksudku, orang itu kamu, Idea. Iya, aku berbicara tentang tabiatmu. Sebatas yang kulihat sampai saat ini masih begitu, dan kuharapnya dirimu tidak meledak-ledak juga nantinya, terutama dalam berbelanja. Hal yang tidak terlihat (pada dirimu) bukan berarti tidak ada, bukan? Esok lusa siapa yang tahu. Orang bilang: sekarang adalah kenyataan, esok masih misteri. Namun, kekhawatiranku tentang itu sirna saat kudengar dirimu mengatakan “Banyak hal yang tak bisa kutampakkan kepadamu, tetapi itu selalu ada”. Aduhai, mulutku jadi kelu.
Ibuku pernah menjelaskan tentang kalkulasi kecocokan dalam memilih pasangan, ditinjau dari segi kesejahteraan ekonomi dan rejeki rumah tangga suatu pasangan. Ini agak serius. Perhitungannya dilihat dari urutan kelahiran masing-masing. Misalnya anak pertama, anak kedua, ketiga, dan seterusnya. Ibu kadang paranoid dalam menimbang dan memikirkan sesuatu. Selalu didasarkan pada norma dan ketentuan konservatif. Semacam lontara kalau boleh dikata. Termasuk tentang itu tadi. Katanya itu pappaseng dari orang tua dulu-dulu. Yah, begitulah dia. Apalagi kalau mengusut tentang silsilah keluarga. Dan ketika harus digambarkan dengan menggunakan pola mind mapping, pasti butuh kertas super lebar. Maklumi saja. Dulu, bersama dengan ayah, ibu hanya mengenyam pendidikan sampai tingkat SD. Tepatnya masih bernama Sekolah Rakyat. Katanya saat bercerita dulu, belum ada papan tulis. Cuma menggunakan batu kapur untuk menulis pada sebuah batu datar.
“Jadi begini, Nak. Kamu kan anak keempat. Berarti....,” ungkapnya mulai menjelaskan, namun terhenti karena sedikit lupa tentang rumus kalkulasinya.
Setelah diam sejenak, akhirnya dia sudah ingat dan kembali melanjutkan. Katanya, anak pertama itu disimbolkan sebagai tanah, anak kedua sebagai air, anak ketiga sebagai angin, dan anak keempat disimbolkan sebagai api.
“Terus, anak kelima simbolnya apa, Mak?” Aku memotong, penasaran.
Aku mulai paham tatkala Ibuku mulai menjelaskan tentang empat unsur kehidupan, yang dikorelasikan dengan urutan kelahiran anak manusia, yakni: tanah, air, angin, dan api. Jadi, selanjutnya, untuk anak kelima dan seterusnya, perhitungannya kembali dimulai seperti pada anak pertama, sampai seterusnya.
“Dia anak ke berapa?”
“Dia siapa, Mak?” Aku berpura-pura.
Sebelum kuberitahu mengenai urutan kelahiranmu, ibu telah menjelaskan secara panjang lebar bahwa bila ditinjau dari segi kesejahteraan ekonomi dan rejeki rumah tangga suatu pasangan, api merupakan unsur yang paling penting. Menurutnya, api disimbolkan sebagai kobaran dalle’ (rejeki).
“Jadi, kamu itu cocoknya dengan perempuan yang simbol urutan kelahirannya tidak mematikan unsur apimu.” Kata Ibuku memberi petuah.
“Bukannya api disimbolkan sebagai amarah, Mak?” Dahiku mengernyit, mukanya sedikit sebal. Dia tetap pada keyakinannya, aku ngangguk-ngangguk. Entahlah, benakku.
Percaya atau tidak, toh itu hanya sebatas pertimbangan. Bukanlah sebuah keharusan yang niscaya hukumnya. Sementara, pertimbanganku memang lebih kepada watak dan pola pikir, dan kupikir itu lebih penting dalam menjalin sebuah hubungan. Soal rejeki dan kesejateraan hidup sepenuhnya takdir Tuhan. Beranikah kita menyepelekan ketetapan-Nya? Namun, pada sisi yang lain, tentang simbol urutan kelahiran itu Ibuku juga ada benarnya. Lantas pikiranku melayang, “Apakah memang pantas tabiatku meledak-ledak dan kadang sedikit emosian? Simbol api toh...”. Bisa iya, bisa juga tidak. Wallahualam bisshawab.
Jangan terlalu memikirkan itu. Aku orang baik-baik kok. Sangat baik. Cuma kadang kurang baik juga, tapi amat jarang. Naluriah, bukan? Apa yang kau lihat, begitulah adanya. Sesuatu yang tak kutampakkan pun bukan berarti tak ada, dan itu bisa kujamin akan jauh lebih menawan dari apa yang sudah terlihat. Kau pasti tahu betul dengan keramahan dan ke-murah senyum-anku, bukan? Jadi, sekali lagi kutekankan: aku (orang) bersahaja. Ahay, narsis!
Bagaimana, sungguh bukan kisah yang mengharukan, kan?

Sumber: di sini

***

Orang pernah bilang bahwa “Dalam satu atom didapati semua unsur-unsur bumi. Dalam titik air mengandung semua rahasia laut. Dalam satu gerak pikiran didapati gerakan semua hukum keberadaan”. Dan kuakhiri dengan pernyataan “Dalam satu gurat senyuman berlimpah seluruh kedamaian hati”.

Makassar, 29 Agustus 2013

22/05/2013

Karan dan Hari Kamis


“Jika kamu ingin mengerti perempuan, lihatlah mulutnya ketika dia tersenyum;
tetapi mempelajari laki-laki, lihatlah putih matanya ketika dia marah.”

Ungkapan itu pernah aku baca di sebuah buku. Aku tak ingat judul dan penulisnya siapa. Pikiranku sedang kacau setelah pulang menemuimu. Hari itu Kamis. Rintik hujan riang merabas jalan-jalan berdebu. Di pertemuan sore itu kulihat lakumu terasa beda, kaku membendung kehendak yang membuncah lantaran maksudmu yang tak lagi dapat bersepaham dengan keadaan. Tampak dari rautmu ingin berteriak akibat resah yang letih kau pendam sendirian. Namun, dasar kamu orang yang tak sudi mengumbar perasaan semau dan sesuka hati. Ucapmu masih saja santun, tetap memuji dan penuh pemahaman. Malah senyum tetap kau rekahkan. Menyaksikan semua itu aku tertegun pilu karena tersadar telah melakukan sebuah kesalahan. Lagi dan lagi. Kesalahan kali ini mungkin tak dapat kau tolerir lantaran perasaanmu enggan bersahabat dengan hal seperti itu, dan kupikir semua perempuan pun tak sudi diperlakukan begitu.
Sudah. Miris aku mengungkit-ungkitnya lagi. Cukup itu jadi sebuah pelajaran berharga. Aku sepenuhnya telah menyadari bahwa kesalahan terbesarku adalah ketika hanya sibuk memikirkan kesalahan-kesalahanmu. Dan keliruku karena selalu mengungkit kebaikan-kebaikanku. Makanya tak salah jika kau sampai bertanya kepadaku di akhir pertemuan kita di senja yang basah itu.
“Jadi, apa sebenarnya relevansi dari sebuah kebaikan dan keikhlasan?”
Dengan mata yang hampir sembap, kamu mengucapnya sekali, pelan, kemudian berlalu pergi. Langkahmu seirama dengan rintik hujan yang terdengar semakin cepat, dan berganti hujan yang deras. Dilatari senja yang basah, wujudmu sudah tidak kulihat lagi.
***

Sudah lama aku ingin menceritakan ini kepadamu, Idea. Pada halaman ini aku ingin banyak bercerita tentangnya. Tentang seseorang yang mungkin jauh lebih mengenalmu, tapi tak sedalam bagaimana dia dapat memahamiku. Tenang, dia itu seorang laki-laki. Kali ini aku baru sempat menuliskan sesuatu tentangnya. Tulisan yang sangat sederhana, namun kuanggap jauh lebih berharga dari hadiah dalam bentuk apapun. Ya, hanya ini, dan dia sudah memahami itu. Ada peristiwa getir yang telah menimpanya beberapa saat yang lalu. Perih memang. Hari itu juga Kamis. Akhir April yang pilu. Aku tak sempat berbagi kesedihan dengannya sore itu. Sayang sekali, aku tak bisa datang. Walaupun sudah sebulan lebih, mudah-mudahan tulisan ini masih dapat menghiburnya. Walaupun aku tahu betul dia adalah orang yang suka menghibur banyak orang, termasuk diriku. Bahkan saat peristiwa getir itu menimpanya, tak ada air mata yang menetes di pipinya. Padahal ‘Ummi’ yang sangat dicintainya telah menutup usia. Wajahnya tetap tegar. Seperti biasa, sesekali masih saja bergurau menghibur kawan-kawannya yang hadir melayat di kediamannya saat itu, termasuk juga dirimu.
Kamu pasti sudah mengenalnya. Tebak saja setelah membaca seluruh isi halaman ini. Dan kupikir kamu sudah dapat menerka siapa orangnya. Boleh dibilang dia itu seorang sahabat, bisa juga kakak, seorang bapak, sekaligus seorang guru –tepatnya seseorang yang selalu kujadikan penasihat. Tapi untuk yang satu itu –bapak– cukup kita berdua saja yang tahu. Wajar bila aku menyebutnya demikian karena kamu pernah mencibir gayanya yang menurutmu lebih menyerupai seorang ‘bapak-bapak’. Kamu punya alasan sendiri tentang itu, dan itu sering kamu katakan kepadaku. Sementara aku, seingatku, belum pernah mencibirnya seperti itu. Aku mana berani. Dia sering membawa kerupuk ke rumah. Dan aku memang suka dengan kerupuknya. Jadi, kamu siap-siap saja kalau sampai dia membaca halaman ini. Harus kuakui indera penciumannya sangat hebat. Waspada saja. Nanti silakan berurusan dengannya langsung jika dirinya sampai tersinggung, atau bahkan sampai melaporkanmu ke kantor polisi atas tuduhan perbuatan yang kurang menyenangkan. Wah, bisa jadi seru bila itu jadi kesampaian. Seheboh perseteruan Si Eyang Subur dengan Adi Bing Slamet dan Arya Wiguna. Kamu tahu Arya Wiguna kan? Orang yang sering melototkan kedua bola mata dan memukul meja keras-keras ketika di wawancarai oleh awak infotainment itu. Kamu tahu kan? Aku bahkan tak mampu membayangkan jika sampai dirinya melakukan hal yang sama kepadamu, marah besar karena sangat tersinggung oleh cibiranmu. Maka, dengan sangat beringas dia juga akan berteriak: “Ideaaa.., waktumu sudah habis. Waktumu akan habis, Ideaaa...!!! Demi Tuhaaannn...!!!” Ngerinya bukan main.

 

Okelah. Di sini aku akan memanggilnya, Karan. Namanya memang familier di telinga. Mirip nama artis Bolywood, bukan? Ya, benar. Karan memang salah satu penggemar film India. Aku masih ingat betul film kesukaannya, “Veer Zaara”. Film itu dibintangi oleh Sahrukh khan dan Preity Zinta –dua artis  India kesukaanya. Makanya, Karan cukup lihai menyanyi dan menari ala India. Mungkin kamu belum pernah melihatnya begitu. Aku sudah sudah pernah, malah sangat sering. Mungkin karena kegemarannya akan film India itulah yang membuatnya banyak tahu dan memahami tentang lika-liku dan permasalahan sebuah jalinan percintaan. Padahal Karan tak pernah pacaran. Sesungguhnya dia yang tak mau pacaran. Sepertinya Karan tahu betul apa yang akan terjadi ketika ada sebuah masalah percintaan yang menimpaku. Serupa yang sudah kutulis di awal ceritaku tadi, dia sering kudaulat sebagai penasihat. Terserah temanya tentang apa saja. Tapi memang lebih sering tentang percintaan. Karan memang tak pernah pacaran. Tapi jangan coba-coba meremehkannya. Sudah ada perempuan cantik yang tertarik kepadanya. Bahkan tahun ini mereka sudah berencana untuk melepas masa lajang. Aamiin. Alhamdulillah, aku sangat gembira mendengarnya. Akhirnya dia laku juga.
Suatu saat Karan pernah menasihatiku seperti ini.
“Katakan apa yang hendak kamu katakan, dan jangan katakan bila itu tak ingin kamu katakan!”
Tunggu dulu. Barangkali aku keliru mengingat kembali nasihatnya. Oh Tuhan, aku baru ingat. Rupanya itu pernyataan Si Uya Kuya pada acara hipnotis-hipnotisan di televisi. Aku memang bukan pengingat yang ulung. Tapi tenang, supaya kamu tak penasaran, akan kuulang mengingatnya sekali lagi. Sekali lagi. Sepertinya nasihatnya begini.
“Katakan jika itu memang sebuah kebenaran. Meskipun getir, kejujuran jauh lebih berharga dari sebuah permata!” Ya, itu sudah sangat betul.  
Peristiwa itu adalah kejadian di mana seperti yang aku tulis di awal halaman ini. Dan saat itu Karan aku bikin keteteran. Aku sangat intens berkonsultasi dengannya. Setiap hari waktunya hampir habis oleh dering teleponku yang terus-terusan bertanya dan meminta solusi. Dasar, aku memang payah.
Kurasa cukup sampai di sini saja. Kepalanya bisa membesar apabila melulu menulis tentangnya. Menyoal tentang Karan butuh hari dan halaman yang baru. Sementara malam ini aku harus siap-siap ke kampung halaman. Namun begitu, wajah Karan memang tidaklah rupawan, akan tetapi hatinya amatlah menawan. Semoga engkau terhibur, kawan. Dan kuharap cerita ini juga dapat menghiburmu, Idea. Seperti Karan yang suka menghibur semua orang. Maka tersenyumlah, karena aku senang melihatmu tersenyum. Kamu tahu itu kan, Idea? (*)

Saat-saat menanti keberangkatan menuju kampung halaman.
Makassar, 22 Mei 2013

06/05/2013

Irama yang Terbata

(Cerpen: Kontributor Antologi Cerpen “Cermin, Nama, dan Pelita”)

Malam hampir larut. Tubuhku tergelatak sekenanya sebab letih yang mendera seharian. Telah kusematkan ego dan senyumannya di gudang pikiranku barang sejenak, cuma cemas berdiam menyemai prasangka. Tampaknya kini tangguhku sudah mulai meleleh sebab rutin dia sulut dengan alasan jumpa yang mesti selalu diberi jarak. Dia selalu punya argumentasi atas itu, dan sepenuhnya belum mampu kupahami saat ini. Hidupku perlahan telah berasimilasi bersama alur kehidupannya. Namun, kadang tertatih merunut maksud-maksudnya. Aku selalu berusaha lentur mengikuti iramanya, bersenandung sebelum dia memulai melentikkan nada-nada, dan terus menderainya bahagia sebelum hatinya canggung meminta. Pun aku akan rela menghilang sebelum dia bermohon untuk menjauh, sebentar atau bisa saja lama.
***
Dan kini malam beringsut menuju hari yang sebentar lagi dini. Aku masih begini, terbata, hingga lelap tak kunjung teraih. Prasangka terus berkelebat menjerat rasa dan rasio. Detak jarum jam dinding terdengar rancu mengulur waktu. Senandung lagu-lagu melankolis mulai terdengar sumbang lantaran sengal berulang-ulang mengikuti irama malam. Angin malam berdesir sumbang semakin merambat memecah keheningan. Cakrawala kosong melompong, sungkan menggubah komposisi nada. Resonansi dari angkasa raya urung mendekap harmonisasi. Semesta berpaling; kau menjauh; aku apatis. Ya sudah, kunikmati ini sendirian. Mainkan saja irama masing-masing.....




TELAH TERBIT!!!

Judul          : Cermin, Nama, dan Pelita
Penerbit    : Leutika Prio (April, 2013)
ISBN           : 978-602-225-655-7
Jumlah Hal : 255
Harga         : Rp 50.300 (belum termasuk ongkos kirim)

Para Penulis:
Luklukul Maknun - Nachita - Ripo Mht - Nafisah - Maulana Alir Pena - Agil Hp - Dee Idee Anggraeni - UM Ray Bitta - Shafira El-Khaira -Kynar - Aas Kartini - Marwah Oh Marwah -Ade Rahayu - Arinda Shafa - Hendrika Zai - Akurnie - Riana Yahya - Restia - Al Hadad Adyan - Altami Nurmila Daniari -Ceng Ahmar Syamsi - Annisa Puja Kelam - Izzathy Dhea - Nida’Ufairah - Atik Pili - Hilal Ahmad - Uda Agus

Berminat?

18/01/2013

Testimoni dalam Sunyi

Masih tentang senja, Idea. Jangan pernah merasa bosan. Barangkali aku termasuk orang yang sangat gemar menulis tentang senja. Sebuah keindahan yang hanya damai kunikmati sendirian. Begitupun dengan fajar, juga banyak narasi tercipta dari keelokannya. Dua-duanya sama saja buatku, tetapi terkadang kontradiktif menyimbolkan suasana. Seperti dua sisi mata uang. Uang recehan. Sesuatu yang mungkin tak begitu penting nilainya. Sesuatu yang selalu dibeda-bedakan, dipaksakan tak serupa bagai dua sisi kehidupan yang berlawanan, namun saling melengkapi satu sama lain. Kelihatannya mereka nyaman-nyaman saja. Toh kita sendiri yang sibuk, ribut mendebatnya secara kusir seolah tak pernah bersepaham. Sudahlah. Ini tentang senja-senjaku. Senja yang ada dalam pikiranku. Bahkan jika dirimu menolak, aku akan tetap memaksa. Beri aku waktu untuk tak mendebatnya malam ini, dan mungkin untuk selamanya. Sebab mereka adalah keindahan dalam pikiranku. Sepertimu, senyumanmu.
Saat ini kubiarkan pikiranku mengalir begitu saja. Terserah melukiskan sesuatu semena-menanya. Dan akhirnya, inspirasi mencurah lebat ketika berhadapan dengan halamanmu yang terhampar kosong. Lapang membiarnya mengalir menganak sungai menuju lautan kepuasan. Lalu tenggelam menyusup sampai palung laut paling dalam. Teronggok beku meratapi sesal yang memekik. Rumit bahkan pelik, seperti disayat-sayat badik. Batinku lantas panas meradang, meleleh mengisi lubang-lubang gelap itu. Kemudian gigil lekas membekukannya mendaulat lara. Padat mengeras, sekeras kondisiku yang tak terpahami oleh siapa-siapa, bahkan mungkin juga dirimu. Sebaliknya, barangkali juga sama. Biar saja, aku mau terus melanjutkan. Kenikmatan dalam dera, pikirku. Nikmati saja sendirian dalam kesendirian. Seperti senja-senja itu.

Sumber: di sini

Sebuah tulisan merupakan refleksi dari pikiran penulisnya. Barangkali. Kupikir kali ini bisa benar. Entahlah, senyummu masih ragu membenarkan. Malam ini, menjelang hari yang mulai dini, beban semakin lugas kujadikan gagasan. Mengucur deras bercucuran bagai pancuran. Resah pun kupilin menjadi prosa, terseduh panas ke dalam cawan dengan pemanis cemas. Pun diksi riang menyandung memoles makna, hingga prosa memintal mencipta kisah. Adapun canda dan tawa hanya bias mengelabui kenyataan, menjadi fatamorgana tak bermakna. Palsu dan tak mampu menjelaskan apa-apa. Sudah betulkah menurutmu, bahwa sebuah tulisan merupakan refleksi dari pikiran penulisnya?
Seperti itulah aku melukiskan senja. Menikmati senja serupa dengan meratapi kesendirian. Kesendirian yang hadir lantaran kekosongan yang terus berkelabat tak bersahabat. Kenikmatan senja hanya pada ketika kekosongan angkuh tak membiarkan apa-apa mengusik kesendirian. Berpikir bahwa senja akan selalu meminang kesepian menuju malam yang menyuguhkan gelap. Hanya sunyi dan juga gigil yang terus merapat lekat-lekat. Sepi dan sendiri.
Yah, dalam sunyi ini aku ingin memberimu sebuah testimoni.
Senja berangkat dari suatu siang dan akan pulang menuju suatu malam. Esok, lusa, atau hari selanjutnya akan tetap sama. Tak ada senja yang biru apalagi putih. Tetap senja yang melembayung di sudut cakrawala. Merah jingga. Kehidupan telah menjadikannya seperti itu. Sebuah instrumen perjalanan. Perjalanan kehidupan. Apa kau tahu? Kesendirian yang dibiarkan lama-lama akan semakin menegaskan sebuah rasa kepercayaan. Tepatnya, ketidakpercayaan kepada siapa-siapa. Haruskah kesendirian betah menegaskan rasa ketidakpercayaan?
Senja telah mengajariku kapan akan berangkat dan ke mana harus pulang. Seperti kokokan ayam yang tak pernah lalai mengumumkan semburat fajar. Juga seperti kepulangan kawanan unggas yang senantiasa taat mengiring senja. Hanya saja takdir nampaknya terlalu rumit merumuskan kehidupan kita. Selanjutnya, malam demi malam akan benar-benar menjadi gelap, lebam lantaran terus-terusan ditempa sepi. Apabila ini benar sebuah perjalanan kehidupan, masihkah kita sudi berlama-lama menikmati sunyi sendirian?

(Selamat, untuk sesuatu yang tak harus mereka tahu!)
Makassar, 18 Januari 2013