30/08/2013

Bersahaja


Ternyata sudah berselang lama tak menyoal tentangmu di sini. Sekarang sudah berada di akhir Agustus. Malam-malam di sisa Agustus selalu tampak cerah terlihat. Purnama nikmat beranjak menyusut ke sabit. Bintang gemintang mengerlip girang seantero langit. Terasa indah nian, sampai lengah membiarnya memagut sepi sendirian. Terakhir kuisi halaman ini saat Mei yang basah. Benar-benar basah. Apakah kau masih ingat? Banyak peristiwa penting terlewati percuma. Sebut saja di antaranya Ramadhan, Lebaran, dan HUT Kemerdekaan RI ke-68. Padahal banyak kisah bersamamu melewati momen-momen itu, yang semestinya perlu kutuang di sini. Apa mau dikata, begitulah adanya. Harus kuakui, gairah menulisku tak lagi membuncah seperti dahulu. Menderas sedikit mungkin masih bisa. Masih sebatas pernyataan-pernyataan sederhana di facebook. Bisa saja berkembang sampai memenuhi halaman-halaman baru, asal saja, sepertinya hatimu perlu kubuat resah supaya ide menulismu terucurah deras. Alasanmu memancing, dan kurasa itu tak lagi mempan. Yang ada malah gairah jenis lain yang sering berjibaku dalam pikiran. Pengaruh umur juga barangkali. Entahlah.
Mendapatkan ide cerita memang tak gampang bila belum menjadi kebiasaan. Salah jika harus menunggu ide itu turun dari langit, ataukah sampai harus merenung di sepanjang malam, hingga bohlam lampu di atas kepala berdenting terang sebagai tanda bahwa ide sudah berhasil didapatkan. Tidak semudah itu barangkali. Asal kau tahu, hingga saat ini ideku masih tersekap pada rutinitas akademik. Harus mengurusi ini, itu, dan anu. Apa mau dikata, konsekuensinya memang demikian. Semakin tinggi suatu pohon, semakin kencang pula angin menggoncangnya. Bebannya akan semakin berat juga. Berbanding terbalik dengan berat badanku yang justru semakin berkurang. Yah, memang bukanlah alasan rasional. ‘Seseorang’ yang sedang dipenjara saja, selama masa penahanannya malah sudah berhasil menulis 7 buah naskah novel. Tak jelas siapa si penulis itu. Informasinya aku dapat dari pesan singkatmu beberapa malam lalu, saat sedang menyaksikan sebuah acara talk show yang dipandu seorang pria botak berkacamata –dulu rambutnya masih kribo– pada salah satu siaran teve swasta. “Sungguh kisah inspiratif.” Tulismu di akhir pesan. Lagi-lagi harus kuakui, manajemen waktuku masih sempoyongan mengurai rutinitas.
Semoga ini kembali menjadi permulaan yang baik. Kubiarkan mengalir seadanya, seperti daun yang melepas diri dari tangkai. Berjuntai-juntai dahulu karena dihembus angin sepoi hingga tergeletak sekenanya ke dasar tanah. Namun, semuanya terjadi bukan karena seadanya, melainkan sebuah alasan.
            Baiklah. Akan kumulai dengan sesuatu yang sederhana. Mengawalinya dengan menuliskan “tak terasa waktu cepat berlalu,” lantas mengakhirinya dengan tanya “bagaimana, sungguh bukan kisah yang mengharukan, kan?”

***

Tak terasa waktu cepat berlalu. Waktu begitu singkat menyingkap hari. Hari gesit memintal bulan. Lambat namun pasti, bulan juga santai menyulam peralihan tahun. Terus, tahun me-ngapain dasawarsa. Lalu, abad di-apain dekade? Terus apa lagi? Hufh, terlalu bertele-tele menggunakan diksi. Ribet. Apa tabiatku juga demikiankah? Padahal aku senang (dan ingin) menjadi orang yang sederhana saja, baik dalam bertingkah laku maupun cara berpikir. Lebih tepatnya bersahaja: hidup dengan apa adanya, punya banyak apa-apa, rajin sembahyang, dan tentu gemar menyumbang. Asal kau tahu, daerah asalku dari sebuah kabupaten yang memunyai julukan ‘Pinrang Bersahaja’. Sampai sekarang masih belum kupahami dasar julukan itu. Apanya yang bersahaja? Ataukah orang-orang dari daerah itu memang punya sifat bersahaja? Entahlah. Tetapi semestinya memang orang-orang dari sana punya sifat demikian. Sepertiku, mungkin. Tak masalah jika kaupun ingin menjulukiku ‘Ray yang Bersahaja’ atau ‘Ray Sang Pria Bersahaja’. Norak.
Selain ribet dalam berpikir, aku juga meledak-ledak dalam menganggapi sesuatu. Berlebihan, katamu. Orang sepertiku tentu tak cocok dengan orang yang meledak-ledak pula. Bisa-bisa kompor meleduk jadinya. Seperti api ketemu api. Jadi, tentu cocoknya kupikir dengan orang penyabar, cermat, dan punya semangat hidup tinggi. Maksudku, orang itu kamu, Idea. Iya, aku berbicara tentang tabiatmu. Sebatas yang kulihat sampai saat ini masih begitu, dan kuharapnya dirimu tidak meledak-ledak juga nantinya, terutama dalam berbelanja. Hal yang tidak terlihat (pada dirimu) bukan berarti tidak ada, bukan? Esok lusa siapa yang tahu. Orang bilang: sekarang adalah kenyataan, esok masih misteri. Namun, kekhawatiranku tentang itu sirna saat kudengar dirimu mengatakan “Banyak hal yang tak bisa kutampakkan kepadamu, tetapi itu selalu ada”. Aduhai, mulutku jadi kelu.
Ibuku pernah menjelaskan tentang kalkulasi kecocokan dalam memilih pasangan, ditinjau dari segi kesejahteraan ekonomi dan rejeki rumah tangga suatu pasangan. Ini agak serius. Perhitungannya dilihat dari urutan kelahiran masing-masing. Misalnya anak pertama, anak kedua, ketiga, dan seterusnya. Ibu kadang paranoid dalam menimbang dan memikirkan sesuatu. Selalu didasarkan pada norma dan ketentuan konservatif. Semacam lontara kalau boleh dikata. Termasuk tentang itu tadi. Katanya itu pappaseng dari orang tua dulu-dulu. Yah, begitulah dia. Apalagi kalau mengusut tentang silsilah keluarga. Dan ketika harus digambarkan dengan menggunakan pola mind mapping, pasti butuh kertas super lebar. Maklumi saja. Dulu, bersama dengan ayah, ibu hanya mengenyam pendidikan sampai tingkat SD. Tepatnya masih bernama Sekolah Rakyat. Katanya saat bercerita dulu, belum ada papan tulis. Cuma menggunakan batu kapur untuk menulis pada sebuah batu datar.
“Jadi begini, Nak. Kamu kan anak keempat. Berarti....,” ungkapnya mulai menjelaskan, namun terhenti karena sedikit lupa tentang rumus kalkulasinya.
Setelah diam sejenak, akhirnya dia sudah ingat dan kembali melanjutkan. Katanya, anak pertama itu disimbolkan sebagai tanah, anak kedua sebagai air, anak ketiga sebagai angin, dan anak keempat disimbolkan sebagai api.
“Terus, anak kelima simbolnya apa, Mak?” Aku memotong, penasaran.
Aku mulai paham tatkala Ibuku mulai menjelaskan tentang empat unsur kehidupan, yang dikorelasikan dengan urutan kelahiran anak manusia, yakni: tanah, air, angin, dan api. Jadi, selanjutnya, untuk anak kelima dan seterusnya, perhitungannya kembali dimulai seperti pada anak pertama, sampai seterusnya.
“Dia anak ke berapa?”
“Dia siapa, Mak?” Aku berpura-pura.
Sebelum kuberitahu mengenai urutan kelahiranmu, ibu telah menjelaskan secara panjang lebar bahwa bila ditinjau dari segi kesejahteraan ekonomi dan rejeki rumah tangga suatu pasangan, api merupakan unsur yang paling penting. Menurutnya, api disimbolkan sebagai kobaran dalle’ (rejeki).
“Jadi, kamu itu cocoknya dengan perempuan yang simbol urutan kelahirannya tidak mematikan unsur apimu.” Kata Ibuku memberi petuah.
“Bukannya api disimbolkan sebagai amarah, Mak?” Dahiku mengernyit, mukanya sedikit sebal. Dia tetap pada keyakinannya, aku ngangguk-ngangguk. Entahlah, benakku.
Percaya atau tidak, toh itu hanya sebatas pertimbangan. Bukanlah sebuah keharusan yang niscaya hukumnya. Sementara, pertimbanganku memang lebih kepada watak dan pola pikir, dan kupikir itu lebih penting dalam menjalin sebuah hubungan. Soal rejeki dan kesejateraan hidup sepenuhnya takdir Tuhan. Beranikah kita menyepelekan ketetapan-Nya? Namun, pada sisi yang lain, tentang simbol urutan kelahiran itu Ibuku juga ada benarnya. Lantas pikiranku melayang, “Apakah memang pantas tabiatku meledak-ledak dan kadang sedikit emosian? Simbol api toh...”. Bisa iya, bisa juga tidak. Wallahualam bisshawab.
Jangan terlalu memikirkan itu. Aku orang baik-baik kok. Sangat baik. Cuma kadang kurang baik juga, tapi amat jarang. Naluriah, bukan? Apa yang kau lihat, begitulah adanya. Sesuatu yang tak kutampakkan pun bukan berarti tak ada, dan itu bisa kujamin akan jauh lebih menawan dari apa yang sudah terlihat. Kau pasti tahu betul dengan keramahan dan ke-murah senyum-anku, bukan? Jadi, sekali lagi kutekankan: aku (orang) bersahaja. Ahay, narsis!
Bagaimana, sungguh bukan kisah yang mengharukan, kan?

Sumber: di sini

***

Orang pernah bilang bahwa “Dalam satu atom didapati semua unsur-unsur bumi. Dalam titik air mengandung semua rahasia laut. Dalam satu gerak pikiran didapati gerakan semua hukum keberadaan”. Dan kuakhiri dengan pernyataan “Dalam satu gurat senyuman berlimpah seluruh kedamaian hati”.

Makassar, 29 Agustus 2013

2 comments: