26/11/2012

Hujan November


Happiness is when what you think, what you say, and what you do are in harmony.
Mahatma Gandhi

November yang basah, Muharram penuh berkah. Selalu, ketika bulan sudah berada di penghujung tahun masehi, hujan riang menerpa. Dingin tak dapat ditampik sebab tiada sore tanpa mendung, berikut petir yang mengilat-ngilat. Semesta buram memagut langit, seolah-olah hendak memberi kabar bahwa alam akan berganti latar dan cerita. Bercerita tentang hujan dan kenangan-kenangan di masa kecil, saat riang berebutan seluncuran pelepah pohon pinang di tengah jalan becek berpasir yang menukik. Cerita tentang hujan-hujan kita di senja Februari yang temaram, saat cinta mulai bersemi sekaligus terasing dari keramaian sekitar. Juga cerita tentang banjir dan tanah longsor di banyak TV dan koran-koran, cerita tentang Gaza yang terus dihujani roket-roket Israel, cerita tentang Ayah yang sudah siaga mengemas segenap raga karena musim tanam telah tiba. Dan beragam cerita hujan lainnya.
Tak ada yang aneh dengan semua itu. Lantaran musim sudah benar menapaki jalur siklusnya setiap tahun. Jadi, semestinya memang begitu. Namun adakalanya hujan cuma hinggap sebentar atau bahkan sampai lupa lama-lama. Atas gejala itu alam punya alasan sendiri, dan manusia cuma pura-pura tuli tak mendengar apa-apa. Seperti itulah kehidupan ini barangkali. Kadang bahagia jemu merajai, kadang pula nelangsa betah menggerayangi. Paling tidak, sejenak hujan November saat ini telah memberi kesejukan ataupun berkah atas setumpuk problem kehidupan yang semakin gaduh memekik logika dan rasa kemanusiaan.

Sumber: disini

Sudahlah, lupakan itu sejenak. Semalam Ayah menelepon. Ia ingin berbagi kabar tentang situasi rumah di kampung. Pun tentang keadaanku tentu tak luput dari perhatiannya. Topik pembicaraan ia awali dengan cerita mengenai kenakalan cucu-cucunya yang masih kecil-kecil. Meladeni lima orang cucu sekaligus dengan beragam kepentingan tentu bukan soal mudah. Merasa terbebanikah ia? Tentu saja tidak. Malah senang dan bahagia rasanya terdengar ia bercerita. Dari situ aku jadi berpikir, Apa ukuran dari sebuah kebahagiaan?
Setelah itu, Ayah lebih banyak bercerita tentang kesiapannya menghadapi musim tanam. Sepertinya bertani akan mulai menyibukkan hari-harinya beberapa bulan ke depan. Aku jadi khawatir, karena hal itu selalu membuat tubuhnya mengurus. Usianya kini sudah tergolong renta. Di umur segitu rupaya ia belum sadar akan usianya yang tak lagi sekekar dahulu. Selalu kusampaikan saran untuk memberikan beberapa petak sawah itu kepada orang lain saja untuk digarap –berbagi hasil saja, namun seketika niat itu luluh mendengar alasan yang selalu seragam dari Ibu, “Kita mau kerja apa, Nak? Kita sudah terbiasa dengan ini. Malah badan akan terasa kaku jika tidak bekerja,” katanya datar.
Di sela-sela pembicaraan, Ibu sesekali menimpali. Rupanya pembicaraanku dengan Ayah sedang di loudspeaker. Kepada saudara-saudaraku –yang sudah tidak tinggal di kampung– juga diperlakukannya serupa. Walau tak diungkapnya secara eksplisit, sepertinya mereka dilanda rindu. Aku juga rindu, gumamku dalam hati. Ingin lugas kuucap itu, namun urung kurapalkan lantaran kami bukanlah tipe keluarga kebanyakan yang intim mengumbar rasa dan cinta. Kami tidak terbiasa begitu layaknya keluarga-keluarga modis yang sering dipertontonkan dalam sinetron-sinetron kegemaran ibu-ibu.
Mungkin hal ini juga perlu kau pahami. Bahwa diriku sebenarnya tak begitu pandai mengungkap sesuatu, baik itu cinta maupun dusta. Dengan mudah dapat kau tebak dari mata dan gerak-gerikku atas masalah yang sedang menimpa. Aku juga tak begitu pandai mendiamkan rasa dan masalah. Gegabah dan meledak-meledak barangkali telah akrab berteman dengan tabiatku. Namun dalam beberapa hal aku pernah mencoba untuk diam. Seperti dulu pernah kuungkap sebelumnya di halaman ‘Taman Langit’, bahwa diam menjadi satu-satunya bahasa hati.
Lalu apa ukuran dari sebuah kebahagiaan? Pertanyaan itu kembali melintas. Aku jadi teringat dengan peristiwa beberapa hari kemarin, saat bersamamu menghabiskan pagi di suatu lapangan hijau yang berembun. Saat itu aku menanyakan hal serupa dengan pertanyaan yang melintas dalam pikiranku barusan.
“Apa kau merasa bahagia dengan semua ini?”
“Tidak, aku malah merasa nyaman.”
“Maksudmu, Idea?”
“Aku memaknai kenyamanan itu sebagai dasar dari segala rasa senang ataupun bahagia,” jawabmu tenang.
Melihat dahiku mengernyit, kau kemudian melanjutkan. “Kamu juga tak perlu tahu semua hal, Ray. Mendalami sebuah saja sepertinya sudah menampakkan identitas keluasan. Dan, sama sekali tak perlu tahu banyak untuk menyenangkan orang lain. Bersenang-senang saja dengan yang ada.”
“Ceyiyus...???” aku mencandaimu, kau pun tertawa.
Akhirnya, aku masih belum terlalu tahu kebahagiaan itu seperti apa. Yang jelas, aku hanya ingin membuatmu dapat merekahkan senyuman dan merasa nyaman berada di dekatku. Dapat melihatmu tersenyum saja bagiku sudah cukup membuatku senang. Saat ini hanya itu yang bisa kupahami. Seperti hujan di ujung November ini, memberi keberkahan karena telah cukup lama dinanti-nanti. Atau juga seperti Ayah yang tak pernah letih meladeni kenakalan para cucunya itu. Dan kelak kita pun akan menyadari akan hal tersebut tatkala di kemudian hari kita telah menua: menghabiskan waktu saban hari mengurusi uban-uban dan cucu-cucu di sore yang hujan. (*)

Makassar, 23 November 2012