Beberapa orang, termasuk dirimu, sering
bertanya-tanya kepadaku, “Ray, mengapa akhir-akhir ini keseringan menulis
tentang kematian? Apa sudah mau mati, ya?” Hanya kutimpali dengan senyum
pasrah, seolah-olah memang berharap demikian.
Sekarang sudah saatnya kuungkap
musababnya. Salah satu alasannya sederhana saja. Aku kan gemar menulis tentang
hujan, dan kupikir kematian punya kemiripan dengan hujan. Namun, di antara
keduanya kontras secara hakikat. Serupa tapi tak sama, barangkali. Hasil
perenungan itu akan terurai dengan sendirinya setelah halaman ini tamat kau
baca.
***
Belakangan ini, hampir seluruhnya, seragam menyoal hujan di bulan November.
November Rain, November yang Basah, atau apa saja yang menyeret nama bulan kesebelas
masehi itu. Baik lagu, prosa, puisi, menjadikan November kian memikat untuk disesaki
narasi dan deskripsi. Aku pun dibuatnya turut serta –namun bukan kali ini saja–
menjadi bagian dari keseluruhan kisahnya yang tak pernah tamat berderai diksi
dari beragam penulis fiksi. Tentu kau masih ingat setahun yang lalu. Momennya sama
seperti saat ini, juga tercipta sebuah halaman “Hujan November”. Terlampau
sayang apabila Halaman Idea pada November 2013 juga tak tercurahi ide-ide
tentangmu. Bukannya ikutan latah dengan keadaan sekitar, tetapi aku memang
menggemari hujan. Walaupun terkadang hujan juga bersahabat dengan topan dan
badai. Itu soal lain. Lantas salah siapa? Tak ada yang lain: salah kita,
manusia. Musim tak pantas dirutuki.
Oh iya, kaupun menggemari hujan juga, bukan?
Bahkan kau sering mengajakku menghabiskan sore yang jingga mendebat tentang
hujan dan fenomenanya. Bukan hanya itu. Kita pun kadang berdebat tentang jenis lagu,
genre buku, sampai rasa semangkuk bubur ayam. Saranku: kita jangan keseringan mendebat sesuatu
yang menjadi kegemaranku. Bukankah lebih baik kalau kau diam. Duduk manis saja
di situ, bersama-sama mengawal lajur senja yang melembayung hingga azan magrib
menyudahi.
Dulu saat masih kecil –sekarang sudah jarang,
bermain-main dengan rinai hujan adalah kegiatan paling mengesankan. Saat beranjak
remaja, aku pernah mengungkap sebuah kiat jitu, bahwa sebenarnya bermain dengan
hujan dapat menjadi penawar atas penat yang datangnya tak bisa ditawar. Ini
memang terbukti mujarab. Di film-film juga sering ada adegan seperti ini. Kebanyakan
memang ada di film India, barangkali. Tampaknya mereka sangat bahagia
menari-nari bersama hujan, tepatnya mungkin hujan buatan dari mobil pemadam
kebakaran. Kalau di film-film Indonesia sering menggunakan setting deras hujan sebagai adegan paling romantis, yaitu
berciuman.
Maaf jika sebelumnya harus keluar dari topik.
Aku akan melanjutkan, bahwa sebenarnya bermain dengan hujan dapat menjadi
penawar atas penat yang datangnya kadang tak bisa ditawar.
Coba bayangkan saat dirimu sedang berkendara
di jalan yang hiruk menjelang magrib. Kemudian kendaraanmu pasrah mengekor dan
diekori oleh kendaraan lain, bersama-sama membentangi jalan menyulam sebuah kemacetan
panjang. Sangat panjang, dan saat itu juga sedang hujan rintik. Penat, lelah, letih,
lapar, dan segala hal yang dapat memancing emosi ramai-ramai berjibaku dalam
batok kepala. Pikiran menjadi mumet, dan dalam keadaan seperti itu segala hal
bisa menjadi pemantik amarah yang membabi buta, sekalipun itu hal sepele.
Senggol sedikit saja bisa jadi pertikaian. Padahal siapa yang betah
berlama-lama dalam kemacetan? Bunyi klakson yang bertubi-tubi pun tak akan mampu
mengurai kemacetan. Tidak ada gunanya. Jadi, mendingan duduk manis saja, dan
jangan lupa tersenyum manis. Sapa tahu ada laki-laki atau perempuan manis yang
sedang memperhatikanmu. Selalu ada kesempatan dalam kesempitan.
Coba perhatikan, alur tulisan ini menjadi
semakin tak jelas lagi. Akan kuarahkan kembali. Sekali lagi ingin kukatakan,
bahwa memang bermain dengan hujan dapat menjadi penawar atas penat yang
datangnya kadang tak bisa ditawar-tawar.
Tak ada gunanya menggerutu dalam kemacetan,
apalagi jika sedang gerimis. Awalnya mungkin cuma rintik demi rintik, namun lama-lama
serentak menderas bukan main, seperti hujan malam ini. Semula badan gerah karena
keringat, berganti menjadi kuyup karena deras hujan. Maka, cobalah untuk menepi
sejenak. Bertahan dalam kemacetan juga tak memberi banyak solusi. Singsingkan jaket/mantel
yang membungkus tubuhmu. Berjalanlah sedikit mencari tanah yang agak lapang, lalu tengadahkan
muka ke langit sambil merentangkan tangan ke kiri dan ke kanan. Telapaknya juga
arahkan ke atas. Pejamkanlah mata, karena memang sulit untuk membuka kelopak
mata saat sedang menengadahkan muka ke atas
yang berlangitkan rinai hujan. Apalagi hujan November, rinainya besar-besar
seperti butiran es. Sumpah. Kalau tak percaya, coba saja.
Percaya sajalah, dan lanjutkan ini. Ini sudah
tahap akhir, Idea. Kasihan bila tak kau sudahi. Selanjutnya, sambil
berkincak-kicak sedikit, masih pada posisi sebelumnya, berputarlah searah tawaf
di Kabbah. Perlahan saja. Fokuskan pikiranmu ke langit. Resapi butiran demi
butiran hujan menghunjam wajah, kepala, dan sebagian permukaan tubuhmu. Nikmati
itu sebagai pijatan relaksasi. Ini butuh keberanian ekstra, sebab banyak orang
yang akan memperhatikanmu. Malu? Acuhkan saja mereka, karena jika kau melakukannya
dengan sempurna, bisa kupastikan mereka juga akan mengambil posisi sama
denganmu. Lakukan dalam waktu beberapa menit saja. Jangan terlalu lama karena
kau bisa sakit. Maka, rasakanlah derai-derai hujan itu meleburkan setiap
masalah dan beban pikiranmu. Setelah semuanya terasa ringan, hela nafas
dalam-dalam kemudian hembuskan panjang-panjang.
***
Secara filosofis, di bawah ini juga akan kuungkap kiat menghadapi
kematian. Jadi, ikuti saja jika masih punya segudang minat.
Hidup ini laiknya sebuah balon udara.
Menjalaninya sama seperti sedang meniupkan udara ke dalamnya. Jika hidup ingin
baik, maka tiupkan udara (gas) dengan kualitas yang baik pula. Bukan dengan
asap atau gas beracun. Jangan meniupnya kencang-kencang sebab nanti akan
meletus, dan jika terjadi demikian, bisa dipastikan kau akan mati mendadak
dengan arwah bergentayangan. Juga jangan terlampau pelan menunda-nunda
kesempatan, atau kau hanya akan jauh tertinggal, hidup terlalu lama dalam
derita menyusahkan orang-orang sekitar. Kita hidup bukan sedang bermain-main.
Nikmatnya hidup tidak dihitung dari panjang
pendeknya umur, melainkan ditakar dari seberapa banyaknya udara (gas) yang mampu
kau tiupkan ke dalam balon udaramu, dan juga seberapa besar kemampuanmu menjaga
stabilisasi keseimbangannya: tidak kencang, juga tidak pelan. Mari, kita lanjutkan.
Jika menurutmu cadangan udara yang kau tiupkan tadi sudah hampir habis, maka
segeralah tutup corong udaranya, lalu ikat erat dengan sehelai kain kematian.
Ketahuilah, bahwa kematian adalah penutup sekaligus pembuka jalan hidup yang
sebenarnya. Kehidupan yang kekal. Usah lagi menyisipkan beberapa bekal. Kita
bukan hendak ke taman untuk berpiknik. Malah nanti semakin menambah berat
bebanmu.
Pertama-tama, mulailah dengan merentangkan
kedua tangan ke udara. Kaitkan tali balonmu pada salah satu ujung jari sebelah kiri.
Hanya ujung jari sebelah kiri, karena saat lahir kau telah dibisiki azan di
telinga sebelah kanan. Satu lagi, hanya jari telunjuk, bukan jari yang lain. Tuhan
gemar memberi petunjuk dan tanda-tanda, dan kita pun semakin senang dengan rasa
penasaran. Jangan sepelekan itu. Segalanya bermula dari sebuah tanda-tanda
ataupun sebuah petunjuk. Misalnya saja hujan, apakah kita tidak bisa membaca tanda-tanda
sebelum datangnya hujan? Begitupun juga dengan kematian.
Sudah, saatnya tengadahkan muka ke langit.
Setelah itu, lantunkan beberapa syair-syair kerinduan kepada-Nya, bukan
tangisan duka cita yang meraung-raung. Bersiaplah melepas ikatan balonmu yang
mengait di jari telunjuk sebelah kiri tadi. Untuk kali terakhir, pastikan baca
tanda-tanda dan petunjuk yang hadir di sekitar: kapan saat yang paling tepat
untuk melepasnya. Jika sudah, maka mulailah melepasnya perlahan, pelan, seiring
dengan pandanganmu menyibak kelopak mata, dan seirama dengan semilir angin
menghempas balonmu ke angkasa sana. Tinggi, dan sangat tinggi, hingga langit
mendekapnya lenyap. Menghilang seirama dengan nadi yang tak lagi mendenyut,
beserta kelopak mata yang benar-benar telah mengatup rapat kembali, sangat
rapat. (*)
Saat sedang menanti hujan mereda,
bersama dua orang sahabat: Karan dan Malik. Malam itu, Malik antusias bercerita
tentang masa lalu yang kini bertuah bahagia; Karan takzim mendengarkan; aku khusyuk menulis.
Makassar, 18 November 2013
tulisannya bagus, kenapa ga buat buku aja kak? :)
ReplyDeleteTerima kasih, sudah dipikirkan koq :)
Delete