22/05/2013

Karan dan Hari Kamis


“Jika kamu ingin mengerti perempuan, lihatlah mulutnya ketika dia tersenyum;
tetapi mempelajari laki-laki, lihatlah putih matanya ketika dia marah.”

Ungkapan itu pernah aku baca di sebuah buku. Aku tak ingat judul dan penulisnya siapa. Pikiranku sedang kacau setelah pulang menemuimu. Hari itu Kamis. Rintik hujan riang merabas jalan-jalan berdebu. Di pertemuan sore itu kulihat lakumu terasa beda, kaku membendung kehendak yang membuncah lantaran maksudmu yang tak lagi dapat bersepaham dengan keadaan. Tampak dari rautmu ingin berteriak akibat resah yang letih kau pendam sendirian. Namun, dasar kamu orang yang tak sudi mengumbar perasaan semau dan sesuka hati. Ucapmu masih saja santun, tetap memuji dan penuh pemahaman. Malah senyum tetap kau rekahkan. Menyaksikan semua itu aku tertegun pilu karena tersadar telah melakukan sebuah kesalahan. Lagi dan lagi. Kesalahan kali ini mungkin tak dapat kau tolerir lantaran perasaanmu enggan bersahabat dengan hal seperti itu, dan kupikir semua perempuan pun tak sudi diperlakukan begitu.
Sudah. Miris aku mengungkit-ungkitnya lagi. Cukup itu jadi sebuah pelajaran berharga. Aku sepenuhnya telah menyadari bahwa kesalahan terbesarku adalah ketika hanya sibuk memikirkan kesalahan-kesalahanmu. Dan keliruku karena selalu mengungkit kebaikan-kebaikanku. Makanya tak salah jika kau sampai bertanya kepadaku di akhir pertemuan kita di senja yang basah itu.
“Jadi, apa sebenarnya relevansi dari sebuah kebaikan dan keikhlasan?”
Dengan mata yang hampir sembap, kamu mengucapnya sekali, pelan, kemudian berlalu pergi. Langkahmu seirama dengan rintik hujan yang terdengar semakin cepat, dan berganti hujan yang deras. Dilatari senja yang basah, wujudmu sudah tidak kulihat lagi.
***

Sudah lama aku ingin menceritakan ini kepadamu, Idea. Pada halaman ini aku ingin banyak bercerita tentangnya. Tentang seseorang yang mungkin jauh lebih mengenalmu, tapi tak sedalam bagaimana dia dapat memahamiku. Tenang, dia itu seorang laki-laki. Kali ini aku baru sempat menuliskan sesuatu tentangnya. Tulisan yang sangat sederhana, namun kuanggap jauh lebih berharga dari hadiah dalam bentuk apapun. Ya, hanya ini, dan dia sudah memahami itu. Ada peristiwa getir yang telah menimpanya beberapa saat yang lalu. Perih memang. Hari itu juga Kamis. Akhir April yang pilu. Aku tak sempat berbagi kesedihan dengannya sore itu. Sayang sekali, aku tak bisa datang. Walaupun sudah sebulan lebih, mudah-mudahan tulisan ini masih dapat menghiburnya. Walaupun aku tahu betul dia adalah orang yang suka menghibur banyak orang, termasuk diriku. Bahkan saat peristiwa getir itu menimpanya, tak ada air mata yang menetes di pipinya. Padahal ‘Ummi’ yang sangat dicintainya telah menutup usia. Wajahnya tetap tegar. Seperti biasa, sesekali masih saja bergurau menghibur kawan-kawannya yang hadir melayat di kediamannya saat itu, termasuk juga dirimu.
Kamu pasti sudah mengenalnya. Tebak saja setelah membaca seluruh isi halaman ini. Dan kupikir kamu sudah dapat menerka siapa orangnya. Boleh dibilang dia itu seorang sahabat, bisa juga kakak, seorang bapak, sekaligus seorang guru –tepatnya seseorang yang selalu kujadikan penasihat. Tapi untuk yang satu itu –bapak– cukup kita berdua saja yang tahu. Wajar bila aku menyebutnya demikian karena kamu pernah mencibir gayanya yang menurutmu lebih menyerupai seorang ‘bapak-bapak’. Kamu punya alasan sendiri tentang itu, dan itu sering kamu katakan kepadaku. Sementara aku, seingatku, belum pernah mencibirnya seperti itu. Aku mana berani. Dia sering membawa kerupuk ke rumah. Dan aku memang suka dengan kerupuknya. Jadi, kamu siap-siap saja kalau sampai dia membaca halaman ini. Harus kuakui indera penciumannya sangat hebat. Waspada saja. Nanti silakan berurusan dengannya langsung jika dirinya sampai tersinggung, atau bahkan sampai melaporkanmu ke kantor polisi atas tuduhan perbuatan yang kurang menyenangkan. Wah, bisa jadi seru bila itu jadi kesampaian. Seheboh perseteruan Si Eyang Subur dengan Adi Bing Slamet dan Arya Wiguna. Kamu tahu Arya Wiguna kan? Orang yang sering melototkan kedua bola mata dan memukul meja keras-keras ketika di wawancarai oleh awak infotainment itu. Kamu tahu kan? Aku bahkan tak mampu membayangkan jika sampai dirinya melakukan hal yang sama kepadamu, marah besar karena sangat tersinggung oleh cibiranmu. Maka, dengan sangat beringas dia juga akan berteriak: “Ideaaa.., waktumu sudah habis. Waktumu akan habis, Ideaaa...!!! Demi Tuhaaannn...!!!” Ngerinya bukan main.

 

Okelah. Di sini aku akan memanggilnya, Karan. Namanya memang familier di telinga. Mirip nama artis Bolywood, bukan? Ya, benar. Karan memang salah satu penggemar film India. Aku masih ingat betul film kesukaannya, “Veer Zaara”. Film itu dibintangi oleh Sahrukh khan dan Preity Zinta –dua artis  India kesukaanya. Makanya, Karan cukup lihai menyanyi dan menari ala India. Mungkin kamu belum pernah melihatnya begitu. Aku sudah sudah pernah, malah sangat sering. Mungkin karena kegemarannya akan film India itulah yang membuatnya banyak tahu dan memahami tentang lika-liku dan permasalahan sebuah jalinan percintaan. Padahal Karan tak pernah pacaran. Sesungguhnya dia yang tak mau pacaran. Sepertinya Karan tahu betul apa yang akan terjadi ketika ada sebuah masalah percintaan yang menimpaku. Serupa yang sudah kutulis di awal ceritaku tadi, dia sering kudaulat sebagai penasihat. Terserah temanya tentang apa saja. Tapi memang lebih sering tentang percintaan. Karan memang tak pernah pacaran. Tapi jangan coba-coba meremehkannya. Sudah ada perempuan cantik yang tertarik kepadanya. Bahkan tahun ini mereka sudah berencana untuk melepas masa lajang. Aamiin. Alhamdulillah, aku sangat gembira mendengarnya. Akhirnya dia laku juga.
Suatu saat Karan pernah menasihatiku seperti ini.
“Katakan apa yang hendak kamu katakan, dan jangan katakan bila itu tak ingin kamu katakan!”
Tunggu dulu. Barangkali aku keliru mengingat kembali nasihatnya. Oh Tuhan, aku baru ingat. Rupanya itu pernyataan Si Uya Kuya pada acara hipnotis-hipnotisan di televisi. Aku memang bukan pengingat yang ulung. Tapi tenang, supaya kamu tak penasaran, akan kuulang mengingatnya sekali lagi. Sekali lagi. Sepertinya nasihatnya begini.
“Katakan jika itu memang sebuah kebenaran. Meskipun getir, kejujuran jauh lebih berharga dari sebuah permata!” Ya, itu sudah sangat betul.  
Peristiwa itu adalah kejadian di mana seperti yang aku tulis di awal halaman ini. Dan saat itu Karan aku bikin keteteran. Aku sangat intens berkonsultasi dengannya. Setiap hari waktunya hampir habis oleh dering teleponku yang terus-terusan bertanya dan meminta solusi. Dasar, aku memang payah.
Kurasa cukup sampai di sini saja. Kepalanya bisa membesar apabila melulu menulis tentangnya. Menyoal tentang Karan butuh hari dan halaman yang baru. Sementara malam ini aku harus siap-siap ke kampung halaman. Namun begitu, wajah Karan memang tidaklah rupawan, akan tetapi hatinya amatlah menawan. Semoga engkau terhibur, kawan. Dan kuharap cerita ini juga dapat menghiburmu, Idea. Seperti Karan yang suka menghibur semua orang. Maka tersenyumlah, karena aku senang melihatmu tersenyum. Kamu tahu itu kan, Idea? (*)

Saat-saat menanti keberangkatan menuju kampung halaman.
Makassar, 22 Mei 2013

06/05/2013

Irama yang Terbata

(Cerpen: Kontributor Antologi Cerpen “Cermin, Nama, dan Pelita”)

Malam hampir larut. Tubuhku tergelatak sekenanya sebab letih yang mendera seharian. Telah kusematkan ego dan senyumannya di gudang pikiranku barang sejenak, cuma cemas berdiam menyemai prasangka. Tampaknya kini tangguhku sudah mulai meleleh sebab rutin dia sulut dengan alasan jumpa yang mesti selalu diberi jarak. Dia selalu punya argumentasi atas itu, dan sepenuhnya belum mampu kupahami saat ini. Hidupku perlahan telah berasimilasi bersama alur kehidupannya. Namun, kadang tertatih merunut maksud-maksudnya. Aku selalu berusaha lentur mengikuti iramanya, bersenandung sebelum dia memulai melentikkan nada-nada, dan terus menderainya bahagia sebelum hatinya canggung meminta. Pun aku akan rela menghilang sebelum dia bermohon untuk menjauh, sebentar atau bisa saja lama.
***
Dan kini malam beringsut menuju hari yang sebentar lagi dini. Aku masih begini, terbata, hingga lelap tak kunjung teraih. Prasangka terus berkelebat menjerat rasa dan rasio. Detak jarum jam dinding terdengar rancu mengulur waktu. Senandung lagu-lagu melankolis mulai terdengar sumbang lantaran sengal berulang-ulang mengikuti irama malam. Angin malam berdesir sumbang semakin merambat memecah keheningan. Cakrawala kosong melompong, sungkan menggubah komposisi nada. Resonansi dari angkasa raya urung mendekap harmonisasi. Semesta berpaling; kau menjauh; aku apatis. Ya sudah, kunikmati ini sendirian. Mainkan saja irama masing-masing.....




TELAH TERBIT!!!

Judul          : Cermin, Nama, dan Pelita
Penerbit    : Leutika Prio (April, 2013)
ISBN           : 978-602-225-655-7
Jumlah Hal : 255
Harga         : Rp 50.300 (belum termasuk ongkos kirim)

Para Penulis:
Luklukul Maknun - Nachita - Ripo Mht - Nafisah - Maulana Alir Pena - Agil Hp - Dee Idee Anggraeni - UM Ray Bitta - Shafira El-Khaira -Kynar - Aas Kartini - Marwah Oh Marwah -Ade Rahayu - Arinda Shafa - Hendrika Zai - Akurnie - Riana Yahya - Restia - Al Hadad Adyan - Altami Nurmila Daniari -Ceng Ahmar Syamsi - Annisa Puja Kelam - Izzathy Dhea - Nida’Ufairah - Atik Pili - Hilal Ahmad - Uda Agus

Berminat?