18/01/2013

Testimoni dalam Sunyi

Masih tentang senja, Idea. Jangan pernah merasa bosan. Barangkali aku termasuk orang yang sangat gemar menulis tentang senja. Sebuah keindahan yang hanya damai kunikmati sendirian. Begitupun dengan fajar, juga banyak narasi tercipta dari keelokannya. Dua-duanya sama saja buatku, tetapi terkadang kontradiktif menyimbolkan suasana. Seperti dua sisi mata uang. Uang recehan. Sesuatu yang mungkin tak begitu penting nilainya. Sesuatu yang selalu dibeda-bedakan, dipaksakan tak serupa bagai dua sisi kehidupan yang berlawanan, namun saling melengkapi satu sama lain. Kelihatannya mereka nyaman-nyaman saja. Toh kita sendiri yang sibuk, ribut mendebatnya secara kusir seolah tak pernah bersepaham. Sudahlah. Ini tentang senja-senjaku. Senja yang ada dalam pikiranku. Bahkan jika dirimu menolak, aku akan tetap memaksa. Beri aku waktu untuk tak mendebatnya malam ini, dan mungkin untuk selamanya. Sebab mereka adalah keindahan dalam pikiranku. Sepertimu, senyumanmu.
Saat ini kubiarkan pikiranku mengalir begitu saja. Terserah melukiskan sesuatu semena-menanya. Dan akhirnya, inspirasi mencurah lebat ketika berhadapan dengan halamanmu yang terhampar kosong. Lapang membiarnya mengalir menganak sungai menuju lautan kepuasan. Lalu tenggelam menyusup sampai palung laut paling dalam. Teronggok beku meratapi sesal yang memekik. Rumit bahkan pelik, seperti disayat-sayat badik. Batinku lantas panas meradang, meleleh mengisi lubang-lubang gelap itu. Kemudian gigil lekas membekukannya mendaulat lara. Padat mengeras, sekeras kondisiku yang tak terpahami oleh siapa-siapa, bahkan mungkin juga dirimu. Sebaliknya, barangkali juga sama. Biar saja, aku mau terus melanjutkan. Kenikmatan dalam dera, pikirku. Nikmati saja sendirian dalam kesendirian. Seperti senja-senja itu.

Sumber: di sini

Sebuah tulisan merupakan refleksi dari pikiran penulisnya. Barangkali. Kupikir kali ini bisa benar. Entahlah, senyummu masih ragu membenarkan. Malam ini, menjelang hari yang mulai dini, beban semakin lugas kujadikan gagasan. Mengucur deras bercucuran bagai pancuran. Resah pun kupilin menjadi prosa, terseduh panas ke dalam cawan dengan pemanis cemas. Pun diksi riang menyandung memoles makna, hingga prosa memintal mencipta kisah. Adapun canda dan tawa hanya bias mengelabui kenyataan, menjadi fatamorgana tak bermakna. Palsu dan tak mampu menjelaskan apa-apa. Sudah betulkah menurutmu, bahwa sebuah tulisan merupakan refleksi dari pikiran penulisnya?
Seperti itulah aku melukiskan senja. Menikmati senja serupa dengan meratapi kesendirian. Kesendirian yang hadir lantaran kekosongan yang terus berkelabat tak bersahabat. Kenikmatan senja hanya pada ketika kekosongan angkuh tak membiarkan apa-apa mengusik kesendirian. Berpikir bahwa senja akan selalu meminang kesepian menuju malam yang menyuguhkan gelap. Hanya sunyi dan juga gigil yang terus merapat lekat-lekat. Sepi dan sendiri.
Yah, dalam sunyi ini aku ingin memberimu sebuah testimoni.
Senja berangkat dari suatu siang dan akan pulang menuju suatu malam. Esok, lusa, atau hari selanjutnya akan tetap sama. Tak ada senja yang biru apalagi putih. Tetap senja yang melembayung di sudut cakrawala. Merah jingga. Kehidupan telah menjadikannya seperti itu. Sebuah instrumen perjalanan. Perjalanan kehidupan. Apa kau tahu? Kesendirian yang dibiarkan lama-lama akan semakin menegaskan sebuah rasa kepercayaan. Tepatnya, ketidakpercayaan kepada siapa-siapa. Haruskah kesendirian betah menegaskan rasa ketidakpercayaan?
Senja telah mengajariku kapan akan berangkat dan ke mana harus pulang. Seperti kokokan ayam yang tak pernah lalai mengumumkan semburat fajar. Juga seperti kepulangan kawanan unggas yang senantiasa taat mengiring senja. Hanya saja takdir nampaknya terlalu rumit merumuskan kehidupan kita. Selanjutnya, malam demi malam akan benar-benar menjadi gelap, lebam lantaran terus-terusan ditempa sepi. Apabila ini benar sebuah perjalanan kehidupan, masihkah kita sudi berlama-lama menikmati sunyi sendirian?

(Selamat, untuk sesuatu yang tak harus mereka tahu!)
Makassar, 18 Januari 2013

10/01/2013

Terjerat Senja


Ombak lautan menderu, bergemuruh menegaskan sepi
Getir bahkan lebih dari perih
Di sini, tersungkur lunglai merutuk keadaan
Mencoba merapal maksud namun tetap terbata




Senja menyuntuk, menahan dan aku tertahan
Mimpi retak terberai-berai percuma
Tak ada lagi keindahan lembayung mengirim malam
Nestapa nan kelam membiarnya meradang




Terjerat senja di pantai Pajalele, 8 Januari 2013