19/11/2013

Hujan dan Kematian: Serupa tapi tak Sama


Beberapa orang, termasuk dirimu, sering bertanya-tanya kepadaku, “Ray, mengapa akhir-akhir ini keseringan menulis tentang kematian? Apa sudah mau mati, ya?” Hanya kutimpali dengan senyum pasrah, seolah-olah memang berharap demikian.
Sekarang sudah saatnya kuungkap musababnya. Salah satu alasannya sederhana saja. Aku kan gemar menulis tentang hujan, dan kupikir kematian punya kemiripan dengan hujan. Namun, di antara keduanya kontras secara hakikat. Serupa tapi tak sama, barangkali. Hasil perenungan itu akan terurai dengan sendirinya setelah halaman ini tamat kau baca.
***
Belakangan ini, hampir seluruhnya, seragam menyoal hujan di bulan November. November Rain, November yang Basah, atau apa saja yang menyeret nama bulan kesebelas masehi itu. Baik lagu, prosa, puisi, menjadikan November kian memikat untuk disesaki narasi dan deskripsi. Aku pun dibuatnya turut serta –namun bukan kali ini saja– menjadi bagian dari keseluruhan kisahnya yang tak pernah tamat berderai diksi dari beragam penulis fiksi. Tentu kau masih ingat setahun yang lalu. Momennya sama seperti saat ini, juga tercipta sebuah halaman “Hujan November”. Terlampau sayang apabila Halaman Idea pada November 2013 juga tak tercurahi ide-ide tentangmu. Bukannya ikutan latah dengan keadaan sekitar, tetapi aku memang menggemari hujan. Walaupun terkadang hujan juga bersahabat dengan topan dan badai. Itu soal lain. Lantas salah siapa? Tak ada yang lain: salah kita, manusia. Musim tak pantas dirutuki.
Oh iya, kaupun menggemari hujan juga, bukan? Bahkan kau sering mengajakku menghabiskan sore yang jingga mendebat tentang hujan dan fenomenanya. Bukan hanya itu. Kita pun kadang berdebat tentang jenis lagu, genre buku, sampai rasa semangkuk bubur ayam. Saranku: kita jangan keseringan mendebat sesuatu yang menjadi kegemaranku. Bukankah lebih baik kalau kau diam. Duduk manis saja di situ, bersama-sama mengawal lajur senja yang melembayung hingga azan magrib menyudahi.
Dulu saat masih kecil –sekarang sudah jarang, bermain-main dengan rinai hujan adalah kegiatan paling mengesankan. Saat beranjak remaja, aku pernah mengungkap sebuah kiat jitu, bahwa sebenarnya bermain dengan hujan dapat menjadi penawar atas penat yang datangnya tak bisa ditawar. Ini memang terbukti mujarab. Di film-film juga sering ada adegan seperti ini. Kebanyakan memang ada di film India, barangkali. Tampaknya mereka sangat bahagia menari-nari bersama hujan, tepatnya mungkin hujan buatan dari mobil pemadam kebakaran. Kalau di film-film Indonesia sering menggunakan setting deras hujan sebagai adegan paling romantis, yaitu berciuman. 
Maaf jika sebelumnya harus keluar dari topik. Aku akan melanjutkan, bahwa sebenarnya bermain dengan hujan dapat menjadi penawar atas penat yang datangnya kadang tak bisa ditawar.
Coba bayangkan saat dirimu sedang berkendara di jalan yang hiruk menjelang magrib. Kemudian kendaraanmu pasrah mengekor dan diekori oleh kendaraan lain, bersama-sama membentangi jalan menyulam sebuah kemacetan panjang. Sangat panjang, dan saat itu juga sedang hujan rintik. Penat, lelah, letih, lapar, dan segala hal yang dapat memancing emosi ramai-ramai berjibaku dalam batok kepala. Pikiran menjadi mumet, dan dalam keadaan seperti itu segala hal bisa menjadi pemantik amarah yang membabi buta, sekalipun itu hal sepele. Senggol sedikit saja bisa jadi pertikaian. Padahal siapa yang betah berlama-lama dalam kemacetan? Bunyi klakson yang bertubi-tubi pun tak akan mampu mengurai kemacetan. Tidak ada gunanya. Jadi, mendingan duduk manis saja, dan jangan lupa tersenyum manis. Sapa tahu ada laki-laki atau perempuan manis yang sedang memperhatikanmu. Selalu ada kesempatan dalam kesempitan.
Coba perhatikan, alur tulisan ini menjadi semakin tak jelas lagi. Akan kuarahkan kembali. Sekali lagi ingin kukatakan, bahwa memang bermain dengan hujan dapat menjadi penawar atas penat yang datangnya kadang tak bisa ditawar-tawar.
Tak ada gunanya menggerutu dalam kemacetan, apalagi jika sedang gerimis. Awalnya mungkin cuma rintik demi rintik, namun lama-lama serentak menderas bukan main, seperti hujan malam ini. Semula badan gerah karena keringat, berganti menjadi kuyup karena deras hujan. Maka, cobalah untuk menepi sejenak. Bertahan dalam kemacetan juga tak memberi banyak solusi. Singsingkan jaket/mantel yang membungkus tubuhmu. Berjalanlah sedikit mencari tanah yang agak lapang, lalu tengadahkan muka ke langit sambil merentangkan tangan ke kiri dan ke kanan. Telapaknya juga arahkan ke atas. Pejamkanlah mata, karena memang sulit untuk membuka kelopak mata saat sedang menengadahkan muka  ke atas yang berlangitkan rinai hujan. Apalagi hujan November, rinainya besar-besar seperti butiran es. Sumpah. Kalau tak percaya, coba saja.
Percaya sajalah, dan lanjutkan ini. Ini sudah tahap akhir, Idea. Kasihan bila tak kau sudahi. Selanjutnya, sambil berkincak-kicak sedikit, masih pada posisi sebelumnya, berputarlah searah tawaf di Kabbah. Perlahan saja. Fokuskan pikiranmu ke langit. Resapi butiran demi butiran hujan menghunjam wajah, kepala, dan sebagian permukaan tubuhmu. Nikmati itu sebagai pijatan relaksasi. Ini butuh keberanian ekstra, sebab banyak orang yang akan memperhatikanmu. Malu? Acuhkan  saja mereka, karena jika kau melakukannya dengan sempurna, bisa kupastikan mereka juga akan mengambil posisi sama denganmu. Lakukan dalam waktu beberapa menit saja. Jangan terlalu lama karena kau bisa sakit. Maka, rasakanlah derai-derai hujan itu meleburkan setiap masalah dan beban pikiranmu. Setelah semuanya terasa ringan, hela nafas dalam-dalam kemudian hembuskan panjang-panjang.
***

 
Sumber: di sini

Secara filosofis, di bawah ini juga akan kuungkap kiat menghadapi kematian. Jadi, ikuti saja jika masih punya segudang minat.
Hidup ini laiknya sebuah balon udara. Menjalaninya sama seperti sedang meniupkan udara ke dalamnya. Jika hidup ingin baik, maka tiupkan udara (gas) dengan kualitas yang baik pula. Bukan dengan asap atau gas beracun. Jangan meniupnya kencang-kencang sebab nanti akan meletus, dan jika terjadi demikian, bisa dipastikan kau akan mati mendadak dengan arwah bergentayangan. Juga jangan terlampau pelan menunda-nunda kesempatan, atau kau hanya akan jauh tertinggal, hidup terlalu lama dalam derita menyusahkan orang-orang sekitar. Kita hidup bukan sedang bermain-main.
Nikmatnya hidup tidak dihitung dari panjang pendeknya umur, melainkan ditakar dari seberapa banyaknya udara (gas) yang mampu kau tiupkan ke dalam balon udaramu, dan juga seberapa besar kemampuanmu menjaga stabilisasi keseimbangannya: tidak kencang, juga tidak pelan. Mari, kita lanjutkan. Jika menurutmu cadangan udara yang kau tiupkan tadi sudah hampir habis, maka segeralah tutup corong udaranya, lalu ikat erat dengan sehelai kain kematian. Ketahuilah, bahwa kematian adalah penutup sekaligus pembuka jalan hidup yang sebenarnya. Kehidupan yang kekal. Usah lagi menyisipkan beberapa bekal. Kita bukan hendak ke taman untuk berpiknik. Malah nanti semakin menambah berat bebanmu.
Pertama-tama, mulailah dengan merentangkan kedua tangan ke udara. Kaitkan tali balonmu pada salah satu ujung jari sebelah kiri. Hanya ujung jari sebelah kiri, karena saat lahir kau telah dibisiki azan di telinga sebelah kanan. Satu lagi, hanya jari telunjuk, bukan jari yang lain. Tuhan gemar memberi petunjuk dan tanda-tanda, dan kita pun semakin senang dengan rasa penasaran. Jangan sepelekan itu. Segalanya bermula dari sebuah tanda-tanda ataupun sebuah petunjuk. Misalnya saja hujan, apakah kita tidak bisa membaca tanda-tanda sebelum datangnya hujan? Begitupun juga dengan kematian.
Sudah, saatnya tengadahkan muka ke langit. Setelah itu, lantunkan beberapa syair-syair kerinduan kepada-Nya, bukan tangisan duka cita yang meraung-raung. Bersiaplah melepas ikatan balonmu yang mengait di jari telunjuk sebelah kiri tadi. Untuk kali terakhir, pastikan baca tanda-tanda dan petunjuk yang hadir di sekitar: kapan saat yang paling tepat untuk melepasnya. Jika sudah, maka mulailah melepasnya perlahan, pelan, seiring dengan pandanganmu menyibak kelopak mata, dan seirama dengan semilir angin menghempas balonmu ke angkasa sana. Tinggi, dan sangat tinggi, hingga langit mendekapnya lenyap. Menghilang seirama dengan nadi yang tak lagi mendenyut, beserta kelopak mata yang benar-benar telah mengatup rapat kembali, sangat rapat. (*)


Saat sedang menanti hujan mereda, bersama dua orang sahabat: Karan dan Malik. Malam itu, Malik antusias bercerita tentang masa lalu yang kini bertuah bahagia; Karan takzim mendengarkan; aku khusyuk menulis.

Makassar, 18 November 2013

2 comments:

  1. tulisannya bagus, kenapa ga buat buku aja kak? :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih, sudah dipikirkan koq :)

      Delete