Ketika semua ini kumulai, jarum jam di pergelangan
tangan kiriku menunjuk pukul 4 sore lewat sedikit. Kumandang azan Asar dari
mesjid yang berada persis di belakangku baru saja usai. Kupikir agak telat dari
jadwal sembahyang pada umumnya. Tapi tak tahu juga. Sudah jarang aku salat
tepat waktu. Meskipun Idea masih tetap rajin menjadi pengingat jadwal
salatku, nyatanya saat azan usai tadi aku masih betah tak beranjak mengambil
air wudhu. Sebentar saja, Tuhan. Ini tak
akan lama, pintaku memohon. Kalaupun
ternyata lama, juga tak akan sampai Magrib, kok.
Bisa dibilang sekarang hari sudah memasuki sore.
Namun, sore kali ini masih terik. Barangkali nanti selang satu jam baru akan
sejuk. Entahlah. Bisa iya, bisa juga tidak. Ini kali pertama aku serius
mengamati sore, tepatnya di tepi sebuah danau. Untuk saat ini, kurasakan tak
ada yang benar-benar memberi kejelasan akan sesuatu. Akupun enggan menelaah
lebih dalam. Akhir-akhir ini kurasa jemu melanda. Entah sedang bosan dengan
keadaan, ataukah cuma karena bimbang lantaran ketidakjelasan pada rutinitas
pekerjaan. Manusia selalu ingin yang enak-enaknya saja. Tak pernah merasa cukup
dan bersabar. Bagaimana bisa diberi
kejelasan dan kecukupan, salat 5 waktu saja jarang tepat waktu. Aduh, mengapa
juga manusia selalu menyalahkan diri sendiri? Gumamku.
Di sekitar danau ini, tempat sekarang aku
berada, angin berhembus dari arah timur. Di sini angin berhembus agak kencang. Biasanya
angin berhembus sepoi-sepoi, seperti Anging
Mamiri khas Pantai Losari. Akibatnya, bermunculan gelombang-gelombang air di
permukaan danau menyerupai ombak kecil berkejar-kejaran menuju bibir danau sebelah
barat. Beberapa kumpulan eceng gondok yang semula tenang berdiam di tengah kini
tercerai-berai percuma, kemudian berdesak-desakan menimpali satu sama lain, hingga
mentok ke tepian membentuk kumpulan eceng gondok yang lebih lapang dari
sebelumnya. Lantas terus merambat, tepat di bawah sebuah pohon berbatang besar
nan rindang. Di sela-sela dahannya, daun-daun pohon itu berdesik jika angin
berhembus. Berhenti jika angin juga berlalu. Suara dari bunyi knalpot mobil dan
motor berupa-rupa merek menderu bising lalu lalang bersama burung-burung di
udara sekitaran danau. Padahal jarak dari jalanan sana ke sini lumayan jauh, dan
suaranya juga masih terdengar keras. Nanti setalah mematung selama tiga detik,
aku baru tahu bahwa ternyata arahnya dari timur juga, asal di mana arah angin
berhembus. Pantas saja, pikirku
lambat.
Sumber: koleksi pribadi
Aku hampir lupa. Danau yang kumaksud ini cuma
danau buatan. Jumlahnya ada dua. Benarnya dibuat terpisah menjadi dua. Masing-masing
berada di samping kanan dan kiri jalan memasuki sebuah kampus besar di Kota
Makassar. Aku berada di tepi danau yang sebelah kanan jalan. Iya, di tepi danau
buatan yang dekat dengan pohon yang berbatang besar tadi, sebelah barat. Di
situlah aku duduk. Aku duduk sendirian saja, tak bersama siapa-siapa, memangku satu
buah buku bersampul api. Bukan api sungguhan. Maksudku, sampul luarnya
bergambar nyala api yang membakar buku tersebut. Judulnya “Fahrenheit 451”, ditulis
oleh Ray Bradbury. Sedikit mirip dengan namaku. Cuma beda di last name saja. Sejak duduk di sini belum
sehelai pun lembarannya aku buka. Terakhir saat di rumah, itu sekira sebulan
yang lalu, aku sudah baca di halaman 138, akhir dari bagian ke-2 buku itu. Tersisa
1 bagian lagi karena isi buku ini cuma terdiri atas 3 bagian saja. Sebenarnya
buku ini menarik di bagian awal sampai tengahnya. Akan tetapi, menuju akhir,
ceritanya sudah mulai membosankan, sekalipun menjadi penerima penghargaan
sebagai The National Book Foundation’s
Medal for Distinguished Contribution to American Letters. Penilaian seseorang
terhadap sesuatu memang beda-beda.
Selang hampir tiga puluh menit, sore perlahan
menyejuk. Akhirnya. Aku menghela nafas dalam-dalam dan menghembusnya ke udara
panjang-panjang. Kuedarkan pandangan ke sebelah kanan lalu ke kiri, kemudian kuteruskan
ke belakang. Tampak suasana belum banyak berubah. Semenjak berada di tepi danau
ini, sekelilingku masih sepi dari orang-orang. Mungkin karena hari Jumat. Bisa
jadi. Biasanya banyak yang tanpa sengaja singgah untuk sekadar duduk-duduk, tetapi
masih lebih banyak yang sengaja untuk datang. Kadang-kadang mereka kemari untuk
bercakap-cakap tentang alur kehidupan pribadinya yang tak kunjung membaik. Berkeluh
kesah kepada air danau. Sesekali berteriak keras, lalu menyudahinya dengan beberapa
lemparan menyamping memakai kerikil, sehingga kerikil yang dilempar tadi berjuntai-juntai
di permukaan danau menyerupai selancar di laut. Ada juga yang datang cuma karena
ingin sendirian berdiam diri membatu di atas sebongkah batu. Hanya datang untuk
memandangi air danau sambil melututi kedua siku lengannya bagian dalam yang tersimpul
di jari tangan. Setelah menyaksikan temaram senja terbenam di permukaan air
danau, meraka akan pulang. Pada dasarnya, air (baik laut, sungai, maupun danau)
memang menjadi tempat paling bijak untuk mengungkap segala keluh kesah manusia-manusia
bermasalah.
Selain itu, ada yang memang sengaja datang
untuk bergaya-gaya ria. Secara bergantian, kepalanya dimiringkan ke kiri lalu
ke kanan, memotret diri dengan beragam pose alias selfie untuk keperluan update
display picture di BBM barunya. Setelah
itu, laksana seorang sastrawan, kemudian menulis sebaris status sarat makna dilematis
di dinding FB-nya. Sesungguhnya air telah menjadi latar belakang paling pavorit
untuk berfoto-foto, bukan? Pada sisi lainnya, di sana kulihat banyak bapak-bapak
pemancing masih ngotot mengail di danau buatan ini. Padahal oleh security kampus sudah dipatok di bibir-bibir
danau tiga papan tanda larangan memancing. Merasa tak peduli dengan larangan
itu, mereka tampak acuh saja. Mungkin dalam benak mereka beranggapan bahwa air
merupakan ladang tak bertuan bagi manusia untuk mencari nafkah keluarga. Mungkin
meraka merasa berhak ataukah memang tak bisa diatur.
Semua hal di atas berangkat dari masalah dan
niat yang beragam, menyatu padu pada tujuan yang samar. Dan di tepi danau
yang cuma buatan ini aku memasrahkan diri. Yah, kehidupan memang tak memberikan banyak
kejelasan, karena manusia hanya diajar untuk meyakini akan sesuatu. Meyakini
bahwa kita hidup bukan untuk menghabiskan umur meratapi kehidupan,
melainkan memanfaatkan sisa umur untuk bersyukur atas nikmat tiada tara-Nya.
Makassar, di tepi danau Unhas, 29 Agustus 2014.