“Jika kamu ingin mengerti perempuan,
lihatlah mulutnya ketika dia tersenyum;
tetapi
mempelajari laki-laki, lihatlah putih matanya ketika dia marah.”
Ungkapan itu pernah aku baca di sebuah buku.
Aku tak ingat judul dan penulisnya siapa. Pikiranku sedang kacau setelah pulang
menemuimu. Hari itu Kamis. Rintik hujan riang merabas jalan-jalan berdebu. Di
pertemuan sore itu kulihat lakumu terasa beda, kaku membendung kehendak yang
membuncah lantaran maksudmu yang tak lagi dapat bersepaham dengan keadaan. Tampak
dari rautmu ingin berteriak akibat resah yang letih kau pendam sendirian. Namun,
dasar kamu orang yang tak sudi mengumbar perasaan semau dan sesuka hati. Ucapmu
masih saja santun, tetap memuji dan penuh pemahaman. Malah senyum tetap kau
rekahkan. Menyaksikan semua itu aku tertegun pilu karena tersadar telah
melakukan sebuah kesalahan. Lagi dan lagi. Kesalahan kali ini mungkin tak dapat
kau tolerir lantaran perasaanmu enggan bersahabat dengan hal seperti itu, dan kupikir
semua perempuan pun tak sudi diperlakukan begitu.
Sudah. Miris aku mengungkit-ungkitnya lagi.
Cukup itu jadi sebuah pelajaran berharga. Aku sepenuhnya telah menyadari bahwa
kesalahan terbesarku adalah ketika hanya sibuk memikirkan
kesalahan-kesalahanmu. Dan keliruku karena selalu mengungkit kebaikan-kebaikanku.
Makanya tak salah jika kau sampai bertanya kepadaku di akhir pertemuan kita di senja
yang basah itu.
“Jadi, apa sebenarnya relevansi dari sebuah kebaikan
dan keikhlasan?”
Dengan mata yang hampir sembap, kamu
mengucapnya sekali, pelan, kemudian berlalu pergi. Langkahmu seirama dengan
rintik hujan yang terdengar semakin cepat, dan berganti hujan yang deras.
Dilatari senja yang basah, wujudmu sudah tidak kulihat lagi.
***
Sudah lama aku ingin menceritakan ini
kepadamu, Idea. Pada halaman ini aku ingin banyak bercerita tentangnya. Tentang
seseorang yang mungkin jauh lebih mengenalmu, tapi tak sedalam bagaimana dia
dapat memahamiku. Tenang, dia itu seorang laki-laki. Kali ini aku baru sempat
menuliskan sesuatu tentangnya. Tulisan yang sangat sederhana, namun kuanggap
jauh lebih berharga dari hadiah dalam bentuk apapun. Ya, hanya ini, dan dia sudah
memahami itu. Ada peristiwa getir yang telah menimpanya beberapa saat yang
lalu. Perih memang. Hari itu juga Kamis. Akhir April yang pilu. Aku tak sempat
berbagi kesedihan dengannya sore itu. Sayang sekali, aku tak bisa datang. Walaupun
sudah sebulan lebih, mudah-mudahan tulisan ini masih dapat menghiburnya.
Walaupun aku tahu betul dia adalah orang yang suka menghibur banyak orang,
termasuk diriku. Bahkan saat peristiwa getir itu menimpanya, tak ada air mata
yang menetes di pipinya. Padahal ‘Ummi’ yang sangat dicintainya telah menutup
usia. Wajahnya tetap tegar. Seperti biasa, sesekali masih saja bergurau menghibur
kawan-kawannya yang hadir melayat di kediamannya saat itu, termasuk juga dirimu.
Kamu pasti sudah mengenalnya. Tebak saja
setelah membaca seluruh isi halaman ini. Dan kupikir kamu sudah dapat menerka
siapa orangnya. Boleh dibilang dia itu seorang sahabat, bisa juga kakak, seorang
bapak, sekaligus seorang guru –tepatnya seseorang yang selalu kujadikan
penasihat. Tapi untuk yang satu itu –bapak– cukup kita berdua saja yang tahu.
Wajar bila aku menyebutnya demikian karena kamu pernah mencibir gayanya yang
menurutmu lebih menyerupai seorang ‘bapak-bapak’. Kamu punya alasan sendiri
tentang itu, dan itu sering kamu katakan kepadaku. Sementara aku, seingatku,
belum pernah mencibirnya seperti itu. Aku mana berani. Dia sering membawa
kerupuk ke rumah. Dan aku memang suka dengan kerupuknya. Jadi, kamu siap-siap
saja kalau sampai dia membaca halaman ini. Harus kuakui indera penciumannya sangat
hebat. Waspada saja. Nanti silakan berurusan dengannya langsung jika dirinya
sampai tersinggung, atau bahkan sampai melaporkanmu ke kantor polisi atas
tuduhan perbuatan yang kurang menyenangkan. Wah, bisa jadi seru bila itu jadi
kesampaian. Seheboh perseteruan Si Eyang Subur dengan Adi Bing Slamet dan Arya
Wiguna. Kamu tahu Arya Wiguna kan? Orang yang sering melototkan kedua bola mata
dan memukul meja keras-keras ketika di wawancarai oleh awak infotainment itu. Kamu tahu kan? Aku
bahkan tak mampu membayangkan jika sampai dirinya melakukan hal yang sama
kepadamu, marah besar karena sangat tersinggung oleh cibiranmu. Maka, dengan
sangat beringas dia juga akan berteriak: “Ideaaa.., waktumu sudah habis.
Waktumu akan habis, Ideaaa...!!! Demi Tuhaaannn...!!!” Ngerinya bukan main.
Okelah. Di sini aku akan memanggilnya, Karan.
Namanya memang familier di telinga. Mirip nama artis Bolywood, bukan? Ya,
benar. Karan memang salah satu penggemar film India. Aku masih ingat betul film
kesukaannya, “Veer Zaara”. Film itu dibintangi oleh Sahrukh khan dan Preity
Zinta –dua artis India kesukaanya. Makanya, Karan cukup lihai menyanyi
dan menari ala India. Mungkin kamu belum pernah melihatnya begitu. Aku sudah
sudah pernah, malah sangat sering. Mungkin karena kegemarannya akan film India
itulah yang membuatnya banyak tahu dan memahami tentang lika-liku dan
permasalahan sebuah jalinan percintaan. Padahal Karan tak pernah pacaran.
Sesungguhnya dia yang tak mau pacaran. Sepertinya Karan tahu betul apa yang
akan terjadi ketika ada sebuah masalah percintaan yang menimpaku. Serupa yang
sudah kutulis di awal ceritaku tadi, dia sering kudaulat sebagai penasihat.
Terserah temanya tentang apa saja. Tapi memang lebih sering tentang percintaan.
Karan memang tak pernah pacaran. Tapi jangan coba-coba meremehkannya. Sudah ada
perempuan cantik yang tertarik kepadanya. Bahkan tahun ini mereka sudah
berencana untuk melepas masa lajang. Aamiin. Alhamdulillah, aku sangat gembira
mendengarnya. Akhirnya dia laku juga.
Suatu saat Karan pernah menasihatiku seperti
ini.
“Katakan apa yang hendak kamu katakan, dan
jangan katakan bila itu tak ingin kamu katakan!”
Tunggu dulu. Barangkali aku keliru mengingat kembali
nasihatnya. Oh Tuhan, aku baru ingat. Rupanya itu pernyataan Si Uya Kuya pada acara
hipnotis-hipnotisan di televisi. Aku memang bukan pengingat yang ulung. Tapi
tenang, supaya kamu tak penasaran, akan kuulang mengingatnya sekali lagi. Sekali
lagi. Sepertinya nasihatnya begini.
“Katakan jika itu memang sebuah kebenaran.
Meskipun getir, kejujuran jauh lebih berharga dari sebuah permata!” Ya, itu
sudah sangat betul.
Peristiwa itu adalah kejadian di mana seperti
yang aku tulis di awal halaman ini. Dan saat itu Karan aku bikin keteteran. Aku
sangat intens berkonsultasi
dengannya. Setiap hari waktunya hampir habis oleh dering teleponku yang terus-terusan
bertanya dan meminta solusi. Dasar, aku memang payah.
Kurasa cukup sampai di sini saja. Kepalanya bisa membesar apabila melulu menulis tentangnya. Menyoal tentang Karan butuh hari dan halaman yang baru. Sementara malam ini aku harus siap-siap ke kampung halaman. Namun begitu, wajah Karan memang tidaklah rupawan, akan tetapi
hatinya amatlah menawan. Semoga engkau terhibur, kawan. Dan kuharap cerita ini
juga dapat menghiburmu, Idea. Seperti Karan yang suka menghibur semua orang.
Maka tersenyumlah, karena aku senang melihatmu tersenyum. Kamu tahu itu kan, Idea? (*)
Saat-saat menanti keberangkatan menuju
kampung halaman.
Makassar, 22 Mei 2013