Happiness is
when what you think, what you say, and what you do are in harmony.
Mahatma Gandhi
November yang basah, Muharram penuh berkah.
Selalu, ketika bulan sudah berada di penghujung tahun masehi, hujan riang menerpa.
Dingin tak dapat ditampik sebab tiada sore tanpa mendung, berikut petir yang
mengilat-ngilat. Semesta buram memagut langit, seolah-olah hendak memberi kabar
bahwa alam akan berganti latar dan cerita. Bercerita tentang hujan dan
kenangan-kenangan di masa kecil, saat riang berebutan seluncuran pelepah pohon pinang
di tengah jalan becek berpasir yang menukik. Cerita tentang hujan-hujan kita di
senja Februari yang temaram, saat cinta mulai bersemi sekaligus terasing dari
keramaian sekitar. Juga cerita tentang banjir dan tanah longsor di banyak TV
dan koran-koran, cerita tentang Gaza yang terus dihujani roket-roket Israel, cerita
tentang Ayah yang sudah siaga mengemas segenap raga karena musim tanam telah tiba.
Dan beragam cerita hujan lainnya.
Tak ada yang aneh dengan semua itu. Lantaran
musim sudah benar menapaki jalur siklusnya setiap tahun. Jadi, semestinya
memang begitu. Namun adakalanya hujan cuma hinggap sebentar atau bahkan sampai
lupa lama-lama. Atas gejala itu alam punya alasan sendiri, dan manusia cuma pura-pura
tuli tak mendengar apa-apa. Seperti itulah kehidupan ini barangkali. Kadang
bahagia jemu merajai, kadang pula nelangsa betah menggerayangi. Paling tidak, sejenak
hujan November saat ini telah memberi kesejukan ataupun berkah atas setumpuk problem
kehidupan yang semakin gaduh memekik logika dan rasa kemanusiaan.

Sudahlah, lupakan itu sejenak. Semalam Ayah menelepon.
Ia ingin berbagi kabar tentang situasi rumah di kampung. Pun tentang keadaanku
tentu tak luput dari perhatiannya. Topik pembicaraan ia awali dengan cerita mengenai
kenakalan cucu-cucunya yang masih kecil-kecil. Meladeni lima orang cucu sekaligus
dengan beragam kepentingan tentu bukan soal mudah. Merasa terbebanikah ia? Tentu
saja tidak. Malah senang dan bahagia rasanya terdengar ia bercerita. Dari situ
aku jadi berpikir, Apa ukuran dari sebuah
kebahagiaan?
Setelah itu, Ayah lebih banyak bercerita
tentang kesiapannya menghadapi musim tanam. Sepertinya bertani akan mulai
menyibukkan hari-harinya beberapa bulan ke depan. Aku jadi khawatir, karena hal
itu selalu membuat tubuhnya mengurus. Usianya kini sudah tergolong renta. Di
umur segitu rupaya ia belum sadar akan usianya yang tak lagi sekekar dahulu.
Selalu kusampaikan saran untuk memberikan beberapa petak sawah itu kepada orang
lain saja untuk digarap –berbagi hasil saja, namun seketika niat itu luluh
mendengar alasan yang selalu seragam dari Ibu, “Kita mau kerja apa, Nak? Kita
sudah terbiasa dengan ini. Malah badan akan terasa kaku jika tidak bekerja,”
katanya datar.
Di sela-sela pembicaraan, Ibu sesekali menimpali.
Rupanya pembicaraanku dengan Ayah sedang di loudspeaker.
Kepada saudara-saudaraku –yang sudah tidak tinggal di kampung– juga
diperlakukannya serupa. Walau tak diungkapnya secara eksplisit, sepertinya
mereka dilanda rindu. Aku juga rindu,
gumamku dalam hati. Ingin lugas kuucap itu, namun urung kurapalkan lantaran
kami bukanlah tipe keluarga kebanyakan yang intim mengumbar rasa dan cinta.
Kami tidak terbiasa begitu layaknya keluarga-keluarga modis yang sering dipertontonkan
dalam sinetron-sinetron kegemaran ibu-ibu.
Mungkin hal ini juga perlu kau pahami. Bahwa
diriku sebenarnya tak begitu pandai mengungkap sesuatu, baik itu cinta maupun dusta.
Dengan mudah dapat kau tebak dari mata dan gerak-gerikku atas masalah yang sedang
menimpa. Aku juga tak begitu pandai mendiamkan rasa dan masalah. Gegabah dan
meledak-meledak barangkali telah akrab berteman dengan tabiatku. Namun dalam
beberapa hal aku pernah mencoba untuk diam. Seperti dulu pernah kuungkap
sebelumnya di halaman ‘Taman Langit’, bahwa diam menjadi satu-satunya bahasa
hati.
Lalu apa
ukuran dari sebuah kebahagiaan? Pertanyaan itu kembali melintas. Aku jadi
teringat dengan peristiwa beberapa hari kemarin, saat bersamamu menghabiskan
pagi di suatu lapangan hijau yang berembun. Saat itu aku menanyakan hal serupa
dengan pertanyaan yang melintas dalam pikiranku barusan.
“Apa kau merasa bahagia dengan semua ini?”
“Tidak, aku malah merasa nyaman.”
“Maksudmu, Idea?”
“Aku memaknai kenyamanan itu sebagai dasar
dari segala rasa senang ataupun bahagia,” jawabmu tenang.
Melihat dahiku mengernyit, kau kemudian
melanjutkan. “Kamu juga tak perlu tahu semua hal, Ray. Mendalami sebuah saja
sepertinya sudah menampakkan identitas keluasan. Dan, sama sekali tak perlu
tahu banyak untuk menyenangkan orang lain. Bersenang-senang saja dengan yang
ada.”
“Ceyiyus...???” aku mencandaimu, kau pun
tertawa.
Akhirnya, aku masih belum terlalu tahu kebahagiaan
itu seperti apa. Yang jelas, aku hanya ingin membuatmu dapat merekahkan
senyuman dan merasa nyaman berada di dekatku. Dapat melihatmu tersenyum saja
bagiku sudah cukup membuatku senang. Saat ini hanya itu yang bisa kupahami. Seperti
hujan di ujung November ini, memberi keberkahan karena telah cukup lama dinanti-nanti.
Atau juga seperti Ayah yang tak pernah letih meladeni kenakalan para cucunya
itu. Dan kelak kita pun akan menyadari akan hal tersebut tatkala di kemudian
hari kita telah menua: menghabiskan waktu saban hari mengurusi uban-uban dan
cucu-cucu di sore yang hujan. (*)
Makassar, 23
November 2012