19/09/2012

Gara-gara Tahi Minyak

Malam hampir larut. Tubuhku tergelatak sekenanya sebab letih yang mendera seharian. Telah kusematkan ego beserta senyumanmu di gudang pikiranku barang sejenak, cuma cemas berdiam menyemai prasangka-prasangka. Tampaknya kini tangguhku hampir meleleh sebab rutin kau sulut dengan alasan jumpa yang mesti selalu diberi jarak. Kau punya argumentasi atas itu dan sepenuhnya belum mampu kupahami. Hidupku perlahan sudah berasimilasi bersama alur kehidupanmu. Namun kadang tertatih merunut maksud-maksudmu. Aku berusaha lentur mengikuti iramamu. Selalu bersenandung sebelum kau memulai melentikkan nada-nada. Menderaimu bahagia sebelum hatimu canggung memintanya. Pun aku akan menghilang sebelum kau bermohon untuk menjauh, sebentar atau bisa saja lama.
Malam sudah terlalu larut. Kelopak mataku telah mengatup menenggelamkan retina. Otot-otot dan persendianku pelan-pelan mengulur ngilu dan sengal. Namun lelap sepenuhnya belum sempurna kurasai lantaran Bandoci dan kawan-kawannya juga sementara asyik bergulat membuat gaduh dari luar kamar. Mereka sedang riuh mempermasalahkan beberapa dari jawaban tebakan-tebakan konyol. Adakalanya kalau sedang tak ada kerjaan, kebiasaannya memang begitu. Seolah-olah tinggal di tengah hutan, tidak peduli dengan ketenangan para tetangga. Risiko tinggal di rumah kontrakan, pikirku.
Terkadang kita –manusia– teguh merapal suatu sabda kebenaran sementara kita berpijak di atas kesalahan yang merapuh.
“Dasar bandit-bandit, tukang rusuh, dan malas disuruh” aku menggerutu.
Ketenanganku terusik. Sekalipun menjadi biang dari segala kekonyolan di rumah, namun mereka juga punya sisi lain yang baik-baik. Selain pandai-pandai memasak, meraka juga taat sembahyang magrib. Hatiku jadi cooling down. Hingga tiba saatnya Bandoci mengajukan sebuah tebakan baru dan menjadi penutup dari acara tebak-tebakan malam itu.
“Naa, ini yang terakhir. Tahi apa yang bisa dimakan?” tanyanya.
Karena soal tebakannya tergolong mudah, kawan-kawan lainnya, termasuk aku –walau hanya mampu menebak dalam hati, serentak menjawab, “tai minynya’,mereka terbahak.
Sekarang aku benar-benar jadi terjaga, tersadar dari kantuk karena sorakannya heboh memecah separuh lelapku. Mereka sudah selesai dengan aksinya dan hendak beranjak tidur. Semantara aku dilanda resah. Gara-gara itu, insomnia mengambil alih situasiku. Nanar tak dapat kutampik. Meluapkan amarah dengan cara apa di saat-saat seperti itu, selain cuma jengkel dan menggerutu. Kucoba menyetel beberapa lagu favoritku dan kukeraskan volumenya sampai mereka sadar akan ketidaknyamananku tadi. Dan ternyata lumayan membantu. Ini bisa menjadi pelajaran bagi siapa pun. Pertama, tak perlu turut serta menjawab tebak-tebakan orang lain jika kau sudah sangat terkantuk-kantuk. Kedua, jika sebelum tidur suasana di sekitarmu sedang gaduh, pasanglah headset dan cobalah setel beberapa daftar lagu melankolis.
Gara-gara tahi minyak mataku sulit terpejam lagi. Tahu-tahu terpaksa aku mengingatmu lagi. Dulu sebelum aku pulang ke kampung, kau menitip pesan supaya dibawakan tahi minyak.
“Ray, jangan sampai lupa yah! Aku sangat suka dengan sambal tai minynya’ racikan ibuku. Apalagi kalau dijadikan isi sayur pare. Sudah terlalu lama aku tidak menikmatinya,” pintamu penuh harap, aku menelan ludah.
Mendengar itu aku tertawa, tetapi cuma dalam hati. Aku hendak memalingkan muka, sejenak untuk terkekah meluapkan tawa yang tertahan. Lagi-lagi aku segan. Raut mukamu terlanjur riang. Ternyata seleramu sedikit kampungan, kataku dalam hati sembari melebarkan senyum.
***
Sumber di sini

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ampas olahan minyak kelentik itu diberi istilah tahi minyak. Orang-orang di kampungku –suku Pattinjo atau masyarakat Bugis pada umumnya– mengucapnya dengan aksen yang sedikit berbeda, tai minynya’. Jadi supaya lebih Indonesia dan terucap nyaman, disebut saja dengan tahi minyak.
Asal kau tahu, Idea. Sunter terdengar kabar dari orang-orang tua yang pernah kutemui bahwa di saat sekarang ini tahi minyak sangat susah didapat. Hal itu dipertegas pula oleh Indo Becce –seorang nenek yang umurnya bisa kutaksir telah mencapai angka ratusan. Terlebih lagi industri per-minyak-kelapa-an sudah banyak gulung tikar sebab kalah saing dengan minyak sawit dan minyak-minyak kemasan yang harganya cenderung jauh lebih murah serta jenisnya variatif pula. Bahkan ada yang bisa langsung diminum. Hebatkan? Yang kutahu minyak kelapa memang bisa diminum hanya ketika seorang ibu hamil ingin melahirkan. Itu ibuku sendiri yang bilang dan pernah dipraktikkan ke kakak iparku. Supaya bayinya licin keluar, katanya. Oleh beberapa dukun beranak di kampungku juga berkata demikian. Dan memang terbukti mujarab.
Tahi minyak yang enak dan bisa dijadikan bahan dasar untuk membuat sambal adalah tahi minyak yang diperoleh dari proses penanakan santan secara langsung. Maksudnya, setelah santan diperoleh dari perasan sari-sari buah kelapa, santan itu langsung ditanak di atas bara api yang stabil. Berbeda jika santan itu didiamkan semalaman dahulu, lalu kumpulan bagian atasnya ditanak. Tahi minyaknya tidak akan sebagus dengan hasil tanakan secara langsung. Biasanya ampasnya hanya dijadikan sebagai bahan campuran untuk pakan ternak saja.

Proses pembuatan minyak kelapa tradisional ini memang tergolong susah dan prosesnya lumayan lama. Dari 20-25 buah kelapa, hanya dapat menghasilkan sekitar 2-3 liter minyak saja. Itu juga bergantung dari jenis kelapanya. Info itu akurat karena dulu ibuku termasuk salah seorang penghasil minyak kelapa rumahan. Kala itu, belum banyak minyak kemasan. Di pasar, minyak kelapa ibuku lumayan dikenal banyak orang karena warna minyaknya tidak terlalu kuning, juga tidak terlampau merah, dan memiliki wangi khas. Hasil seperti itu diperoleh karena proses pengolahannya telaten. Aku senang memperhatikan ibu memeras parutan kelapa dan menanak santannya sampai menjadi minyak. Momentum yang paling kusukai adalah ketika ibu menuangkan hasil akhir dari tanakan santan kelapa itu ke dalam botol-botol sirup bekas. Dan ketika jari-jarinya sudah berlumuran minyak, langsung diusapkan ke rambut bergelombangnya. Selalu ia menawari ke rambutku, namun terlanjur aku kabur duluan. Sekarang, setelah kupikir matang-matang, sekiranya aku selalu menuruti ajakan ibu dulu, mungkin saja rambutku tidak sekering ini.
Saat masih kecil, aku senang menemani ayah mencari dan memanjat kelapa di kebun untuk dipakai ibu membuat minyak. Kadang aku jadi rewel kalau ayah sampai lupa memetikkan buah kelapa muda untukku. Jika dia sampai marah-marah karena itu, ia sering mengancam meninggalkanku sendirian di kebun. Aku takut. Kuburan dekat dari situ. Dengan menggunakan sebuah gerobak kayu rakitan, kami masukkan kelapa-kelapa itu ke dalamnya. Tak lupa aku menghitungnya dengan menggunakan metode hitung khas pedagang kelapa di kampung –istilahnya poto’ dalam persepuluh buah. Kemudian kelapa-kelapa itu kami angkut ke rumah, mendorongnya bersama-sama. Namun sesekali ayah cuma sendirian karena aku naik bertengger di atas gerobak bak seorang kesatria berkuda. Aku membayangkan sosok Sultan Hasanuddin sedang berkuda dengan gagahnya, serupa di poster-poster pahlawan.
Dari ayah aku tahu beberapa teknik memanjat kelapa yang lumayan jitu. Salah satunya yaitu dengan menggunakan tali dari lilitan pelepah daun pisang kering. Kedua ujungnya disambung kemudian dikaitkan pada kedua pergelangan kaki. Pun teknik itu pernah aku praktikkan di umur 14 tahun. Saat itu, setelah pelajaran olahraga, salah seorang teman perempuan satu kelasku sedang manja-manja merayuku untuk memetikkan beberapa buah kelapa muda untuknya di belakang sekolah. Rasa kelaki-lakianku memuncak. Teman-teman yang lain bersorak-sorai dari dalam kelas ikutan meminta jatah. Aku beraksi. Pun beberapa buah kelapa berhasil kupetik, berjatuhan satu per satu. Namun, seturunnya dari pohon, dadaku merah-merah dan terkelupas. Itu perihnya bukan main. Tetapi pantang bagi seorang remaja laki-laki menunjukkan rasa sakit di depan gadis-gadis.
Kisah berlanjut. Di saat bingung mencari tahi minyak, Indo Becce memberi saran agar mencari tahi minyak di suatu pasar.
“Nnyyak, nnyyobha ngo nyari djyi fhacnyar nydjara...,” dia berujar memberi rekomendasi.
Aku paham maksud perkataannya lewat ekspresi wajah dan sorot matanya. Kata ibuku, Indo Becce masih sedarah denganku. Tapi entah mau dirunut dari mana, silsilah tak mencantumkan namanya. Dia juga sering memijatku saat aku masih balita. Saran ibuku, aku disuruh memangilnya Indo’ –serupa sapaan kepada nenek buyut. Sekarang giginya sudah ompong melompong. Kedua bibirnya lemas melentur semakin kendur menjulur ke tanah. Jadi kata-kata yang terucap sudah tidak terlalu jelas lagi.
Esok hari aku bergegas ke pasar yang ditunjukkan Indo Becce semalam. Mudah saja menjumpai pasar itu. Letaknya tak jauh dari jalan raya. Suasananya pun masih sangat konservatif. Belum banyak kios yang sudah terpetak-petak sesuai dengan jatah wilayah jual para pedagang. Kebanyakan pedagang hanya menggunakan hamparan tikar untuk dipakai menggelar barang-barang jualannya. Sebagai pelindung dari panas dan hujan, mereka cuma menggantung terpal seadanya sebagai atap sementara. Boleh dibilang itu pasar kaget karena berada di selasar jalan-jalan. Waktu operasinya dimulai setelah azan subuh sampai pukul sembilan pagi, dan hanya berlangsung di hari senin dan jumat saja.
Tak perlu buang-buang waktu, segera kususur satu demi satu hamparan jualan barang-barang dapur. Pencarianku terfokus di tempat-tempat yang menjual minyak kelapa, karena kupikir tak mungkin barang carianku itu berada di bagian ikan-ikan ataupun cakar –pakaian bekas impor. Dan akhirnya, seperti perkiraan Indo Becce semula, di pasar tradisional itulah aku berhasil menjumpai sekantung tahi minyak yang teronggok bisu menanti kedatanganku. Wajahnya –tahi minyak– tampak semringah. Segera kuraih tanpa banyak tawar pada si pemilik dagangan. Aku menghela nafas kemudian berlalu lekas pulang. Tunggu ini, Idea, bisikku dalam hati.
***
Dan kini malam beringsut menuju hari yang sebentar lagi dini. Aku masih begini, lelap tak kunjung mampu teraih. Prasangka terus berkelebat menjerat rasa dan rasio. Detak jarum jam dinding terdengar rancu mengulur waktu. Senandung lagu-lagu ‘Noah’ mulai terdengar sumbang lantaran sengal berulang-ulang mengikuti irama malam. Angin malam berdesir sumbang semakin merambat memecah keheningan. Cakrawala kosong melompong, sungkan menggubah komposisi nada. Resonansi dari angkasa raya urung mendekap harmonisasi. Semesta berpaling; kau menjauh; aku apatis. Ya sudah, kunikmati ini sendirian. Mainkan saja irama masing-masing.
....
Entah kapan malam berhenti
Teman, aku masih menunggu pagi
....
Malam begini, malam tetap begini
Entah mengapa pagi enggan kembali (Menunggu Pagi, Peterpan). (*)

(Dimuat dalam Antologi Cerpen “Cermin, Nama, dan Pelita”)

Makassar dini hari, 19 September 2012

10/09/2012

Bagian dari Segalanya


 Sumber disini

Masih tentang yang sudah-sudah. Memandangimu menjadi ritual khusus tatkala pisah telah berganti jumpa, renggang menjadi rapat lagi. Konsekuensi dari itu pun selalu menyisakan kerinduan mendalam usai memandangi senyummu yang tak pernah tamat kunikmati. Aku kerap kalah tak berdaya dalam kenikmatan yang kadang menyiksa. Menjadi semakin lejit dan melesat dalam cakrawala fantasi-fantasi. Sayangnya dalam keadaan begitu, kau urung memahami dan aku sungkan memungkiri. Cukup untuk kurasai sendirian lantaran norma dan janji erat membatasi. Segan aku melanggarnya lantaran mimpi akanmu teramat mulia daripada secuil yang terbatas itu. Aku menjagamu sebab aku mencintaimu.
Kucoba menyisipkan harap tatkala mataku terpejam membayangkan sisa-sisa pertemuan semalam dan di malam-malam selanjutnya. Pun selalu kerinduan itu akan kureduksi menjadi doa-doa sebelum akhirnya kembali berkecambah menjadi fantasi yang terus memendar di samudera imajinasi. Harapan itu tentang realisasi dari mimpi-mimpi bersamamu, terus berkelabat bersama munajatku di ujung tafakur. Kupikir itu lebih pantas dan jelas menawan. Darimu dulu aku berani bermimpi. Darimu pula, kini aku mampu mengaitnya di titian takdir yang akan kita susur bersama. Hidupku untuk mencintaimu, takdirmu untuk bersamaku. Demikian sebagian mimpi kita saling bertutur.
Aku mencintai karena aku cinta. Tak ada alasan apa-apa untuk itu –mencintaimu. Semesta telah bereaksi merunut jejak-jejak kita menuju segalanya. Kau dan aku adalah bagian dari segalanya. Dan Tuhan pemilik atas segalanya. (*)

Makassar, 9 September 2012