26/11/2012

Hujan November


Happiness is when what you think, what you say, and what you do are in harmony.
Mahatma Gandhi

November yang basah, Muharram penuh berkah. Selalu, ketika bulan sudah berada di penghujung tahun masehi, hujan riang menerpa. Dingin tak dapat ditampik sebab tiada sore tanpa mendung, berikut petir yang mengilat-ngilat. Semesta buram memagut langit, seolah-olah hendak memberi kabar bahwa alam akan berganti latar dan cerita. Bercerita tentang hujan dan kenangan-kenangan di masa kecil, saat riang berebutan seluncuran pelepah pohon pinang di tengah jalan becek berpasir yang menukik. Cerita tentang hujan-hujan kita di senja Februari yang temaram, saat cinta mulai bersemi sekaligus terasing dari keramaian sekitar. Juga cerita tentang banjir dan tanah longsor di banyak TV dan koran-koran, cerita tentang Gaza yang terus dihujani roket-roket Israel, cerita tentang Ayah yang sudah siaga mengemas segenap raga karena musim tanam telah tiba. Dan beragam cerita hujan lainnya.
Tak ada yang aneh dengan semua itu. Lantaran musim sudah benar menapaki jalur siklusnya setiap tahun. Jadi, semestinya memang begitu. Namun adakalanya hujan cuma hinggap sebentar atau bahkan sampai lupa lama-lama. Atas gejala itu alam punya alasan sendiri, dan manusia cuma pura-pura tuli tak mendengar apa-apa. Seperti itulah kehidupan ini barangkali. Kadang bahagia jemu merajai, kadang pula nelangsa betah menggerayangi. Paling tidak, sejenak hujan November saat ini telah memberi kesejukan ataupun berkah atas setumpuk problem kehidupan yang semakin gaduh memekik logika dan rasa kemanusiaan.

Sumber: disini

Sudahlah, lupakan itu sejenak. Semalam Ayah menelepon. Ia ingin berbagi kabar tentang situasi rumah di kampung. Pun tentang keadaanku tentu tak luput dari perhatiannya. Topik pembicaraan ia awali dengan cerita mengenai kenakalan cucu-cucunya yang masih kecil-kecil. Meladeni lima orang cucu sekaligus dengan beragam kepentingan tentu bukan soal mudah. Merasa terbebanikah ia? Tentu saja tidak. Malah senang dan bahagia rasanya terdengar ia bercerita. Dari situ aku jadi berpikir, Apa ukuran dari sebuah kebahagiaan?
Setelah itu, Ayah lebih banyak bercerita tentang kesiapannya menghadapi musim tanam. Sepertinya bertani akan mulai menyibukkan hari-harinya beberapa bulan ke depan. Aku jadi khawatir, karena hal itu selalu membuat tubuhnya mengurus. Usianya kini sudah tergolong renta. Di umur segitu rupaya ia belum sadar akan usianya yang tak lagi sekekar dahulu. Selalu kusampaikan saran untuk memberikan beberapa petak sawah itu kepada orang lain saja untuk digarap –berbagi hasil saja, namun seketika niat itu luluh mendengar alasan yang selalu seragam dari Ibu, “Kita mau kerja apa, Nak? Kita sudah terbiasa dengan ini. Malah badan akan terasa kaku jika tidak bekerja,” katanya datar.
Di sela-sela pembicaraan, Ibu sesekali menimpali. Rupanya pembicaraanku dengan Ayah sedang di loudspeaker. Kepada saudara-saudaraku –yang sudah tidak tinggal di kampung– juga diperlakukannya serupa. Walau tak diungkapnya secara eksplisit, sepertinya mereka dilanda rindu. Aku juga rindu, gumamku dalam hati. Ingin lugas kuucap itu, namun urung kurapalkan lantaran kami bukanlah tipe keluarga kebanyakan yang intim mengumbar rasa dan cinta. Kami tidak terbiasa begitu layaknya keluarga-keluarga modis yang sering dipertontonkan dalam sinetron-sinetron kegemaran ibu-ibu.
Mungkin hal ini juga perlu kau pahami. Bahwa diriku sebenarnya tak begitu pandai mengungkap sesuatu, baik itu cinta maupun dusta. Dengan mudah dapat kau tebak dari mata dan gerak-gerikku atas masalah yang sedang menimpa. Aku juga tak begitu pandai mendiamkan rasa dan masalah. Gegabah dan meledak-meledak barangkali telah akrab berteman dengan tabiatku. Namun dalam beberapa hal aku pernah mencoba untuk diam. Seperti dulu pernah kuungkap sebelumnya di halaman ‘Taman Langit’, bahwa diam menjadi satu-satunya bahasa hati.
Lalu apa ukuran dari sebuah kebahagiaan? Pertanyaan itu kembali melintas. Aku jadi teringat dengan peristiwa beberapa hari kemarin, saat bersamamu menghabiskan pagi di suatu lapangan hijau yang berembun. Saat itu aku menanyakan hal serupa dengan pertanyaan yang melintas dalam pikiranku barusan.
“Apa kau merasa bahagia dengan semua ini?”
“Tidak, aku malah merasa nyaman.”
“Maksudmu, Idea?”
“Aku memaknai kenyamanan itu sebagai dasar dari segala rasa senang ataupun bahagia,” jawabmu tenang.
Melihat dahiku mengernyit, kau kemudian melanjutkan. “Kamu juga tak perlu tahu semua hal, Ray. Mendalami sebuah saja sepertinya sudah menampakkan identitas keluasan. Dan, sama sekali tak perlu tahu banyak untuk menyenangkan orang lain. Bersenang-senang saja dengan yang ada.”
“Ceyiyus...???” aku mencandaimu, kau pun tertawa.
Akhirnya, aku masih belum terlalu tahu kebahagiaan itu seperti apa. Yang jelas, aku hanya ingin membuatmu dapat merekahkan senyuman dan merasa nyaman berada di dekatku. Dapat melihatmu tersenyum saja bagiku sudah cukup membuatku senang. Saat ini hanya itu yang bisa kupahami. Seperti hujan di ujung November ini, memberi keberkahan karena telah cukup lama dinanti-nanti. Atau juga seperti Ayah yang tak pernah letih meladeni kenakalan para cucunya itu. Dan kelak kita pun akan menyadari akan hal tersebut tatkala di kemudian hari kita telah menua: menghabiskan waktu saban hari mengurusi uban-uban dan cucu-cucu di sore yang hujan. (*)

Makassar, 23 November 2012

19/09/2012

Gara-gara Tahi Minyak

Malam hampir larut. Tubuhku tergelatak sekenanya sebab letih yang mendera seharian. Telah kusematkan ego beserta senyumanmu di gudang pikiranku barang sejenak, cuma cemas berdiam menyemai prasangka-prasangka. Tampaknya kini tangguhku hampir meleleh sebab rutin kau sulut dengan alasan jumpa yang mesti selalu diberi jarak. Kau punya argumentasi atas itu dan sepenuhnya belum mampu kupahami. Hidupku perlahan sudah berasimilasi bersama alur kehidupanmu. Namun kadang tertatih merunut maksud-maksudmu. Aku berusaha lentur mengikuti iramamu. Selalu bersenandung sebelum kau memulai melentikkan nada-nada. Menderaimu bahagia sebelum hatimu canggung memintanya. Pun aku akan menghilang sebelum kau bermohon untuk menjauh, sebentar atau bisa saja lama.
Malam sudah terlalu larut. Kelopak mataku telah mengatup menenggelamkan retina. Otot-otot dan persendianku pelan-pelan mengulur ngilu dan sengal. Namun lelap sepenuhnya belum sempurna kurasai lantaran Bandoci dan kawan-kawannya juga sementara asyik bergulat membuat gaduh dari luar kamar. Mereka sedang riuh mempermasalahkan beberapa dari jawaban tebakan-tebakan konyol. Adakalanya kalau sedang tak ada kerjaan, kebiasaannya memang begitu. Seolah-olah tinggal di tengah hutan, tidak peduli dengan ketenangan para tetangga. Risiko tinggal di rumah kontrakan, pikirku.
Terkadang kita –manusia– teguh merapal suatu sabda kebenaran sementara kita berpijak di atas kesalahan yang merapuh.
“Dasar bandit-bandit, tukang rusuh, dan malas disuruh” aku menggerutu.
Ketenanganku terusik. Sekalipun menjadi biang dari segala kekonyolan di rumah, namun mereka juga punya sisi lain yang baik-baik. Selain pandai-pandai memasak, meraka juga taat sembahyang magrib. Hatiku jadi cooling down. Hingga tiba saatnya Bandoci mengajukan sebuah tebakan baru dan menjadi penutup dari acara tebak-tebakan malam itu.
“Naa, ini yang terakhir. Tahi apa yang bisa dimakan?” tanyanya.
Karena soal tebakannya tergolong mudah, kawan-kawan lainnya, termasuk aku –walau hanya mampu menebak dalam hati, serentak menjawab, “tai minynya’,mereka terbahak.
Sekarang aku benar-benar jadi terjaga, tersadar dari kantuk karena sorakannya heboh memecah separuh lelapku. Mereka sudah selesai dengan aksinya dan hendak beranjak tidur. Semantara aku dilanda resah. Gara-gara itu, insomnia mengambil alih situasiku. Nanar tak dapat kutampik. Meluapkan amarah dengan cara apa di saat-saat seperti itu, selain cuma jengkel dan menggerutu. Kucoba menyetel beberapa lagu favoritku dan kukeraskan volumenya sampai mereka sadar akan ketidaknyamananku tadi. Dan ternyata lumayan membantu. Ini bisa menjadi pelajaran bagi siapa pun. Pertama, tak perlu turut serta menjawab tebak-tebakan orang lain jika kau sudah sangat terkantuk-kantuk. Kedua, jika sebelum tidur suasana di sekitarmu sedang gaduh, pasanglah headset dan cobalah setel beberapa daftar lagu melankolis.
Gara-gara tahi minyak mataku sulit terpejam lagi. Tahu-tahu terpaksa aku mengingatmu lagi. Dulu sebelum aku pulang ke kampung, kau menitip pesan supaya dibawakan tahi minyak.
“Ray, jangan sampai lupa yah! Aku sangat suka dengan sambal tai minynya’ racikan ibuku. Apalagi kalau dijadikan isi sayur pare. Sudah terlalu lama aku tidak menikmatinya,” pintamu penuh harap, aku menelan ludah.
Mendengar itu aku tertawa, tetapi cuma dalam hati. Aku hendak memalingkan muka, sejenak untuk terkekah meluapkan tawa yang tertahan. Lagi-lagi aku segan. Raut mukamu terlanjur riang. Ternyata seleramu sedikit kampungan, kataku dalam hati sembari melebarkan senyum.
***
Sumber di sini

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ampas olahan minyak kelentik itu diberi istilah tahi minyak. Orang-orang di kampungku –suku Pattinjo atau masyarakat Bugis pada umumnya– mengucapnya dengan aksen yang sedikit berbeda, tai minynya’. Jadi supaya lebih Indonesia dan terucap nyaman, disebut saja dengan tahi minyak.
Asal kau tahu, Idea. Sunter terdengar kabar dari orang-orang tua yang pernah kutemui bahwa di saat sekarang ini tahi minyak sangat susah didapat. Hal itu dipertegas pula oleh Indo Becce –seorang nenek yang umurnya bisa kutaksir telah mencapai angka ratusan. Terlebih lagi industri per-minyak-kelapa-an sudah banyak gulung tikar sebab kalah saing dengan minyak sawit dan minyak-minyak kemasan yang harganya cenderung jauh lebih murah serta jenisnya variatif pula. Bahkan ada yang bisa langsung diminum. Hebatkan? Yang kutahu minyak kelapa memang bisa diminum hanya ketika seorang ibu hamil ingin melahirkan. Itu ibuku sendiri yang bilang dan pernah dipraktikkan ke kakak iparku. Supaya bayinya licin keluar, katanya. Oleh beberapa dukun beranak di kampungku juga berkata demikian. Dan memang terbukti mujarab.
Tahi minyak yang enak dan bisa dijadikan bahan dasar untuk membuat sambal adalah tahi minyak yang diperoleh dari proses penanakan santan secara langsung. Maksudnya, setelah santan diperoleh dari perasan sari-sari buah kelapa, santan itu langsung ditanak di atas bara api yang stabil. Berbeda jika santan itu didiamkan semalaman dahulu, lalu kumpulan bagian atasnya ditanak. Tahi minyaknya tidak akan sebagus dengan hasil tanakan secara langsung. Biasanya ampasnya hanya dijadikan sebagai bahan campuran untuk pakan ternak saja.

Proses pembuatan minyak kelapa tradisional ini memang tergolong susah dan prosesnya lumayan lama. Dari 20-25 buah kelapa, hanya dapat menghasilkan sekitar 2-3 liter minyak saja. Itu juga bergantung dari jenis kelapanya. Info itu akurat karena dulu ibuku termasuk salah seorang penghasil minyak kelapa rumahan. Kala itu, belum banyak minyak kemasan. Di pasar, minyak kelapa ibuku lumayan dikenal banyak orang karena warna minyaknya tidak terlalu kuning, juga tidak terlampau merah, dan memiliki wangi khas. Hasil seperti itu diperoleh karena proses pengolahannya telaten. Aku senang memperhatikan ibu memeras parutan kelapa dan menanak santannya sampai menjadi minyak. Momentum yang paling kusukai adalah ketika ibu menuangkan hasil akhir dari tanakan santan kelapa itu ke dalam botol-botol sirup bekas. Dan ketika jari-jarinya sudah berlumuran minyak, langsung diusapkan ke rambut bergelombangnya. Selalu ia menawari ke rambutku, namun terlanjur aku kabur duluan. Sekarang, setelah kupikir matang-matang, sekiranya aku selalu menuruti ajakan ibu dulu, mungkin saja rambutku tidak sekering ini.
Saat masih kecil, aku senang menemani ayah mencari dan memanjat kelapa di kebun untuk dipakai ibu membuat minyak. Kadang aku jadi rewel kalau ayah sampai lupa memetikkan buah kelapa muda untukku. Jika dia sampai marah-marah karena itu, ia sering mengancam meninggalkanku sendirian di kebun. Aku takut. Kuburan dekat dari situ. Dengan menggunakan sebuah gerobak kayu rakitan, kami masukkan kelapa-kelapa itu ke dalamnya. Tak lupa aku menghitungnya dengan menggunakan metode hitung khas pedagang kelapa di kampung –istilahnya poto’ dalam persepuluh buah. Kemudian kelapa-kelapa itu kami angkut ke rumah, mendorongnya bersama-sama. Namun sesekali ayah cuma sendirian karena aku naik bertengger di atas gerobak bak seorang kesatria berkuda. Aku membayangkan sosok Sultan Hasanuddin sedang berkuda dengan gagahnya, serupa di poster-poster pahlawan.
Dari ayah aku tahu beberapa teknik memanjat kelapa yang lumayan jitu. Salah satunya yaitu dengan menggunakan tali dari lilitan pelepah daun pisang kering. Kedua ujungnya disambung kemudian dikaitkan pada kedua pergelangan kaki. Pun teknik itu pernah aku praktikkan di umur 14 tahun. Saat itu, setelah pelajaran olahraga, salah seorang teman perempuan satu kelasku sedang manja-manja merayuku untuk memetikkan beberapa buah kelapa muda untuknya di belakang sekolah. Rasa kelaki-lakianku memuncak. Teman-teman yang lain bersorak-sorai dari dalam kelas ikutan meminta jatah. Aku beraksi. Pun beberapa buah kelapa berhasil kupetik, berjatuhan satu per satu. Namun, seturunnya dari pohon, dadaku merah-merah dan terkelupas. Itu perihnya bukan main. Tetapi pantang bagi seorang remaja laki-laki menunjukkan rasa sakit di depan gadis-gadis.
Kisah berlanjut. Di saat bingung mencari tahi minyak, Indo Becce memberi saran agar mencari tahi minyak di suatu pasar.
“Nnyyak, nnyyobha ngo nyari djyi fhacnyar nydjara...,” dia berujar memberi rekomendasi.
Aku paham maksud perkataannya lewat ekspresi wajah dan sorot matanya. Kata ibuku, Indo Becce masih sedarah denganku. Tapi entah mau dirunut dari mana, silsilah tak mencantumkan namanya. Dia juga sering memijatku saat aku masih balita. Saran ibuku, aku disuruh memangilnya Indo’ –serupa sapaan kepada nenek buyut. Sekarang giginya sudah ompong melompong. Kedua bibirnya lemas melentur semakin kendur menjulur ke tanah. Jadi kata-kata yang terucap sudah tidak terlalu jelas lagi.
Esok hari aku bergegas ke pasar yang ditunjukkan Indo Becce semalam. Mudah saja menjumpai pasar itu. Letaknya tak jauh dari jalan raya. Suasananya pun masih sangat konservatif. Belum banyak kios yang sudah terpetak-petak sesuai dengan jatah wilayah jual para pedagang. Kebanyakan pedagang hanya menggunakan hamparan tikar untuk dipakai menggelar barang-barang jualannya. Sebagai pelindung dari panas dan hujan, mereka cuma menggantung terpal seadanya sebagai atap sementara. Boleh dibilang itu pasar kaget karena berada di selasar jalan-jalan. Waktu operasinya dimulai setelah azan subuh sampai pukul sembilan pagi, dan hanya berlangsung di hari senin dan jumat saja.
Tak perlu buang-buang waktu, segera kususur satu demi satu hamparan jualan barang-barang dapur. Pencarianku terfokus di tempat-tempat yang menjual minyak kelapa, karena kupikir tak mungkin barang carianku itu berada di bagian ikan-ikan ataupun cakar –pakaian bekas impor. Dan akhirnya, seperti perkiraan Indo Becce semula, di pasar tradisional itulah aku berhasil menjumpai sekantung tahi minyak yang teronggok bisu menanti kedatanganku. Wajahnya –tahi minyak– tampak semringah. Segera kuraih tanpa banyak tawar pada si pemilik dagangan. Aku menghela nafas kemudian berlalu lekas pulang. Tunggu ini, Idea, bisikku dalam hati.
***
Dan kini malam beringsut menuju hari yang sebentar lagi dini. Aku masih begini, lelap tak kunjung mampu teraih. Prasangka terus berkelebat menjerat rasa dan rasio. Detak jarum jam dinding terdengar rancu mengulur waktu. Senandung lagu-lagu ‘Noah’ mulai terdengar sumbang lantaran sengal berulang-ulang mengikuti irama malam. Angin malam berdesir sumbang semakin merambat memecah keheningan. Cakrawala kosong melompong, sungkan menggubah komposisi nada. Resonansi dari angkasa raya urung mendekap harmonisasi. Semesta berpaling; kau menjauh; aku apatis. Ya sudah, kunikmati ini sendirian. Mainkan saja irama masing-masing.
....
Entah kapan malam berhenti
Teman, aku masih menunggu pagi
....
Malam begini, malam tetap begini
Entah mengapa pagi enggan kembali (Menunggu Pagi, Peterpan). (*)

(Dimuat dalam Antologi Cerpen “Cermin, Nama, dan Pelita”)

Makassar dini hari, 19 September 2012

10/09/2012

Bagian dari Segalanya


 Sumber disini

Masih tentang yang sudah-sudah. Memandangimu menjadi ritual khusus tatkala pisah telah berganti jumpa, renggang menjadi rapat lagi. Konsekuensi dari itu pun selalu menyisakan kerinduan mendalam usai memandangi senyummu yang tak pernah tamat kunikmati. Aku kerap kalah tak berdaya dalam kenikmatan yang kadang menyiksa. Menjadi semakin lejit dan melesat dalam cakrawala fantasi-fantasi. Sayangnya dalam keadaan begitu, kau urung memahami dan aku sungkan memungkiri. Cukup untuk kurasai sendirian lantaran norma dan janji erat membatasi. Segan aku melanggarnya lantaran mimpi akanmu teramat mulia daripada secuil yang terbatas itu. Aku menjagamu sebab aku mencintaimu.
Kucoba menyisipkan harap tatkala mataku terpejam membayangkan sisa-sisa pertemuan semalam dan di malam-malam selanjutnya. Pun selalu kerinduan itu akan kureduksi menjadi doa-doa sebelum akhirnya kembali berkecambah menjadi fantasi yang terus memendar di samudera imajinasi. Harapan itu tentang realisasi dari mimpi-mimpi bersamamu, terus berkelabat bersama munajatku di ujung tafakur. Kupikir itu lebih pantas dan jelas menawan. Darimu dulu aku berani bermimpi. Darimu pula, kini aku mampu mengaitnya di titian takdir yang akan kita susur bersama. Hidupku untuk mencintaimu, takdirmu untuk bersamaku. Demikian sebagian mimpi kita saling bertutur.
Aku mencintai karena aku cinta. Tak ada alasan apa-apa untuk itu –mencintaimu. Semesta telah bereaksi merunut jejak-jejak kita menuju segalanya. Kau dan aku adalah bagian dari segalanya. Dan Tuhan pemilik atas segalanya. (*)

Makassar, 9 September 2012

31/08/2012

Liberty and Victory

Agustus yang tentram berlalu nyaris tanpa menyisakan lara. Selaksa nikmat sisa ramadhan telah membuaiku dalam candu yang menyejukkan jiwa. Bermacam rupa ibadah mulai terasa nikmat rutin terselenggara. Hati yang masih bergetar tatkala asma-Nya merdu dilantunkan –kuharap senantiasa begitu, selalu melinangkan air mata sesal yang teramat dalam. Terasa seperti damai memagut duka membenamkan nelangsa. Semua dari itu mewujud dalam syukur atas-Nya yang senantiasa kurapalkan di sujud terakhir salat-salatku. Hanya kepada-Nya segala munajat bermuara, pemilik atas segala ke-Mahaan tiada tara.
“Itu berkah ramadhan, Ray,” ucapmu tak lama setelah kuutarakan suasana batin itu padamu.
Betapa tidak, nikmat kemerdekaan dan kemenangan telah diraih di momentum ramadhan yang baru saja berlalu. Dalam bahasa yang trendi, orang-orang menyebutnya dengan istilah liberty and victory. Kemerdekaan adalah wujud kebebasan dari segala jerat yang membelenggu. Bangsa ini punya sejarah panjang nan kelam dalam meraih kemerdekaan. Bukan pekerjaan mudah untuk meraihnya, terlebih mempertahankannya. Sementara kemenangan diperoleh setelah melalui perjuangan yang menempa. Dalam konteks ini adalah puasa. Tetapi setelah menjalankan puasa, apa? Adakah yang berubah? Namun pesta kemerdekaan 17 Agustus dan kemeriahan kemenangan Idul Fitri tahun ini terasa begitu khidmat. Keduanya telah memadu satu dalam berkah fitrah lahir dan batin.
Tentu masih jelas tergambar dalam kenangmu saat puasa kemarin menempa rasa cinta dan kesabaran kita. Sering kita saling berebut peran, menjadi reminder, serupa kokokan ayam ataupun beduk penanda imsak dan azan buka puasa. Riang saling berlomba menamatkan bacaan Quran masing-masing, serta mengajak satu sama lain menghabiskan sisa-sisa tarawih bersama di mesjid kesukaanmu. Aku pun nyaman menikmatinya. Itu hal yang sangat jarang kulakukan di tahun-tahun sebelumnya. Kerap cuma terlalui dengan kegiatan-kegiatan tak berguna. Sekalipun menjadi kewajiban dan rutinitas tiap tahunnya, selalu hanya datang dan berlalu begitu saja, tak menyisakan hikmah apa-apa. Redam tak berjejak, suram semakin mengelam.
Namun jika kau sedang absen lantaran siklus kodratimu datang mengunjungi, Bandoci dan kawan-kawan tak lupa kuajak serta menjemaahkan isya serta witir. Malah jadinya lebih mirip tim safari ramadhan kabupaten yang berkunjung dari masjid yang satu ke mesjid yang lain di kampung-kampung. Mereka tampak bersuka cita dalam menyemarakkan acara tarawih bersama itu. Hanya saja terkadang Bandoci resah berkeluh lantaran salah satu kawan keranjingan menghabiskan tarawih sampai 20 rakaat. Tapi itu tak menjadi beban. “Kita jadikan ini sebagai ujian kesabaran dan keimanan kita, kawan,” ujarnya berlagak seorang ustaz, kawan lainnya malah terpingkal-pingkal menimpali. Kau tau kan, imam-imam mesjid di kota ini gemar membaca surah-surah yang panjang-panjang. Sangat berbeda dengan yang ada di kampungku, bacaan surahnya pendek-pendek dan gerakan salatnya cepat-cepat pula.


Apakah benar ini berkah? Kupikir bisa jadi demikian. Seumur hidup tak pernah kunikmati yang demikian. Namun seiring usia yang semakin menahun, membuatku tertegun malu meratapi dosa yang telah lebat berimbun.
“Aku malu menengadahkan muka kepada-Nya, Idea,” resahku.
“Tuhan Maha Pemaaf sekaligus Pengampun bagi yang pasrah  memohon!” bujukmu memperbaiki suasana.
Aku tahu Tuhan memahaminya. Hidupku akan sangat bernilai jika keberadaanku diantara sesama dapat menjadi manfaat dan solusi atas masalah-masalah mereka. Seperti tertulis dalam quote of day yang pernah kutilik di pojok sampul depan salah satu koran, “kebahagiaan adalah ketika kita dapat membuat orang-orang di sekitar kita merasa bahagia”. Hanya saja di usia seperempat abad lebih umurku saat ini, sesekali mulai terngiang resah yang menggundah karena kematangan berpikir dan kemapanan duniawi yang biasa kusebut dengan kesejahteraan hidup, masih sungkan merapat. Barangkali itu sah-sah saja karena aku seorang pria. Masih lajang pula. Terlalu lebay, hehe..
Tentang itu adalah kuasa Tuhan, hak keistimewaan-Nya yang sudah kita sepakati sebagai takdir. Jika memang takdir sudah termaktub pada garis tangan-tangan kita, aku bisanya apa? Namun kupikir masalahnya tidak sesederhana itu. Aku percaya dengan kekuatan doa dan mimpi. Aku dan akal pikiranku adalah bagian dari alam semesta ini. Pun mimpi yang kuat kuimajinasikan serta kenyataan hidup yang akan terjadi, juga tersimpul di dalamnya. Keberadaanmu pun juga demikain. Semuanya menjadi satu kesatuan kesemestaan yang memiliki kemampuan saling memahami yang disebut dengan bahasa semesta. Setiap daripada bagian-bagian itu akan kait mengait tatkala salah satu bagiannnya bereaksi. Masing-masing kita memiliki peran dan alasan hidup di dunia ini. Kadang ketika ternyata mimpi tak seindah kenyataan, kita mereduksi makna takdir menjadi nasib. Dan ketika kenyataan jauh lebih menawan dari mimpi, takzim kusebut sebagai sebuah keajaiban.
Sudahlah, sekarang cukup untuk apa yang ada saja. Mensyukuri nikmat-nikmat ini saja bersama dengan orang-orang terdekat, termasuk dirimu. Dan dalam keadaan begini, aku merindukanmu.
Awan putih gemawan menudungi jumpa yang sudah tak lagi lama. Kunanti senyummu yang elok rupawan serupa di taman ataupun halaman impianku. Segera kusaji sambut menawan nan berkawan tatkala pertemuan tergelar lantaran lebaran telah memilah kita dalam ikatan cinta yang kurasa semakin tentram. Aku ke kampungku, kau tetap di kotamu. Tersenyumlah nanti, setidak-tidaknya penawar atas sekebat rindu yang berkelabat beberapa pekan.

Makassar, di akhir Agustus 2012