31/08/2012

Liberty and Victory

Agustus yang tentram berlalu nyaris tanpa menyisakan lara. Selaksa nikmat sisa ramadhan telah membuaiku dalam candu yang menyejukkan jiwa. Bermacam rupa ibadah mulai terasa nikmat rutin terselenggara. Hati yang masih bergetar tatkala asma-Nya merdu dilantunkan –kuharap senantiasa begitu, selalu melinangkan air mata sesal yang teramat dalam. Terasa seperti damai memagut duka membenamkan nelangsa. Semua dari itu mewujud dalam syukur atas-Nya yang senantiasa kurapalkan di sujud terakhir salat-salatku. Hanya kepada-Nya segala munajat bermuara, pemilik atas segala ke-Mahaan tiada tara.
“Itu berkah ramadhan, Ray,” ucapmu tak lama setelah kuutarakan suasana batin itu padamu.
Betapa tidak, nikmat kemerdekaan dan kemenangan telah diraih di momentum ramadhan yang baru saja berlalu. Dalam bahasa yang trendi, orang-orang menyebutnya dengan istilah liberty and victory. Kemerdekaan adalah wujud kebebasan dari segala jerat yang membelenggu. Bangsa ini punya sejarah panjang nan kelam dalam meraih kemerdekaan. Bukan pekerjaan mudah untuk meraihnya, terlebih mempertahankannya. Sementara kemenangan diperoleh setelah melalui perjuangan yang menempa. Dalam konteks ini adalah puasa. Tetapi setelah menjalankan puasa, apa? Adakah yang berubah? Namun pesta kemerdekaan 17 Agustus dan kemeriahan kemenangan Idul Fitri tahun ini terasa begitu khidmat. Keduanya telah memadu satu dalam berkah fitrah lahir dan batin.
Tentu masih jelas tergambar dalam kenangmu saat puasa kemarin menempa rasa cinta dan kesabaran kita. Sering kita saling berebut peran, menjadi reminder, serupa kokokan ayam ataupun beduk penanda imsak dan azan buka puasa. Riang saling berlomba menamatkan bacaan Quran masing-masing, serta mengajak satu sama lain menghabiskan sisa-sisa tarawih bersama di mesjid kesukaanmu. Aku pun nyaman menikmatinya. Itu hal yang sangat jarang kulakukan di tahun-tahun sebelumnya. Kerap cuma terlalui dengan kegiatan-kegiatan tak berguna. Sekalipun menjadi kewajiban dan rutinitas tiap tahunnya, selalu hanya datang dan berlalu begitu saja, tak menyisakan hikmah apa-apa. Redam tak berjejak, suram semakin mengelam.
Namun jika kau sedang absen lantaran siklus kodratimu datang mengunjungi, Bandoci dan kawan-kawan tak lupa kuajak serta menjemaahkan isya serta witir. Malah jadinya lebih mirip tim safari ramadhan kabupaten yang berkunjung dari masjid yang satu ke mesjid yang lain di kampung-kampung. Mereka tampak bersuka cita dalam menyemarakkan acara tarawih bersama itu. Hanya saja terkadang Bandoci resah berkeluh lantaran salah satu kawan keranjingan menghabiskan tarawih sampai 20 rakaat. Tapi itu tak menjadi beban. “Kita jadikan ini sebagai ujian kesabaran dan keimanan kita, kawan,” ujarnya berlagak seorang ustaz, kawan lainnya malah terpingkal-pingkal menimpali. Kau tau kan, imam-imam mesjid di kota ini gemar membaca surah-surah yang panjang-panjang. Sangat berbeda dengan yang ada di kampungku, bacaan surahnya pendek-pendek dan gerakan salatnya cepat-cepat pula.


Apakah benar ini berkah? Kupikir bisa jadi demikian. Seumur hidup tak pernah kunikmati yang demikian. Namun seiring usia yang semakin menahun, membuatku tertegun malu meratapi dosa yang telah lebat berimbun.
“Aku malu menengadahkan muka kepada-Nya, Idea,” resahku.
“Tuhan Maha Pemaaf sekaligus Pengampun bagi yang pasrah  memohon!” bujukmu memperbaiki suasana.
Aku tahu Tuhan memahaminya. Hidupku akan sangat bernilai jika keberadaanku diantara sesama dapat menjadi manfaat dan solusi atas masalah-masalah mereka. Seperti tertulis dalam quote of day yang pernah kutilik di pojok sampul depan salah satu koran, “kebahagiaan adalah ketika kita dapat membuat orang-orang di sekitar kita merasa bahagia”. Hanya saja di usia seperempat abad lebih umurku saat ini, sesekali mulai terngiang resah yang menggundah karena kematangan berpikir dan kemapanan duniawi yang biasa kusebut dengan kesejahteraan hidup, masih sungkan merapat. Barangkali itu sah-sah saja karena aku seorang pria. Masih lajang pula. Terlalu lebay, hehe..
Tentang itu adalah kuasa Tuhan, hak keistimewaan-Nya yang sudah kita sepakati sebagai takdir. Jika memang takdir sudah termaktub pada garis tangan-tangan kita, aku bisanya apa? Namun kupikir masalahnya tidak sesederhana itu. Aku percaya dengan kekuatan doa dan mimpi. Aku dan akal pikiranku adalah bagian dari alam semesta ini. Pun mimpi yang kuat kuimajinasikan serta kenyataan hidup yang akan terjadi, juga tersimpul di dalamnya. Keberadaanmu pun juga demikain. Semuanya menjadi satu kesatuan kesemestaan yang memiliki kemampuan saling memahami yang disebut dengan bahasa semesta. Setiap daripada bagian-bagian itu akan kait mengait tatkala salah satu bagiannnya bereaksi. Masing-masing kita memiliki peran dan alasan hidup di dunia ini. Kadang ketika ternyata mimpi tak seindah kenyataan, kita mereduksi makna takdir menjadi nasib. Dan ketika kenyataan jauh lebih menawan dari mimpi, takzim kusebut sebagai sebuah keajaiban.
Sudahlah, sekarang cukup untuk apa yang ada saja. Mensyukuri nikmat-nikmat ini saja bersama dengan orang-orang terdekat, termasuk dirimu. Dan dalam keadaan begini, aku merindukanmu.
Awan putih gemawan menudungi jumpa yang sudah tak lagi lama. Kunanti senyummu yang elok rupawan serupa di taman ataupun halaman impianku. Segera kusaji sambut menawan nan berkawan tatkala pertemuan tergelar lantaran lebaran telah memilah kita dalam ikatan cinta yang kurasa semakin tentram. Aku ke kampungku, kau tetap di kotamu. Tersenyumlah nanti, setidak-tidaknya penawar atas sekebat rindu yang berkelabat beberapa pekan.

Makassar, di akhir Agustus 2012