Masih tentang senja, Idea. Jangan pernah
merasa bosan. Barangkali aku termasuk orang yang sangat gemar menulis tentang
senja. Sebuah keindahan yang hanya damai kunikmati sendirian. Begitupun dengan fajar,
juga banyak narasi tercipta dari keelokannya. Dua-duanya sama saja buatku,
tetapi terkadang kontradiktif menyimbolkan suasana. Seperti dua sisi mata uang.
Uang recehan. Sesuatu yang mungkin tak begitu penting nilainya. Sesuatu yang
selalu dibeda-bedakan, dipaksakan tak serupa bagai dua sisi kehidupan yang
berlawanan, namun saling melengkapi satu sama lain. Kelihatannya mereka nyaman-nyaman
saja. Toh kita sendiri yang sibuk, ribut mendebatnya secara kusir seolah tak
pernah bersepaham. Sudahlah. Ini tentang senja-senjaku. Senja yang ada dalam
pikiranku. Bahkan jika dirimu menolak, aku akan tetap memaksa. Beri aku waktu
untuk tak mendebatnya malam ini, dan mungkin untuk selamanya. Sebab mereka adalah
keindahan dalam pikiranku. Sepertimu, senyumanmu.
Saat ini kubiarkan pikiranku mengalir begitu saja.
Terserah melukiskan sesuatu semena-menanya. Dan akhirnya, inspirasi mencurah lebat
ketika berhadapan dengan halamanmu yang terhampar kosong. Lapang membiarnya
mengalir menganak sungai menuju lautan kepuasan. Lalu tenggelam menyusup sampai
palung laut paling dalam. Teronggok beku meratapi sesal yang memekik. Rumit bahkan
pelik, seperti disayat-sayat badik. Batinku lantas panas meradang, meleleh
mengisi lubang-lubang gelap itu. Kemudian gigil lekas membekukannya mendaulat
lara. Padat mengeras, sekeras kondisiku yang tak terpahami oleh siapa-siapa,
bahkan mungkin juga dirimu. Sebaliknya, barangkali juga sama. Biar saja, aku mau
terus melanjutkan. Kenikmatan dalam dera, pikirku. Nikmati saja sendirian dalam
kesendirian. Seperti senja-senja itu.
Sebuah tulisan merupakan refleksi dari
pikiran penulisnya. Barangkali. Kupikir kali ini bisa benar. Entahlah, senyummu
masih ragu membenarkan. Malam ini, menjelang hari yang mulai dini, beban semakin
lugas kujadikan gagasan. Mengucur deras bercucuran bagai pancuran. Resah pun
kupilin menjadi prosa, terseduh panas ke dalam cawan dengan pemanis cemas. Pun
diksi riang menyandung memoles makna, hingga prosa memintal mencipta kisah. Adapun
canda dan tawa hanya bias mengelabui kenyataan, menjadi fatamorgana tak
bermakna. Palsu dan tak mampu menjelaskan apa-apa. Sudah betulkah menurutmu,
bahwa sebuah tulisan merupakan refleksi dari pikiran penulisnya?
Seperti itulah aku melukiskan senja. Menikmati
senja serupa dengan meratapi kesendirian. Kesendirian yang hadir lantaran kekosongan
yang terus berkelabat tak bersahabat. Kenikmatan senja hanya pada ketika
kekosongan angkuh tak membiarkan apa-apa mengusik kesendirian. Berpikir bahwa
senja akan selalu meminang kesepian menuju malam yang menyuguhkan gelap. Hanya
sunyi dan juga gigil yang terus merapat lekat-lekat. Sepi dan sendiri.
Yah, dalam sunyi ini aku ingin memberimu sebuah
testimoni.
Senja berangkat dari suatu siang dan akan pulang
menuju suatu malam. Esok, lusa, atau hari selanjutnya akan tetap sama. Tak ada
senja yang biru apalagi putih. Tetap senja yang melembayung di sudut cakrawala.
Merah jingga. Kehidupan telah menjadikannya seperti itu. Sebuah instrumen
perjalanan. Perjalanan kehidupan. Apa kau tahu? Kesendirian yang dibiarkan
lama-lama akan semakin menegaskan sebuah rasa kepercayaan. Tepatnya,
ketidakpercayaan kepada siapa-siapa. Haruskah kesendirian betah menegaskan rasa
ketidakpercayaan?
Senja telah mengajariku kapan akan berangkat
dan ke mana harus pulang. Seperti kokokan ayam yang tak pernah lalai
mengumumkan semburat fajar. Juga seperti kepulangan kawanan unggas yang senantiasa
taat mengiring senja. Hanya saja takdir nampaknya terlalu rumit merumuskan kehidupan
kita. Selanjutnya, malam demi malam akan benar-benar menjadi gelap, lebam
lantaran terus-terusan ditempa sepi. Apabila ini benar sebuah perjalanan
kehidupan, masihkah kita sudi berlama-lama menikmati sunyi sendirian?
(Selamat,
untuk sesuatu yang tak harus mereka tahu!)
Makassar, 18 Januari 2013