30/08/2014

Cuma Danau Buatan


Ketika semua ini kumulai, jarum jam di pergelangan tangan kiriku menunjuk pukul 4 sore lewat sedikit. Kumandang azan Asar dari mesjid yang berada persis di belakangku baru saja usai. Kupikir agak telat dari jadwal sembahyang pada umumnya. Tapi tak tahu juga. Sudah jarang aku salat tepat waktu. Meskipun Idea masih tetap rajin menjadi pengingat jadwal salatku, nyatanya saat azan usai tadi aku masih betah tak beranjak mengambil air wudhu. Sebentar saja, Tuhan. Ini tak akan lama, pintaku memohon. Kalaupun ternyata lama, juga tak akan sampai Magrib, kok.
Bisa dibilang sekarang hari sudah memasuki sore. Namun, sore kali ini masih terik. Barangkali nanti selang satu jam baru akan sejuk. Entahlah. Bisa iya, bisa juga tidak. Ini kali pertama aku serius mengamati sore, tepatnya di tepi sebuah danau. Untuk saat ini, kurasakan tak ada yang benar-benar memberi kejelasan akan sesuatu. Akupun enggan menelaah lebih dalam. Akhir-akhir ini kurasa jemu melanda. Entah sedang bosan dengan keadaan, ataukah cuma karena bimbang lantaran ketidakjelasan pada rutinitas pekerjaan. Manusia selalu ingin yang enak-enaknya saja. Tak pernah merasa cukup dan bersabar. Bagaimana bisa diberi kejelasan dan kecukupan, salat 5 waktu saja jarang tepat waktu. Aduh, mengapa juga manusia selalu menyalahkan diri sendiri? Gumamku.
Di sekitar danau ini, tempat sekarang aku berada, angin berhembus dari arah timur. Di sini angin berhembus agak kencang. Biasanya angin berhembus sepoi-sepoi, seperti Anging Mamiri khas Pantai Losari. Akibatnya, bermunculan gelombang-gelombang air di permukaan danau menyerupai ombak kecil berkejar-kejaran menuju bibir danau sebelah barat. Beberapa kumpulan eceng gondok yang semula tenang berdiam di tengah kini tercerai-berai percuma, kemudian berdesak-desakan menimpali satu sama lain, hingga mentok ke tepian membentuk kumpulan eceng gondok yang lebih lapang dari sebelumnya. Lantas terus merambat, tepat di bawah sebuah pohon berbatang besar nan rindang. Di sela-sela dahannya, daun-daun pohon itu berdesik jika angin berhembus. Berhenti jika angin juga berlalu. Suara dari bunyi knalpot mobil dan motor berupa-rupa merek menderu bising lalu lalang bersama burung-burung di udara sekitaran danau. Padahal jarak dari jalanan sana ke sini lumayan jauh, dan suaranya juga masih terdengar keras. Nanti setalah mematung selama tiga detik, aku baru tahu bahwa ternyata arahnya dari timur juga, asal di mana arah angin berhembus. Pantas saja, pikirku lambat. 

Sumber: koleksi pribadi

Aku hampir lupa. Danau yang kumaksud ini cuma danau buatan. Jumlahnya ada dua. Benarnya dibuat terpisah menjadi dua. Masing-masing berada di samping kanan dan kiri jalan memasuki sebuah kampus besar di Kota Makassar. Aku berada di tepi danau yang sebelah kanan jalan. Iya, di tepi danau buatan yang dekat dengan pohon yang berbatang besar tadi, sebelah barat. Di situlah aku duduk. Aku duduk sendirian saja, tak bersama siapa-siapa, memangku satu buah buku bersampul api. Bukan api sungguhan. Maksudku, sampul luarnya bergambar nyala api yang membakar buku tersebut. Judulnya “Fahrenheit 451”, ditulis oleh Ray Bradbury. Sedikit mirip dengan namaku. Cuma beda di last name saja. Sejak duduk di sini belum sehelai pun lembarannya aku buka. Terakhir saat di rumah, itu sekira sebulan yang lalu, aku sudah baca di halaman 138, akhir dari bagian ke-2 buku itu. Tersisa 1 bagian lagi karena isi buku ini cuma terdiri atas 3 bagian saja. Sebenarnya buku ini menarik di bagian awal sampai tengahnya. Akan tetapi, menuju akhir, ceritanya sudah mulai membosankan, sekalipun menjadi penerima penghargaan sebagai The National Book Foundation’s Medal for Distinguished Contribution to American Letters. Penilaian seseorang terhadap sesuatu memang beda-beda.
Selang hampir tiga puluh menit, sore perlahan menyejuk. Akhirnya. Aku menghela nafas dalam-dalam dan menghembusnya ke udara panjang-panjang. Kuedarkan pandangan ke sebelah kanan lalu ke kiri, kemudian kuteruskan ke belakang. Tampak suasana belum banyak berubah. Semenjak berada di tepi danau ini, sekelilingku masih sepi dari orang-orang. Mungkin karena hari Jumat. Bisa jadi. Biasanya banyak yang tanpa sengaja singgah untuk sekadar duduk-duduk, tetapi masih lebih banyak yang sengaja untuk datang. Kadang-kadang mereka kemari untuk bercakap-cakap tentang alur kehidupan pribadinya yang tak kunjung membaik. Berkeluh kesah kepada air danau. Sesekali berteriak keras, lalu menyudahinya dengan beberapa lemparan menyamping memakai kerikil, sehingga kerikil yang dilempar tadi berjuntai-juntai di permukaan danau menyerupai selancar di laut. Ada juga yang datang cuma karena ingin sendirian berdiam diri membatu di atas sebongkah batu. Hanya datang untuk memandangi air danau sambil melututi kedua siku lengannya bagian dalam yang tersimpul di jari tangan. Setelah menyaksikan temaram senja terbenam di permukaan air danau, meraka akan pulang. Pada dasarnya, air (baik laut, sungai, maupun danau) memang menjadi tempat paling bijak untuk mengungkap segala keluh kesah manusia-manusia bermasalah.
Selain itu, ada yang memang sengaja datang untuk bergaya-gaya ria. Secara bergantian, kepalanya dimiringkan ke kiri lalu ke kanan, memotret diri dengan beragam pose alias selfie untuk keperluan update display picture di BBM barunya. Setelah itu, laksana seorang sastrawan, kemudian menulis sebaris status sarat makna dilematis di dinding FB-nya. Sesungguhnya air telah menjadi latar belakang paling pavorit untuk berfoto-foto, bukan? Pada sisi lainnya, di sana kulihat banyak bapak-bapak pemancing masih ngotot mengail di danau buatan ini. Padahal oleh security kampus sudah dipatok di bibir-bibir danau tiga papan tanda larangan memancing. Merasa tak peduli dengan larangan itu, mereka tampak acuh saja. Mungkin dalam benak mereka beranggapan bahwa air merupakan ladang tak bertuan bagi manusia untuk mencari nafkah keluarga. Mungkin meraka merasa berhak ataukah memang tak bisa diatur.
Semua hal di atas berangkat dari masalah dan niat yang beragam, menyatu padu pada tujuan yang samar. Dan di tepi danau yang cuma buatan ini aku memasrahkan diri. Yah, kehidupan memang tak memberikan banyak kejelasan, karena manusia hanya diajar untuk meyakini akan sesuatu. Meyakini bahwa kita hidup bukan untuk menghabiskan umur meratapi kehidupan, melainkan memanfaatkan sisa umur untuk bersyukur atas nikmat tiada tara-Nya.

Makassar,  di tepi danau Unhas, 29 Agustus 2014.