06/05/2013

Irama yang Terbata

(Cerpen: Kontributor Antologi Cerpen “Cermin, Nama, dan Pelita”)

Malam hampir larut. Tubuhku tergelatak sekenanya sebab letih yang mendera seharian. Telah kusematkan ego dan senyumannya di gudang pikiranku barang sejenak, cuma cemas berdiam menyemai prasangka. Tampaknya kini tangguhku sudah mulai meleleh sebab rutin dia sulut dengan alasan jumpa yang mesti selalu diberi jarak. Dia selalu punya argumentasi atas itu, dan sepenuhnya belum mampu kupahami saat ini. Hidupku perlahan telah berasimilasi bersama alur kehidupannya. Namun, kadang tertatih merunut maksud-maksudnya. Aku selalu berusaha lentur mengikuti iramanya, bersenandung sebelum dia memulai melentikkan nada-nada, dan terus menderainya bahagia sebelum hatinya canggung meminta. Pun aku akan rela menghilang sebelum dia bermohon untuk menjauh, sebentar atau bisa saja lama.
***
Dan kini malam beringsut menuju hari yang sebentar lagi dini. Aku masih begini, terbata, hingga lelap tak kunjung teraih. Prasangka terus berkelebat menjerat rasa dan rasio. Detak jarum jam dinding terdengar rancu mengulur waktu. Senandung lagu-lagu melankolis mulai terdengar sumbang lantaran sengal berulang-ulang mengikuti irama malam. Angin malam berdesir sumbang semakin merambat memecah keheningan. Cakrawala kosong melompong, sungkan menggubah komposisi nada. Resonansi dari angkasa raya urung mendekap harmonisasi. Semesta berpaling; kau menjauh; aku apatis. Ya sudah, kunikmati ini sendirian. Mainkan saja irama masing-masing.....




TELAH TERBIT!!!

Judul          : Cermin, Nama, dan Pelita
Penerbit    : Leutika Prio (April, 2013)
ISBN           : 978-602-225-655-7
Jumlah Hal : 255
Harga         : Rp 50.300 (belum termasuk ongkos kirim)

Para Penulis:
Luklukul Maknun - Nachita - Ripo Mht - Nafisah - Maulana Alir Pena - Agil Hp - Dee Idee Anggraeni - UM Ray Bitta - Shafira El-Khaira -Kynar - Aas Kartini - Marwah Oh Marwah -Ade Rahayu - Arinda Shafa - Hendrika Zai - Akurnie - Riana Yahya - Restia - Al Hadad Adyan - Altami Nurmila Daniari -Ceng Ahmar Syamsi - Annisa Puja Kelam - Izzathy Dhea - Nida’Ufairah - Atik Pili - Hilal Ahmad - Uda Agus

Berminat?

18/01/2013

Testimoni dalam Sunyi

Masih tentang senja, Idea. Jangan pernah merasa bosan. Barangkali aku termasuk orang yang sangat gemar menulis tentang senja. Sebuah keindahan yang hanya damai kunikmati sendirian. Begitupun dengan fajar, juga banyak narasi tercipta dari keelokannya. Dua-duanya sama saja buatku, tetapi terkadang kontradiktif menyimbolkan suasana. Seperti dua sisi mata uang. Uang recehan. Sesuatu yang mungkin tak begitu penting nilainya. Sesuatu yang selalu dibeda-bedakan, dipaksakan tak serupa bagai dua sisi kehidupan yang berlawanan, namun saling melengkapi satu sama lain. Kelihatannya mereka nyaman-nyaman saja. Toh kita sendiri yang sibuk, ribut mendebatnya secara kusir seolah tak pernah bersepaham. Sudahlah. Ini tentang senja-senjaku. Senja yang ada dalam pikiranku. Bahkan jika dirimu menolak, aku akan tetap memaksa. Beri aku waktu untuk tak mendebatnya malam ini, dan mungkin untuk selamanya. Sebab mereka adalah keindahan dalam pikiranku. Sepertimu, senyumanmu.
Saat ini kubiarkan pikiranku mengalir begitu saja. Terserah melukiskan sesuatu semena-menanya. Dan akhirnya, inspirasi mencurah lebat ketika berhadapan dengan halamanmu yang terhampar kosong. Lapang membiarnya mengalir menganak sungai menuju lautan kepuasan. Lalu tenggelam menyusup sampai palung laut paling dalam. Teronggok beku meratapi sesal yang memekik. Rumit bahkan pelik, seperti disayat-sayat badik. Batinku lantas panas meradang, meleleh mengisi lubang-lubang gelap itu. Kemudian gigil lekas membekukannya mendaulat lara. Padat mengeras, sekeras kondisiku yang tak terpahami oleh siapa-siapa, bahkan mungkin juga dirimu. Sebaliknya, barangkali juga sama. Biar saja, aku mau terus melanjutkan. Kenikmatan dalam dera, pikirku. Nikmati saja sendirian dalam kesendirian. Seperti senja-senja itu.

Sumber: di sini

Sebuah tulisan merupakan refleksi dari pikiran penulisnya. Barangkali. Kupikir kali ini bisa benar. Entahlah, senyummu masih ragu membenarkan. Malam ini, menjelang hari yang mulai dini, beban semakin lugas kujadikan gagasan. Mengucur deras bercucuran bagai pancuran. Resah pun kupilin menjadi prosa, terseduh panas ke dalam cawan dengan pemanis cemas. Pun diksi riang menyandung memoles makna, hingga prosa memintal mencipta kisah. Adapun canda dan tawa hanya bias mengelabui kenyataan, menjadi fatamorgana tak bermakna. Palsu dan tak mampu menjelaskan apa-apa. Sudah betulkah menurutmu, bahwa sebuah tulisan merupakan refleksi dari pikiran penulisnya?
Seperti itulah aku melukiskan senja. Menikmati senja serupa dengan meratapi kesendirian. Kesendirian yang hadir lantaran kekosongan yang terus berkelabat tak bersahabat. Kenikmatan senja hanya pada ketika kekosongan angkuh tak membiarkan apa-apa mengusik kesendirian. Berpikir bahwa senja akan selalu meminang kesepian menuju malam yang menyuguhkan gelap. Hanya sunyi dan juga gigil yang terus merapat lekat-lekat. Sepi dan sendiri.
Yah, dalam sunyi ini aku ingin memberimu sebuah testimoni.
Senja berangkat dari suatu siang dan akan pulang menuju suatu malam. Esok, lusa, atau hari selanjutnya akan tetap sama. Tak ada senja yang biru apalagi putih. Tetap senja yang melembayung di sudut cakrawala. Merah jingga. Kehidupan telah menjadikannya seperti itu. Sebuah instrumen perjalanan. Perjalanan kehidupan. Apa kau tahu? Kesendirian yang dibiarkan lama-lama akan semakin menegaskan sebuah rasa kepercayaan. Tepatnya, ketidakpercayaan kepada siapa-siapa. Haruskah kesendirian betah menegaskan rasa ketidakpercayaan?
Senja telah mengajariku kapan akan berangkat dan ke mana harus pulang. Seperti kokokan ayam yang tak pernah lalai mengumumkan semburat fajar. Juga seperti kepulangan kawanan unggas yang senantiasa taat mengiring senja. Hanya saja takdir nampaknya terlalu rumit merumuskan kehidupan kita. Selanjutnya, malam demi malam akan benar-benar menjadi gelap, lebam lantaran terus-terusan ditempa sepi. Apabila ini benar sebuah perjalanan kehidupan, masihkah kita sudi berlama-lama menikmati sunyi sendirian?

(Selamat, untuk sesuatu yang tak harus mereka tahu!)
Makassar, 18 Januari 2013

10/01/2013

Terjerat Senja


Ombak lautan menderu, bergemuruh menegaskan sepi
Getir bahkan lebih dari perih
Di sini, tersungkur lunglai merutuk keadaan
Mencoba merapal maksud namun tetap terbata




Senja menyuntuk, menahan dan aku tertahan
Mimpi retak terberai-berai percuma
Tak ada lagi keindahan lembayung mengirim malam
Nestapa nan kelam membiarnya meradang




Terjerat senja di pantai Pajalele, 8 Januari 2013

26/11/2012

Hujan November


Happiness is when what you think, what you say, and what you do are in harmony.
Mahatma Gandhi

November yang basah, Muharram penuh berkah. Selalu, ketika bulan sudah berada di penghujung tahun masehi, hujan riang menerpa. Dingin tak dapat ditampik sebab tiada sore tanpa mendung, berikut petir yang mengilat-ngilat. Semesta buram memagut langit, seolah-olah hendak memberi kabar bahwa alam akan berganti latar dan cerita. Bercerita tentang hujan dan kenangan-kenangan di masa kecil, saat riang berebutan seluncuran pelepah pohon pinang di tengah jalan becek berpasir yang menukik. Cerita tentang hujan-hujan kita di senja Februari yang temaram, saat cinta mulai bersemi sekaligus terasing dari keramaian sekitar. Juga cerita tentang banjir dan tanah longsor di banyak TV dan koran-koran, cerita tentang Gaza yang terus dihujani roket-roket Israel, cerita tentang Ayah yang sudah siaga mengemas segenap raga karena musim tanam telah tiba. Dan beragam cerita hujan lainnya.
Tak ada yang aneh dengan semua itu. Lantaran musim sudah benar menapaki jalur siklusnya setiap tahun. Jadi, semestinya memang begitu. Namun adakalanya hujan cuma hinggap sebentar atau bahkan sampai lupa lama-lama. Atas gejala itu alam punya alasan sendiri, dan manusia cuma pura-pura tuli tak mendengar apa-apa. Seperti itulah kehidupan ini barangkali. Kadang bahagia jemu merajai, kadang pula nelangsa betah menggerayangi. Paling tidak, sejenak hujan November saat ini telah memberi kesejukan ataupun berkah atas setumpuk problem kehidupan yang semakin gaduh memekik logika dan rasa kemanusiaan.

Sumber: disini

Sudahlah, lupakan itu sejenak. Semalam Ayah menelepon. Ia ingin berbagi kabar tentang situasi rumah di kampung. Pun tentang keadaanku tentu tak luput dari perhatiannya. Topik pembicaraan ia awali dengan cerita mengenai kenakalan cucu-cucunya yang masih kecil-kecil. Meladeni lima orang cucu sekaligus dengan beragam kepentingan tentu bukan soal mudah. Merasa terbebanikah ia? Tentu saja tidak. Malah senang dan bahagia rasanya terdengar ia bercerita. Dari situ aku jadi berpikir, Apa ukuran dari sebuah kebahagiaan?
Setelah itu, Ayah lebih banyak bercerita tentang kesiapannya menghadapi musim tanam. Sepertinya bertani akan mulai menyibukkan hari-harinya beberapa bulan ke depan. Aku jadi khawatir, karena hal itu selalu membuat tubuhnya mengurus. Usianya kini sudah tergolong renta. Di umur segitu rupaya ia belum sadar akan usianya yang tak lagi sekekar dahulu. Selalu kusampaikan saran untuk memberikan beberapa petak sawah itu kepada orang lain saja untuk digarap –berbagi hasil saja, namun seketika niat itu luluh mendengar alasan yang selalu seragam dari Ibu, “Kita mau kerja apa, Nak? Kita sudah terbiasa dengan ini. Malah badan akan terasa kaku jika tidak bekerja,” katanya datar.
Di sela-sela pembicaraan, Ibu sesekali menimpali. Rupanya pembicaraanku dengan Ayah sedang di loudspeaker. Kepada saudara-saudaraku –yang sudah tidak tinggal di kampung– juga diperlakukannya serupa. Walau tak diungkapnya secara eksplisit, sepertinya mereka dilanda rindu. Aku juga rindu, gumamku dalam hati. Ingin lugas kuucap itu, namun urung kurapalkan lantaran kami bukanlah tipe keluarga kebanyakan yang intim mengumbar rasa dan cinta. Kami tidak terbiasa begitu layaknya keluarga-keluarga modis yang sering dipertontonkan dalam sinetron-sinetron kegemaran ibu-ibu.
Mungkin hal ini juga perlu kau pahami. Bahwa diriku sebenarnya tak begitu pandai mengungkap sesuatu, baik itu cinta maupun dusta. Dengan mudah dapat kau tebak dari mata dan gerak-gerikku atas masalah yang sedang menimpa. Aku juga tak begitu pandai mendiamkan rasa dan masalah. Gegabah dan meledak-meledak barangkali telah akrab berteman dengan tabiatku. Namun dalam beberapa hal aku pernah mencoba untuk diam. Seperti dulu pernah kuungkap sebelumnya di halaman ‘Taman Langit’, bahwa diam menjadi satu-satunya bahasa hati.
Lalu apa ukuran dari sebuah kebahagiaan? Pertanyaan itu kembali melintas. Aku jadi teringat dengan peristiwa beberapa hari kemarin, saat bersamamu menghabiskan pagi di suatu lapangan hijau yang berembun. Saat itu aku menanyakan hal serupa dengan pertanyaan yang melintas dalam pikiranku barusan.
“Apa kau merasa bahagia dengan semua ini?”
“Tidak, aku malah merasa nyaman.”
“Maksudmu, Idea?”
“Aku memaknai kenyamanan itu sebagai dasar dari segala rasa senang ataupun bahagia,” jawabmu tenang.
Melihat dahiku mengernyit, kau kemudian melanjutkan. “Kamu juga tak perlu tahu semua hal, Ray. Mendalami sebuah saja sepertinya sudah menampakkan identitas keluasan. Dan, sama sekali tak perlu tahu banyak untuk menyenangkan orang lain. Bersenang-senang saja dengan yang ada.”
“Ceyiyus...???” aku mencandaimu, kau pun tertawa.
Akhirnya, aku masih belum terlalu tahu kebahagiaan itu seperti apa. Yang jelas, aku hanya ingin membuatmu dapat merekahkan senyuman dan merasa nyaman berada di dekatku. Dapat melihatmu tersenyum saja bagiku sudah cukup membuatku senang. Saat ini hanya itu yang bisa kupahami. Seperti hujan di ujung November ini, memberi keberkahan karena telah cukup lama dinanti-nanti. Atau juga seperti Ayah yang tak pernah letih meladeni kenakalan para cucunya itu. Dan kelak kita pun akan menyadari akan hal tersebut tatkala di kemudian hari kita telah menua: menghabiskan waktu saban hari mengurusi uban-uban dan cucu-cucu di sore yang hujan. (*)

Makassar, 23 November 2012